Dina memeluk tubuh suaminya dari belakang saat lelaki itu sibuk dengan pan di atas kompor, cukup kaget karena merasakan kehangatan mengerat dari belakang tubuhnya. Tak biasanya Dina akan lebih dulu memeluknya seperti ini, biasanya dia yang akan lebih aktif mendekap tubuh Dina dari belakang.
"Sudah bangun hmn.. Tadinya akan ku bangunkan dengan cara lain kalau belum bangun juga.."
"Cara lain?" Dina mengernyit dengan sisi kepala masih menempel di punggung suaminya yang sibuk membuat sarapan mereka. Semakin ia eratkan pelukannya semakin nyaman terasa, tak terlalu peduli maksud kalimat Elan sebelumnya.
"Yahh.. Membangunkan dengan sesuatu yang nikmat.."
Elan menyunggingkan senyum karena yakin Dina sedang memasang wajah muak di punggungnya. Gadis itu selalu begitu kala ia menggodanya dengan mesum, dan ia suka.
"Kakak semalam tidur duluan, tumben?"
"Oh ya? Aku bahkan tidak sadar kapan mulai hilang ingatan. Seperti y
vote dan komentar ya say, terima kasih
Semalam..Tidak! Aku tidak sedang bermimpi. Dia jelas-jelas mengatakan sedang hamil. Kalian semua dengar? Istriku hamil!! Aku dan Daisy akan dikaruniai buah hati. Kami telah benar-benar bersatu setelah memadu.Memandangi wajah lelapnya malam ini seolah tak pernah cukup waktu, selalu saja kurang dan membuatku lapar kasih sayang. Dalam wajah tidurnya seolah tersimpan ketenangan yang mendamaikan. Paras belianya ayu menyatu dalam aura baru. Aku tak pernah menyangka memiliki istri semuda ini, imut yang seolah merangsangku menggigit kulitnya kapanpun aku mau.Terkadang aku geli sendiri jika teringat masa-masa dimana kerap menggendong tubuh mungilnya, Mungil? Nama yang kini ia sebut untuk anak kami. Konyol memang tapi ah sudahlah bagaimanapun aku sudah merampas sebagian besar haknya untuk bersosialisasi dengan kawan sebayanya. Bagiku, untuk dia apa yang tidak akan ku lakukan, ia sudah banyak berkorban, untuk kakaknya, adikku, dan diriku s
Genap seminggu hukum alam berlaku, bahwa di manapun oksigen mengedari manusia, di situlah hari bahagia selalu lebih cepat berlalu. Seorang calon ayah tak pernah melewatkan detik tanpa mengutus sayang, mencurah dalam sentuhan peluk kemesraan. Ini pengalaman berbeda, menjadi ayah memang bukan cita-cita tapi prestasi yang bisa lelaki capai secara alamiah. Beruntungnya Dina, hamil di usia muda dengan suami tak bosan memanja. Setiap apa yang ada di batinny sudah berbentuk di depan mata tanpa diminta. Hanya ingin jalan-jalan keliling Jakarta dan Elan sudah menyewakan helikopter untuknya. Mungkin besok Elan benar-benar akan mengakuisisi sebuah pabrik permen untuknya.Whoknows? Namun setiap rumah tangga itu diuji, selalu ada duri. Jika mampu maka bahagia menjadi hakmu. Namun jika tidak, sesungguhnya Tuhanmu-lah yang lebih tahu menahu. Karena itulah hakikat rumah tangga, bahagia untuk bersama, bukan yang berat sebelah. "Pulang dengan siapa tadi?" E
Sepulang dari pesta Jarek keduanya bercengkerama di sofa. Banyak hal yang mereka dapat dari berbagai obrolan dengan para keluarga muda di sana. Sama-sama belajar, saling berbagi pengalaman. "Kak.." "Hmm.." "Mungil mau diberi nama siapa kalau sudah lahir?" Tanya Dina sembari menyamankan kepala di paha suaminya. Sibuk memain-mainkan kukunya sendiri. "Masih lama Sayang, nanti saja kalau sudah dekat persalinan kita pilih-pilih nama." Dina cemberut, mendongak pada suaminya yang masih saja sibuk dengan tablet di tangan. Sepertinya penolakan itu hanya sebuah alasan untuk menghindar. Lama-lama Dina jengkel karena Elan belum juga berhenti memikirkan pekerjaan ketika di dekatnya. Namun kekesalannya pun gugur oleh ingatan akan penuturan Vio. Bahwa saling terbuka dan melengkapi kekurangan pasangan dengan kelebihan yang kita punya adalah solusi kebahagiaan berumahtangga. Mungkin ini saatnya ia dituntut mengerti arti sebuah kewajiban, ia harus paham
Pertanyaan Mematikan *** Harus dengan cara apa aku memberitahunya bahwa Mungil sedang sakit? Dia pasti kecewa karena aku mengabaikan kesehatan buah hatinya. Aku sangat khawatir, tapi aku hanya bisa menyentuh Mungil kami lewat lapisan terluar kulit perutku, selain juga berdoa, meminta pada Tuhan agar senantiasa menjaganya. Terus terang aku sangat bahagia karena Kak Elan rajin menciumi perutku, walau terkadang aku iri melihatnya, andai saja aku bisa mencium perutku sendiri, pasti hari ini sudah ku lakukan tanpa henti. Aku ingin mencium lalu berbisik padanya, betapa kami sangat mencintainya. Mungil sehat-sehat ya Sayang.. Nanti bantu Mommy bicara sama Daddy. Kuat-kuat ya Nak, sebagaimana Daddy sering menyebut Mommy demikian. Mungil tidak boleh berdarah lagi, harus sembuh ya Sayang.. Mommy dan Daddy selalu menyayangimu Nak, sangat menyayangimu.. Malam ini, aku merelakan hati tak ikut sert
Kamu Dimana? *** Lari dari kenyataan, keputusan paling sederhana dari pemikiran paling sempit. *** Elan terbatuk-batuk setelah cairan merah dari gelas ke sekian menelusuri kerongkongaannya, tapi tangannya masih menuang lagi. Ia menyunggingkan senyum sendiri, tertawa lalu tiba-tiba berhenti dan menyesali segalanya. Lehernya yang lunglai membuat kepalanya ambruk di atas meja. Dalam kedipan pelan ia mengingat bagaimana Arya mencumbu bibir istrinya, memeluk pula dengan erat.Menjijikkan! "Harusnya aku membunuhmuBrengsek.. MENCEKIK LEHERMU!!" Emosi Elan benar-benar tidak stabil. Kesadaran yang terus menerus tergerus menghilangkan akal sehatnya. Ia berdiri dengan sebotolwinedi tangan, membuka pintu menyusuri dinding dengan sempoyongan. Ia berhenti di depan pintu kamar Dina. Berseringai, beguman seram, dan mengancam. "Kamu.. Hanya.. Milikku..&
Tugas Berat *** Aku meneliti setiap ruangan, termasuk di dalam lemari, tapiDaisy-ku tak ada. Apakah ia pergi? Pada dini hari seperti ini? Dia bukan gadis lemah, bisa saja nekat dan benar-benar melakukannya. Aku sudah gila! Gila! Apa yang sudah ku lakukan padanya?? Bodoh!! Seharusnya ku tempeleng pipiku sendiri. Bisa-bisanya aku melakukan hal sekotor itu!! Aku memperlakukannya dengan biadab. Ini gara-garawinesialan itu. Sekarang tenggorokanku bahkan terasa seperti dibakar, perutku pun demikian, panas. Aku butuh air dingin di kulkas untuk mengguyur otak panasku. Dan sesuatu yang tak ku duga seolah menugguku di dapur.. Aku menemukan tubuh meringkuk, menggigil kedinginan memeluk lututnya. Tubuhnya bergetar hebat saat aku mendekatinya. Matanya yang sembab merah berkaca-kaca mencoba menghindariku. Ia ketakutan. Aku melihat ada luka di bibirnya, ulahku kah? Bukan hanya bibi
Tunggu Aku.. *** "Kamu itu diam saja, urus cucu Mama, biar Mama sendiri yang membereskan jamuan.." "Tapi.." "Jangan ngeyel, nurut sama Mama.." Tap... Tap.. Tap.. Ranti maupun Asya menoleh ke belakang, ke arah tangga, dan menemukan langkah tak berenergi milik Dina. Gadis itu turun dan menghampiri mereka. "Kak Asya temani mereka saja, biar aku yang bantu Mama.." Asya terperangah, sejak kejadian mengerikan di rumah sakit, ini pertama kalinya Dina mengajaknya bicara. Mungkin sebagai luapan kekesalan atau kesedihan, sebelumnya setiap kali Asya mengajaknya bicara pun tak ada tanggapan. Tak hanya pada Asya, tapi pada semua orang di rumahnya Dina lebih memilih tak mengacuhkan, mengurung diri di kamar, mengenang kepergian Mungilnya. Sebulan yang lalu, di malam itu baik Raka maupun Elan sama-sama dirundung kecemasan. Istri mereka sama-sama melahirkan tapi dengan masa dep
Cinta Itu Ada *** Lelaki tampan berlesung pipit itu tersenyum seraya mengulurukan tangan pada lawan bicaranya yang sedang duduk di balik meja kerja. Tatapan keduanya bertemu, saling menyunggingkan senyum kemenangan. "Selamat Pak Elan.. Dengan kemenangan kita atas gugatan perdata mereka, perusahaan tidak perlu menjualDNA townbukan?" Elan berdiri, menyambut uluran tangan Ranu. Pertanda terima kasih yang besar. Lelaki itu sangat berjasa baginya, juga bagi kelangsungan rumah tangganya secara tidak langsung. "Itulah gunanya mempekerjakan dirimu di perusahaan ini. Yah sesuai isu yang beredar bahwa kemampuanmu di meja hijau tidak diragukan, cukup tidak memalukan untuk seorangcumlaudedariColumbia University." Ranu hanya tersenyum kecil lalu menuju sofa mengikuti arahan tangan kliennya. "Saya lihat anda lebih bersemangat dari sebelum-sebelumnya." "Jangan t
Bahagia Kedelapan***Dua puluh tahun kemudian.“Tapi Mom..”“Pokoknya Mommy tidak mau tahu, Krisan!” Bentak istriku. Ekspresinya menunjukkan sedang tak ingin dibantah.Hari-hari ini rumah kami memang lebih sering diwarnai prengutan wajah Daisy-ku. Pasalnya putri sulung kami yang menginjak usia dua puluh empat tahun mulai berulah. Krisan diam-diam menjadi pengagum Rash, putra kandung Raka dan Asya. Dari Asya kami tahu Krisan bahkan berani mengungkap perasaannya.Tentu saja aku turut memikirkannya, tapi mana tega menyakiti Krisan dengan kemanjaannya. Mungkin ini salahku juga terlalu memanjakannya, hingga ia terbiasa mendapat segala sesuatu yang diinginkan. Namun kali ini aku pun tak bisa meluluskan keinginannya. Ini tidak benar. Kedekatan hubungan kami berempat tak memperkenankan Krisan menjalin hubungan dengan Rash.“Berani kamu dekati
Bahagia Ketujuh***Edelweis. Itu nama putri ketiga kami. Lambang cinta abadi yang tak lekang oleh waktu, begitu kata Kak Elan padaku.Terkadang kami kesulitan membuat nama panggilan untuknya. Aku bersikukuh memanggil dia Edel, sedang Daddy-nya lebih suka memanggil Ed. Hmm.. Sebal! Seperti anak lelaki saja.Bicara soal anak laki-laki, suamiku memang sedang mendambakannya. Namun mau bagaimana lagi, berulang kali konsultasi ke dokter Diana pun belum membuahkan hasil pejantan lain di keluarga kami, hingga lahirlah bayi Edel yang punya mirip sekali dengan Yasmin kakaknya. Daddy tetap yang tertampan di antara kami.Usia Edel memang baru enam bulan tapi dari kemarin yang Kak Elan bicarakan hanya soal bayi tabung, bayi tabung, dan bayi tabung. Alasannya, dia ingin punya jagoan yang melindungi kakak-kakak perempuannya.“Beluk tentu seratus persen berhasil Kak..”“Yang penting kita berusaha
Bahagia Keenam***Tiga tahun kemudian."Dinaaaa!""Apa sih, Ma?" Dina mendekat dengan langkah lelahnya. Ia mendekati ibunya yang memegangi kepala tak kuat."Pusing Mama lama-lama."Seolah hafal perilaku ibunya, Dina segera mencari sumber masalah yang membuat ibunya menjerit memanggil namanya. Di balik meja dapur, Dina menemukan sosok kecil yang berkedip lugu duduk menatapnya. Tubuhnya dibalur tepung dari kepala hingga kaki, hanya menyisakan warna hitam di kedua mata. Warna mata Elan yang sempit tapi tajam."Yasmin.."Daripada marah, Dina justru terpingkal melihat putri kecilnya yang baru belajar berjalan itu."Anak Mommy ya ampun.." Seru Dina sambil menunduk, bersiap mengangkat tubuh si wajah bulat Yasmin."Eitt!"Seseorang datang mencegah tangannya."Mommy jangan angkat-angkat, ingat kata dokter Diana..""Kakak.. Aku sudah hafal kali..""Sok hafal ju
Bahagia Kelima***Hari ke empat puluh lima setelah melahirkan, Dina dan Elan masih tinggal di rumah Ranti. Elan paham, yang dibutuhkan seorang ibu pemula seperti Dina adalah ilmu keibuan yang bisa diperoleh dari senior-seniornya.Alhasil, rumah itu dihuni tiga pasang suami istri. Lengkap dengan tawa dan tangis kecil cucu Ranti dan Darius. Dua jagoan kecil Raka dan Asya yang mulai aktif berjalan ditambah pula si montok Krisan.Tak seperti panggilannya selama di dalam kandungan, nyatanya putri 'Sultan' satu itu lahir dengan bobot 3,8 kilogram, pipinya pun bulat tebal ala Dina kecil. Pantas saja Dina sempat menjerit tak mau tidur dengan Elan lagi kala itu.Lalu bagaimana malam ini?“Krisan, tidur dong Nak..” Elan berujar lesu sambil membelai pipi putrinya di dalam box bayi.Dina sedang sibuk menyiapkan kemeja dan jas Elan untuk esok pagi. Ia samar-samar mendengar Elan mengajak putrinya mengobrol.
Dina mempersilahkan tamunya masuk. Mengarahkan untuk mendampinginya di sofa. Seorang tamu agung yang lama ia nanti-nanti.“Itu perut pengen ditendang kayaknya, bulat amat..”“Kampret kamu!” Umpat Dina menyaksikan Bryan mengikik geli melihat bentuk tubuhnya. “Ditunggu-tunggu main lama, sekalinya datang bikin emosi kamu Bry!”Bryan pun tergelak. Temannya itu masih sama. Masih enak dikata-katain.“Kapan lahiran?”“Kata dokter sih dua minggu lagi. Aku sih ingin secepatnya, biar cuti kuliah pasca melahirkan bisa lebih lama. Aduh!”“Kenapa kamu?” Bryan panik melihat sahabatnya mengaduh sambil memegangi perutnya.“Biasa Bry, Mumut tingkahnya aduhai.. Apa semua ibu hamil merasakan begini ya? Seperti yang dokter bilang, anaknya aktif sekali. Hmm.. Persis Daddy-nya.”Mumut? Bryan memutar bola matanya. Sebuah panggilan a
Sesampainya di apartemen, Elan semakin berlebihan memperlakukan istrinya. Ia menggendong Dina dari tempat parkir hingga masuk ke dalam. Dina pun hanya bisa malu-malu saat berpapasan dengan orang lain. Namun sisi bahagia menguasai segalanya. Rasa malu itupun sirna sedemikian rupa.Elan baru menurunkan istrinya di sofa. Mereka berbahagia. Mereka menikmati karunia yang Tuhan titipkan di perut ramping Dina.Elan tak sabar segera membuka perut istrinya. Mengusap-usapnya lembut lalu menciumnya tak terus menerus.“Kak, geliihh..”Elan tak peduli. Ia hanya ingin menyalurkan kasih sayangnya. Menebus dosa masa lalu karena tak bisa memberi Mungil limpahan kasih sayang.“Kakak.. Sudaah..” Rajuk Dina.Elan merayap ke atas. Tersenyum lalu mencium bibir istrinya yang juga tertarik lebar. Ia memutar posisi, menelungkupkan Dina di atas tubuhnya yang terlentang.“Kakak bahagia ya usahanya berhasil?”Bibir Elan
Semakin hari Elan semakin diuji oleh Dina. Bak jatuh tertimpa tangga, sudah lama tak dapat jatah, ia malah mau-mau saja diminta Dina melakukan apapun keinginannya. Jika saja tidak teringat kemungkinan ada adik Mungil di dalam sana rasanya ia tak mungkin rela berpuasa hampir dua minggu lamanya.Hampir setiap hari Elan memaksa Din memakai testpack tapi selalu ditolak mentah-mentah. Tunggu seminggu katanya, seperti Mungil dulu.Hueekk.. Hueekk..Elan mendengar suara itu dari arah dapur. Ia panik menemukan istrinya memegang kepala dan perut tampak kesakitan.“Sayang kamu kenapa?”Dina mewek, merengek, menangis manja. Elan pun semakin mendekat untuk memastikan istrinya baik-baik saja.“Hiks.. Sakit Kak perutnya..”Elan mengusap air mata di pipi Dina. Dilanjutkan mengelus perutnya lembut sekali. Ia yakin 99,99% ada adik Mungil di dalam sana. Kepanikannya berangsur kendur, terutama setelah Dina denga
"Kupasin!"Elan mengalihkan bola mata dari layar laptopnya. Melirik wajah menyun yang tiba-tiba seenak sendiri meletakkan sekantung kacang di atas keyboard laptop lalu duduk di sofa.Ia terpaksa menutup laptop setelah menyinyalir gelagat kecemburuan dari istrinya. Memang salahnya juga menduakan perhatian pada pekerjaan.Dengan sabar, Elan mengupas kacang garing itu lalu menyetorkan setiap butirnya di tangan Dina. Ia tersenyum karena belum juga menemukan senyuman di bibir istrinya."Cemberut terus? Kan sudah dikupasin..""Tahu! Sebel!" Dina ketus.Elan meletakkan kacangnya di atas meja. Ia gemas melihat raut muka Dina. Tubuhnya tiba-tiba menerjang istrinya agar rebah di atas sofa."Iiiihhh!! Tidak mau! Pergi!! Kakak bauuu!!" Dina terus mengajukan protes keras sembari menepuk-nepuk dada Elan.Elan pun mencium kedua ketiaknya sendiri. Menurutnya wangi, tapi dari kemarin setiap kali dipeluk Dina selalu me
PR *** "Kak.. Nanti aku cukup diam kan di antara kalian? Aku malu kalau terlihat bodoh." "Itu lagi itu lagi yang ditakutkan hmph.." Elan membuang mukanya ke kaca mobil di sebelahnya. Tangan dan pikirannya sibuk berkonsentrasi pada jalanan yang cukup ramai, tapi ucapan Dina barusan berhasil memecahnya. "Ya kan aku takut Kak.." Dina bergumam sedih. "Hey jangan cemberut begitu ah, ada Vio juga di sana. Kamu bisa mengobrol dengannya.." "Dengan Afsheen juga tidak?" Dina bersemangat. Elan menaikkan pundaknya tanda tak tahu. "Sepertinya tidak. Jarek bilang mereka mau menginap di hotel tempat acara." "Loh kok?" Dina bertanya-tanya. "Mereka mau bulan madu kecil-kecilan mungkin." "Kan kasihan Afsheen Kak, kita culik yuk!" Dina mengutarakan ide gila. Tentu saja bercanda. "Terlalu beresiko, lebih baik bikin sendiri." "Kumat mesumnya ini bison. Tidak peduli malam, pagi, siang, sore, sa