"Kamu tidak apa-apa, Rah?" tanya Kak Dimas dengan tatapan khawatir.Kak Dimas terlihat terluka di bagian wajahnya, sedangkan Mbak Wati terluka di bagian lututnya hingga mengeluarkan darah. Sementara aku hanya merasakan nyeri di bagian perut dan tangan saja."Aku tidak apa-apa, ayo cepat kita bersembunyi! Sekarang lelaki itu sedang turun ke bawah untuk mencari kita," ujarku dengan panik."Hah, mereka turun?" Mbak Wati terlihat ketakutan."Ayo kita jalan ke sini," Kak Dimas menarik tanganku untuk berlari ke arah kanan.Sementara Mbak Wati menyusul di belakang, berjalan dengan kaki terpincang."Ayo, Mbak!" Kami terus berlari entah akan kemana, bahkan Mbak Wati tertinggal di belakang sana."Tunggu, Kak. Kasihan Mbak Wati ia tertinggal," Kak Dimas pun menoleh ke belakang dan berhenti sejenak untuk menunggu Mbak Wati."Apa kamu baik-baik saja, Mbak?" tanyaku khawatir.Terlihat tubuh Mbak Wati gemetar dengan wajah pucat pasi disertai keringat sebesar biji jagung yang sudah membasahi wajah
Mata kami pun tidak lepas dari memandang bangunan tua berbentuk persegi tersebut, bangunan itu tidak memiliki genteng sama sekali, keseluruhan bangunannya full dari tembok termasuk bagian atasnya.Pintunya pun terbuat dari besi, meskipun berkarat tapi pintu itu masih lumayan kokoh dan di sekeliling bangunan tua itu tidak ada jendela atau fentilasi udara sama sekali. Di sana hanya ada sebuah pintu besi yang ternyata sekarang di kunci dari dalam.Dahiku mengernyit kala melihat bangunan itu, "Kira-kira ini bangunan apa ya? Kenapa jendela atau ventilasi udara pun tak ada di sana?""Entahlah Non. Tetapi sepertinya bangunan ini ada hubungannya dengan Nyonya Sulis karena pria yang kita lihat barusan itu adalah anak buah Nyonya," jawab Mbak Wati.Aneh, untuk apa anak buah ibu berada di sini? Berarti tempat ini juga berbahaya untuk kami."Berarti tempat ini tidak aman untuk kita! Ahh... Sekarang kita harus lari kemana lagi? Kenapa dimana-mana ada anak buah ibu? Menyebalkan sekali!" gerutuku ke
"Menurutmu para wanita itu siapa, Mbak?" "Mungkin mereka juga tahanan Nyonya Sulis, Non. Tetapi saya juga baru tahu jika Nyonya juga menyekap para wanita di dalam hutan seperti ini," jawab Mbak Wati.Benar-benar biadab, mereka tega menyekap para wanita di tengah hutan seperti ini. Pantas saja keluarga Mas Rama kaya raya, bahkan ibu yang usianya tak lagi muda itu pun memiliki baju dan tas-tas branded berharga ratusan juta di dalam lemarinya, ternyata barang-barang mewah itu di dapat dari hasil menyiksa para wanita.Sulis, Sulis! Lihat saja suatu saat nanti aku akan membuatmu tersiksa seperti para wanita itu! "Apa sudah ada kabar dari Kevin, Kak?" tanyaku dengan suara pelan."Belum, Rah. Terakhir dia meminta Kakak mengirimkan semua bukti video yang kamu temukan termasuk alamat rumah Bu Yanti yang Kakak sewa itu," jawabnya.Semoga saja Kevin segera melakukan sesuatu untuk menolong kami, melanjutkan perjalanan pun rasanya tidak mungkin karena kami sama sekali tidak tahu kemana arah jala
"Apa kamu sudah tahu cara menggunakan pistol ini, Rah?" tanya Kak Dimas."Belum, Kak."Tentu saja aku tidak tahu karena aku tidak seperti Kak Dimas yang bisa bergaul dengan seorang polisi, tentara dan juga detektif. Sementara lelaki di tepi sungai itu masih terus menatap ke arah kami. "Mundur dan berdirilah di belakang Kakak!" bisik Kak Dimas.Mungkin karena pencahayaan yang minim membuatnya ragu untuk melepas tembakan ke arah kami. Dan bisa jadi ia mengira bahwa Kak Dimas itu salah satu temannya dan aku adalah salah satu dari tahanannya."Sepertinya ia mengira kalau Kakak ini temannya dan kamu salah satu tahanan di bangunan itu, Rah." ucap Kak Dimas yang sepemikiran denganku.Jantungku mulai berdetak sangat kencang, meski jiwaku pemberani tetapi tetap saja rasa takut dan cemas itu selalu menghampiri dan menurutku itu adalah hal yang wajar."Ayo kita jalan saja ke tempat yang lebih gelap," bisik Kak Dimas.Kini aku dan Kak Dimas berjalan menjauh dari pandangan lelaki itu, tetapi le
"Kurang ajar! Jadi penyusup itu kalian, hah?" teriak salah seorang lelaki di ujung ruangan sana, ia memegang senapan bersiap untuk menembak kami.Jantungku berdetak sangat kencang, seumur hidupku aku baru pertama kali memegang senjata api seperti ini, tetapi aku harus bisa, aku harus berani, karena jika aku tidak melawan maka mereka duluan lah yang akan menembak kami.Saat ini aku dan Kak Dimas menodongkan pistol ke arah lelaki itu, sedangkan lelaki itu tak mau kalah, ia juga menodongkan senapan ke arah kami."Apa tujuan kalian datang kemari, hah?" tanya lelaki itu membentak."Turunkan senjatamu sekarang juga!" ucap Kak Dimas dengan suara penuh penekanan."Kamu siapa? Berani-beraninya kamu menyuruhku, justru kalian yang harus meletakkan senjata api itu!" Tiba-tiba ada sebuah belati melayang di sela-sela kami berdiri dan mendarat tepat di dada lelaki itu hingga membuat ia tersungkur ke lantai.Aku menoleh ke belakang ternyata yang melemparkan belati itu adalah Mbak Wati.Di saat yang
Aku dan Kak Dimas sontak menoleh ke arah pintu depan, terdengar suara beberapa langkah kaki mendekat."Kalian berdua ke sana, biar Kakak disini dan jangan lupa siapkan senjatanya!" bisik Kak Dimas.Aku dan Mbak Wati pun segera bersembunyi di balik dinding sebelah kiri, sementara Kak Dimas bersembunyi di balik dinding sebelah kanan. Senjata api pun sudah kusiapkan di depan wajah."Ayo, cepat kalian cari mereka di dalam!" teriak salah satu orang itu.Suara langkah kaki pun terdengar mendekat, lalu beberapa detik kemudian masuklah dua orang penjaga yang membawa senapan panjang.Di saat itu juga aku langsung menembak kepala orang itu, hingga membuat ia terkapar di lantai dengan darah yang mengalir deras. Sementara Kak Dimas menembak orang kedua, ia juga sama menembak lelaki itu di bagian kepalanya. Suara erangan dua orang itu cukup mengalihkan perhatian para penjaga lain yang masih ada di ruangan depan, Kak Dimas menoleh ke arahku memberi kode untuk bersiap.Tak berselang lama terlihat t
Tetapi aku tidak hilang akal, dengan sekuat tenaga aku menggigit bibir lelaki itu dan kali ini ia tidak berhasil melepaskan diri dari gigitanku."Aaarrggghhh!""Aaaargghh!"Ia terus mengerang kesakitan hingga akhirnya ia berusaha bangkit, dan di saat itu pula aku menggulingkan tubuhnya ke samping. Kini air liurku terasa asin, mungkin gigitan itu menyebabkan luka berdarah pada bibir lelaki itu.Aku merangkak menjauh dengan meraba rerumputan, berharap bisa menemukan belati yang di bawa lelaki itu. Aku harus bisa membunuh baj*ngan ini, saat ini juga!Terus meraba ke segala arah, tetapi aku tidak menemukan belati itu. Hingga aku memutuskan untuk bangkit berusaha melarikan diri. Saat melangkahkan kaki, tiba-tiba tanpa sengaja aku menendang sebuah batu yang sudah di tumbuhi lumut. Tidak ada pilihan lain, aku pun mengambil batu itu untuk berjaga-jaga jika lelaki itu berhasil menikamku lagi.Aku melanjutkan langkahku di dalam kegelapan hingga akhirnya tubuhku terjatuh karena menabrak sebuah
(POV BU SULIS)Tiga puluh tahun silam Mas Bayu kepergok berselingkuh di belakangku, yang membuatku sakit suamiku itu kerap menemui wanita itu secara diam-diam. Sedangkan aku di rumah sambil mengasuh anak ke tiga kami.Saat aku bertanya, kenapa ia pulang malam? Ia selalu mengatakan jika ia habis mencari angin dengan bapak-bapak di pos ronda, tetapi aku ragu dengan jawabannya karena setiap ia pulang pasti ada aroma parfum wanita yang menempel di bajunya.Seperti malam ini, Mas Bayu pulang larut malam lagi. Entah apa yang ia lakukan dengan selingkuhannya itu di luar sana. Sedangkan aku, semalaman begadang untuk mengurus bayi kami yang rewel. Tetapi aku hanya bisa diam, berbicara pun rasanya percuma karena pasti ujung-ujungnya kami bertengkar."Aaahh, tuh anak nangis terus susui dulu sana! Berisik tau nggak, ganggu tidurku aja!" ujar Mas Bayu sambil melemparkan bantal ke arahku.Aku langsung menoleh menatap lelaki itu dengan tatapan tajam, aku sudah muak dengan tingkah lakunya yang selalu
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap