“Masih ngerasa sakit?” Aku bernapas lega melihat Hana sudah membuka matanya.Hana terlihat meringis sambil mengerjapkan mata. “Mas ….”“Iya. Mas di sini.” Kugenggam tangannya yang masih lemas itu.“Bayi aku ….”“Nggak apa-apa. Dia baik-baik aja.”Sepertinya Hana baru ingat apa yang terjadi tadi, mungkin kalau aku terlambat sedikit saja entah bagaimana kondisi Hana sekarang. Dia pingsan hanya karena kaget dengan apa yang dialaminya, tidak ada luka sedikitpun di tubuhnya. Tadi dokter juga sudah melakukan pemeriksaan dan Hana beserta bayi dalam kandungannya baik-baik saja.Entah apa yang membuat Hana tadi tiba-tiba pergi dalam keadaan kesal sampai tidak memperhatikan jalan. Aku pun tidak akan langsung menanyakannya karena dia terlihat masih shock.“Aku takut,” cicitnya dengan mata berembun.“Takut kenapa? Mas di sini.”“Aku nggak bisa bayangin kalau tadi-”“Sstt. Udah nggak usah ngomong apa-apa lagi, sekarang yang penting kamu sama bayi kita selamat.”Tangisnya bukan reda malah semakin k
POV HanaDengan senyum yang masih tersungging di bibir, aku keluar dari kamar membiarkan Mas Nata berpikir sendiri soal apa yang kukatakan. Tidak mungkin dia tidak mengerti bukan, dia bukan anak kecil.Kecemburuannya pada Samudra bahkan sama sekali tidak bisa ditutupi, dia pikir Samudra kesini untuk menemuiku meskipun memang faktanya begitu tapi ada kabar yang dia bawa bukan hanya modus seperti yang ada dalam pikiran Mas Nata.Beberapa bulan kembali tinggal bersama membuatku berpikir ulang soal perpisahan yang awalnya kami rencanakan. Selain karena hatiku sudah sedikit terobati setelah apa yang terjadi di masa lalu. Aku juga tidak mau mengorbankan masa depan anak-anak hanya karena memikirkan perasaanku sendiri.Aku mencoba untuk berdamai dengan masa lalu. Bergelung dengan apa yang membuatku sakit itu akan lebih menyiksa. Semua yang terjadi sudah digariskan oleh Tuhan jadi aku tidak ingin berandai-andai dengan mengubah takdir karena semua sudah terjadi dan jalannya harus seperti ini.“
“Ini rumah saya, Mbak. Jadi kayaknya pertanyaan Mbak nggak cocok. Apa Mbak kesini mau ketemu Laisa?” Di akhir aku langsung mengalihkan pembicaraan.Keningnya berkerut. “Laisa di sini? Tinggal sama kamu?”“Iya. Mari, Mbak.” Aku berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah.Dia pasti kebingungan. Mungkin saja belum tahu kalau aku dan Mas Nata sudah menikah lagi.Sebenarnya aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun, meski sulit berdamai dengan masa lalu tapi aku mencoba untuk berulang kali melakukannya hingga sekarang sudah bisa menerima. Tidak ada gunanya juga bergelut dengan masa lalu.“Silahkan, du-”“Yang.”Belum sempat selesai bicara Mas Nata memanggil. Terlihat dia keluar dari kamar sambil menggendong Yuka.Dari sudut mata bisa kulihat Mbak Nadia terbelalak. Mas Nata pun sama, dia kaget karena melihat Mbak Nadia. Dari yang kutahu, sudah lama sekali mereka terakhir bertemu, entah kapan tepatnya yang jelas setelah mereka berpisah Mbak Nadia seperti ditelan bumi. Batang hidungnya tidak t
POV AuthorMood Hana langsung hancur membaca pesan dari Nadia. Istri mana yang tidak akan panas saat mantan istri suaminya bicara begitu.Kembali melintas dalam benak Hana isi video yang pernah ditonton olehnya. Apa yang dikatakan Nadia memang benar. Nata tidak pernah memperlakukan Hana sama dengan Nata memperlakukan Nadia.“Yang, sudah belum?”Suara Nata membuat Hana tersadar dari lamunannya. Wanita itu melempar ponselnya ke arah ranjang.“Aku sudah siap kok kamu belum, Mas?” Hana mencoba menyembunyikan perasaan dongkolnya karena chat Nadia tadi.Namun bukan Nata namanya kalau tidak mengerti suasana hati sang istri apalagi wajah Hana sudah merah padam.“Kamu kenapa?”“Nggak apa-apa kok.” Hana berjalan mendekat dan mengambil alih Yuka. “Sana kamu siap-siap.”Wanita itu lalu keluar kamar, meninggalkan Nata yang tersenyum penuh arti.Hana tidak berniat membalas pesan dari Nadia karena itu akan memperburuk suasana hatinya. Hana pikir Nadia sudah menyerah ternyata tidak.Kalau bukan karen
[Aku tidak menyangka, kita bisa berbagi malam pertama dengan lelaki yang sama.]Pesan masuk dari nomor tak dikenal.Tanganku gemetar melihat foto Mas Arga bersama dengan seorang wanita yang wajahnya di blur. Berbaring di bawah selimut yang sama, hal yang kami lakukan beberapa jam lalu dan sekarang dia melakukannya juga dengan wanita lain.Air mata yang menggenang langsung meluncur membasahi pipi. Ponsel terlepas dalam genggaman.Pasokan oksigen tiba-tiba sulit kudapatkan hingga dada terasa begitu sesak.Lelaki yang belum satu hari menjadi suamiku kini malah tidur dengan wanita lain? Apa ini bukan mimpi.Plak. Dengan kuat menampar pipiku sendiri untuk menyadarkan dan sekarang rasanya lebih sesak dan sakit karena bukan mimpi.Sebelum terlelap aku masih merasakan keberadaan Mas Arga di sampingku dan sekarang dia sudah berada di kamar wanita lain.“Apa iya anak perempuan akan merasakan karma dari perbuatan buruk orang tuanya? Apa aku harus merasakan ini karena perbuatan Papa di masa lalu?
“Ini kali terakhir kali kita bahas soal ini ya, Bu. Di sini ada Laisa, jangan sampai dia dengar, bahaya.”Dengan langkah seribu aku kembali ke kamar, kalau aku yang ketahuan menguping malah aku yang kena bahaya.Aku pikir diantara aku dan Mas Arga tidak ada rahasia tapi ternyata aku salah, sepertinya aku terlalu polos sampai mudah sekali percaya.Dari pembicaraan yang kutangkap, sepertinya Mas Arga tadi malam memang menghabiskan waktu dengan wanita lain. Aku tidak percaya dia ternyata lelaki yang suka melewati batas begitu.Tapi sepertinya menghadapi Mas Arga memang tidak mudah, dia mengancam dan aku takut keluargaku nanti yang kena dampaknya.Dalam posisi berbaring membelakangi pintu, kudengar suara derit pintu bersamaan dengan langkah kaki masuk. Itu pasti Mas Arga.Tinggal di sini rasanya seperti berada di kandang macan. Aku harus berhati-hati.Awal yang kukira akan bahagia malah menjadi awal penderitaan.“Sayang, kamu kenapa?”Aku tersentak merasakan usapan lembut di pelipis.Mata
“Pengantin baru, mukanya seger amat.”“Iya dong, sekarang udah ada yang kelonin. Jadi nggak ada yang namanya malam-malam kesepian apalagi kedinginan.”Wajah Aura langsung merah padam.“Aku jadi pengen nikah juga,” katanya dengan tawa kaku.“Perlu aku cariin, Ra. Kayaknya banyak deh temennya Mas Arga yang masih jomblo, pasti dia maulah sama cewek cantik kayak kamu.” Aku menahan mual mengatakan itu. Rasanya ingin sekali memakinya tepat di depan mukanya.Sudah satu minggu setelah kutahu hubungan Mas Arga dan juga Aura. Dua-duanya gatal jadi mudah untuk bersatu.Untungnya Mas Arga belakangan ini dibuat sibuk dengan semua pekerjaannya, pulang ke rumah dia langsung tidur, tidak minta aneh-aneh apalagi aku sudah selesai haid. Aku harus cari alasan apalagi kalau nanti di meminta haknya.Hari ini sengaja aku mengajak Karina dan Aura datang ke rumah, rumah Mas Arga lebih tepatnya. Aku tidak akan langsung membongkar semuanya, aku mau main aman dan pelan-pelan agar nantinya menjadi kejutan yang t
[Jangan berani chat gue lagi, Lonte!]“Ya ampun.” Aku hampir terpekik kalau tidak membekap mulutku sendiri.Pesan yang dikirimkan oleh Mas Arga membuatku benar-benar kaget, dari perkataannya dia begitu merendahkan Aura.Apa dia takut jika semua hartanya akan aku kuasai makanya tidak berani berbuat macam-macam lagi?Entahlah, kita lihat saja kedepannya seperti apa. Jujur, aku saja tidak tahu sekarang harus mengambil jalan apa karena satu hal aku takutkan adalah keluargaku, jangan sampai nama baik mereka hancur karena aku egois memikirkan diriku sendiri.Kutaruh ponsel di atas nakas, menunggu Mas Arga selesai mandi.Sebenarnya aku tidak bisa memaafkan lelaki yang selingkuh, apalagi dia bermalam dengan sahabatku sendiri di saat aku dan dia baru saja menikah. Itu hal yang membuat hatiku benar-benar hancur. Tapi aku juga tidak ingin berakhir dengan perpisahan. Berat rasanya mengambil keputusan.“Kenapa akhir-akhir ini kamu kelihatan sering bengong, Yang?” Aku tersentak mendengar suara Mas
“Kenapa Kia nggak mau aku gendong?” Yuna kesal setengah mati, apalagi tadi Kia menangis di depan Rinda.Rasanya Yuna sangat malu. Salah sendiri karena ia tidak pernah ada di samping putrinya. Bu Dini malah menawarkan Yuna untuk tinggal agar Kiarra bisa mengenal lebih dekat ibunya sendiri.Sebelumnya Yuna menempati villa tapi karena ditawarkan untuk tinggal di rumah Afnan, maka ia tidak akan menolak. Ia merasa tidak rela kalau Kiarra lebih dekat dengan orang lain daripada dengan dirinya yang notabene ibu kandung bayi itu.“Ini pertama kali kalian ketemu, wajar Kia belum bisa mengenali.” Afnan yang sedang menimang Kiarra, sesekali melirik wanita yang masih berstatus istrinya itu.Berada di dalam kamar yang sama membuat keduanya sedikit canggung. Namun keberadaan Kiarra tidak membuat kecanggungan itu kentara.Semua orang sudah tidur. Ini sudah jam sembilan malam, sebenarnya Kiarra akan susah tidur saat siangnya tidak tidur.Yuna tidak akan membiarkan Rinda dekat-dekat lagi dengan Kiarra,
Yuna bisa pulang dalam keadaan lebih tenang karena Sisil tidak mengatakan apapun pada Angel dan Ganta. Yuna sangat takut, karena kalau nanti semuanya tersebar maka ia tidak akan sanggup menghadapi teman-temannya yang lain. Dipastikan ia akan kena hujat.Tapi sebagai gantinya, Yuna harus menjelaskan semua pada Sisil tentang apa saja yang sudah terjadi. Yuna percaya karena Sisil bukan orang yang akan menceritakan keburukan orang lain. Tapi tetap saja namanya rahasia sudah diketahui orang lain ada rasa cemas yang tak mungkin bisa hilang begitu saja.“Nggak denger apa yang Mama bilang sih.” Pulang ke rumah langsung disambut omelan sang mama. Dari raut wajah Yuna, Hana sudah bisa menebak yang terjadi pada putrinyaWanita muda itu menghempaskan tubuh di samping mamanya.“Untung cuman Sisil yang tau,” adunya.“Sekarang Sisil doang, lama kelamaan yang lain juga bakalan tahu. Kalian nikah karena kecelakaan, itu pun bukan hal yang disengaja. Sedangkan Kia, ada di tengah-tengah kita dalam keada
“Udah lama pulang, Rin?” Ia langsung mengalihkan pembicaraan.“Baru kemarin malam, Mas. Mau liburan dulu, nanti kalau udah kerja Rinda tinggal di kota soalnya.”Afnan mengangguk. “Bapak ada, Rin?”“Ada, Mas. Lagi sarapan, masuk yuk. Sekalian ikut sarapan.”“Makasih, Rin. Aku tadi udah sarapan.”“Ya udah, duduk dulu. Biar Rinda buatkan kopi.”“Nggak usah repot-repot, Rin.” Afnan menolak dengan halus. “Aku di teras aja ya.”“Rinda suka direpotin Mas Afnan kok.” Gadis itu tersenyum manis sebelum melangkah masuk ke dalam rumahnya.Rinda masih sama, gadis manis yang murah senyum. Ia sama sekali tidak pernah merendahkan Afnan karena kondisinya yang tak punya apa-apa. Mereka dari dulu teman mengobrol, kalau ikut bapaknya mengontrol kebun, Rinda pasti sesekali ikut hanya untuk melihat Afnan.Di saat gadis di luaran sana menyukai lelaki yang tampan, kaya dan keren. Tapi Rinda tidak, ia terpesona dengan kesederhanaan sosok Afnan. Bisa dibilang Afnan itu cinta pertamanya. Bahkan banyaknya lelaki
"Afnan, dada aku sakit." Yuna meringis sambil memegangi dadanya.Masih dalam posisi berbaring, ia terusik dari tidur karena nyeri di payudaranya karena ASI yang tidak dikeluarkan."Afnan!" Kembali Yuna memanggil namun tidak ada sahutan dari si pemilik nama.Akhirnya ia menyambar ponsel miliknya untuk menelpon Afnan, namun ponsel lelaki itu tergeletak di atas nakas.Yuna mengernyit heran. Menghela napas berat lalu mengubah posisi menjadi duduk."Dia kemana? Handphonenya nggak dibawa lagi." Yuna mendengkus, ia sangat sensitif setelah melahirkan, lebih mudah marah."Yuka ...." Memanggil adik keduanya karena tahu mamanya tidak ada di rumah mengantar si bungsu ke tempat Oma Rani.Pintu kamar terbuka, Yuka datang dengan sendok di tangannya. Ia sedang menikmati akhir pekan sambil menonton acara kesukaannya, malah diganggu sang kakak."Apa, Kak?""Bang Afnan mana?"Yuka mengernyit. "Loh, kemarin 'kan pulang. Kakak lupa kalau Bang Afnan pulang sama Kia?"Deg.Kenapa aku bisa lupa?Kehadiran Af
"Minum, nanti kalau dingin nggak enak." Afnan menyerahkan gelas berisi cairan putih itu pada Yuna."Mau dingin, mau anget sama. Nggak enak, aku nggak suka." Yuna memilih kembali fokus pada tontonannya.Sedangkan Afnan tampak menghela napas. Ia menaruh gelas di atas nakas lalu duduk di samping Yuna membuat wanita itu tersentak, masalahnya jarak mereka begitu dekat. Padahal sebelumnya Afnan tidak pernah berani sedekat ini pada Yuna."Mau ... apa?" Yuna melotot, ia menahan pundak Afnan saat lelaki itu semakin mengikis jarak."Menurut kamu?" Sebelah alisnya terangkat.Tubuh Yuna malah membeku, seharusnya ia bisa bergerak menjauhTangan Yuna mengepal di atas pundak Afnan saking paniknya. Ia bahkan bisa merasakan napas hangat lelaki itu menyentuh kulit wajahnya."Minum susunya atau saya yang minum ...." Pandangan Afnan turun."Iya, aku minum."Afnan menarik tubuhnya dengan bibir terkulum menahan senyum. Menyerahkan gelas itu pada Yuna menunggu sang istri menghabiskan cairan putih itu tepat
"Oh, dia cuman koki baru di rumah. Udah ya, aku mau makan dulu."Sebelum Angel kembali bicara, Yuna lebih dulu mematikan panggilan video itu.Ia melirik tajam pada Afnan yang masih berdiri mematung."Kenapa bisa temen aku tau soal kamu? Sengaja ya?" tudingnya dengan mata melotot.Afnan menggeleng, wajahnya tampak polos. Ia memang tidak berniat melakukan itu, bahkan kaget saat keluar kamar mandi mendapati gadis yang tak dikenalnya. Ia bahkan seperti akan dikuliti karena merasa ditatap begitu intens oleh Angel yang sudah terpesona pada pandangan pertama."Sengaja mau tebar pesona? Jangan sok ganteng deh, kalau si Angel tahu kamu orang kampung, dia juga pasti nggak mau," sewot Yuna."Maaf, tapi saya nggak sengaja.""Dimana ketemu Angel?" Kedua tangan dilipat di dada dengan tatapan mengintimidasi."Di depan ... kamar mandi.""Dasar mesum!" Yuna melempar apel yang ada di meja ke arah Afnan. "Kamu mau ngintip ya!"Afnan meringis, ia tak sigap jadi benda bulat berwarna merah itu mengenai dad
"Dia cuman nanyain papa kamu."Yuna menatap Afnan penuh curiga. "Jangan bohong!" Ibu muda yang sedang hamil itu tampak gelisah.Sekarang Afnan tahu satu kelemahan Yuna lagi selain takut pada orang tuanya. Ganta, lelaki yang katanya pacar wanita itu."Tanyain langsung sama orangnya kalau kamu nggak percaya.""Awas ya kalau kamu berani macem-macem. Aku pulangin kamu ke kampung," ancamnya dengan mata melotot.Bukannya membuat takut, Afnan malah terkekeh geli dengan tingkah sang istri."Kamu ngusir saya, orang tua kamu akan bawa saya kembali."Yuna menghentakkan kakinya kesal. "Berani ya sekarang." Ia berkacak pinggang, persis seperti ibu yang sedang memarahi anaknya."Saya suami kamu, jadi tolong dengar apa yang saya bilang. Ini buat kebaikan kamu juga. Hanya sebentar, Yuna. Tidak sampai satu tahun, setelah itu. Saya akan pergi dari hidup kamu, bersama bayi itu."Perkataan Afnan berhasil memantik sesuatu yang aneh dalam hatinya, tapi Yuna tidak tahu itu apa.Bukan Yuna namanya kalau tida
“Maaf, tapi Pak Nata belum pulang, Mas,” jawab Afnan sopan meski lelaki di depannya sudah jelas lebih muda.“Baguslah.” Dengan santainya Ganta melangkah masuk. Ia sudah sangat merindukan kekasihnya.Dari pintu gerbang yang sedikit terbuka Afnan bisa melihat, pemuda yang beberapa detik lalu bicara dengannya kini memeluk Yuna dengan erat.“Udah ah, nanti kalau Mama lihat bisa berabe.” Meski tak rela, Yuna mengurai pelukannya.Bukan untuk menjaga perasaan Afnan tapi karena takut ketahuan Hana."Masuk yuk.""Papa kamu masih lama pulangnya 'kan, Baby?"Yuna mengedikkan pundak. "Nggak tahu. Tadi sih kata Mama ada meeting, kamu mending pulang dulu. Aku 'kan nggak minta kamu datang.""Kamu ngusir aku?""Bukan gitu. Kamu tahu sendiri Papa gimana, nanti kamu makin buruk loh di mata Papa. Kalau di sini ada cowok lain sih nggak masalah, ini kamu sendiri doang cowoknya."Ganta memang datang tanpa pemberitah
Laissa menceritakan semuanya pada Yuna tanpa ada yang ditutupi sedikitpun, ia ingin membantu sang adik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Tidak tega juga melihat Yuna yang harus bertarung dengan badai dalam hidupnya di usia yang masih muda seperti ini."Apa jangan-jangan dia mau balas dendam, Kak? Kayak di drakor-drakor itu loh, jadi balas dendamnya lewat orang terdekat."Ada manfaatnya juga Yuna suka menonton drama Korea karena apa yang dilakukan oleh Aura memang ingin menghancurkan Laissa lewat orang-orang terdekatnya karena kalau langsung pada orangnya sudah tidak ada celah."Terus suami kamu juga terlibat?"Yuna mengedikan bahu. "Mana aku tahu, bisa jadi iya bisa juga nggak. Ya, kakak cari tahu dong. Aku capek, Kak. Bawaannya lemes, kepala pusing mana mual lagi. Kakak ada kenalan dokter yang bisa aborsi nggak?"Laissa melotot. "Sembarangan! Sebenci apapun kamu ke bayi itu, jangan berpikir melenyapkannya. Dia berhak lahir, Yuna