“Yang sungguh cinta, sejauh apapun ia pergi pasti kembali pulang karena hati adalah kompas alami manusia.”
“Bu, pesen es teh manisnya 3, es susu cokelatnya 1, sama mi ayam 4 pedes semua.”
“Oke tunggu sebentar ya, mas.”
“Siap!” Hanzel yang memesan makanan di warung Bu Denok untuk para sahabatnya.
Mereka sedang menikmati suasana kantin FISIP sembari memandang gadis-gadis cantik, kecuali Julian. Julian semenjak duduk, ia hanya memerhatikan gawainya. Membuka-tutup aplikasi pesan singkat. Menanti balasan pesan dari Serena.
Serena, gadis itu berkuliah di tempat yang berbeda dengan Julian. Tahun pertama kuliah hubungan mereka masih sangat hangat. Hampir setiap hari mereka bertemu. Bahkan di saat Julian sangat sibuk, laki-laki itu masih berusaha menyempatkan waktu. Tetapi, memasuki tahun kedua, Serena mulai berubah.
Entahlah mungkin gadis itu mulai bosan. Atau benar-benar sudah jatuh ke pelukan laki-laki lain.
“Udahlah enggak usah dipikirin banget. Lepasin aja tuh cewek, kayak enggak ada cewek lain aja!” ujar Royan menginterupsi lamunan Julian.
“Ya namanya juga cinta. Lu mana paham soal beginian. Pacaran aja enggak pernah,” balas Dinan sewot. Royan mencebikkan bibir kesal.
“Udah-udah mending makan, trus cabut ke toko tanaman.” Hanzel yang hari ini sedikit normal pun menengahi pertengkaran mereka.
“Hah? Ngapain?” Julian bingung sendiri. Ada hal apalagi yang direncanakan teman-temannya?
“Beli tanaman buat nyokap lu. Lupa lu kalo nyokap lu mau ulang tahun?” Julian langsung membuka kalender di gawainya dan ya ia lupa.
“Durhaka lu…”
[…]
Mela dan Bela menatap bingung pada Rosea. Temannya itu hanya diam saja. Terasa sangat aneh jika tak mendengar Rosea bicara sedikit pun. Biasanya dialah yang meramaikan obrolan mereka.
Bela menyenggol lengan Mela yang duduk di sebelahnya. Matanya melirik ke depan, di mana tempat Rosea duduk di kelas, meminta Mela untuk menanyakan kondisi Rosea.
“Sst… sst… Cewek… Kiw! Kiw!”
Sadar dirinya dipanggil, ia membalikkan tubuh menatap Mela dan Bela, “Ada apa?”
“Kok diem aja? Kenapa Ros?” Rosea bingung harus mengatakan mulai dari mana. Mela dan Bela tak pernah ia ceritakan siapa Hana. Rosea begitu tertutup masalah pribadinya pada teman-temannya, sekalipun itu Mela dan Bela.
Rosea trauma.
Bukan karena ia tak mau terbuka pada dua teman terdekatnya. Dahulu saat di bangku menengah pertama, ada satu kejadian yang membuat dirinya menjadi tak begitu percaya pada orang-orang di dekatnya. Terutama teman-temannya. Rosea sendiri pernah mengalami krisis kepercayaan pada Hana, namun ia tepis perasaan-perasaan itu. Beruntungnya Hana adalah orang yang dapat dipercaya.
“Hm… Endak kenapa-napa kok. Cuma agak endak enak badan aja.” Rosea tidak sepenuhnya bohong. Maag-nya kambuh, perutnya sangat tidak nyaman sekarang. Itupun terjadinya karena Rosea sedang banyak pikiran. Psikis seseorang sangat memengaruhi keadaan fisiknya.
“Serius nih gapapa?” tanya Mela memastikan.
Rosea memegang tangan Mela dan Bela, “Iya serius.” Sebuah seni mengelabuhi seseorang yang ciamik dari Rosea Damita.
“Yaudah yuk pulang!” Rosea mengajak untuk keluar kelas dan segera pulang. Kelas sudah berakhir 10 menit yang lalu.
“Kuy…!”
Di saat Rosea beranjak berdiri, saku celananya bergetar. Seseorang yang sama meneleponnya tadi malam, namanya terpampang jelas di layar gawai Rosea sekarang.
[…]
Para pejantan jalan beriringan menuju parkiran. Mereka akan pergi ke salah satu pusat toko tanaman di pinggiran kota. Di antara mereka hanya Julian yang membawa kendaraan hari ini. Yang lain? Tidak. Katanya biar hemat bensin.
“Cik cik periuk belanga’ sumpit dari Jawe.
Datang nek kecibok bawa’ kepiting dua’ ekok.
Cak cak bur dalam belanga’, idong picak gigi rongak.
Sape ketawa’ dolok dipancung raje tunggal, HEI!”
“Ya Tuhan… Lu nyanyi itu terus dari seminggu yang lalu apa enggak bosen?” Dinan memprotes Hanzel yang menyanyikan lagu ‘Cik Cik Periuk’ dari Kalimantan Barat dengan semangat membara sepanjang hari.
“Ini namanya usaha untuk melestarikan budaya. Bukan begitu tuan muda Julian?” Julian hanya menunjukkan jempol tangannya.
“Noh! Julian aja setuju!” ucap Hanzel dengan lagaknya.
“Melestarikan sih melestarikan, tapi enggak bikin kuping gua pengang. Lu kalo nyanyi kayak ngajak orang tawuran tahu enggak?” Royan mulai mengomel.
“Gelut! Gelut! Gelut! Ayo lanjutin gelutnya, gua gelar tikar dulu!” Dinan mengompori sembari seakan-akan sedang menggelar tikar untuk pertandingan gladiator.
Julian menyaksikan ketiga sahabatnya bertengkar hanya bisa menggelengkan kepala tak habis pikir.
Kekesalan Royan makin bertambah, ia mengeluarkan segala sumpah serapah pada Hanzel dan Dinan. Malangnya omelan hanya sekadar omelan. Hanzel dan Dinan malah memerhatikan orang yang jauh berada di belakang Royan.
Rosea.
Gadis itu terlihat berlari tergopoh. Rambutnya yang dikuncir kuda bergerak kesana-kemari mengikuti tempo kaki Rosea yang tak beraturan.
“Ngapain tuh anak lari-lari gitu?” Hanzel menunjuk Rosea yang sepertinya akan keluar gerbang kampus.
“Lah, nangis enggak sih, Han? Tadi kayak ngelap matanya gitu.” Dinan menimpali.
“Iya anjir nangis tadi gua lihat.”
Julian dan Royan mengikuti gerakan tangan Hanzel pada Rosea.
“Cewek lu tuh, Jul!”
“Congor lu Han!” Royan menepuk beberapa kali mulut Hanzel gemas.
“Jahat kamu mas!” Hanzel memukul manja Royan dan berlari dengan gaya yang dilebih-lebihkan ke arah parkiran.
[…]
Rosea dengan kasar membuka pintu Kafe Aletha. Suara gemerincing bel yang di pasang di pintu bersuara sangat nyaring. Menampilkan Rosea dengan air mata berderai.
“Hana…”
Matanya menemukan seseorang yang ia rindukan. Gadis yang langsung ia bisa kenali walau hanya melihat punggungnya.
“Rosea…”
Keduanya berlari dengan air mata berlinang, memberikan pelukan dan mengurai semua kerinduan. Ada perasaan nyeri sekaligus lega yang datang di hati Rosea.
“Kamu apa kabar?”
Sebuah pertanyaan berjuta makna yang selalu Hana tanyakan setiap bertemu Rosea.
Jujur, Rosea hancur ketika ditinggal sendirian. Dia tak punya siapapun di dekatnya. Saat itu Hanalah yang mampu mengurai semua cemas yang Rosea rasakan. Sedekat apapun ia dengan Ibu Salma dan Tiara, tetap Hanalah pengobat laranya.
“Maaf…” Hana menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Rosea. Memeluk sahabatnya erat seakan tak mau kehilangan untuk kedua kalinya.
Setahun setelah pertukaran pelajar yang Hana jalani, sebuah musibah besar mendatanginya. Kedua orang tuanya bercerai. Hana bimbang menentukan akan ikut dengan siapa. Saat itu bertepatan dengan Rosea yang akan memasuki bangku kuliah.
Apakah ia harus tinggal di Belanda bersama mamanya atau di Indonesia bersama papanya. Keduanya sangat berarti bagi Hana. Namun, ia harus tetap memilih di antara keduanya. Setelah menimbang-nimbang, Hana memilih mamanya, perempuan yang telah melahirkannya.
Saat di Belanda, Hana benar-benar kacau. Sebulan pertama semenjak di sana, sebulan juga perceraian orang tuanya, Hana seperti kehilangan arah. Hana keluar masuk klab malam dan selalu pulang dalam keadaan mabuk berat.
Hingga satu malam di saat Hana mabuk, tasnya dicopet. Hana yang berusaha menahan tasnya malah terseret motor pelaku dan kepalanya terbentur aspal. Hana mengalami amnesia selama hampir dua tahun lamanya. Baru tiga bulan lalu ia mengingat secara perlahan. Orang kedua yang ia ingat setelah orang tuanya, yaitu Rosea, sahabatnya.
“Hana… Kenapa kamu enggak cerita ke aku kalau waktu itu kamu lagi ada masalah?”
Rosea dan Hana duduk berhadapan di ruang karyawan. Aletha menyuruh mereka masuk ke sana agar bisa berbicara dengan tenang. Tadi saat Hana datang, ia langsung memperkenalkan diri ke Aletha sebagai sahabat Rosea. Aletha yang sudah mengetahui siapa Hana dari cerita Rosea, langsung mempersilakan duduk dan menawarkan minuman untuknya.
“Maaf Ros, bukannya aku enggak mau cerita sama kamu. Karena aku sendiri paham gimana kondisi kamu saat itu. Sehari sebelum aku tahu kabar perceraian mama-papa, trauma kamu balik lagi, aku enggak mau kamu malah makin terbebani sama masalah aku.”
Tangis makin deras keluar dari kedua mata Rosea. Ia menggeleng kuat seakan menyiratkan seharusnya ia ada untuk Hana saat itu. Pasti rasanya berat harus memilih di antara keduanya. Dan terasa lebih berat lagi karena tak ada seorang pun di sebelahnya saat itu terjadi.
“Maaf ya Ros, aku enggak bisa ada di samping kamu selama ini.”
“Endak. Endak. Aku yang seharusnya minta maaf. Harusnya aku nemnin kamu waktu itu. Kamu selalu ada buat aku dan bantuin aku bangkit dari trauma aku. Aku juga minta maaf malah membenci kamu secara endak langsung. Maaf aku punya pikiran negatif kalo kamu lebih suka berteman dengan orang sana daripada sama aku.”
Mendengar akhir perkataan Rosea yang terlalu naif, Hana terkekeh, “Hahaha… Walaupun mereka lebih asik daripada kamu, tetep kamu sahabat yang paling bisa ngertiin aku.”
Ikatan di antara Hana dan Rosea begitu erat. Sebuah persahabatan yang didasari dengan ketulusan adalah anugerah dari Tuhan.
[...]
“Kak Miko! Seriusan kakak malu-maluin Taco!”
“Malu-maluin apa sih, dek?”
“Kakak kayak anak yang enggak pernah di urus sama orang tuanya tahu enggak? Kaosan, celana sobek-sobek, sendal gocengan, trus nih rambut acak-acakan! Trus ini juga kumis. Cukur yang bersih kek!” Taco semakin mengacak rambut Miko.
“Kakak make apa aja mah ganteng. Lihat aja pas tadi kakak nungguin kamu di depan gedung les, temen-temen kamu pada ngeliatin kakak.”
“Idih ge er banget! Udahlah ayo masuk ke kafenya. Ini kafe super duper enak menunya.”
“Awas kalo enggak enak!”
Ketika Miko dan Taco melangkah keluar dari mobil mereka, dari jarak lumayan jauh Miko melihat Rosea bersama seorang perempuan berdiri di depan kafe. Netra Miko masih sangat fokus melihat Rosea hingga perempuan yang bersamanya menghilang dari balik pintu.
Taco telah memesankan beberapa menu untuknya dan sang kakak. Kala makan, mata Miko tak lepas dari Rosea yang berada di belakang kasir menggantikan pekerja yang tadi melayani adiknya. Dengan mata menyipit, karena sedang tak mengenakan kaca mata, Miko melihat mata Rosea yang sembab, tetapi tetap terlihat ayu dan manis dengan senyumnya ketika melayani pelanggan.
“Ngeliatin apa sih kak?” Taco mengikuti ke mana arah pandangan Miko. Dari dugaannya Miko memerhatikan seorang gadis dengan celemek cokelat serta rambutnya dikuncir kuda yang sedang melayani pembeli.
Cantik sih, pantes mata nih buaya jelalatan. Batin Taco menyinyiri kakaknya.
Dengan tiba-tiba Taco memegang kedua sisi wajah Miko dan menghadapkan ke wajahnya. “Cantikan aku atau kakak itu?” tanya Taco menunjuk Rosea yang saat ini sedang tersenyum manis.
“Dia…,” jawab Miko yang melanjutkan tatapannya pada Rosea yang sempat terputus. Taco mendengus kesal, tetapi Taco senang bisa melihat kakaknya jatuh cinta. Menggemaskan.
[...]
Baru saja Julian sampai di rumah setelah mencari tanaman apa yang cocok untuk hadiah mamanya. Sesaat Julian tertawa pelan mengingat perdebatan sahabatnya tadi mengenai tanaman apa yang mamanya suka.
Dinan menggaruk alisnya, berpikir tanaman yang sebaiknya mereka beli. "Gimana kalau lidah buaya?"
"Sini lidah lu gua potong. Sama aja kan lidah buaya?" sarkas Royan.
"Dih!"
Di tengah-tengah tawanya, gawai Julian berdering. Julian membaca siapa nama yang tertera di layar gawainya. Dengan gerakan cepat jarinya menggeser tombol berwarna hijau ke arah kanan.
"Halo Ser?"
"Halo, apa benar ini dengan mas Julian?"
"I-iya saja Julian. Ini siapa ya?"
"Maaf mas ini pacarnya lagi mabuk di bar saya, boleh minta tolong segera dijemput? Alamatnya di Jalan Alamanda nomer 3, di sebelah Hotel Alamanda."
"Oh iya mas, saya segera ke sana. Terima kasih infonya."
Julian melesat mengambil jaket dan kunci mobil. Berlari menuruni anak tangga dan menuju garasi. Menyalakan mobil dan segera pergi.
Julian panik bukan main. Pasalnya gadis itu tidak toleran akan alkohol, namun kenapa malah minum-minum. Julian melesat mengambil jaket dan kunci mobil. Berlari menuruni anak tangga dan menuju garasi. Menyalakan mobil dan segera pergi.
"Argh! Kamu kenapa sih, Ser?!" Julian memukul stirnya dan mengusap kasar wajahnya. Ia tak habis pikir dengan kelakukan Serena.
Udah berhari-hari kamu enggak ada kabar, kenapa sekalinya ada kamu dalam keadaan kayak gini? Ada apa sebenernya sama kamu, Ser?
Julian mengangkat Serena dari kursi bar ke dalam mobil. Bau alkohol menguar dari mulut gadis itu kala berusaha memanggil nama Julian.
"Halo Julian…" Hana bergelayut manja di lengan Julian yang sedang menyetir.
"Julian kamu kenapa sih kok suka banget sama temen-temen kamu yang enggak jelas, hm?" Julian melirik ke arah bahunya yang disandari Serena. Kekasihnya meracau sekarang.
"Kalo enggak sama sahabat kamu, kamu pergi ke kantor Om Reno. Rapatlah, bantuin bikin laporanlah, ikut observasilah. Kapan sama akunya? Aku bosen kamu tinggal terus…"
Dahi Julian berkerut. Bukannya Serena yang malah cenderung menghindar akhir-akhir ini? Buktinya saat Julian tak ada keharusan untuk membantu perusahaan papanya dan memiliki banyak waktu luang, Serena malah kabur-kaburan darinya. Menghindar dengan seribu alasan. Bahkan tak membalas pesan dan panggilannya.
Julian memutar mata jengah, mengusap rambutnya dengan kasar. Lelah jika harus menjalani hubungan yang seperti ini terus-terusan.
Melihat waktu yang telah melewati tengah malam, Julian membawa Serena ke apartemen miliknya. Apartemen yang ia beli dengan tabungannya. Ia gunakan apartemen ini di saat ia membutuhkan waktu sendiri atau ingin fokus menuntaskan tugas kuliahnya. Panorama yang bisa ia lihat dari apartemen bisa menenangkan pikirannya. Tak jarang pula ia gunakan untuk menghabiskan waktu berdua bersama Serena.
Dengan perlahan Julian menidurkan Serena di atas kasur. Melepas sepatu hak tinggi dan jaket yang melekat di badan Serena. Julian menarik selimut setinggi dada dan membenarkan posisi bantal agar kekasihnya dapat tidur dengan nyaman.
Serena tak lagi meracau. Melihatnya tidur dengan lelap seperti ini menyulitkan Julian untuk memutuskan hubungan mereka. Julian teringat kejadian temannya yang mengabari jika Serena bersama lelaki lain, lalu cara gadis itu menghindar darinya, membuat hatinya sesak.
Kenapa mencintai kamu harus semenyesakkan ini, Ser?
Julian dengan telaten menyingkirkan rambut-rambut yang menganggu dirinya melihat wajah cantik Serena dengan jelas. Membelai wajah tirus Serena dengan sayang. Memberikan kecupan pada bibir mungil Serena sebagai penutup.
I love you, Serena. Selamat malam.
Sekali lagi Julian mengecup bibir Serena, namun kali ini lebih lama. Lewat bibir yang saling bertemu, Julian berharap Serena merasakan betapa besar cintanya.
Kaki Julian beranjak dari kasur yang ditiduri Serena, namun langkahnya terhenti seketika selepas ia mendengar suatu kalimat yang mampu membuat napasnya tercekat.
"Kak Lu, Kak Lu kenapa ninggalin Serena? Serena udah ninggalin Julian buat Kak Lu...."
Serena menangis.
Serena menangisi laki-laki lain di hadapan Julian.
Dan sudah jelas. Alasan Serena mabuk bukan dirinya, melainkan laki-laki yang diracaukan Serena barusan.
Ser? Gua kurang apa?
"Sering kali cinta saja tak cukup untuk memenuhi asupan ego manusia.”Sadar dari mabuknya semalam, Serena berjalan dengan badan yang masih lemas. Netranya menyusuri setiap sudut ruangan yang ia tempati. Dilihat dari perabotannya, ia tahu ini apartemen Julian."Sudah bangun, Ser?" Julian yang sedang memasak bubur untuk Serena mengalihkan fokusnya dari kompor."Menurut kamu gimana?" Serena malah membalas dengan nada sengau. Julian termangu. Perbedaan Serena sangat nyata. Setahun ini ia kira itu semua hanya ilusi dalam pikirannya saja karena mereka tak berada di kampus yang sama. Nyatanya, Serena memang berubah.Dengan suasana tegang, Serena dan Julian makan. Tanpa ada suara. Tanpa ada tawa. Tanpa ada debaran. Semuanya hambar. Kini cinta rasanya sudah tak lagi bersarang di tempatnya."Sekarang jam berapa, Jul?" Serena sudah menyelesaikan makannya dan menaruh mangkuknya di mesin pencuci piring."Jam 9, kenapa S
"Ketika hatimu remuk, semuanya akan menjadi sangat menyesakkan.”Pikirannya kacau dan semua perih bergelung di dada. Kepedihan meringsak masuk menggerogoti perasaannya. Sehancur apapun keadaannya, dunia tetap berputar, waktu tetap berjalan.Julian menggendong tas gitarnya menuju mobil yang terparkir di depan gedung FEB. Sahabat-sahabatnya sudah pergi entah kemana sejak ia tinggal mengambil gitar dari ruang UKM seni.Hari ini, hari pertama Julian bekerja sebagai penyanyi kafe, di Kafe Aletha. Perasaannya bercampur aduk. Antara senang dan gundah, tetapi bagi Julian pantang untuk mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan.Rosea memandang lurus ke arah panggung dari balik meja kasir. Julian sudah nampak siap dengan gitar di pangkuannya. Ia mulai menyapa para pengunjung kafe. Semua nampak antusias.Lagu dimulai dengan permainan gitar yang menghanyutkan setiap jiwa yang ada di sana. Julian memejamkan matanya, menyatukan dirinya dengan lagu ya
“Lukamu akan sembuh. Maka bersabarlah!”Sudah beberapa hari berlalu semenjak malam itu. Rosea bersyukur saat itu terjadi Hana ada di sampingnya, setidaknya tidak ada hal bodoh yang ia lakukan. Walaupun beberapa hari sejak malam itu ia merasa sangat cemas dan badannya tak enak, ada Hana yang dengan sabar merawatnya. Hana juga menginap beberapa hari, memastikan bahwa Rosea benar-benar kembali stabil.Rosea senang memiliki Hana sebagai sahabatnya.“Males banget deh harus latihan bareng sama anak basket. Perasaan selama 2 tahun baru kali ini kayak gini. Huft…” Bela mendengus kesal.“Ya mau gimana lagi. Sekitar sebulan lagi kita ada lomba. Belum lagi kemaren ada UTS jadi kepotong waktu latihannya, kan?” Rosea mengelus lengan Bela yang tidak suka berita yang Mas Begas, pelatih dance mereka, bawa bahwa latihan dipindahkan ke lapangan basket. Alasannya karena ruang latihan mereka sedang direnovasi.“Iya sih…,” Bela menjawab lunglai.Latih
“Sakit bisa saja mendatangkan lebih banyak kebaikan bagi orang-orang yang ikhlas menjalaninya.”Sudah delapan kali Rosea ke kamar mandi untuk buang air besar. Sebuah ritual pasti setelah makan seblak, tetapi tak pernah separah ini. Kemarin sepertinya ada sebuah setan antah berantah membisikkan pesan untuk membeli seblak dengan level maksimal. Biasanya Rosea membeli level 0. Paling mentok ya level 3 kalau-kalau gadis itu sedang frustasi dengan tugas Pak Jagad.Rosea sudah seperti melakukan simulasi bunuh diri.“Gini banget punya penyakit maag!” gerutu Rosea dengan tangan memegangi perutnya. Dirinya masih berbaring lemas di atas kasur sembari berharap mulesnya akan hilang.“Ah sebel! Tau gitu aku ajak makan mi yamin aja ketimbang makan seblak. Sama-sa
CHAPTER 9“Akan ada harapan baru untuk orang-orang yang masih mau berjuang.”“Tolong bantuin gua dong!” pinta seorang gadis pada laki-laki bertubuh jangkung di depannya.Pagi-pagi sekali di ruang tamu rumah bertingkat tiga ini diisi oleh dua orang bersentimen tinggi. Si gadis dengan baju tidur berwarna cerah, di kepalanya dihiasi bando dengan aksen sepasang tanduk sapi. Sedangkan si laki-laki nampak santai dengan kaos dan celana jeans robek-robek, duduk bersandar sofa, serta kakinya disilangkan dan telapaknya bergerak-gerak.“Adah-adah! Apaan lagi sih, wak?” Laki-laki itu menyugar rambutnya angkuh. Matanya terlihat jengah menatap gadis di depannya. Walaupun cantik—ralat, sangat cantik—tetapi, karena sifatnya yang menyebalkan membuatnya malas.“Eh lu gua bayar ya!”Laki-laki itu sontak melotot. “Koreksi. Bokap lu!”Gadis itu menunjukk
"Semua yang pahit pasti pergi. Jika datang kembali, ucapkan padanya bahwa kamu sudah siap melaluinya lagi.”Lampu warna-warni yang menghiasi aula lantai 2 gedung FISIP malam ini menambah semarak kemeriahan acara para mahasiswa ilmu komunikasi. Beberapa teman seangkatan Rosea menampilkan sebuah musikalisasi puisi yang sangat indah. Sajak demi sajak yang mereka bawakan, membawa pandangan baru akan dunia. Membikin Rosea semakin sadar bahwa bumi yang ia pijaki sangat luas.Kini gilirannya mempersembahkan sebuah lagu yang baru-baru ini rilis dan sangat digandrungi para remaja galau, yaitu “Driver License”. Pada kesempatan kali ini, suara merdunya akan diiringi oleh petikan gitar dari salah satu teman kelasnya, Febriko.Rosea nampak manis dengan celana jeans berwarna putih gading dan badannya dibalut kardigan berwarna cokelat muda. Rambutnya dicepol dengan gaya sedikit berantakan. Riasan tipis dengan lipstik merah
“Ketakutan akan kebagusan adalah usaha menutupi keburukan.”Lembabnya jalan setapak sehabis hujan menyapa kaki Hana kala berjalan memasuki taman rumah sakit. Langkahnya gontai. Banyak pikiran buruk datang silih berganti. Ia duduk di salah satu bangku dengan lampu taman bersinar kuning.“Nih!”Hana menerima segelas coklat hangat dari orang yang telah menantinya di bangku itu sedari tadi. “Makasih.” Hana paksakan senyum berterima kasih.“Hm, Luk, makasih udah mau mantau Rosea. Jadi gua enggak terlalu telat buat tahu keadaan Rosea tadi.”“Iya, sama-sama. Udahlah wak lu gausah sedih-sedih gitu, gua ikutan sedih.” Luki bersandar pada bangku dan menoleh pada Hana.“Gua enggak habis pikir gitu, lho. Maksud gua tuh gini. Orang baik pasti ada aja cobaannya. Coba para bajingan, bedebah, preman, kenapa hidupnya mujur? Akal gua enggak bisa nerima ini semua,&
“Tiada manusia yang benar-benar kuat. Sekali pun dia terlihat tegar, salah satu bagian dirinya pasti menampakkan luka.” Miko gelagapan menjawab pertanyaan Rosea yang baru selesai mandi. Air mukanya berubah merah kala mencari-cari alasan. Hana dan Julian menatap menuntut jawab. Sedangkan Rosea santai dengan handuk di kepalanya. “Ah itu, dosennya ngeliburin. Iya, libur. Nih barusan dikabarin lewat grup.” Miko mengangkat gawainya canggung. Rosea mengangguk, lalu tersenyum. “Kalian mau makan bubur ndak? Pasti blom makan semua kan?” “Biar gua aja yang beliin!” Hana langsung melotot mendengar Miko dan Julian berseru bersamaan. Ia menatap Rosea yang mengedip-ngedipkan matanya cepat. Sahabatnya itu terkejut melihat dua orang laki-laki sangat semangat ingin membantunya. “Hm, oke, mending gua aja gimana yang beli?” tawar Hana dengan nada penuh penekanan. “JANGAN!” “Kalem! Kalem! Jangan pada ngegas
“Perihal menahan rasa yang bergemuruh pada dada, manusia perlu berguru pada kesabaran dan angkara murka, agar tahu bagaimana dampak keduanya.” “WOY BABI HUTAN!” “Ha? Mana? Mana?” Miko bangun dengan gelagapan. Mukanya masih kusut dengan bekas air liur di pipi kanannya. Bajunya juga terdapat bekas air liurnya. “Lu babi hutannya! Parah banget gila lu ngorok apa kesurupan?” Rachel benar-benar murka. Semalaman setelah adegan Miko yang mabuk setelah minum anggur merah, ia ingin sekali tidur karena lelah seharian ini. Tetapi keinginannya sirna setelah satu setengah jam kemudian. Miko mengorok dengan suara yang lumayan keras. “Ngorok apaan sih? Gua kalo tidur tuh cakep banget. Sangat tenang dan tidak mengeluarkan suara.” “Pret!” Rachel beranjak dari duduknya dan merapikan ruang tamu yang dipenuhi bungkus makanan dan botol anggur merah sisa semalam. Sedangkan Miko memilih melanjutkan tidurnya. Rachel memunguti bu
“Perihal menahan rasa yang bergemuruh pada dada, manusia perlu berguru pada kesabaran dan angkara murka, agar tahu bagaimana dampak keduanya.” “WOY BABI HUTAN!” “Ha? Mana? Mana?” Miko bangun dengan gelagapan. Mukanya masih kusut dengan bekas air liur di pipi kanannya. Bajunya juga terdapat bekas air liurnya. “Lu babi hutannya! Parah banget gila lu ngorok apa kesurupan?” Rachel benar-benar murka. Semalaman setelah adegan Miko yang mabuk setelah minum anggur merah, ia ingin sekali tidur karena lelah seharian ini. Tetapi keinginannya sirna setelah satu setengah jam kemudian. Miko mengorok dengan suara yang lumayan keras. “Ngorok apaan sih? Gua kalo tidur tuh cakep banget. Sangat tenang dan tidak mengeluarkan suara.” “Pret!” Rachel beranjak dari duduknya dan merapikan ruang tamu yang dipenuhi bungkus makanan dan botol anggur merah sisa semalam. Sedangkan Miko memilih melanjutkan tidurnya. Rachel memunguti bu
“Ketulusan tak pernah meminta balasan. Berbeda dengan dendam yang selalu ingin terbayarkan.” “Iya aku setuju sama kamu, Chel. Peluang terbesare ya anak HIMA lek enggak gitu ya anak BEM. Tapi sekarang ambil kunci mading dulu.” Susi dan Rachel berjalan beriringan menuju ruang sekretariat BEM. Susi terlihat mungil berada di sebelah Rachel yang bertubuh jenjang. Rachel tadi sempat mengganti alas kaki menjadi sandal setelah makan bebek bersama Miko. “Btw, sorry ya gua ganggu lu.” “Gapapa kok, Chel. Aku juga enggak tega sama orang yang jadi korban. Tapi waktu itu aku enggak tahu harus ngapain soalnya yang lain pada ikutan gosip.” Susi terus bercerita bagaimana teman-temannya menggunjing Rosea sembari membetulkan kacamatanya. “Kok tega gitu ya? Apa ya kan kita sama-sama cewe nih ya, amit-amit kalo kena kita kan enggak enak juga. Udah kena musibah, eh jadi bahan ghibahan. Emang bener mah
“Hidup ini memang penuh drama, jadi tidak usah terkejut atau sampai berlebihan dalam menyikapi perangai orang yang bermuka dua.” Dalam ruangan VIP sebuah klab malam eksklusif, suara ketukan gelas wine mengiringi pikiran-pikiran Miko yang berkeliaran. Sedari tadi matanya menerawang jauh, memikirkan bagaimana cara menemukan orang yang menyebarkan berita tentang Rosea. Sudah dua jam ia duduk sambil menghabiskan sebotol anggur, tetapi pikirannya semakin buntu. Tadi sore Miko sekongkol dengan Julian dan Hana untuk membohongi Rosea. Miko berkata bahwa latihan dance dibatalkan karena ada turnamen basket antar kampus. Rosea untungnya percaya-percaya saja. Hana pun menghapus room chat UKM dance yang sedang membahas jadwal latihan hari itu. Hana juga pura-pura sebagain bundanya Rosea, lalu menelpon Mas Begas dan mengatakan bahwa Rosea ada acara keluarga mendadak. Malangnya Miko harus pergi dan akhirnya mem
“Tiada manusia yang benar-benar kuat. Sekali pun dia terlihat tegar, salah satu bagian dirinya pasti menampakkan luka.” Miko gelagapan menjawab pertanyaan Rosea yang baru selesai mandi. Air mukanya berubah merah kala mencari-cari alasan. Hana dan Julian menatap menuntut jawab. Sedangkan Rosea santai dengan handuk di kepalanya. “Ah itu, dosennya ngeliburin. Iya, libur. Nih barusan dikabarin lewat grup.” Miko mengangkat gawainya canggung. Rosea mengangguk, lalu tersenyum. “Kalian mau makan bubur ndak? Pasti blom makan semua kan?” “Biar gua aja yang beliin!” Hana langsung melotot mendengar Miko dan Julian berseru bersamaan. Ia menatap Rosea yang mengedip-ngedipkan matanya cepat. Sahabatnya itu terkejut melihat dua orang laki-laki sangat semangat ingin membantunya. “Hm, oke, mending gua aja gimana yang beli?” tawar Hana dengan nada penuh penekanan. “JANGAN!” “Kalem! Kalem! Jangan pada ngegas
“Ketakutan akan kebagusan adalah usaha menutupi keburukan.”Lembabnya jalan setapak sehabis hujan menyapa kaki Hana kala berjalan memasuki taman rumah sakit. Langkahnya gontai. Banyak pikiran buruk datang silih berganti. Ia duduk di salah satu bangku dengan lampu taman bersinar kuning.“Nih!”Hana menerima segelas coklat hangat dari orang yang telah menantinya di bangku itu sedari tadi. “Makasih.” Hana paksakan senyum berterima kasih.“Hm, Luk, makasih udah mau mantau Rosea. Jadi gua enggak terlalu telat buat tahu keadaan Rosea tadi.”“Iya, sama-sama. Udahlah wak lu gausah sedih-sedih gitu, gua ikutan sedih.” Luki bersandar pada bangku dan menoleh pada Hana.“Gua enggak habis pikir gitu, lho. Maksud gua tuh gini. Orang baik pasti ada aja cobaannya. Coba para bajingan, bedebah, preman, kenapa hidupnya mujur? Akal gua enggak bisa nerima ini semua,&
"Semua yang pahit pasti pergi. Jika datang kembali, ucapkan padanya bahwa kamu sudah siap melaluinya lagi.”Lampu warna-warni yang menghiasi aula lantai 2 gedung FISIP malam ini menambah semarak kemeriahan acara para mahasiswa ilmu komunikasi. Beberapa teman seangkatan Rosea menampilkan sebuah musikalisasi puisi yang sangat indah. Sajak demi sajak yang mereka bawakan, membawa pandangan baru akan dunia. Membikin Rosea semakin sadar bahwa bumi yang ia pijaki sangat luas.Kini gilirannya mempersembahkan sebuah lagu yang baru-baru ini rilis dan sangat digandrungi para remaja galau, yaitu “Driver License”. Pada kesempatan kali ini, suara merdunya akan diiringi oleh petikan gitar dari salah satu teman kelasnya, Febriko.Rosea nampak manis dengan celana jeans berwarna putih gading dan badannya dibalut kardigan berwarna cokelat muda. Rambutnya dicepol dengan gaya sedikit berantakan. Riasan tipis dengan lipstik merah
CHAPTER 9“Akan ada harapan baru untuk orang-orang yang masih mau berjuang.”“Tolong bantuin gua dong!” pinta seorang gadis pada laki-laki bertubuh jangkung di depannya.Pagi-pagi sekali di ruang tamu rumah bertingkat tiga ini diisi oleh dua orang bersentimen tinggi. Si gadis dengan baju tidur berwarna cerah, di kepalanya dihiasi bando dengan aksen sepasang tanduk sapi. Sedangkan si laki-laki nampak santai dengan kaos dan celana jeans robek-robek, duduk bersandar sofa, serta kakinya disilangkan dan telapaknya bergerak-gerak.“Adah-adah! Apaan lagi sih, wak?” Laki-laki itu menyugar rambutnya angkuh. Matanya terlihat jengah menatap gadis di depannya. Walaupun cantik—ralat, sangat cantik—tetapi, karena sifatnya yang menyebalkan membuatnya malas.“Eh lu gua bayar ya!”Laki-laki itu sontak melotot. “Koreksi. Bokap lu!”Gadis itu menunjukk
“Sakit bisa saja mendatangkan lebih banyak kebaikan bagi orang-orang yang ikhlas menjalaninya.”Sudah delapan kali Rosea ke kamar mandi untuk buang air besar. Sebuah ritual pasti setelah makan seblak, tetapi tak pernah separah ini. Kemarin sepertinya ada sebuah setan antah berantah membisikkan pesan untuk membeli seblak dengan level maksimal. Biasanya Rosea membeli level 0. Paling mentok ya level 3 kalau-kalau gadis itu sedang frustasi dengan tugas Pak Jagad.Rosea sudah seperti melakukan simulasi bunuh diri.“Gini banget punya penyakit maag!” gerutu Rosea dengan tangan memegangi perutnya. Dirinya masih berbaring lemas di atas kasur sembari berharap mulesnya akan hilang.“Ah sebel! Tau gitu aku ajak makan mi yamin aja ketimbang makan seblak. Sama-sa