"Aaaargghh!"Kulihat Sulis kesakitan saat pisau itu menancap di keningnya, tubuhnya terhuyung ke belakang sambil terus berteriak memanggil para pengawalnya."Aaarrggghhh... Yadi! Ari! Cepat kalian kemari, tolong aku!""Sudahlah jangan berteriak seperti itu, mereka tidak mungkin bisa menolongmu! Sini biar kubantu mencabut pisau itu," ujar mamaku.Aku menatap wanita yang sudah merawatku sejak kecil itu, rasanya aku tidak percaya melihat ia seberani ini. Mungkin ia sudah menghabisi anak buah Sulis dan menyerang wanita biadab itu itu tanpa rasa takut.Mamaku terlihat maju beberapa langkah, lalu mencabut pisau kecil yang menancap di kening Sulis dengan penuh keberanian. "Aaaargghh, sakit! Yadi! Ari! Dimana kalian! Cepat tolong aku!" teriak Sulis.Mama terlihat menyunggingkan senyum miring saat menatap ibu mertuaku itu. Aku seperti tidak mengenali mamaku sendiri saat ini, dia seperti kesetanan menyerang musuh. Apa jiwa kesatrianya bangkit saat melihat sang anak dalam bahaya?"Jangan hanya
"Kamu tidak apa-apa kan, Rah?" tanya Mbak Linda.Aku tersenyum tipis ternyata dua orang wanita yang belum lama aku kenal ini sangat mengkhawatirkan keadaanku."Aku tidak apa-apa kok Mbak, kalian tenang saja ya. Oh iya, apa Kak Dimas tahu soal ini?" tanyaku.Takut saja jika ia tahu soal ini membuat kak Dimas merasa panik dan akan menganggu proses pemulihan tubuhnya."Dia sedang beristirahat, Non. Kita juga tidak memberitahunya sebelum ada kabar yang pasti," jawab Mbak Wati."Rah, maafin kakak ya, harusnya kakak melindungi kamu kemana pun kamu pergi eh malah kakak terluka begini," ucap Kak Dimas tersenyum tipis saat sudah terbangun dari tidurnya."Tidak apa-apa Kak, lagi pula aku akan merasa sangat bersalah seumur hidupku jika kakak sampai terluka parah atau bahkan sampai cacat hanya gara-gara melindungiku," jawabku sambil menggenggam tangannya."Sudah, yang penting kalian berdua selamat," sahut Mama.***Tiga hari aku menginap di rumah sakit, diantara kami pun tidak ada yang berani kel
(Pov Rista Widya)Pada malam itu aku melarikan diri sesaat setelah Sulis membunuh Mas Bayu, lelaki yang kucintai. Aku pun tahu jika cinta ini salah karena ia sudah menikah dan menjadi suaminya Sulis.Terus berlari sambil berderai air mata meninggalkan Mas Bayu yang tergeletak di lantai dengan keadaan bersimbah darah karena luka tusukan diperutnya.Aku tidak memiliki pilihan lain selain menyelamatkan diri, karena saat ini Sulis membawa senjata tajam dan sedang dikuasai oleh amarah. Lagi pula aku tidak ingin mati konyol dengan cara melawan perempuan gila itu."Ibu!""Ibu!"Suara rengekan anak kecil yang kupegang tangannya membuatku menghentikan langkah. Oh Tuhan, ternyata bocah yang kubawa lari sejak tadi bukanlah putriku, melainkan putranya Sulis dengan Mas Bayu."Astaga! Putriku!"Dengan perasaan panik aku melepas genggaman tangan bocah lelaki itu, lalu kembali berlari ke rumah kontrakan untuk menyusul Linda yang sudah pasti dalam bahaya jika bersama dengan Sulis."Linda! Maafkan ma
(Rista Widya)Setelah memikirkan tawaran Pak Bambang akhirnya aku bersedia menjadi anak angkat sekaligus ibu sambung bagi kedua cucunya. Keputusan ini juga sudah kupikirkan matang-matang, karena aku sudah putus asa mencari Linda kesana kemari tetapi tak kunjung juga ditemukan.Setelah diangkat menjadi putrinya, aku hidup bergelimang harta. Bahkan Pak Bambang membiayai wajahku untuk melakukan operasi plastik, karena wajahku cacat akibat luka tusukan pisau waktu itu.Melihat pantulan diri di cermin usai menjalani operasi plastik, aku seperti terlahir kembali dengan wajah baru dan kehidupan baru. Mungkin jika ada orang yang datang dari masa lalu, ia tidak akan mengenali wajah ini. Dan jika suatu saat nanti aku bertemu lagi dengan Sulis, ia tidak akan menyangka jika aku ini adalah Rista. "Aku belum mati, Sulis! Aku masih hidup tetapi bukan sebagai Rista yang lemah lagi," gumamku sambil tersenyum mengagumi wajah baru ini.Namun, setelah dua bulan Pak Bambang meninggal karena penyakit dia
Selesai makan malam sambil mengobrol panjang lebar kami pun kembali ke ruangan Kak Dimas yang masih terbaring lemah di atas brankar rumah sakit ini.Kini mama terlihat sedang menceritakan pada Kak Dimas siapa sebenarnya Mbak Linda, sambil sesekali mencium dan memeluk anaknya yang hilang berpuluh-puluh tahun yang lalu itu dengan deraian air mata.Namun, Kak Dimas hanya diam sambil melihat wajah mama dan Mbak Linda secara bergantian. Ia tidak mengatakan sepatah kata apapun, tetapi dari raut wajahnya Kak Dimas terlihat ikut bahagia."Mulai sekarang Linda menjadi bagian keluarga kita, kalian yang akur ya." Mama terlihat mengelus rambut Kak Dimas.Aku menatap Kak Dimas, entah kenapa sikap mama terlihat berlebihan. Berbeda jauh saat menerima kabar duka dariku, ketika bayi yang sudah kulahirkan itu tidak mati melainkan di jual oleh Sulis. Dan saat mama melihat kami berhasil lolos dari hutan pun, raut wajahnya tidak sepanik itu.Aku mencoba menepis rasa cemburu di hati, menyakinkan diri jika
Pagi ini akhirnya, Kak Dimas sudah diperbolehkan pulang oleh dokter karena keadaannya yang sudah membaik. Kami pun juga sudah berkemas tinggal menunggu Kevin kembali dari apotik menebus obat-obatan untuk diminum Kak Dimas di rumah nanti.Mama terlihat begitu bersemangat karena kali ini ia akan ikut mendampingi Mbak Linda mendapatkan keadilan. Ia ingin membawa Mbak Linda dan Mbak Wati sebagai saksi tindak kejahatan Sulis selama ini ke kantor polisi."Apa sudah selesai berkemasnya?" tanya Kevin yang kembali sambil membawa satu kantong kresek kecil berisi obat-obatan."Sudah, ayo kita pergi sekarang." Gegas kami langsung menuju kantor polisi terdekat, kami tidak ingin pulang ke ibukota sebelum kasus Mas Rama dan keluarganya selesai."Bagaimana hasil interogasi Reza kemarin, Pak?" tanya Kevin pada kepala penyidik itu."Kami sudah menginterogasinya tentang kasus ledakan granat itu dan dia sudah mengaku jika ia yang meledakkan benda itu untuk melindungi diri serta melawan para wanita yang
Karena selama ini banyak kasus yang segera ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian setelah diviralkan di media sosial.Semua bukti telah Kevin kirimkan pada ponsel Iksan. Kiini aku sudah tidak memegang ponsel lagi karena hilang ketika bertarung di tengah hutan waktu itu. Beruntung semua bukti sudah sempat kusalin dan ku kirimkan ke nomor Kevin yang juga seorang polisi.Beberapa menit kemudian postingan Iksan pun sudah dibanjiri beragam komentar dari warga desa ini. Sepertinya mereka percaya dengan video yang kurekam tempo hari di ruangan bawah tanah tempat para wanita itu disekap. Bahkan malam ini kami diminta bersaksi di balai desa untuk memberikan keterangan."Apa salah satu dari mereka ada yang sudah di tangkap?" tanya Iksan."Reza sudah berhasil ditangkap, tetapi Sulis dan Rama sepertinya masih berkeliaran di luar sana," sahut Kak Dimas."Ya, sepertinya Rama masih ada di dalam hutan, sementara Sulis pasti ada di rumah sakit saat ini, karena terakhir kali kami bertemu perempuan itu d
Kini hanya tinggal kami dan beberapa orang teman Iksan yang tersisa, mereka juga sudah diberitahu jika Rama dan anak buahnya akan melarikan diri dari desa ini dengan menyeberangi danau."Ayo, kita susul mereka ke danau sekarang juga!" titah Kak Dimas. "Baiklah, untuk menghemat waktu kita gunakan mobilku saja," jawab Iksan sambil menunjuk ke arah mobil Jeep yang terparkir di depan kantor balai desa ini.Sangat tidak memungkinkan jika menyusul Rama menggunakan mobil Kevin, karena mobilnya itu tidak akan bisa melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan yang terjal dan banyak bebatuan. "Aku ikut," ujarku sambil berusaha masuk ke dalam mobil."Sarah, kamu tunggu saja disini bersama dengan Mama, Mbak Linda dan Mbak Wati ya, lagi pula ini kan tugas lelaki." Kak Dimas membujukku untuk tidak ikut.Aku berdecak kesal, ia pikir enak apa jika harus menunggu dan terus berdiam diri di sini?"Tidak, Kak. Aku mau ikut, apakah kakak lupa jika Rama itu suamiku? Dan dia juga yang sudah menjual anakku!
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap