(Pov Sarah)"Semoga saja Mbak Wati berhasil mengambil sampel rambut Baby Alice agar aku bisa segera melakukan tes DNA pada bayi itu," gumamku sambil mondar-mandir menunggu kabar dari Mbak Wati.Tiba-tiba ponsel di dalam saku ini bergetar, ternyata Mbak Wati yang melakukan missed call.'Aku harus cepat membakar pagar ini, aku yakin Mbak Wati dalam bahaya saat ini.'Dengan segera aku melemparkan korek api pada pagar yang sudah kusiram dengan bensin. Hingga akhirnya api mulai berkobar melahap pagar rumah Fransisca. Dengan cepat api merambat, sementara para wanita terlihat berteriak sambil berlarian keluar dan ada juga yang diam terbengong menatap api dan kepulan asap. Aku terus mencari-cari keberadaan Mbak Wati, semoga saja perhatian para pengawal Fransisca teralihkan pada api itu, sehingga Mbak Wati bisa melarikan diri dengan mudah.Namun, sudah menunggu beberapa detik tetapi ia tidak juga keluar. Aku berlari kecil ke arah samping lalu mengintip melalui celah pagar yang tidak ikut terb
Tidak menyia-nyiakan kesempatan aku kembali menendang kepala lelaki itu dengan sekuat tenaga hingga kepala anak buah Fransisca kembali membentur tembok dan tidak sadarkan diri karena kehilangan banyak darah.Akhirnya aku bisa bernafas lega melihat lelaki itu terkapar dalam keadaan tak sadarkan diri. Sambil berpegangan pada dinding aku berusaha untuk kuat dan berdiri meski tulang-tulang ini terasa nyeri.Dengan segera aku menggeledah tubuh lelaki itu untuk mencari kunci kamar tempat Mbak Wati di sekap."Nah, ini pasti kuncinya," gumamku saat menemukan sebuah kunci di dalam saku celananya.Namun, saat membuka kunci tiba-tiba lampu rumah ini padam. Sudah pasti ini akibat kebakaran di depan sana sehingga orang-orang mematikan listrik untuk keamanan.Tetapi hal itu justru menguntungkan bagiku dan Mbak Wati, setelah pintu kamar terbuka aku memegang tangan Mbak Wati yang terasa dingin."Ayo kita keluar Mbak," bisikku.Berjalan cepat sambil meraba-raba dinding."Aaaak!" Tiba-tiba Mbak Wati t
Semakin berdebar dada ini saat mendengar suara sepatu anak buah Fransisca yang bersentuhan dengan lantai semen, menyorotkan flash ponsel ke sekeliling untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Namun, aku tidak menemukan apapun selain besi untuk menjemur pakaian."Begini Mbak, kamu pancing lelaki itu di sana nanti aku akan dorong dia supaya jatuh ke bawah. Bagaimana, apa kamu sudah faham?" tanyaku sambil berbisik."Baiklah, aku mengerti."Aku mengangguk lalu bersembunyi di dekat genteng yang lebih tinggi, sementara Mbak Wati berdiri di ujung pembatas tembok.Lampu senter terlihat menyoroti wajah Mbak Wati, sepertinya lelaki itu mulai menapaki tempat jemuran ini. Bisa saja aku menendang tubuh lelaki itu sekarang juga, tapi aku takut hal itu akan menyebabkan anak buah Fransisca yang lain datang. Aku tidak mungkin bisa melawan mereka semua yang berbadan besar.Melawan orang-orang seperti itu harus memerlukan otak yang cerdik, tidak terlalu mengandalkan otot."Bagaimana? Apa perem
"Ayo julurkan tanganmu," ucap Mbak Wati sambil menjulurkan sebelah tangannya dari atas.Menggenggam erat pergelangannya, dengan memijak beberapa genteng akhirnya aku berhasil naik ke atas. Aku menelan ludah saat melihat ke bawah sana, cukup tinggi dan curam. "Ada cahaya senter, cepat sembunyi di balik tangki air."Berlari sekuat tenaga menuju belakang dua tangki air yang berukuran besar, menyandarkan punggung dengan mata terpejam dan nafas terengah-engah."Sarah, kita berhasil," ucap Mbak Wati sambil tersenyum."Berhasil gimana Mbak? Kita masih harus berjuang untuk turun ke bawah sana loh," ucapku sambil melihat ke bawah sana.Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang berteriak memanggil temannya di bawah sana. "Bowo!""Bowo! Dimana kamu?!"Mengintip sedikit ternyata lelaki itu belum menyadari jika temannya sudah jatuh ke bawah. Ia terlihat kembali turun dan keadaan kembali gelap gulita."Kita akan turun lewat mana Rah?" tanya Mbak Wati sambil berbisik.Menyalakan flash ponsel
Bugh!Tubuhku menghantam tubuh Kevin yang kurus dan tinggi. Aku memang mendarat dengan tepat, tetapi ia tidak berhasil menyeimbangkan tubuhnya hingga terjatuh ke paving blok.Bahkan dapat kurasakan dadaku dan dadanya saling bersentuhan, juga terdengar suara erangan kecil darinya. "Apa kamu baik-baik saja, Rah?" tanya Kevin masih dalam posisi yang sama. Aku menindih tubuhnya dari atas, sementara ia telentang sambil memeluk tubuhku dari bawah.Untuk beberapa detik aku tercenung menatap matanya dengan dada berdebar-debar, tidak sanggup mengatakan kalimat apapun."Sarah!" sentak Kevin membuatku terperanjat."Ah iya maaf-maaf, aku baik-baik saja. Kamu pasti sakit ya?"Dengan tertatih aku mencoba untuk bangkit, bahkan ia membantuku berdiri sambil memegang pergelangan tanganku."Apa kamu baik-baik saja Vin? Maksudku, apa ada yang terluka?" tanyaku sedikit khawatir."Aku tidak apa-apa Rah, lalu bagaimana denganmu? Apa ada yang sakit?" Ia malah balik bertanya."Aku tidak apa-apa. Lihat di ata
Klek!Aku langsung berbalik badan saat pintu kamar ini di buka, dengan tatapan melongo karena terkejut."Fokus lihatin apa sih kamu Rah, kok Kakak masuk saja kamu sampai kaget begitu?" tanya Kak Dimas sambil melangkah masuk ke dalam kamarku."Gak lihat apa-apa kok, lagian Kakak juga sih masuk ke kamarku nggak ketuk pintu dulu kan aku jadi kaget," ucapku cemberut lalu berbalik badan untuk menutup tirai jendela.Jangan sampai Kak Dimas melihat Nadia di ujung jalan sana, aku tidak ingin ia khawatir berlebihan ke padaku."Hehe, iya-iya maaf. Ya sudah kamu mandi dulu sana! Masa iya adik Kakak yang paling cantik ini kucel begini," ucap Kak Dimas menggodaku sambil mengacak-acak rambutku yang lumayan kusut."Yee, kucel-kucel begini masih banyak yang suka kalii." ucapku terkekeh."Ihh.. ke PDan, udah sana mandi dulu habis itu Kakak mau bicara," titah Kak Dimas."Iya iya Kakakku yang paling bawel," ujarku mencubit pipinya lalu masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar ini untuk members
Saat sudah di depan pintu kamarnya aku pun kembali membalikkan badan, rupanya aku sudah berhasil membuat hatinya terbuka. Mbak Linda terlihat meletakkan pisaunya di atas meja sampingnya lalu terduduk di lantai sambil memegang lututnya.Aku pun kembali menghampirinya."Yang kuat, yang sabar ya Mbak." Aku memeluk tubuhnya dengan erat."Sarah, bantu Mbak untuk mencari Sulis ya. Jika dia sudah mati Mbak ingin tahu dimana kuburannya dan jika ia masih hidup maka tanganku sendiri yang akan membunuh perempuan itu," ucap Mbak Wati sambil mengepalkan tangan.Oh Tuhan, ternyata Mbak Linda menyimpan rasa dendam yang begitu besar pada Sulis.Aku melepaskan pelukan lalu menganggukkan kepala, meskipun aku tidak tahu entah bisa atau tidak menuruti keinginannya.Karena setelah putriku di temukan aku ingin bahagia bersamanya dan aku tidak ingin membalaskan dendam ke pada siapapun. Meskipun aku tahu jika Mamaku meninggal karena Sulis tetapi aku ikhlas, mungkin ini sudah menjadi garis takdirnya dan biarl
Bibir wanita yang dihias lipstik merah menyala itu tersenyum tipis sambil mengibaskan rambutnya yang tergerai, ternyata dalang dari penculikan ini adalah Nadia.Aku menatap matanya dengan tatapan tajam dan rahang mengeras, perempuan ini benar-benar membuatku muak. Ia berani menyerangku tanpa sebab, padahal aku sama sekali tidak pernah mengusiknya. Lagi pula suaminya yang nekat terus-menerus menolongku.Lihat saja Nadia, jika kesabaranku telah habis maka aku bisa menghabisimu dengan tanganku sendiri."Lepaskan kain yang menyumpal mulut perempuan itu!" titah Nadia pada salah satu anak buahnya itu.Lelaki itu mendekat dan membuka ikatan kain yang digunakan mereka untuk menutup mulutku. Rahang ini terasa nyeri setelah lelaki itu melepaskan ikatannya."Ambil ini! Sekarang kalian boleh pergi, tapi ingat kalian jangan pernah buka mulut soal perempuan ini!" Nadia menyerahkan amplop coklat pada salah satu lelaki itu. Ternyata tiga orang lelaki itu bukanlah anak buah Nadia melainkan preman bay
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap