Rinai berjalan dengan tergesa-gesa setelah keluar dari lift yang membawanya naik ke lantai tujuh, di mana Kenshi berkantor. Sang sekretaris yang melihat kedatangan Rinai menggangguk sambil tersenyum."Pak Kenshi ada?" tanya Rinai, dia menunjuk pintu coklat yang bertuliskan CEO."Ada, Buk. Bapak baru saja selesai meeting."Rinai menggangguk sambil tersenyum. "Baiklah, makasih. Saya masuk dulu." Rinai mengetuk pintu besar itu beberapa kali, setelah mendengar jawaban dari dalam, wanita itu menekan gagang pintu ke bawah, lalu mendorong ke arah dalam. Aroma apel segera menusuk hidung Rinai kala masuk ke dalam ruangan yang didominasi warna serba putih tersebut. Ruangan itu lebih banyak dipasangi kaca hingga cahaya masuk lebih banyak. Satu set sofa berwarna hitam diletakkan di sisi sebelah kanan Rinai. Bila duduk di sana, kita bisa melihat pemandangan taman kota yang ramai dikunjungi saat akhir pekan.Di sebelah kiri Rinai, satu buah lemari besar diletakkan seperti menempel ke dinding. Di s
Rinai terlihat gusar. Beberapa kali dia mencoba menghubungi ponsel Kenshi tapi selalu ditolak. Dia mencoba menelepon pria itu lagi, namun kali ini justru operator yang menjawab. Wanita itu menatap ponselnya nanar. Benaknya bertanya-tanya ada apa dengan pria itu? Sikap dia sangat berbeda sejak pulang dari rumah Irene tiga minggu yang lalu. Pria itu seolah-olah sedang membentangkan jarak dengannya dan itu menyakiti dirinya. Wanita itu mencoba menggali ingatan apa dia telah melakukan kesalahan hingga Kenshi berubah drastis seperti itu? Makin dia keruk ingatan itu, makin tak ditemukan masalah di antara mereka.Apalagi saat mengetahui Kenshi membatalkan semua yang sudah mereka sewa. Mulai dari gedung, sampai katering. Meski pria itu sudah menjelaskan, tapi tak masuk akal bagi Rinai. Ada sesuatu yang pria itu sembunyikan, entah apa. Dia tak bisa menebak atau mengasumsikan apa pun, karena memang tak ada yang salah dengan hubungan mereka. Malah pikiran-pikiran buruk berkembang liar di benak w
"Nai, maafkan aku melibatkanmu dalam masalahku," ucap Kenshi seraya menerima handuk yang telah direndam air hangat. Dia menempelkan ke pipinya yang ditampar Rinai. Jika satu tamparan saja tak apa, tapi dia juga mendapat tamparan dari Nailah. Wanita itu kesal karena membiarkan kesalahpahaman terjadi antara dirinya dan Rinai. Padahal Nailah hanya ingin berpamitan pada Kenshi. Dia ingin pindah ke kota asalnya dan memulai hidup baru di sana. Sebelumnya Nailah telah membicarakan hal itu kepada Kusuma. Mertuanya itu meloloskan keinginan sang wanita, dia juga memberikan separuh harta yang menjadi hak Nailah, separuhnya lagi akan diberikan saat putrinya dengan almarhum Riyad dewasa. Namun, hal itu bukan prioritas bagi Nailah. Setelah melihat keseriusan Kenshi, dia mulai menyadari kesalahannya, mulai memperbaiki diri menjadi lebih baik. Dia sadar, cinta tak bisa dipaksakan, apalagi dia mengejar Kenshi hanya karena takut kehilangan harta dan hidup menderita. Ternyata, melepas semua ketakutan
Perlahan kelopak mata Rinai terbuka. Warna putih yang menjadi cat langit-langit kamar menjadi benda pertama yang dilihatnya. Bau antiseptik yang menusuk menembus lubang hidung wanita itu, membuat dia menyadari sedang berada di rumah sakit. Rinai mengerjapkan matanya sembari mengingat kenapa bisa berada di tempat itu. Sebuah tabrakan, teriakan. Dia meringis saat mencoba menggerakkan kepalanya, meraba bagian yang terasa sakit. Dia merasakan kepalanya diperban, tangannya menurun ke bagian leher. Pantas saja terasa sangat kaku, sebuah penyangga dipasang di sana agar bagian itu tak bergeser."Kamu sudah bangun?" Sebuah suara masuk ke gendang telinga Rinai. Untungnya dia familiar dengan suara tersebut, hingga tak perlu menoleh."Bagaimana aku bisa ada di sini?" Rinai menatap Reinart yang telah berdiri di sampingnya. Reinart tak menjawab. Dia meletakkan bungkusan yang dia bawa. Memegang kepala Rinai dengan pelan dan menelisik wajah wanita itu."Rei ...." Rinai memanggil lirih. Dia jengah d
Rinai menepis pelan tangan Reinart yang hendak memegang pinggangnya. Wanita itu memilih berjalan sendiri meski pelan. Dia tak peduli bagaimana tanggapan pria tersebut padanya. Dia tak ingin dikasihani, cukup sudah hinaan yang dia terima selama ini. Kelembutan serta belas kasihnya dimanfaatkan oleh orang-orang yang dia percaya. Rupanya, menjadi orang baik itu tak berguna sama sekali. Sebanyak apa pun dia menanam kebaikan, tetap saja buruk di mata orang lain. Reinart mengembuskan napas pelan melihat penolakan Rinai. Dia mengekori wanita itu dari belakang, berjaga-jaga jika membutuhkan bantuannya. Hatinya tersentuh melihat punggung Rinai yang terlihat rapuh. Melihat wanita itu berupaya sendiri berjalan, meski 'gips' masih terpasang di kaki kanannya, membuat pria itu tersenyum kecut.Sebuah tamparan halus menyentuh hati Reinart. Selama menjadi istrinya, Rinai sama sekali tak pernah mengeluh. Wanita itu selalu melakukan kewajibannya dengan sangat baik, melayaninya sepenuh hati. Bahkan, sa
Reinart mengetuk pintu kontrakan Rinai beberapa kali. Hampir satu bulan wanita itu tak berkabar dengannya. Dia benar-benar menutup diri tak bertemu siapa pun. Bahkan, makanan yang dikirim Reinart melalui aplikasi online tak satu pun diterima Rinai. Reinart cemas Rinai melakukan sesuatu yang berbahaya. Meski dia tahu wanita itu tak akan pernah berbuat nekad, tapi bisa saja bila kesedihan yang terlalu dalam, membutakan mata hatinya."Rin, buka pintunya atau aku dobrak!" seru Reinart sambil mengetuk pintu lebih keras. Dia benar-benar akan melakukannya jika wanita itu masih juga keras kepala.Reinart ingin berteriak lagi, tapi dia mengurungkan niatnya saat mendengar langkah kaki dari dalam rumah. Perlahan pintu rumah Rinai terbuka dan menampilkan sosok wanita tersebut."Ada apa?" Rinai bertanya dengan nada dingin pun wajahnya, tak terlihat emosi di sana.Reinart tersenyum lega. "Syukurlah, aku pikir kamu kenapa-napa. Kamu enggak jawab satu pun pesanku. Aku mencemaskanmu, Rin."Rinai mema
Rinai tersenyum betapa antusiasnya Anindya malam ini. Pasar malam yang digelar setiap akhir bulan ini memang sangat meriah. Lampu warna-warni digantung di sepanjang lapangan. Aneka permainan juga digelar di sana. Seperti, menangkap ikan menggunakan jaring kecil, melempar gelang, menembak sasaran di papan, permainan bianglala, kuda-kudaan, dan masih banyak lagi. Penjual makanan pun juga tak mau kalah memeriahkan pasar malam tersebut. Mereka menggelar dagangannya di pinggir lapangan yang dipasangi lampu dengan voltase besar. Ada mainan, baju kaos yang bisa dicetak nama, dan makanan. Penjual yang sering diserbu adalah penjual gulali. Makanan yang terbuat dari gula pasir dan pewarna itu, masih menjadi favorit anak-anak. Bahkan, tak jarang orang dewasa juga menyukainya. Rasanya yang manis dan warna menarik, membuat ingin makan terus dan terus.Rinai menurunkan Anindya yang memerosotkan tubuhnya ke bawah. Begitu kaki kecilnya menyentuh tanah, batita itu segera berlari ke arah kolam kecil
Angin berembus sangat kencang, disertai hujan deras yang turun sejak malam. Bulan September memang lebih dingin dari bulan sebelumnya. Rinai bahkan harus mengenakan jaket untuk menghalau dingin di malam hari. Dia baru saja mendidihkan air untuk membuat jahe merah. Tubuhnya memang tidak dalam kondisi baik sejak semalam, apalagi pikirannya.Sejak Reinart menyatakan keinginan melamarnya lagi, Rinai lebih banyak diam. Wanita itu tak menjawab atau menolak. Bukan ingin menggantung sang pria, bagaimana dia bisa memberi jawaban sementara hatinya tak bisa lagi merasakan cinta. Dia sudah lama mematikan hatinya, sejak Kenshi menorehkan luka. Namun, dia juga tak tega menolak ketika Reinart mengatakan Anin sangat bahagia saat mereka bersama. Batita cantik itu mampu membuat dunianya yang abu-abu menjadi berpelangi.Dering dari ponsel yang diletakkan di atas tempat tidur, membuyarkan lamunan Rinai. Dia melirik jam yang tergantung di dinding kamar, hampir satu jam dia duduk termenung di dekat jendela
Sebuah Villa berdiri sangat kokoh di daerah perbukitan. Satu-satunya bangunan yang berada di tengah-tengah perkebunan teh itu terlihat sangat mencolok, baik dari bentuk maupun catnya. Bangunan yang lebih mirip sebuah kastil di abad pertengahan tersebut milik Kenshi. Tanah itu sengaja dia beli setahun yang lalu saat berkunjung ke rumah Nailah. Tanah itu dia bangun dalam waktu enam bulan, sambil menanam harapan kelak tempat tersebut akan menjadi tempat liburan bersama Rinai dan anak-anak mereka.Kenshi percaya jika kata-kata memiliki kekuatan magis. Oleh karena itu dia selalu mengucapkan semua keinginannya setiap saat. Dia yakin semua ucapannya akan menjadi kenyataan suatu hari nanti. Penantian dan semua harapan pria tersebut dikabulkan Sang Mahakuasa, bangunan megah yang berdiri di atas tanah seluas dua hektar tersebut, kini dipenuhi kendaraan roda empat. Mereka hadir untuk menjadi saksi pernikahan Rinai dan Kenshi. Setelah drama percintaan yang panjang, akhirnya sang wanita menerima l
Rinai bergegas mengayuh sepedanya. Mujur, hujan semalam sudah berhenti sejak subuh, meninggalkan jejak basah di jalanan dan genangan air di lubang-lubang yang berlumpur. Andai saja semalam dia tak tidur larut malam, mungkin tak akan terlambat mengantar kepergian Ayu menuju tempat kuliahnya.Gadis itu memberi kabar bahwa dia diterima di universitas yang direkomendasikan Rinai. Wanita tersebut memenuhi janjinya membayar uang pangkal masuk ke universitas itu dan berjanji sesekali akan mengunjungi Ayu nanti."Mbak Rinai!" Ayu berseru begitu melihat kedatangan Rinai, dia menyongsong seraya tersenyum melihat Rinai memarkirkan sepedanya. "Aku pikir Mbak enggak jadi datang."Rinai tersenyum, dia memperbaiki anak rambut yang dimainkan semilir angin. "Jadi dong. Mbak enggak akan lewatkan kesempatan ngantar kamu, meski cuma sampai terminal ini.""Makasih, ya, Mbak. Kalau enggak ada Mbak, enggak mungkin Ayu bisa kuliah di tempat sebagus itu." Lirih Ayu, di menggenggam tangan Rinai erat dan menata
Rinai menunduk melihat jemarinya yang terjalin erat di atas pangkuan. Sesekali melihat ke depan, di mana dua orang pria beda usia sedang bercengkerama, mereka ayah dan anak yang sedang bermain di taman rumah sakit. Sang ayah yang memiliki profil wajah bukan keturunan Indonesia murni itu, sedang berlari-lari kecil dikejar putranya yang masih berumur satu tahun. Sesekali bocah itu terjatuh, tapi bangkit lagi begitu si ayah mendekat."Mereka seperti anak kecil, kan?" ujar Nailah sembari tersenyum. Dia tahu Rinai memperhatikan putra dan suaminya.Rinai mengangguk, dia juga mengulas senyum. "Ya, anakmu lucu sekali.""Iya, dong. Karna ayahnya juga lucu. Coba kalau Kenshi jadi ayahnya, tentu enggak seganteng itu anakku." Nailah sengaja menyebut nama Kenshi, dia ingin memancing reaksi Rinai."Pasti gantenglah, Kenshi ganteng gitu." Tanpa sadar Rinai menyelutuk.Nailah tertawa mendengar ucapan Rinai. Memang, alam bawah sadar tidak akan berdusta tentang apa yang kita pikirkan dan rasakan. Saat
"Gimana keadaan Rinai?" Nailah bertanya lewat saluran telepon.Kenshi melirik sebentar ke arah brankar rumah sakit, di mana Rinai terbaring lemah. Di tubuh wanita itu terpasang infus untuk menyalurkan cairan."Dia baik-baik aja. Dokter bilang dia mengalami shock saja.""Aku harap dia segera siuman. Kasihan dia, sebagai seorang wanita aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Kadang, kita enggak butuh mendengar keluhan, cukup menatap ke dalam mata, kita sudah bisa melihat seperti apa keadaan hatinya. Ada kalanya, wanita yang terlalu banyak senyum dan terlihat kuat, adalah wanita yang sangat rapuh."Kenshi bergeming mendengar penjelasan Nailah. Dia sangat paham luka di dada Rinai, mengerti hancurnya hati wanita itu. Oleh karena itu dia bertekad untuk memperjuangkan lebih. Meski Rinai menolak sekalipun, dia akan akan memaksa. Sebab Kenshi yakin, jauh di hati sang wanita cinta untuknya masih sangat besar."Em, Nai, aku matikan telepon dulu. Sepertinya Rinai mulai sadar." Kenshi mengakhiri
Kenshi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, kebetulan jalanan menuju tempat tinggal Nailah tidak terlalu ramai. Kata-kata Nailah memantul-mantul di gendang telinganya. Rinai ... benarkah Nailah bertemu wanita itu? Setelah sekian lama mencari, membongkar setiap sudut kota, pulau, dan mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat tinggal Rinai, semua berakhir sia-sia.Rupanya, keputusan Nailah memilih tinggal di kota kelahirannya bertahun yang lalu, adalah takdir yang telah digariskan Tuhan. Di kota itulah ternyata wanita yang selalu Kenshi cintai, berada. Bagaimana bisa dia melewatkan kota tersebut, padahal hampir setiap akhir pekan Kenshi menyambangi rumah Nailah untuk bertemu Damian. Toko bunga, Kenshi mencurigai toko bunga yang sering dia lalui saat mengunjungi rumah Nailah. Setiap melewati toko bunga tersebut, dia selalu memelankan laju mobilnya. Melihat banyaknya bunga mawar dan lili ditanam di luar toko. Bunga-bunga itu favorit Rinai. Dia juga berujar dalam hati, bila
"Kamu sudah menemukannya?" Reinart merobek sepi yang membungkus ruang kerja Kenshi. Pria itu sengaja menemui adik tirinya itu kembali setelah pertemuan bisnis mereka selesai.Kenshi menggeleng pelan, dia masih sibuk menandatangani beberapa dokumen yang diletakkan oleh sekretarisnya. "Rinai seperti lenyap begitu saja. Sudah dua tahun, bayangannya saja tak pernah terlihat.""Apa mungkin dia ke luar provinsi?" tanya Reinart lagi. Kenshi meletakkan pulpelnya ke 'pen holder' setelah selesai dengan dokumen-dokumen tadi, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku sudah mencari ke seluruh tempat, tapi enggak menemukan. Enggak mungkin juga Rinai ke luar negeri. Aku udah meminta bantuan temanku yang bekerja di imigrasi, mengecek nama Rinai. Tapi, enggak ada."Reinart terdiam. Dia tahu usaha Kenshi cukup keras mencari keberadaan Rinai. Besarnya cinta sang adik membuat Reinart malu pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berpikir bisa berkompetisi dengan Kenshi, sementara niat untuk
Waktu menunjukkan pukul 02:30 dini hari. Tetapi, lampu di perpustakaan yang merangkap ruang kerja Kenshi saat di rumah, masih menyala terang. Tiga cangkir kopi yang dihidangkan asisten rumah tangga telah tandas diminum semua. Sejak Rinai menghilang, pria itu membenamkan diri dengan bekerja siang dan malam. Baginya, tidur adalah siksaan, karena setiap tubuhnya rebah di pembaringan, wajah Rinai akan selalu terbayang. Begitupun setiap kenangan yang pernah ada. Semua seolah-olah mengorek dada Kenshi.Kenshi sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk mencari Rinai. Banyak detektif sudah dia sewa untuk menemukan keberadaan sang wanita, tapi sosok wanita tersebut seakan lenyap ditelan bumi. Dua tahun ... selama itu Kenshi menahan kerinduannya. Makin lama cintanya pada Rinai semakin besar, berbanding lurus dengan rasa bersalahnya. Banyak kata pengandaian diujarkan si pria, tapi dia sadar tak bisa merubah apa pun.Tangan Kenshi meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Dia menekan tombol save aga
Pagi belum sempurna datang, walaupun ayam jantan bersemangat berkokok saling bersahutan. Sang surya masih enggan beranjak dari peraduannya. Dia membiarkan awan-awan hitam menyelubungi langit sisa hujan semalam. Pikirnya, manusia pasti masih asyik terlena di dalam selimutnya.Tapi, tidak bagi seorang wanita. Pagi-pagi sekali dia sudah mengayuh sepeda menyusuri jalanan yang masih sedikit gelap. Sesekali bertegur sapa dengan para pekerja yang berpapasan. Desa tempat wanita itu tinggal terkenal sebagai penghasil teh terbaik. Tak heran, di sepanjang jalan banyak kebun-kebun teh yang terhampar. Semakin terang, makin banyak terlihat aktifitas warga yang mencari nafkah sebagai pemetik teh. Rata-rata dari mereka adalah perempuan berusia tujuh belas tahun ke atas. Wanita itu menghentikan sepedanya saat melihat seorang gadis yang dia kenal sedang memetik teh. Dia mengambil map yang terbuat dari plastik bening dari keranjang sepedanya. Seperti tahu diperhatikan, sang gadis mengangkat pandanganny
Rinai mengusap pipinya yang terasa basah. Entah bagaimana caranya air matanya bisa jatuh begitu saja. Melihat Kenshi berdiri di hadapan, semua kisah mereka berputar di matanya. Rencana pernikahan dan membangun rumah tangga, serta memiliki banyak anak dihancurkan oleh pria itu.Susah payah Rinai menahan hatinya agar tak lagi merasakan sakit, tapi dia gagal. Bohong jika dia tak mencintai Kenshi. Jauh di relung hati, pria itu masih menempati tahta tertinggi. Kenshi masih menguasai pikiran dan juga dirinya. Namun, wanita itu mencoba logis. Kisah mereka terlalu rumit, jika dipaksa terus bersama, yang ada hanyalah rasa sakit berkepanjangan."Rin, boleh aku bicara?" Kenshi mencoba melepaskan hening yang membelit mereka berdua.Rinai tak menjawab. Wanita itu merapatkan cardigannya, lalu duduk di kursi yang ada di teras rumah."Apa kabar?" Kenshi merapatkan bibirnya kembali, dia merutuki lidahnya yang berucap tanpa kendali. Harusnya tak perlu bertanya kabar. Dia bisa melihat sendiri dari pena