Ibu duduk di bangku meja makan lalu menceritakan apa yang terjadi. Warga sedang heboh dengan berita Fitri yang dilamar anak pemilik pondok yang sudah mempunyai dua istri.
"Ya seperti biasa dong dimana lagi gosip disini cepat tersebar kalau bukan di warung bu Sri," balas ibuku."Tidak usah mendengarkan cerita hoax yang belum tentu benar adanya bu. Ratna juga tidak akan tinggal diam kalau dilangkahi adiknya. Apalagi pak Nurdin mana mau anaknya dijadikan istri ketiga," jawabku.Ibu mengangguk dan berkata perkataanku ada benarnya juga. Tidak ada yang mengijinkan anaknya menjadi selir atau hanya menjadi istri kedua apalagi istri ke tiga.Pak Nurdin pasti tidak rela melepaskan anaknya begitu saja."Tapi kalau seandainya kejadian bagaimana Dar?" tanya ibuku."Ya mau gimana lagi sudah menjadi ketetapan yang maha kuasa," jawabku.Aku selesai sarapan lalu berangkat kerja. Bulan ini terakhir kerja di tempat pak Maulana aku diterima di perusahaan baru yang lebih besaAku menoleh ke sumber suara ternyata beberapa orang terlihat sedang melerai pertengkaran antara bu Lastri juga bu Mutia. Entah apa yang menjadi penyebabnya bukankah tadi mereka masih haha hihi mengomentari Fitri yang akan menjadi istri ke tiga. Kenapa sekarang jadi baku hantam seperti itu."Kehidupan di sini sungguh membuat kepala pusing," ucap Nungki."Yah seperti itulah tinggal di sini. sudahlah ayo jalan. Nanti juga ada yang mengabariku ada gosip apa di kampung ini," balasku.Nungki melajukan kembali mobilnya menuju perusahaan tempatku bekerja. Kami berpisah sementara karena bekerja di tempat yang berbeda."Sampai ketemu nanti sore ya," ucap Nungki sambil membunyikan klaksonnya."Hati-hati di jalan Nungki. Sampai ketemu nanti sore," balasku sambil melambaikan tangan.Hari ini pekerjaan terasa ringan dan cepat selesai. Aku pulang ontime sendirian karena Nungki masih ada banyak urusan. "Ibu, aku pulang," ucapku sambil duduk di dekat ibu yang memega
Pak Hansip datang melerai keduanya yang sedang bertengkar tak tahu waktu itu. Sudah malam masih jambak-jambakan seperti anak bocah yang berkelahi padahal sudah nenek-nenek."Hentikan apa kalian ini tidak ingat umur kalau berkelahi besoknya mati gimana hah!" bentak pak Hansip."Dia buat aku jengkel pak hansip. Janji hutang berdua bayarnya separoan tapi beberapa kali mangkir dan malah pamer perhiasan ke warga desa," jawab bu Mutia.Pak Hansip tetap menyalahkan perbuatan mereka yang tak tahu aturan itu. Apa nggak malu di lihat anak cucu mereka sendiri. Sudah tua harusnya pada taubat ingat mati ini semakin menjadi juga bertengkar seperti bocah."Iya saya tahu bu Mutia kalau bu Lastri mungkin salah tapi tidak pantas juga sudah nenek-nenek bau tanah berkelahi sampai jambak-jambakkan seperti ini. Kalau tiba-tiba struk gimana? Yang rugu kalian yang sengsara anak cucu yang mengurus," nasihat pak Hansip."Biarin saja pak hansip jangan melerai mereka, itu karena mereka
Bu Endang menolak dan juga mengatai aku sebagai pencari muka pada warga biar dianggap bijak juga ingin menjadi populer di depan para warga. Aku tak mempedulikan bu Endang berkata apa yang jelas sekarang adalah persetujuan dari warga."Setuju, kami setuju kalau anak bu Endang juga anak bu Mutia di hadirkan di sini untuk klarifikasi sebenarnya apa yang terjadi sehingga orang tuanya pada bertengkar masalah anak seperti ini," balas pak Hansip."Kalian ini sudah pada tua, pada bangkotan bau tanah juga kenapa menyetujui ocehan anak baru kemarin sore seperti Dara ini. Nanti dia semakin besar kepala dan tak hormat lagi pada kalian!" seru bu Endang.Beberapa warga meneriaki bu Endang sebagai orang yang gila hormat, gila jabatan, serta ingin selalu disanjung oleh warga desa sukma jaya.Orang tua tidak selalu benar, juga anak muda juga sepenuhnya salah. Tapi walaupun anak muda yang benar ya tetap kalah sama yang tua."Saya setuju saja sih bu Endang. Daripada kami penas
Husna menghembuskan nafasnya panjang menahan emsoi yang ada dj hatinya. Aku lihat wajah bu Endang senang karena bisa menghasut pria yang akan menjadi suami Husna."Ya sudah bu. Kami saling terbuka jujur apa adanya," jawab Husna."Loh kamu beneran mau sama yang secara tertulis di ktp gadis tapi sebenarnya sudah melahirkan dua anak dari lelaki yang berbeda?" tanya bu Endang pada lelaki di samping Husna.Husna sempat hendak emosi tapi sepertinya lelaki di sampingnya menahan Husna agar tidak terpancing emosi bu Endang. Husna mengalah dan membiarkan lelaki di sampingnya menjawab sesuai apa yang ada di hatinya."Seperti apa yang dikatakan Husna tadi bu. Kami sudah saling terbuka dan jujur apa adanya. Saya mau menerima Husna juga anak-anaknya," jawab lelaki bersama Anton itu."Maksudnya sudah saling terbuka bagaimana? Sudah saling buka baju gitu ya jangan-jangan! seru bu Endang.Ya ampun bu Endang ini pintar sekali mengaduk emosi orang. Bagaimana nanti giliran
Bu Mutia menjelaskan apa yang ia maksud. Pak Nurdin secara seksama mendengarkan dan mencoba mencerna apa yang dimaksud oleh bu Mutia. Aku juga ikut buka suara sedikit saja untuk memperjelas apa yang disampaikan oleh bu Mutia. Pak Nurdin mengangguk pelan-pelan sepertinya sudah mengerti apa yang kami maksudkan."Tapi pak Nurdin biar lebih jelas suruh si Fitri menemui kita saja menjelaskan apa yang menjadi permasalahan di sini," ucap bu Mutia."Untuk apa kamu suruh anakku keluar hah. Cukup suamiku saja yang menjelaskan sepertinya sudah memperjelas semuanya," balas bu Endang ketus."Kamu menyuruh anakku klarifikasi kenapa giliran anakmu tidak mau hah. Dasar manusia ular kamu!" seru bu Mutia kesal sekali.Pak Nurdin akhirnya yang menjelaskan dan kami semua mendengarkan apa yang disampaikan memang cukup jelas sih. Fitri memang di sukai oleh anak pemilik pesantren tapi beliau sudah mempunyai dua istri. Pak Nurdin tidak memberikan ijin kalau anaknay harus menjadi
Aku tersenyum pahit saat bu Endang mengatakan itu kenapa bisa kata seperti itu begitu enteng terucap. Ilmu pengasih seperti apa yang aku pakai ini. Aku berharap bu Endang dapat memegang atau mempertanggungjawabkan kata-katanya."Bu Endang jangan asal bicara ilmu pengasih apa? Atau jangan-jangan bu Endang yang masuk pesantren tubuhnya seperti kebakar karena kebanyakan jin tukang gosip yang menempel!" jawabku."Kurang ajar kamu ya nggak sopan sama orang tua," hardik bu Endang."Saya akan sopan kalau lawan bicara saya juga sopan," jawabku lagi.Para ibu-ibu yang menonton kejadian ini tertawa bersama. Menertawakan bu Endang yang memang suka bergosip, walaupun dia bilang kalimat demi kalimat yang ia lontarkan sudah terverifikasi dan dapat dipertanggung jawabkan sama saja dengan kepo pada masalah orang."Sudah-sudah jangan berdebat lagi, ibu juga jangan asal bicara nanti orang lain tersinggung," pinta Fitri."Coba Fit. Kamu kan sudah lama di pesantren ibunya d
Fitri tersenyum lalu berkata dia pertama kali mengeanl anak pemilik pesantren itu adalah ketika mengajar di kelasnya. Karena sering bertemu karena Fitri timbul kedekatan diantara mereka."Saya pertama kali bertemu dengan beliau saat mengajar di kelas bu. Saya sendiri juga menyukinya makanya mau untuk dinikahi, tapi bapak tidak menyetujuinya," balas Fitri."Ya jelas tidak menyetujuinya, bapak mana yang mau anaknya menjadi istri ketiga. Orang ibunya saja kalau ada istri kedua atau pelakor mulutnya gatal menghiannya. Masa anaknya mau jadi istri ketiga,"ucap bu Mutia sambil terkekeh menertawakan bu Endang.Pak Nurdin mengatakan tidak akan merestui hubungan mereka. Dan akan memindahkan Fitri ke pesantren yang lainnya. Demi kebaikan bersama dan tidak ada lagi hal yang tidak diinginkan pak Nurdin berencana memisahkan mereka.Aku sangat lega mendengar hal ini. Semoga keputusan pak Nurdin adalah keputusan yang terbaik bagi anaknya juga kedua belah piha
Bu Endang ternyata pingsan mungkin sudah tak kuat lagi menahan gejolak yang ada di hatinya. Anak-anaknya membuatnya kecewa."Tenang ibu-ibu, kita bagi dua saja ya. Satu mengurus bu Endang. Satu lagi kelompok ikut kami ke bidan," pintaku."Baik kalau begitu bu Endang serahkan pada kami saja!" seru bu Mutia selaku bu Rt.Akhirnya kami dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengurus bu endang yang pingsan. Kelompok kedua mengurus Fitri untuk menjalani pemeriksaan di bidan."Bu Bidan mohon maaf mengganggu malam-malam begini. Saya ingin melakukan pemeriksaan usg untuk adik kami," pintaku."Baiklah silahkan masuk," jawab bu Bidan.Tak butuh waktu lama bu Bidan memeriksa manual dan juga usg. Setelah aku menjelaskan maksud kedatangan kami untuk apa. Bu bidan tersenyum menatap wajah manis Fitri lalu menasihatinya."Kamu itu masih muda. Masa depan masih panjang untuk apa menipu orang tua. Menikah bukan untuk main-main banyak yang perlu dipersiapkan, a
Para ibu-ibu masih saja sibuk menggosipkan bu Endang yang pergi begitu saja karena kesal. Lucu sekali dia itu. Kenapa bisa mau menggosipkan orang. Tapi tak mau di gosipkan."Sudahlah biarkan saja dia mau bicara apa bu. Itu hukuman buat ibu yang selalu menggosipkan orang!" seru pak Nurdin."Bapak kok membela tetangga daripada ibu sih?" bentak bu Endang.Pak Nurdin tak menyahut lalu pergi begitu saja karena mungkin sudah malas dengan istrinya itu. Bu Endang sudah terlalu banyak ikut campur urusan orang makanya mungkin si suami juga sudah lelah mengurus istrinya."Pak, kok malah pergi ibu ajak bicara! Benar-benar deh bapak ini," ucap bu Endang."Bapak mau istirahat bapak pusing," balas pak Nurdin.Sedang asyik membaca chating dari bu Sri yang memberitahu aku kejadian di kampung. Tiba-tiba perutku mual lalu semakin mual dan badanku lemas dan setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Saat sudah sadar aku berada di ranjang dan ada Nungki yang menemaniku."Syukurlah kamu sudah sadar Dara
Bu Sri menertawakan pertanyaan yang dilontarakan oleh bu Endang. Yang menanyakan memangkan ibuku itu kaya atau tidak. Yah aku sih cukup menyadari kalau keluarga kami memang susah sejak dulu. Berjualan juga untuk kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah. Tapi apakah kita akan bertahan dengan nasib ini dan tidak akan berusaha mengubah nasib. Bu Endang salah ke dua orang tuaku begitu gigih mencari uang untuk kami anak-anaknya di beri ilmu dan diberikan pendidikan untuk maju. Tidak pernah neko-neko lalu menabung untuk mengembangkan usaha. "Loh katanya tadi orang miskin tadi bu. Berhutang memangnya nggak pakai jaminan. Berhutang di bank juga pakai jaminan kaya bu Endang gitu gadein sertifikat pak nurdin untuk biaya nikahan Ratna," ucap bu Mutia. "Kalian itu memang bisa banget menjatuhkan aku. Memangnya kenapa kalau aku berhutang untuk nikahan anakku. Toh yang membayar aku juga bukan kalian," balas bu Endang. "Makanya toh bu Endang kalau tidak mau dijatuhkan sama tetangga ya jangan menja
"Ya jelas lah kamu iri sama bu Siti. Soalnya bu Siti sekarang usahanya sukses. Diem-diem beli mobil. Diem-diem beli tanah. Nggak banyak omong kaya bu Endang. Prestasi Ratna mulu di banggain ternyata tagihan kartu kreditnya banyak!" seru bu Sri."Kalau aku jadi bu Endang mah malu. Sesumbar mulu Prestasi sama pekerjaan yang mentereng. Tenda aja belum dibayar. Tamunya juga nggak kelihatan ada pas hajatan," ucap bu Arum.Para tetangga di kampung sukma jaya memprotes tindakan bu Endang yang gemar bergosip itu. Mereka tidak takut lagi akan berantem dengan bu Endang. Karena sudah biasa dan juga bu Endang semakin keterlaluan dalam bertindak. Andai saja bu endang tak pernah usil pada keluargaku. Andai saja bu Endang tak pernah menyakiti tetangga yang ada di kampung sukma jaya ini. Pasti tidak akan terjadi hal seperti ini 'kan."Itu karena kalian tidak tahu dalamnya keluarga bu Siti. Kalau seandainya kalian tahu kalau hutangnya banyak juga nggak akan menghinaku seperti ini," balas bu endang."
Bu Endang mengatakan. Akhir-akhir ini memang para warga desa sukma jaya selalu membicarakan sosok bu Siti dan keluargaku yang lainnya. Padahal yang mereka bicarakan mungkin bukan perbuatan ayah atau ibuku saat ini.Singkat cerita ayahku memang sering bergaul dengan warga yang lainnya. Saat kami masih susah dulu. Bapakku sering menolong siapapun yang membutuhkan."Ya karena kalian semua selalu membanggakan bu Siti yang gemar nraktir. Halah orang kayak kalian ini nanti saat bu Siti dan keluarganya jatuh pasti akan meninggalkannya. Dasar manusia berwajah ular," ucap bu Endang."Jadi bu Endang ini panas ya. Karena para warga selalu membicarakan keluarga bu Siti tentang kebaikannya. Sedangkan membicarakan bu Endang tentang keburukan saja. Sudah deh ngaku saja," ledek bu Arum.Bu Endang menegaskan tidak ada yang dia iri dengan bu Siti maupun keluargaku yang lainnya. Dia sudah mapan. Suami pns, anak kerja di rumah sakit lulusan fisika terbaik di unoversitas terkemuka. Mantu perawat pns. "D
Bu Endang tak terima keluarganya dijadikan bahan gosip oleh ibu-ibu di tukang sayur. Biasanya dia yang bergosip. Sekarang dijadikan baham gosip tidak terima."Memangnya kenapa kalau kami menggosipkan bu endang? Nggak terima? Ya posisi bu Endang saat ini seperti yang kami rasakan kalau bu Endang menggosipkan kita!" seru bu Arum."Kalian jangan seenaknya ya mentang-mentang aku menggelar acara tidak semewah bu Siti. Lalu kalian seperti punya hak untuk menyakiti hatiku," ucap bu Endang.keributan terjadi di tempat sayur antara bu Endang dan ibu-ibu yang lain. Dia sangat tidak suka di jadikan bahan gosip. Ramai sekali sampai menimbulkan kebisingan."Bu Endang udah deh nggak usah drama. Kita semua tahu kalau bu Endang itu sudah banyak menyakiti hati orang. Makanya jangan kebanyakan membuat ulah. Biar hati juga adem. Dan tidak banyak musuh," ucap bu Lastri."Bilang saja kalian pro sama bu Siti yang lagi kondisi keuangannya naik. Sedangkan aku terlihat hina dimata kalian. Nanti kalau aku seda
Ibu-ibu sudah pulang ke rumah puas setelah mengomentari acara hajatan di rumah bu Endang. Tentu saja bu Endang menyimpan dendam untuk tetangganya."Awas saja akan aku balas mereka semua," gumam bu Endang."Sudah to bu. Mungkin ini karma karena ibu juga suka mengomentati semua tetangga yang ada di kampung ini," ucap pak Nurdin.Ternyata sakit hati juga di omongin langsung di depan mata seperti ini. Bu Endang sakit hati pada mereka semua. Ini berita yang aku dengar tentang keluhan bu Endang pada suaminya yang tersebar di kampung.Beberapa hari setelah selesai hajatan. Tampak seorang pemilik tenda datang mencari rumah bu Endang."Mencari siapa dek?" tanya bu Sri."Rumah bu Endang bu. Sebelah mana ya," jawab seorang pemuda."Sebelah sana tuh pager biru, ada apa emangnya?" tanya bu sri.Pemuda itu mengatakan kalau bu Endang belum membayar tenda sebesar tiga juga rupiah. Sudah seminggu berlalu makanya pihak penyewa tenda akan menagihnya. Kenapa ada peristiwa seperti ini juga ya."Ohh itu di
Bu Endang kesal karena banyak ibu-ibu tetangganya yang mengomentari hajatan yang ia gelar. Dari segala sisi banyak banget mendapatkan komentar. Tidak ada yang sempurnya semuanya diomongin sana-sini sampai membuatnya gerah sendiri."Eh bu Mutia asal kamu tahu saja. Jaman serba canggih banyak banget yang amplopnya di transferin. Emang pada lihat hah. Ih ndeso kalian semua," balas bu Endang."Paling juga satu dua orang itu juga cuma gocap. Gitu aja dibanggain dih najis," balas bu Mutia.Mnedengar berita seperti ini membuatku geli. Ada-ada saja tingkah para ibu-ibu di desaku yang gemar bergosip itu. Perkara hajatan saja sampai bertengkar sama tetangga apa nggak malu sama tamu yang hadir."Sudah jangan ribut lagi bu. Kita ini kan lagi hajatan malu sama tamu. Ayo kita sapa para tamu," ajak pak Nurdin."Mereka membuat ibu kesal pak," balas bu Endang.Pak Nurdin menarin tangan bu Endang dan menasehatinya agar tidak banyak omong lagi. Ada beberapa tamu yang harus mereka sapa. Tidak baik membua
Ibu-ibu itu dengan semangat mengatakan sudah siap untuk bergosip. Mereka sudah rapi dan berkumpul di rumah bu Arum. Mendengar kabar seperti ini membuatku ingin tertawa dengan kelucuan mereka ada tetangga yang menggelar hajatan tapi mereka yang sibuk berkomentar."Aku sih sudah siap bu," ucap bu Sri."Sama dong aku sudah siap sedari tadi. Mengomentari hajatan bu Endang yang suka julit pada warga yang menggelar hajatan. Sekaranf gantian dong," balas bu Arum."Ho'oh bu. Kalau ada yang hajatan tidak luput dari komentarnya. Sekarang giliran kita memberikan komentar pada bu Endang," balas bu Mutia.Masih terngiang di ingatan bu Mutia saat bu Endang mengomentari anaknya yang mau nikahan. Sudah punya anak dua dari pria yang berbeda dapat bujangan yang belum punya anak. Lalu mereka menggelar pesta sederhana di rumah mulut bu Endang sangat pedas dan menyakiti hatinya."Alah bu Mutia. Emangnya bu mutia saja. Waktu saya nikahin dara mulutnya bu Endang juga begitu kok. Lebih ganas," ucap ibuku."I
Bu Lastri menunjuk siapa yang datang. beberapa orang ada yang masih pakai baju dinas. Ada juga yang sudah memakai baju biasa.."Kirain banyak yang dateng. Para perawat dan petugas medis lainnya," balas bu Arum.Iya kok cuman dikit. Apa nitip kali ya," balas bu Sri.Bisik-bisik tetangga saling terdengar di acara pernikahan itu. Sungguh memalukan sekali sudah mengumbar omong besar tapi yang datang hanya segelintir saja. "Tendanya sangat besar sih sama sperti yang dikatakan. Tapi tamunya dikit doang," balas bu Mutia. "Habis magrib kali bu tamunya pada dateng," ucap bu lastri.Mereka masih menunggu habis magrib. Baru asar tamu mereka sepi sekali kayak kuburan.Ibu-ibu banyak bergunjing lagi. Soal tamu saja jadi omongan apalagi yang lain-lain. duh dasar mulut tetangga."Sudah magrib nih ayo kita magriban dulu. Habis ini kita kumpul lagi. Kita lihat tamu yang di undang seribu itu wujudnya seperti apa," ucap bu Mutia."Oke ayo kita magriban dulu. Nanti kumpul lagi di tempat ini saja.," bal