Nafasku tercekat. Mataku masih terpejam rapat, tak bisa mengenali situasi kini. Yang pasti sekarang adalah seseorang tengah mencoba untuk menculikku. Hanya itu yang bisa terpikirkan olehku. Aku bahkan tak tahu posisi kami sekarang. Semuanya gelap. Aku menggelengkan kepala, membuat perlawanan. Berusaha melepaskan tangan seseorang yang masih mendekap mulutku dengan erat. Sial, tangannya tak melonggar sedikit pun. Justru dia ikut menahan lenganku kemudian berbisik di telingaku. “Diamlah!” bisiknya pelan. Sontak aku membuka mata. Aku mengenali suaranya. Tepat saat itu beberapa langkah kaki terdengar menuruni anak tangga dengan cepat. Salah satu dari mereka berkata tidak menemukan sesuatu di sini. Kembali ke markas. Disusul sahutan nyaring dari beberapa orang pria lainnya. Setelahnya aku mendengar suara desing mobil menjauh menyisakan keheningan di antara kami.Tanpa pikir panjang, aku menyikut perut orang di belakangku hingga tangannya terlepas dari mulutku. Aku te
Aku tersedak hingga terbatuk-batuk. Hei! Baru saja Kakek tua yang tengah tersenyum itu mengatakan kalau dia akan menikahkanku dengan Hwan. Begitu mudahnya? Seperti barang bawaan yang bisa dipindah kemana saja. Aku sungguh tak habis pikir. Sekilas aku mengingat balik tujuan awal kedatanganku ke rumah ini. Semata-mata sebagai ucapan terima kasih. Aku juga tak pernah lupa dengan mengabulkan satu keinginan terakhir Kakek Chu tentang menikahi salah satu cucunya nanti. Tapi semuanya berubah setelah aku menatap di rumah itu. Pernikahan yang aku iyakan dulu juga tak semudah itu rupanya. Terlebih lagi, aku tak habis pikir kenapa Kakek Chu memilih Hwan. Walau sejujurnya aku pernah berpikiran bahwa Sam lah orangnya. Tapi kenapa? Semua dugaanku salah. Tapi siapa yang berani menentangnya? Seluruh ruangan terasa lengang. Waktu terasa seolah berhenti berputar. Hingga Jay bertepuk tangan canggung, memecah sunyi. “Bukankah ini kabar bahagia?” katanya dengan wajah po
Sontak Hwan langsung berdiri. Sekilas aku melihatnya mengusap pipi dengan punggung tangan. Tunggu, apa dia sedang menangis? Pikirku sejenak. Kemudian aku beralih menatap Kakek Chu yang duduk di balik meja kerja dan Em yang berdiri tepat di sampingnya. Situasi apa ini? Hwan mengalihkan pandangan, menghindari berkontak mata denganku. Perlahan aku berjalan mendekat. “Apa yang membawamu ke sini sayang?” tanya Kakek Chu sambil tersenyum manis. Aku menarik nafas dalam, masih terasa agak sesak setelah berlari menaiki anak tangga. “Aku…ingin..bertanya.. sesuatu padamu,” kataku sambil melirik Hwan di samping. Kini kami berdiri sejajar tepat di hadapan Kakek Chu. Hanya dipisahkan sebuah meja kerja yang lebarnya mungkin satu meter. Kakek Chu mengangguk pelan, mempersilakan. “Tapi sebelum itu aku ingin bicara berdua dengan Hwan lebih dahulu,” lanjutku lagi sambil meraih lengan Hwan. Dia tak melawan. “Maafkan aku kek, aku akan kembali lai
Terkadang kehidupan nyata memang tak seindah drama korea yang lagi heboh di luar sana. Aku tak bisa berlarut-larut dalam peran sebagai perempuan baik hati dengan niat hati menghibur. Aku tak mau. Karena ada hati yang kujaga dan kuperjuangkan. Aku mendorong badannya menjauh. “Apa yang kau lakukan?” kataku tersulut emosi. Bisa-bisanya dia memeluk tanpa seizin dariku. Sungguh tidak sopan. Sam sedikit terhuyung ke belakang, dia tertunduk, tak menatap mataku. “Hei!” kataku lagi. “Apa yang kau lakukan?” “Aku hanya ingin bersandar padamu,” jawabnya. Aku mendengus, tak mengerti dengan sikap Sam. Apa dia sedang mencoba untuk merayuku sekarang? Setelah pengumuman pernikahanku dengan Hwan. Kenapa baru sekarang? “Apa katamu? Bersandar?” Aku balik tertawa kecil, mencemooh. “Bukankah sudah pernah kubilang kalau kita tak sedekat itu untuk saling bertanya kabar, berbagi rahasia apalagi bersandar meminjamkan bahu masing-masing, kau lupa akan hal itu?” Sam mengangkat kepala dengan seulas se
“Ini tidak seperti yang kau lihat,” jelasku mengikuti Hwan hingga ke dalam kamar. Sementara kami mengabaikan Sam yang sudah lebih dulu berjalan acuh tak acuh menuju kamarnya sendiri. “Aku tahu,” balas Hwan santai sambil berjalan mendekati tempat tidur lantas melemparkan ponsel sembarangan di atasnya. “Lalu?” “Apanya yang lalu?” Hwan beranjak duduk dan mulai melonggarkan kancing lengan bajunya. “Tidak, aku hanya takut kau berpikiran yang tidak-tidak,” kataku salah tingkah dengan sebelah tangan terangkat memegang belakang kepala. Hwan menyeringai. “Kau khawatir aku salah paham?” “Aku? Padamu? Oh, tentu tidak.. jangan kepedean dulu,” sahutku lagi sambil melambaikan kedua tangan. Berusaha membantah. Untunglah Hwan terus sibuk dengan lengan bajunya sehingga tak melihat ke arahku. Karena kini aku bisa merasakan getaran panas yang menjalar di kedua pipi dan telinga. Astaga, apa ini yang di namakan salah tingkah?
Pagi itu Sam berlari menuruni anak tangga. Melewati dapur dan menyempatkan diri menyapa Madam Bong yang sudah sibuk di dapur. Ya. Pagi itu Madam Bong juga seorang diri. Tak seperti biasanya yang selalu bersamaku saat menyiapkan sarapan. Madam Bong hanya bisa berteriak mengatakan hati-hati pada Sam yang sudah tiba di ujung pintu. Entah apa yang membuatnya sangat terburu-buru pagi itu. Begitu pula dengan mobil Sam yang melaju kencang meninggalkan kepul asap di belakang. Tangannya lincah memutar stir mobil, berbelok menuju sebuah rumah yang sudah menjadi tujuannya setelah terbangun dari kamarku. “Aku mau bertemu dengan Kakek,” kata Sam pada Em dengan memasang wajah sangar. Merah padam. Saking tidak sabarnya, Sam langsung mendorong pintu kamar Kakek Chu hingga pintu terhempas keras. Kakek Chu yang tengah menyesap kopinya tampak agak terkejut karena cangkir di tangannya agak bergetar. Bahkan kini Sam sudah berdiri tepat di hadapannya. Em hany
Hwan berjalan mantap mendekati meja makan. “Sekali lagi kau bicara kasar padanya, aku tidak akan tinggal diam.” “Ho..hoo.hoo,” balas Sam menyeringai sambil mengangkat kedua tangan. “Aku lupa. Sekarang kau sudah berlagak menjadi pahlawan untuknya karena sudah berstatus tunangan? Sorry aku lupa padahal baru kemarin.” Sam menurunkan kedua tangan. Dia melanjutkan menyusun sendok di atas meja. “Mari kita lihat berapa lama sandiwaramu itu akan bertahan,” gumam Sam pelan. “Kau tidak bisa menutup mulutmu itu, huh?” Hwan semakin naik pitam. Sam mengedikkan bahunya tak peduli. Dia terus sibuk menyusun sendok di atas meja. “Awas, awas, panas.” Madam Bong bergerak cepat membawa satu mangkuk besar sup panas ke atas meja makan. Memecah suasana tegang di langit-langit meja makan. “Ayo semuanya duduk. Kita makan bersama.” “Selera makanku sudah hilang. Kalian makan saja tanpaku.” Sam meninggalkan meja makan dengan wajah sombongnya itu. Dia ma
Kami mampir di salah satu kedai tepi pantai terdekat. Kerang bakar sudah tercium dimana-mana. Katanya itu menu andalan mereka. Bahkan suasana kedai masih sangat ramai meski hari sudah mendekati tengah malam. Aku menatap jauh ke arah pantai yang gelap. Hanya menyisakan desiran ombak yang menggulung dalam malam pekat. “Ayahku..” kataku pelan dengan suara yang agak bergetar. Ini pertama kalinya aku membahas tentang keluargaku dalam tiga tahun terakhir. Hwan melipat tangan di meja. Dia menatapku dengan saksama. Mendengarkan dengan setia. “Aku punya banyak penyesalan terhadapnya. Mengapa begitu tega meninggalkanku seorang diri di sini. Jahat sekali,” desisku lagi. Kali ini mengambil seteguk soju yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kedai. Aku sempat memberikan seulas senyum sebagai ucapan terima kasih tepat sebelum dia meninggalkan meja kami. “Apa sekarang kita bukan lagi orang asing? Karena kau mulai menceritakan tentan
Sesuai intruksi dari Eliyah, aku tiba di stasiun kereta bawah tanah tepat pukul sebelas siang. Suasana stasiun ramai namun masih terkendali. Kakiku lincah bergerak memotong beberapa orang yang berjalan cepat di depan. Aku merapatkan topi kemudian berjalan ke arah pintu keluar sebelas. Tempat dimana loker yang harus kubuka. Sebuah mesin penjual minum otomatis di sebelah loker menarik perhatianku. Sebelah tanganku mengeluarkan dua buah koin lalu memasukkannya ke dalam mesin. Tidak lama keluar sebuah minuman kaleng rasa jeruk dari kotak hitam di bagian bawah mesin. Tapi bukan minuman itu yang kucari melainkan sebuah kunci yang terletak pada lantai tempat minuman itu keluar. Ah, dapat! Eliyah memang jenius. Bisa-bisanya dia kepikiran untuk meletakkan kunci di sana. Tidak akan ada yang tau. Angka sebelas tertulis pada mainan kunci. Aku berjalan mendekati loker nomor sebelas. Memutar kunci dan kenop pintu kecil itu terbuka. Ada sebuah map dan
“Hm? Hanya kita berdua?” Jay bertanya santai saat Madam Bong ikut bergabung di meja makan pagi itu. Dia melihat seluruh kursi dibalik meja kosong lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hingga mendongak ke arah lantai dua. “Yang lain pada kemana?” “Aku juga tidak tau, mereka semua tidak ada di rumah saat aku ke kamar mereka pagi tadi?” “Benarkah?” Raut wajah Jay berubah kecewa. “Padahal aku bela belain untuk pulang, tapi ternyata mereka tidak ada di rumah. Keterlaluan sekali. Jinnie juga nginap di luar?” Madam Bong mengangguk. “Sepertinya dia pergi dengan Hwan ke suatu tempat. Aku melihat mereka keluar bersama kemarin siang,” tambah Madam Bong. Jay mengangguk pelan. Dia tidak heran karena semua orang di rumah juga tahu jika aku lebih sering pergi keluar dengan Hwan ketimbang Sam. Jadi tidak ada yang perlu di pertanyakan. “Bagaimana dengan Sam?” Madam Bong mengangkat bahu bersamaan dengan helaan nafas panjang. “Rum
Kami mampir di salah satu kedai tepi pantai terdekat. Kerang bakar sudah tercium dimana-mana. Katanya itu menu andalan mereka. Bahkan suasana kedai masih sangat ramai meski hari sudah mendekati tengah malam. Aku menatap jauh ke arah pantai yang gelap. Hanya menyisakan desiran ombak yang menggulung dalam malam pekat. “Ayahku..” kataku pelan dengan suara yang agak bergetar. Ini pertama kalinya aku membahas tentang keluargaku dalam tiga tahun terakhir. Hwan melipat tangan di meja. Dia menatapku dengan saksama. Mendengarkan dengan setia. “Aku punya banyak penyesalan terhadapnya. Mengapa begitu tega meninggalkanku seorang diri di sini. Jahat sekali,” desisku lagi. Kali ini mengambil seteguk soju yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kedai. Aku sempat memberikan seulas senyum sebagai ucapan terima kasih tepat sebelum dia meninggalkan meja kami. “Apa sekarang kita bukan lagi orang asing? Karena kau mulai menceritakan tentan
Hwan berjalan mantap mendekati meja makan. “Sekali lagi kau bicara kasar padanya, aku tidak akan tinggal diam.” “Ho..hoo.hoo,” balas Sam menyeringai sambil mengangkat kedua tangan. “Aku lupa. Sekarang kau sudah berlagak menjadi pahlawan untuknya karena sudah berstatus tunangan? Sorry aku lupa padahal baru kemarin.” Sam menurunkan kedua tangan. Dia melanjutkan menyusun sendok di atas meja. “Mari kita lihat berapa lama sandiwaramu itu akan bertahan,” gumam Sam pelan. “Kau tidak bisa menutup mulutmu itu, huh?” Hwan semakin naik pitam. Sam mengedikkan bahunya tak peduli. Dia terus sibuk menyusun sendok di atas meja. “Awas, awas, panas.” Madam Bong bergerak cepat membawa satu mangkuk besar sup panas ke atas meja makan. Memecah suasana tegang di langit-langit meja makan. “Ayo semuanya duduk. Kita makan bersama.” “Selera makanku sudah hilang. Kalian makan saja tanpaku.” Sam meninggalkan meja makan dengan wajah sombongnya itu. Dia ma
Pagi itu Sam berlari menuruni anak tangga. Melewati dapur dan menyempatkan diri menyapa Madam Bong yang sudah sibuk di dapur. Ya. Pagi itu Madam Bong juga seorang diri. Tak seperti biasanya yang selalu bersamaku saat menyiapkan sarapan. Madam Bong hanya bisa berteriak mengatakan hati-hati pada Sam yang sudah tiba di ujung pintu. Entah apa yang membuatnya sangat terburu-buru pagi itu. Begitu pula dengan mobil Sam yang melaju kencang meninggalkan kepul asap di belakang. Tangannya lincah memutar stir mobil, berbelok menuju sebuah rumah yang sudah menjadi tujuannya setelah terbangun dari kamarku. “Aku mau bertemu dengan Kakek,” kata Sam pada Em dengan memasang wajah sangar. Merah padam. Saking tidak sabarnya, Sam langsung mendorong pintu kamar Kakek Chu hingga pintu terhempas keras. Kakek Chu yang tengah menyesap kopinya tampak agak terkejut karena cangkir di tangannya agak bergetar. Bahkan kini Sam sudah berdiri tepat di hadapannya. Em hany
“Ini tidak seperti yang kau lihat,” jelasku mengikuti Hwan hingga ke dalam kamar. Sementara kami mengabaikan Sam yang sudah lebih dulu berjalan acuh tak acuh menuju kamarnya sendiri. “Aku tahu,” balas Hwan santai sambil berjalan mendekati tempat tidur lantas melemparkan ponsel sembarangan di atasnya. “Lalu?” “Apanya yang lalu?” Hwan beranjak duduk dan mulai melonggarkan kancing lengan bajunya. “Tidak, aku hanya takut kau berpikiran yang tidak-tidak,” kataku salah tingkah dengan sebelah tangan terangkat memegang belakang kepala. Hwan menyeringai. “Kau khawatir aku salah paham?” “Aku? Padamu? Oh, tentu tidak.. jangan kepedean dulu,” sahutku lagi sambil melambaikan kedua tangan. Berusaha membantah. Untunglah Hwan terus sibuk dengan lengan bajunya sehingga tak melihat ke arahku. Karena kini aku bisa merasakan getaran panas yang menjalar di kedua pipi dan telinga. Astaga, apa ini yang di namakan salah tingkah?
Terkadang kehidupan nyata memang tak seindah drama korea yang lagi heboh di luar sana. Aku tak bisa berlarut-larut dalam peran sebagai perempuan baik hati dengan niat hati menghibur. Aku tak mau. Karena ada hati yang kujaga dan kuperjuangkan. Aku mendorong badannya menjauh. “Apa yang kau lakukan?” kataku tersulut emosi. Bisa-bisanya dia memeluk tanpa seizin dariku. Sungguh tidak sopan. Sam sedikit terhuyung ke belakang, dia tertunduk, tak menatap mataku. “Hei!” kataku lagi. “Apa yang kau lakukan?” “Aku hanya ingin bersandar padamu,” jawabnya. Aku mendengus, tak mengerti dengan sikap Sam. Apa dia sedang mencoba untuk merayuku sekarang? Setelah pengumuman pernikahanku dengan Hwan. Kenapa baru sekarang? “Apa katamu? Bersandar?” Aku balik tertawa kecil, mencemooh. “Bukankah sudah pernah kubilang kalau kita tak sedekat itu untuk saling bertanya kabar, berbagi rahasia apalagi bersandar meminjamkan bahu masing-masing, kau lupa akan hal itu?” Sam mengangkat kepala dengan seulas se
Sontak Hwan langsung berdiri. Sekilas aku melihatnya mengusap pipi dengan punggung tangan. Tunggu, apa dia sedang menangis? Pikirku sejenak. Kemudian aku beralih menatap Kakek Chu yang duduk di balik meja kerja dan Em yang berdiri tepat di sampingnya. Situasi apa ini? Hwan mengalihkan pandangan, menghindari berkontak mata denganku. Perlahan aku berjalan mendekat. “Apa yang membawamu ke sini sayang?” tanya Kakek Chu sambil tersenyum manis. Aku menarik nafas dalam, masih terasa agak sesak setelah berlari menaiki anak tangga. “Aku…ingin..bertanya.. sesuatu padamu,” kataku sambil melirik Hwan di samping. Kini kami berdiri sejajar tepat di hadapan Kakek Chu. Hanya dipisahkan sebuah meja kerja yang lebarnya mungkin satu meter. Kakek Chu mengangguk pelan, mempersilakan. “Tapi sebelum itu aku ingin bicara berdua dengan Hwan lebih dahulu,” lanjutku lagi sambil meraih lengan Hwan. Dia tak melawan. “Maafkan aku kek, aku akan kembali lai
Aku tersedak hingga terbatuk-batuk. Hei! Baru saja Kakek tua yang tengah tersenyum itu mengatakan kalau dia akan menikahkanku dengan Hwan. Begitu mudahnya? Seperti barang bawaan yang bisa dipindah kemana saja. Aku sungguh tak habis pikir. Sekilas aku mengingat balik tujuan awal kedatanganku ke rumah ini. Semata-mata sebagai ucapan terima kasih. Aku juga tak pernah lupa dengan mengabulkan satu keinginan terakhir Kakek Chu tentang menikahi salah satu cucunya nanti. Tapi semuanya berubah setelah aku menatap di rumah itu. Pernikahan yang aku iyakan dulu juga tak semudah itu rupanya. Terlebih lagi, aku tak habis pikir kenapa Kakek Chu memilih Hwan. Walau sejujurnya aku pernah berpikiran bahwa Sam lah orangnya. Tapi kenapa? Semua dugaanku salah. Tapi siapa yang berani menentangnya? Seluruh ruangan terasa lengang. Waktu terasa seolah berhenti berputar. Hingga Jay bertepuk tangan canggung, memecah sunyi. “Bukankah ini kabar bahagia?” katanya dengan wajah po