PENASARAN YAAAA, NANGGUNG YAAAAA 🤣 mari berjumpa besok lagi. terima kasih sudah membaca bai-baiii 🤣🤣
Bukankah sebenarnya ini sedikit licik? William membuat Lilia tak bisa melakukan perlawanan bahkan jika itu hanya sekadar meloloskan desahan dari bibirnya. Ia hanya bisa menggigit blouse itu lebih kuat saat gerakan William membuat bagian-bagian sensitifnya memberi reaksi dengan menginginkan yang lebih. Wajahnya memanas. Lilia bisa merasakan pipinya seperti sedang mendidih. Jemarinya bergerak menyelusup di antara rambut hitam William. Bukan sepuluh menit yang sebentar, baginya itu adalah waktu yang mendebarkan yang tak kunjung usai. Saat William berhenti, Lilia membuka matanya. Senyum pria itu terlihat merekah saat ia mengambil bagian baju yang digigit oleh Lilia. Menariknya dan membuat ia kehilangan blouse lengan panjang miliknya itu. "Kamu mau, 'kan?" tanya William saat membuat Lilia berbaring dengan nyaman di bawahnya. "Apa itu tadi?" tanya Lilia balik, memukul dadanya dengan tangan yang tak bertenaga karena masih terlalu terkejut. "Apa? Bukannya kamu suka?" "Kamu harusnya me
*** Beberapa saat sebelum penangkapan Henry Barra. *** Gretha duduk di ruang tamu yang ada di dalam rumah Henry. Seperti yang pernah ia katakan sebelumnya bahwa ia tak ingin tinggal bersama dengan sang Ibu yang pergi menemui ayah kandungnya, ia kembali ke rumah ini dengan menelan rasa malu. Henry tinggal sendirian, pria itu juga duduk di sana setelah beberapa saat yang lalu pulang bekerja. Ia mendapatkan pekerjaan barunya di tak jauh dari sini, sebagai seorang staf pendukung di sebuah perusahaan kargo. "Kapan lagi jadwal USG-nya?" tanya Henry saat memandang Gretha yang hanya duduk terdiam dan termangu menatap malam melalui jendela. "Tidak perlu periksa lagi," jawab Gretha kemudian menoleh ke arahnya. "Kelahirannya sudah cukup dekat, tinggal menunggu besok atau lusa, atau Minggu depan." "Periksalah ... aku bisa mengantarmu." Gretha menghela dalam napasnya, "Apa setelah ini kamu juga akan menendangku pergi dari sini?" "Kenapa kamu tanya begitu?" tanya Henry balik. "Aku tidak memi
Alasan William mengambil cuti yang sedikit panjang itu bukan tanpa alasan. Itu karena ia ingin membawa Lilia, Keano dan Alya ke kota, sekali lagi. Sebab pada hari pesta ulang tahun Velox Corp kapan hari waktunya terlalu singkat, dan kala itu masih banyak hal yang harus dipersiapkan oleh Tuan Alaric dalam rangka 'kepindahan', maka mereka belum bisa datang ke rumah barunya. Sehingga, saat beliau mengatakan kapan-kapan agar mereka berkumpul, William memiliki ide untuk mengunjunginya. Lilia baru tahu hal itu semalam, mereka membicarakannya dalam deep talk sebelum tidur dan Lilia setuju untuk datang ke sini. Mobil yang dikemudikan oleh Giff memasuki sebuah kawasan perumahan elit dan berhenti di depan sebuah gerbang berwarna putih. Begitu Giff menurunkan kaca mobilnya dan menunjukkan wajahnya pada dua security yang ada di depan seolah-olah itu adalah tanda pengenal, mereka diizinkan masuk. Sedan hadiah dari Nicholas itu berhenti di halaman. Keano yang selalu melompat turun pertama dan
"Kamu tidak pernah mengatakan itu sebelumnya," ucap Lilia seraya meletakkan tangannya di paha William, yang secara otomatis membuat pria itu menggenggamnya dengan seulas senyum. "Memang," akunya. "Aku memang tidak pernah mengatakan itu sebelumnya karena untuk kejutan. Bagaimana menurutmu, Lilia?" Lilia memandang Tuan Alaric yang seperti mengisyaratkan bahwa beliau turut senang dengan apa yang mereka lakukan. "A-aku suka," jawabnya. "Apakah itu dalam waktu dekat?" "Giff sedang mengaturnya biar perjalanan kita nyaman, mungkin ... paling lambat Minggu depan." Lilia mengangguk saat Alya yang duduk di samping Giff mengatakan, "Hati-hatilah selama perjalanan. Ibu doakan kalian dari sini." "Terima kasih, Bu," jawab Lilia dan William hampir bersamaan. "Papa juga senang mendengarnya, memang sudah waktunya bersenang-senang dan mengabulkan permintaan Keano agar dia cepat memiliki adik." "Hah! Nasib menjadi obat nyamuk," celetuk Giff yang membuat mereka terhibur. Mereka mendengar suara ge
Bertha tak bisa menjawab. Rasanya semua kata yang pernah ia ucapkan di sepanjang ia hidup seketika sirna. Baginya, takdir sangat kejam dengan mempertemukan dirinya dengan Alya dalam keadaan yang berkebalikan. Wanita yang dulu ia hina sebagai pembantu rendahan kini hidupnya tampak berkecukupan. Ia mundur beberapa langkah saat Niel melepaskan tangannya. Tapi sepasang matanya yang berair masih menatap Alya tanpa henti. Wanita yang mendorong troli yang sejak tadi ia awasi dari kejauhan itu lalu mendekat. Menyentuh sekilas lengan Niel yang berbalut dalam jas hitam sehingga pemuda itu menyisih sedikit ke kanan. "Sudah tidak apa-apa," ucap Alya pada Niel yang mendenguskan napasnya dengan keberatan. "Saya bertanggung jawab untuk menjaga Anda, Bu Alya," balas pemuda itu. "Saya tidak akan membiarkan ada yang menghina atau melukai Anda." Alya mengangguk samar, mengusap sekali lagi lengan Niel seolah mengisyaratkan agar pemuda itu tenang dan tak terpancing emosi karena Bertha. "Alaric 'ka
Luzern, Swiss, sekitar pukul delapan malam. Sebuah mobil SUV yang dikemudikan oleh Giff tiba di depan sebuah rumah yang nantinya akan ditinggali oleh Lilia, William dan Keano selama mereka berada di sini—untuk kurang lebih sepuluh hari. Tiga hari sebelumnya, Giff lebih dulu terbang menuju ke tempat ini dan mempersiapkan semuanya. Sebuah rumah yang disewa olehnya untuk bisa ditinggali keluarga kecil William sebelum mereka tiba selagi Giff sendiri tinggal di penginapan. Giff banyak menyarankan pilihan tempat tinggal, William memilih sebuah rumah karena ia pikir itu akan menyenangkan menghabiskan waktu seolah mereka adalah 'warga Swiss'. Tadi, ia menjemput tiga orang itu di bandara dan sampai di sini dengan keadaan Keano yang digendong keluar oleh William karena ia terlelap selama perjalanan. Giff membuka pintu rumah, memimpin William masuk ke dalam dan menunjukkan di mana kamar Keano. Sementara Lilia yang ada di luar menurunkan barang-barang yang tak terlalu berat, tas miliknya ata
"William," sebut Lilia kemudian menyelusupkan jari-jari tangannya di antara rambut hitam pria itu, menahan gejolak dalam dadanya yang tengah berdegup sebab bibir William terasa sangat sensual. Bukan hanya gigitan di bahu, tapi tangan besarnya menarik turun tali kecil gaun tidur yang ia kenakan, membuat Lilia tak bisa menolak kenikmatan yang ia berikan kala bagian depan tubuhnya mendapat sentuhan. Bibirnya hampir saja meloloskan desahan yang penuh erotika sebelum William mengangkatnya pergi dari meja makan, meninggalkan dua cangkir teh mereka yang isinya telah kosong. Langkah kaki William menuju ke dalam kamar, membuat Lilia berbaring di atas ranjang sementara dirinya kembali ke pintu, menutup dan memastikannya terkunci dan mematikan lampu. Saat ia kembali mendekat pada Lilia, sepasang matanya yang sayu menerpa di bawah remang lampu tidur. Ia menunduk di atas Lilia, dan sebelum kecupan mendarat di bibirnya, Lilia lebih dulu mencegahnya. Ia menahan wajah William sembari bertanya, "
Saat Lilia membuka matanya, ia selalu tak menjumpai William. Tapi ia mendengar suara gelak tawa Keano di luar sehingga ia mengintip melalui jendela dan melihat anak lelakinya itu sedang bermain bola dengan ayahnya di halaman samping. Ia beranjak pergi dari kamar, mempersiapkan makanan yang semalam disimpannya di dalam lemari pendingin, menghangatkannya dan meletakkannya di atas meja makan. Menyiapkan juga untuk Keano, sandwich dan tamago, lengkap dengan buah potong dan susu untuknya. Saat ia keluar dan menunjukkan diri, Keano seketika melupakan bola yang tadi ditendangnya bergantian dengan William. "Mama," panggilnya seraya berlari pada Lilia. Memeluknya saat Lilia merendahkan tinggi tubuhnya. "Mama sudah bangun?" sapanya yang dibalas anggukan oleh Lilia. "Sudah, Sayang, sudah dari tadi," jawabnya. "Mama sudah siapkan makanan juga untuk sarapan. Kamu masuk dan cuci tangan dulu lalu kita makan, selagi masih hangat." "Siap, Mama." Keano berlari lebih dulu memasuki rumah, di bela
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan