Nungki hanya tertawa mereka pikir aku hanyalah orang bodoh yang tak mempersiapkan apa-apa. Ada rekaman full dari pena perekam yang aku sembunyikan."Ya silahkan saja kaliam drama di depan para wartawan biar di undang ke stasiun tv kan lumayan tuh dapat uang daripada jadi benalu," jawab Nungki."Kamu tidak takut usahamu gulung tikar?" tanya nyonya Lala.Nungki mengatakan kalau usahanya gulung tikar berarti nyonya Lala dan antek-anteknya tak dapat lagi merong-rong dan berusaha mendapatkan uang dengan segala cara dari keluarga Hendarso. Karena itu adalah ulahnya sendiri membuat bangkrut keluarga Hendarso."Aku justru senang karena pasti kalian tidak akan datang menemui nenek ataupun keluargaku yang lain untuk menumpang hidup 'kan," jawab Nungki."Kalian berada di atas tapi selalu menyepelekan kami. Ketika nanti anak-anakku bekerja dan mampu menghasilkan uang sendiri juga tidak akan meminta bantuan kalian," balas nyonya Lala.Benar-benar orang toxic itu ada sudah
Pak Roni tampak ragu dengan permintaan sang ibunda. Bagaimana tidak ia telah jatuh hati dengan Irma selama ini. Baginya Irma sudah menjadi baguan hidupnya."Mami, aku sudah cinta mati padanya kalau aku meninggalkannya aku nanti hidup sama siapa di rumah!" jawab pak Roni tegas."Kalau begitu mulai hari ini kamu bukan anakku lagi," balas nyonya Leni.Mendengar pernyataan dari nyonya Leni. irma meminta maaf dan memohon agar tidak dibuang dari keluarga Hendarso seperti apa yang dikatakan pak Roni sebelumnya. Irma juga sangat mencintai Roni sebagai pasangan hidupnya."Nyonya aku tak ada hubungannya dengan nyonya Lala. Jangan pisahkan kami karena kami saling menyayangi," pinta Irma."Bohong kamu kalau tak ada sangkut pautnya dengan Lala. Kamu di kirim lala untuk menggoda Maulana tapi tidak mempan dan berakhir menghancurkan rumah tangga anak keduaku," ucap nyonya Leni.Irma memohon ampun mereka memang ada sangkut pautnya karena nyonya Lala iri dengan apa yang didapatkan oleh adiknya. Anak-an
Aku menoleh pada Nungki karena bingung menjawabnya. Nungki mengangguk seakan mengerti apa yang aku pikirkan."Nenek sudah melakukan yang terbaik. Saya tahu pasti di dalam hati nenek penuh gejolak. Tapi semua perbuatan akan mendapatkan balasan," jawabku."Kamu benar aku tak tahu apa salahku sehingga Lala terus saja mencoba menyakitiku," balas Nenek Leni.Aku juga tak tahu kenapa ada saudara macam itu. Lebih baik mengajak nenek jalan-jalan biar fresh pikirannya daripada di rumah terus memikirkan masalah yang terjadi."Bagaimana kalau kita jalan ke mall atau makan di restoran sambil mengobrol. Nenek baru saja sembuh aku takut akan banyak pikiran san drop lagi," ajakku."Ide yang bagus ayo temani nenek berbelanja di swalayan," pinta nyonya Leni sambil tersenyum.Pak Maulana juga sang istri menyetujuinya tapi mereka tak ikut karena ada hal yang harus di urus jadinya kami hanya ke swalayan bertiga saja."Kalian mau belanja apa biar nenek yang bayar?" tanya nyonya Leni saat kami baru saja ma
Aku bingung menjabarkan seperti apa bu Endang ini. Lebih baik nenek biar tahu sendiri bu Endang ini orang yang seperti apa daripada aku yang berbicara nanti dianggap menjelekkan tetangga."Kapan-kapan nenek aku ajak berkunjung ke rumah ya. Kalau ketemu bu Endang biar tahu sendiri seperti apa dia," jawabku."Baiklah kalau begitu memang benar katamu lebih baik kita melihat sendiri daripada dengar kata orang," ucap nyonya Leni.Nenek mengajak melanjutkan belanja sambil mengobrol masa mudanya dan kami mendengarkannya. Nenek hanya butuh didengarkan keluh kesahnya sepertinya. Jadi mungkin aku akan sering mengunjunginya karena diusia seperti ini hanya butuh kasih sayang dari anak dan cucunya.Brugh! Nenek tak sengaja menabrak seseorang dan dia mengamuk."Jalan pakai mata nek. Lagian udah tua renta kenapa ke swalayan sendirian apa tak punya anak cucu atau pembantu. Barangku ini mahal!" seru Ratna sampai beberapa orang menoleh padanya."Ratna maafkan nenekku, mungkin nenek tak sengaja melakuka
Aku mengangguk pelan, jauh dari Nungki memang membuatku tidak nyaman selama berada di swalayan saat bertemu dengan Ratna dan bu Endang. Kami bertiga melanjutkan perjalanan lagi membeli belanjaan nenek dan mengantre di kasir. Lagi-lagi ketemu dengan bu Endang dan Ratna di kasir membuatku kesal saja. Tapi aku tak tahu kalau sekarang ada Nungki apa mereka berani mengataiku."Duh amis banget sih di sini. Ada apa ya bu?" tanya Ratna sambil mengipas-ngipas wajahnya serta sesekali menutup hidungnya."Ya pastilah amis soalnya ada bau tukag ikan. Setiap hari berkutat dengan ikan ya bau ikan. Kalu setiap hari berkutat dengan minyak wangi ya baunya wangi," jawab bu Endang.Entah apa yang mereka katakan itu. Sedang mengejekku yang bau amis karena anak tukang ikan atau apalah itu. Aku berusaha tidak terpancing dengan obrolan mereka karena ya malu lah kalau bertengkar di tempat umum."Tukang ikan naik derajat jadi nyonnya muda keluarga kaya tapi sayang banget cuman jadi pembokat ngurusin nenek-nen
Petugas keamanan menunjuk siapa bos mereka yakni mengarah kepada kami. Dia kaget dan merasa tak terima diperlakukan seperti ini oleh kami. Padahal dia yang salah duluan menyinggung bos tapi dia merasa tak terima disakiti."Beliau bos kami." menunjuk Nungki yang sedang duduk."Apa katamu! Jadi restoran ini miliknya?" tegas Ratna.Ratna merah wajahnya tapi bukan malu melainkan mengumpulkan amarah memnalaa padaku. Padahal itu semua bukan kesalahanku."Betul nona, tuan Nungki adalah bos besar kami apa kamu tak tahu kalau cabang perusahaan kita ada banyak?" tanya petugas keamanan."Ta-tapi tidak begini caranya memperlakukan tamu yang datang," jawab Ratna terbata.Ia mengatakan kalau restoran kami tak layak beroperasi karena memperlakukan tamu secara tak manusiawi."Semuanya dengarkan pemilik restoran ini tak memiliki bakat mengelola restoran. Hanya karena hasutan istri mengusir tamu!" seru Ratna sengaja agar semua orang mendengarnya."Dara kalau kamu nggak terima dikritik dan asal membujuk
Ratna menatapku tajam seolah ingin mengumpat dengan leluasa. Tapi bu Endang menahannya agar tidak marah. Sepertinya bu Endang memikirkan citra anaknya agar tetap baik."Apa kamu cenayang bisa tahu kalau pembantu yang dikirim padaku untuk belanja hari ini adalah mata-mata untuk mengujiku layak masuk keluarga kaya atau tidak," jawab Ratna sambil menunjuk wajahku."Ratna sudahlah jangan ladeni Dara lagi karena kita harus belanja persiapan puasa juga," bujuk bu Endang.Nyonya Leni mengatakan kalau mau puasa seharusnya saling memaafkan agar ibadah puasa lancar. Tidak ada yang mengganjal lagi, ini malah memaki orang yang diem saja ketika dimaki-maki. "Mau puasa itu biasanya maaf-maafkan apalagi sama tetangga yang sering disakiti hatinya. Bukannya mencari keributan," ucap nyonya Leni."Kami juga tahu kok ini semua salah cucu menantu kesayanganmu itu. Dia menyebalkan!" jawab Ratna pada nyonya Leni.Bu endang mengajak Ratna segera pergi dari hadapan kami semua. Mereka memilih keluar dari rest
Sejak kapan suamiku ini bisa bertingkah seperti abg yang buta cinta seperti ini. Aku mengangguk saja kalau nggak cinta namanya nggak suami istri. "Iya lah kan udah suami resmi jadi harus cinta masa iya cinta sama suami orang," jawabku sedikit malu."Coba saja kalau berani!" balas Nungki dengan raut wajah yang tidak seperti biasa.Kami sudah sampai kediaman utama keluarga Hendarso. Suasana rumah sudah ramai karena nanti malam akan ada membaca surat yasin untuk menyambut hari ramadhan yang suci."Capek sekali rasanya banyak banget yang di olah," ucapku sambil merenggangkan kedua tangan."Gitu aja sudah ngeluh. Jangan jadi pemalas bukannya sebelum masuk keluarga ini kamu sudah biasa ngangkat seember ikan buat jualan ya, jangan sok manja!" seru nyonya Lala.Aku tak menggubrisnya karena malas saja soh rasanya. Benar kata Nungki kenapa dia seperti tak punya malu dan bermuka tembok masih berani datang ke rumah ini sedangkan sudah diberikan peringatan dan juga tak dianggap keluarga lagi.Ku
Para ibu-ibu masih saja sibuk menggosipkan bu Endang yang pergi begitu saja karena kesal. Lucu sekali dia itu. Kenapa bisa mau menggosipkan orang. Tapi tak mau di gosipkan."Sudahlah biarkan saja dia mau bicara apa bu. Itu hukuman buat ibu yang selalu menggosipkan orang!" seru pak Nurdin."Bapak kok membela tetangga daripada ibu sih?" bentak bu Endang.Pak Nurdin tak menyahut lalu pergi begitu saja karena mungkin sudah malas dengan istrinya itu. Bu Endang sudah terlalu banyak ikut campur urusan orang makanya mungkin si suami juga sudah lelah mengurus istrinya."Pak, kok malah pergi ibu ajak bicara! Benar-benar deh bapak ini," ucap bu Endang."Bapak mau istirahat bapak pusing," balas pak Nurdin.Sedang asyik membaca chating dari bu Sri yang memberitahu aku kejadian di kampung. Tiba-tiba perutku mual lalu semakin mual dan badanku lemas dan setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Saat sudah sadar aku berada di ranjang dan ada Nungki yang menemaniku."Syukurlah kamu sudah sadar Dara
Bu Sri menertawakan pertanyaan yang dilontarakan oleh bu Endang. Yang menanyakan memangkan ibuku itu kaya atau tidak. Yah aku sih cukup menyadari kalau keluarga kami memang susah sejak dulu. Berjualan juga untuk kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah. Tapi apakah kita akan bertahan dengan nasib ini dan tidak akan berusaha mengubah nasib. Bu Endang salah ke dua orang tuaku begitu gigih mencari uang untuk kami anak-anaknya di beri ilmu dan diberikan pendidikan untuk maju. Tidak pernah neko-neko lalu menabung untuk mengembangkan usaha. "Loh katanya tadi orang miskin tadi bu. Berhutang memangnya nggak pakai jaminan. Berhutang di bank juga pakai jaminan kaya bu Endang gitu gadein sertifikat pak nurdin untuk biaya nikahan Ratna," ucap bu Mutia. "Kalian itu memang bisa banget menjatuhkan aku. Memangnya kenapa kalau aku berhutang untuk nikahan anakku. Toh yang membayar aku juga bukan kalian," balas bu Endang. "Makanya toh bu Endang kalau tidak mau dijatuhkan sama tetangga ya jangan menja
"Ya jelas lah kamu iri sama bu Siti. Soalnya bu Siti sekarang usahanya sukses. Diem-diem beli mobil. Diem-diem beli tanah. Nggak banyak omong kaya bu Endang. Prestasi Ratna mulu di banggain ternyata tagihan kartu kreditnya banyak!" seru bu Sri."Kalau aku jadi bu Endang mah malu. Sesumbar mulu Prestasi sama pekerjaan yang mentereng. Tenda aja belum dibayar. Tamunya juga nggak kelihatan ada pas hajatan," ucap bu Arum.Para tetangga di kampung sukma jaya memprotes tindakan bu Endang yang gemar bergosip itu. Mereka tidak takut lagi akan berantem dengan bu Endang. Karena sudah biasa dan juga bu Endang semakin keterlaluan dalam bertindak. Andai saja bu endang tak pernah usil pada keluargaku. Andai saja bu Endang tak pernah menyakiti tetangga yang ada di kampung sukma jaya ini. Pasti tidak akan terjadi hal seperti ini 'kan."Itu karena kalian tidak tahu dalamnya keluarga bu Siti. Kalau seandainya kalian tahu kalau hutangnya banyak juga nggak akan menghinaku seperti ini," balas bu endang."
Bu Endang mengatakan. Akhir-akhir ini memang para warga desa sukma jaya selalu membicarakan sosok bu Siti dan keluargaku yang lainnya. Padahal yang mereka bicarakan mungkin bukan perbuatan ayah atau ibuku saat ini.Singkat cerita ayahku memang sering bergaul dengan warga yang lainnya. Saat kami masih susah dulu. Bapakku sering menolong siapapun yang membutuhkan."Ya karena kalian semua selalu membanggakan bu Siti yang gemar nraktir. Halah orang kayak kalian ini nanti saat bu Siti dan keluarganya jatuh pasti akan meninggalkannya. Dasar manusia berwajah ular," ucap bu Endang."Jadi bu Endang ini panas ya. Karena para warga selalu membicarakan keluarga bu Siti tentang kebaikannya. Sedangkan membicarakan bu Endang tentang keburukan saja. Sudah deh ngaku saja," ledek bu Arum.Bu Endang menegaskan tidak ada yang dia iri dengan bu Siti maupun keluargaku yang lainnya. Dia sudah mapan. Suami pns, anak kerja di rumah sakit lulusan fisika terbaik di unoversitas terkemuka. Mantu perawat pns. "D
Bu Endang tak terima keluarganya dijadikan bahan gosip oleh ibu-ibu di tukang sayur. Biasanya dia yang bergosip. Sekarang dijadikan baham gosip tidak terima."Memangnya kenapa kalau kami menggosipkan bu endang? Nggak terima? Ya posisi bu Endang saat ini seperti yang kami rasakan kalau bu Endang menggosipkan kita!" seru bu Arum."Kalian jangan seenaknya ya mentang-mentang aku menggelar acara tidak semewah bu Siti. Lalu kalian seperti punya hak untuk menyakiti hatiku," ucap bu Endang.keributan terjadi di tempat sayur antara bu Endang dan ibu-ibu yang lain. Dia sangat tidak suka di jadikan bahan gosip. Ramai sekali sampai menimbulkan kebisingan."Bu Endang udah deh nggak usah drama. Kita semua tahu kalau bu Endang itu sudah banyak menyakiti hati orang. Makanya jangan kebanyakan membuat ulah. Biar hati juga adem. Dan tidak banyak musuh," ucap bu Lastri."Bilang saja kalian pro sama bu Siti yang lagi kondisi keuangannya naik. Sedangkan aku terlihat hina dimata kalian. Nanti kalau aku seda
Ibu-ibu sudah pulang ke rumah puas setelah mengomentari acara hajatan di rumah bu Endang. Tentu saja bu Endang menyimpan dendam untuk tetangganya."Awas saja akan aku balas mereka semua," gumam bu Endang."Sudah to bu. Mungkin ini karma karena ibu juga suka mengomentati semua tetangga yang ada di kampung ini," ucap pak Nurdin.Ternyata sakit hati juga di omongin langsung di depan mata seperti ini. Bu Endang sakit hati pada mereka semua. Ini berita yang aku dengar tentang keluhan bu Endang pada suaminya yang tersebar di kampung.Beberapa hari setelah selesai hajatan. Tampak seorang pemilik tenda datang mencari rumah bu Endang."Mencari siapa dek?" tanya bu Sri."Rumah bu Endang bu. Sebelah mana ya," jawab seorang pemuda."Sebelah sana tuh pager biru, ada apa emangnya?" tanya bu sri.Pemuda itu mengatakan kalau bu Endang belum membayar tenda sebesar tiga juga rupiah. Sudah seminggu berlalu makanya pihak penyewa tenda akan menagihnya. Kenapa ada peristiwa seperti ini juga ya."Ohh itu di
Bu Endang kesal karena banyak ibu-ibu tetangganya yang mengomentari hajatan yang ia gelar. Dari segala sisi banyak banget mendapatkan komentar. Tidak ada yang sempurnya semuanya diomongin sana-sini sampai membuatnya gerah sendiri."Eh bu Mutia asal kamu tahu saja. Jaman serba canggih banyak banget yang amplopnya di transferin. Emang pada lihat hah. Ih ndeso kalian semua," balas bu Endang."Paling juga satu dua orang itu juga cuma gocap. Gitu aja dibanggain dih najis," balas bu Mutia.Mnedengar berita seperti ini membuatku geli. Ada-ada saja tingkah para ibu-ibu di desaku yang gemar bergosip itu. Perkara hajatan saja sampai bertengkar sama tetangga apa nggak malu sama tamu yang hadir."Sudah jangan ribut lagi bu. Kita ini kan lagi hajatan malu sama tamu. Ayo kita sapa para tamu," ajak pak Nurdin."Mereka membuat ibu kesal pak," balas bu Endang.Pak Nurdin menarin tangan bu Endang dan menasehatinya agar tidak banyak omong lagi. Ada beberapa tamu yang harus mereka sapa. Tidak baik membua
Ibu-ibu itu dengan semangat mengatakan sudah siap untuk bergosip. Mereka sudah rapi dan berkumpul di rumah bu Arum. Mendengar kabar seperti ini membuatku ingin tertawa dengan kelucuan mereka ada tetangga yang menggelar hajatan tapi mereka yang sibuk berkomentar."Aku sih sudah siap bu," ucap bu Sri."Sama dong aku sudah siap sedari tadi. Mengomentari hajatan bu Endang yang suka julit pada warga yang menggelar hajatan. Sekaranf gantian dong," balas bu Arum."Ho'oh bu. Kalau ada yang hajatan tidak luput dari komentarnya. Sekarang giliran kita memberikan komentar pada bu Endang," balas bu Mutia.Masih terngiang di ingatan bu Mutia saat bu Endang mengomentari anaknya yang mau nikahan. Sudah punya anak dua dari pria yang berbeda dapat bujangan yang belum punya anak. Lalu mereka menggelar pesta sederhana di rumah mulut bu Endang sangat pedas dan menyakiti hatinya."Alah bu Mutia. Emangnya bu mutia saja. Waktu saya nikahin dara mulutnya bu Endang juga begitu kok. Lebih ganas," ucap ibuku."I
Bu Lastri menunjuk siapa yang datang. beberapa orang ada yang masih pakai baju dinas. Ada juga yang sudah memakai baju biasa.."Kirain banyak yang dateng. Para perawat dan petugas medis lainnya," balas bu Arum.Iya kok cuman dikit. Apa nitip kali ya," balas bu Sri.Bisik-bisik tetangga saling terdengar di acara pernikahan itu. Sungguh memalukan sekali sudah mengumbar omong besar tapi yang datang hanya segelintir saja. "Tendanya sangat besar sih sama sperti yang dikatakan. Tapi tamunya dikit doang," balas bu Mutia. "Habis magrib kali bu tamunya pada dateng," ucap bu lastri.Mereka masih menunggu habis magrib. Baru asar tamu mereka sepi sekali kayak kuburan.Ibu-ibu banyak bergunjing lagi. Soal tamu saja jadi omongan apalagi yang lain-lain. duh dasar mulut tetangga."Sudah magrib nih ayo kita magriban dulu. Habis ini kita kumpul lagi. Kita lihat tamu yang di undang seribu itu wujudnya seperti apa," ucap bu Mutia."Oke ayo kita magriban dulu. Nanti kumpul lagi di tempat ini saja.," bal