Suara ketukan pintu dan salam terdengar di antara derasnya hujan dan gemuruh petir.
Kembali aku menajamkan pendengaran. Memastikan bahwa pintu rumahku lah yang diketuk. Setelah yakin ada orang disebalik pintu, pelan aku beranjak. Jam di dinding sudah menunjukan pukul 00.30 dini hari.
Setengah mengantuk dan setengah sempoyongan aku berjalan membuka pintu, dari siang aku memang merasa sudah tidak enak badan. Sedikit aku menyibak gorden jendela, untuk mengintip ke luar. Bang Hasan, berdiri diluar sana dengan tubuh basah kuyup dan gemetar. Ragu aku antara membuka kan pintu atau membiarkannya saja.
Bagiku, aku memang bukan lagi istrinya, tapi menurut hukum dan agama. Kami masih sah sebagai suami istri. Berlawanan antara perasaan dan logika. Akhirnya aku memilih menggunakan perasaan. Perasaan sebagai manusia yang berakal. Tidak mungkin aku membiarkan manusia lainnya di luar rumahku dalam keadaan basah kuyup di tengah malam buta begini.
Aku memang kesal dan benc
Hari ini aku tidak masuk kerja, tadi aku sudah menelpon Ratih, dan pihak HRD.Pada Ratih aku menceritakan semuanya tanpa kurang satu apapun.Sejam lagi Ratih akan tiba di rumahku, dia sedang izin meminta pulang cepat, karena ingin menemaniku ke rumah Nenek dan membuat laporan. Awalnya aku sudah menolak, aku bisa pergi sendiri karena motorku sudah di kembalikan Bang Hasan, tapi Ratih bersikeras ingin mengantarku, ia tidak mau aku menghadapi semua ini sendiri. Aku beruntung memiliki Ratih, saat ini, dan semoga selamanya.Bang Hasan sudah pergi sedari tadi, dengan berjalan kaki. Ponselnya padam tak hidup lagi setelah ku banting. Beruntung sebelum menemui Bang Hasan yang sedang sholat, aku sudah mengirim screen shoot percakapan ia dan adiknya ke ponselku.Tadinya ia ingin meminjam ponselku untuk meminta jemput pada adiknya, namun aku tidak memberikannya, pun kunci motor yang sudah kupegang. Aku tidak akan mengalah lagi kali ini. Bukan perihal uang
Hari ini aku tidak masuk kerja, tadi aku sudah menelpon Ratih, dan pihak HRD.Pada Ratih aku menceritakan semuanya tanpa kurang satu apapun.Sejam lagi Ratih akan tiba di rumahku, dia sedang izin meminta pulang cepat, karena ingin menemaniku ke rumah Nenek dan membuat laporan. Awalnya aku sudah menolak, aku bisa pergi sendiri karena motorku sudah di kembalikan Bang Hasan, tapi Ratih bersikeras ingin mengantarku, ia tidak mau aku menghadapi semua ini sendiri. Aku beruntung memiliki Ratih, saat ini, dan semoga selamanya.Bang Hasan sudah pergi sedari tadi, dengan berjalan kaki. Ponselnya padam tak hidup lagi setelah ku banting. Beruntung sebelum menemui Bang Hasan yang sedang sholat, aku sudah mengirim screen shoot percakapan ia dan adiknya ke ponselku.Tadinya ia ingin meminjam ponselku untuk meminta jemput pada adiknya, namun aku tidak memberikannya, pun kunci motor yang sudah kupegang. Aku tidak akan mengalah lagi kali ini. Bukan perihal uang
Benar dugaanku. Perhiasan peninggalan Nenek dan Ibuku, kini tak ubahnya bagai sebuah narkotika yang mencandukan bagi Ibu Bang Hasan. Dugaanku tidak meleset sedikit pun. Ibu kembali. Sebanyak apapun uang yang ia terima dari hasil menjual berlian Ibuku, tentu hanyalah akan menjadi uang hantu di makan setan. Segera habis dalam waktu singkat, dan saat habis Ibu pasti akan berusaha untuk mendapatkannya lagi. Terlebih aku yang tidak sama sekali melaporkan apapun sehingga mungkin Ibu merasa aku tidak menyadari perbuatannya.Setelah Ibu pergi, aku tersenyum puas.Cepat kubuka ponselku. Rekaman Ibu dari cctv yang kupasang benar-benar sempurna. Apalagi di bagian teras. Benar-benar seperti pencuri handal. Sang otak pelaku yang sedang mengawasi anak buahnya membuka kunci. Tapi biasanya pencuri di rumah orang akan membuka kunci rumah dengan paksa. Berbeda dengan Ibu, yang membuka kunci rumahku dengan tukang kunci. Sebab Ibu bukan pencuri asli, Ibu hanya pencuri gadungan yang mencur
Pov HasanAku baru saja sampai dirumah ketika kudapati sebuah motor matic berwarna putih biru terparkir di teras rumah. Ternyata masih baru dan tanpa plat. Milik siapa ya, mungkin tamu Ibu atau Lina."Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam, San. Lembur kamu ya," jawab Ibu dengan wajah yang sumringah.Ku perhatikan sekeliling. Ada yang berbeda."Ibu beli sofa baru?""Iya, bagus kan, San. Empat juta saja. Empuk banget loh, coba sini duduk," ujar Ibu menarik bahuku untuk duduk."Apa di luar itu juga motor yang baru Ibu, ambil?" tunjukku ke luar."Iya, cantikkan. Buat Lina," jawab Ibu sumringah.Aku merasakan ketakutan yang mulai melingkupi jiwa."Uang dari mana, Bu? Cash?" tanyaku lagi."Oh ya nggak lah," Ibu tertawa, "kredit, sore tadi diantar. Dp lima juta.""Ibu pakai uang penjualan berlian Ibunya Mira?" tanyaku."Kamu sudah makan? Ibu masak loh hari ini. Mulai sekarang kita nggak be
Matanya tajam menatap perutku yang membuncit."Ka-ka-kamu hamil, Mir?" tanya Bang Hasan tak lepas menatap.Aku memilih tak menjawab dan berbalik pergi. Tapi Bang Hasan lebih cepat dengan menangkap lenganku."Jawab, Mir!" tanyanya dengan suara meninggi."Ya, aku hamil. Dan selama ini aku baik-baik saja tanpamu. Silahkan pergi," jawabku sengit.Tiba-tiba Bang Hasan luruh ke lantai dan menangis sembari memegang kedua kakiku dan menciuminya.Aku mundur beberapa langkah. "Kakimu membengkak, Mir?" Ia mendongakkan kepalanya melihatku."Bukan urusanmu Bang. Urus saja keluargamu.Pergi!""Kenapa kamu menyembunyikannya dari Abang, Mir? Kenapa kamu tidak mengatakan apapun pada Abang? Abang berhak tahu, Mir.""Kau tahu ataupun tidak, tak kan mempengaruhi apapun, Bang. Selama ini aku baik-baik saja tanpamu.""Bolehkah, Abang menyentuhnya?" ujar Bang Hasan mengulurkan tangannya. Refleks aku menepis tang
Setelah mengancam akan mengambil anakku semalam. Bang Hasan masih saja terus menghubungi. Seperti saat ini, ponselku terus berdering karena panggilan darinya. Sungguh sangat mengganggu tidurku.Anak mami dibawah ketiak Ibu[Pagi, Mir. Belum bangun ya?]Apa-apaan dia. Aku memilih tak menghiraukan pesannya.[Jangan lupa sarapan dan minum susunya ya. Maaf]Huh, dasar plin-plan. Benar-benar keturunan Ibunya. [Tapi Abang serius, akan ucapan Abang jika kamu tetap ingin bercerai. Kamu tahu Abang sangat menantikan bayi itu]Kali ini aku memilih membalasnya. [Ya, begitupun aku, mari berperang] Ya, kini aku memilih berperang, bahkan sedari dulu pun sudah berperang. Berperang melawan batin, bertahan atau lepaskan. Dan sekarang aku memilih melepaskan. Setelah melepaskan pun, kini masih tetap berperang, berperang mengambil kembali apa yang sedari awal adalah milikku, dan kedepannya akan berperang demi mempertahankan milikku
Pov Hasan"Nggak masuk kerja kamu, San?" tanya Ibu melihatku yang sedang duduk menonton televisi, tidak. Lebih tepatnya akulah yang di tonton televisi."Nggak, Bu. Malas.""Malas gimana maksudnya? Kalau kamu nggak rajin gimana bayar semua cicilan, San?" tanya Ibu dengan wajah yang di tekuk."Kalau memang bukan rezeki kita, Bu. Sekuat apapun kita mempertahankan pasti akan lepas. Seperti rumah tangga Hasan dengan Mira ini. Mati-matian dulu Hasan berusaha mendapatkan Mira, lalu mati-matian pula untuk mempertahankan dari perceraian, akhirnya hancur juga,' ujarku lemah."Lah ya jangan kamu terima begitu saja Mira menggugat kamu, San. Ingat Mira itu sedang hamil. Jangka waktu kalian untuk bisa rujuk itu panjang, sampai Mira melahirkan. Jadi sebelum bayinya lahir kamu harus bisa membuat Mira untuk kembali padamu. Berusahalah. Masih gitu aja kok udah K.O. Lemah kamu, San.""Begitu ya, Bu. Do'a kan Hasan ya, Bu," jawabku dengan mata yang berbin
Pov Ibu"Mira juga pasti akan mengirimi setiap bulan untuk anaknya, Bu," ujar Hasan."Ya, baiklah. Pastikan Mira akan mengirimi anaknya. Dan berikan Ibu kuasa untuk mengatur anakmu juga mengatur kapan Mira bisa bertemu. Karena akan ada syarat dan ketentuan yg harus Mira lakukan jika ingin bertemu."Binar bahagia jelas terpancar dari kedua mata Hasan."Yasudah, Bu. Hasan keluar sebentar ya. Ada yang mau Hasan beli. Ibu mau titip apa?" tanya Hasan padaku."Nggak ada. Pergilah," jawabku pada Hasan.Seperginya Hasan, kembali semua ucapannya terngiang-ngiang di kepala. Membayangkan dan menerka-nerka apa semuanya akan berjalan sesuai keinginanku.Ya, aku akan mengorbankan rumah ini agar Hasan bisa mendapatkan hak asuh anak mereka, pun aku juga akan mengorbankan diriku menjadi pengasuh bayi Hasan. Pengorbanan yang kulakukan ini tidaklah mudah dan kecil, jadi harus ada keuntungan besar yang harus aku raih dari semu
Pov LinaAku terbangun ketika kurasakan ponselku berdering kuat, pelan kuraih ponsel itu. Panggilan dari Tio."Ya, Halo?""Kamu udah makan?""Hm, belum.""Baru bangun ya?" tebaknya dan tepat."Iya, kok tahu?""Kecium asemnya, tapi aku suka.""Alah gombal," jawabku tapi jujur aku suka."Yaudah, udah jam sembilan, kamu makan ya. Aku jemputnya agak telat nanti ya sekitar jam dua belasan.""Kok lama?" protesku."Aku ada urusan sayang. Sabar ya. Aku pasti bantu, nggak akan lari. Janji," ucapnya meyakinkan."Oke, aku makan dulu ya, mau mandi juga. Aku gerah.""Sip," jawab Tio lalu mengakhiri sambungan telepon.Kupandangi jam di dinding yang tak berhenti berdetak, aku tahu, pasti kini Ma
Pov LinaAku baru saja bangun dari tidur, ketika kusadari rasa nyeri terasa di rahim bagian bawah, pelan aku meraba perut, memastikan apa semuanya sudah berjalan sesuai keinginanku. Rabaan dari perut yang tak rata menyadarkan bahwa semuanya sia-sia. Bayi sial ini tak kunjung pergi dari hidupku. Apa maumu, sial! Ocehku dalam hati. Semua cara rasanya sudah aku lakukan, memakan semua ramuan yang ku fermentasikan, memakan semua pantangan buah yang katanya membahayakan, namun janin sial ini tetap saja betah didalam. Hanya ada dua jalan terakhir yang bisa aku lakukan, pertama meminum pil yang kata Keke nomor satu dan mumpuni itu, dan cara kedua menggunakan cara yang lebih ekstrim, ab*rsi. Cara yang kedua, pasti lebih jelas, walau itu pasti membahayakan nyawa ku juga. Tapi tak ada cara lain, semakin lama janin ini akan semakin membesar. Aku akan melakukan apapun untuk membuangnya. Tapi bagaimana dengan biayanya? Aku tak punya uang. Jika aku punya uang sudah dari dulu a
Pov HasanDengan berat kulangkahkan kaki menuju rumah besar ini. Aku berdiri di depan pagar tinggi rumah dengan model lama namun tetap terawat. Disebelah nya ada sebuah bangunan Masjid yang indah, tempat yang pernah menjadi keinginan Mira untuk melaksanakan akad nikah kami. Tapi sayang, waktu itu Ibu menolak keinginan Mira, karena kata Ibu repot harus membawa seserahannya kesana, pun rombongan yang mengantarkan kami. Belum lagi amplop yang harus diberikan untuk masjid, karena tidak mungkin kami tidak memberikan apapun sedang kami menggunakan fasilitas dan tempatnya. Kupikir-pikir ada benarnya juga ucapan Ibu, akhirnya dengan sangat hati-hati aku menjelaskan pada Mira, tentu saja tidak aku katakan alasan dari Ibu, mengingat waktu itu Mira belum sah menjadi istriku, aku takut Mira membatalkan semuanya, jika ia benar-benar mengetahui bahwa Ibu sebenarnya menentang pernikahan kami, hanya kukatakan tidak adanya biaya untuk ucapan terimakasih ke masjid, jika dirumahku
Pov Author"Kamu cantik, Mir ... Nggak kelihatan sama sekali jendesnya," ujar Ratih kagum melihat Mira dengan kebaya pernikahannya."Ish udah diangkat abis itu dijatuhin," jawab Mira dengan wajah yang ditekuk."Emang kenyataannya begitu. Mau gimana lagi. Tapi bersyukurlah Mir, karena status jendesmu, sekarang akan jadi istri lagi. Coba aja kalau kamu nggak jendes, apa bisa sama Pak Rezi," jelasnya lalu tertawa.Ada benarnya juga, pikir Mira."Aku cantik ya, Tih?""Sangat. Dan, akan segera menjadi perempuan bahagia. Kamu akan jadi pusat dunia Pak Rezi. Juga jadi menantu kesayangan dan satu-satunya keluarga Pratama. Aku lega Mir, akhirnya kamu memilih Pak Rezi."Mira sungguh terharu dengan apa yang diucapkan Ratih dan lantas memeluknya sahabatnya itu."Jangan nangis, aku nggak mau makeupmu rusak," pinta Ratih.
Suara ketukan pintu dan panggilan dengan tak sabar terdengar dari luar, aku yang sedang menyusui Kainan seketika kaget dan cemas karena ketukan dan panggilan dari Bang Raihan itu bisa membangunkan Kainan."Sssttt, sebentaaarr," ujarku berdesis pelan."Miraa, Mir. Tidur atau gimana ya," teriak Bang Raihan semakin menjadi. Kainan mulai menggeliat gelisah disampingku."Ssstt, sebentar Bang, masih nyusui Kainan," desisku lagi. Rasanya tidak ada hal yang lebih menjengkelkan selain saat dihadapkan pada situasi seperti ini. Kuraba sisi tempat tidur mencari ponselku. Kucari nomor Bang Raihan."Eh kenapa nelpon, lagi main game tahu, buka pintunya," jawab Bang Raihan begitu panggilan tersambung."Bisa diam nggak sih Bang? Mira masih nyusuin Kainan. Nggak tuli kok yang disini. Sebentar," jawabku lalu panggilan kuakhiri begitu saja.Pelan aku melepaskan diri dari Kainan,
Pov HasanSudah sebulan sejak aku meminta Mira untuk kembali padaku, dan sejak malam tadi aku terus saja menghubunginya tanpa henti. Dan, pagi ini pun demikian. Entah mengapa ia tidak mengangkat teleponku, tidak biasanya. Aku rasa aku terlalu lama sudah menunggu."Assalamu'alaikum. Halo Bang.""Waalaikumsalam. Kamu baik-baik saja kan Mir? Kenapa sejak semalam tidak angkat-angkat telepon Abang?" tanyaku bertubi begitu telepon tersambung. Aku sungguh mengkhawatirkannya."Ya, maaf Bang. Mira sedang sibuk saja, banyak urusan. Maaf.""Oh iya, tidak apa-apa, asal kamu baik-baik saja. Hm, Abang mau tanya, soal keputusan kamu Mir. Bagaimana? Apa sudah ada?" tanyaku hati-hati. Jantungku berdetak tak karuan menunggu jawaban Mira. Terderngar helaan napasnya diseberang sana. Ah, apa ini, mendengar helaan napasnya saja membuat dadaku bergetar tak karuan."Mira menerima saran Abang. Kita akan membesarkan Kainan bersama."Cepat kupegang tembok rumah
"Memang kurang ajar itu, mantan adik iparmu, Mir," ucap Ratih begitu kami masuk ke dalam mobil."Entahlah, Tih. Terserahnya saja." Hanya itu yang bisa kuucapkan menanggapi ucapan Ratih."Kamu sih entah ngapain kemarin nolongin dia, kan udah aku bilang jiwa kepelakoran jalangnya itu udah mendarah daging. Syukur kemarin nggak bayarin biaya dia di rumah sakit kan? Kalau iya, apa nggak sakitnya hatimu jadi berkali lipat, Mir?"Ucapan Ratih terasa sangat menohok bagiku. Aku hanya diam tak menjawab. Semuanya benar."Kenapa diam? Benarkan yang aku bilang? Makanya lain kali dengerin aku," lanjutnya lagi."Udahan ah, Tih. Aku pusing dengernya tahu.""Iya, tapi lain kali dengerin omonganku. Semua yang aku bilang nggak ada yang melesetkan?""Iya, iya. Mama Lemon adiknya Mama Loren," jawabku lalu tertawa. Seketika Ratih melemparkan tisu ke arahku.
Pov LinaAku sedang menuju parkiran swalayan ketika dari kejauhan aku melihat, Mira, mantan istri Mas Hasan berjalan ke arah yang sama. Tampak ia sedang menenteng kantongan belanja yang banyak bersama temannya yang selalu ikut campur urusan orang, Ratih.Mereka terlihat tertawa cekikin entah apa yang lucu.Awalnya aku sudah mencoba menahan amarah, tapi melihat dan mendengar tawa mereka selepas itu, membuatku merasa sakit. Mereka seperti sedang menertawakan nasibku kini. Entahlah. Kuhampiri mereka dengan cepat sebelum mereka masuk ke mobil.Kutarik lengan si Mira kasar menghadap ke arahku. Dan, plak! Ia menatapku dengan terkejut."Puas kamu, sekarangkan, Mir! Ini maumu kan?!""Apa-apaan kamu, Lin!""Apa-apaan katamu? Masih nggak sadar ya, nasibku begini itu karenamu! Kamu kan yang sebarin videoku?!" teriakku kua
Aku menyetir mobil dengan pikiran yang terbagi. Sesekali melihat ke arah Kainan yang sedang asyik menggigiti play hand ditangannya. Dia tampak anteng duduk diatas car seat pemberian orang tua Pak Rezi. Dengan car seat ini aku sungguh terbantu. Bisa membawa Kainan kemanapun tanpa harus menyusahkan orang lain karena menitipkannya.Masih tidak habis pikir mengapa Ibu berubah drastis menjadi sangat baik padaku. Bahkan sampai memeluk. Jika yang melakukan itu adalah Mama Pak Rezi, aku tak akan heran, tapi Ibu? Jangankan memeluk dan menangis dengan cucuran air mata, melihatku saja selama ini dengan pandangan yang jijik seolah aku adalah kotoran yang najis baginya. Apa Ibu berubah karena semua kejadian demi kejadian yang terjadi? Secepat itu? Mungkinkah bisa dalam waktu singkat Ibu menghilangkan sifat dan sikapnya yang sudah mendarah daging itu? Atau nanti jika keadaan membaik akan kambuh lagi? Ah, entahlah.Suara klakson