Arin berbinar melihat Danar kembali masuk kantor. Dia segera menyambut lelaki itu dengan gaya sok akrab. Langkahnya bergerak mendekati Danar yang sedang mendapatkan ucapan selamat datang dari para stafnya. "Pak Danar udah merasa sehat? Kok udah masuk kantor aja?" tanya Arin sembari melihat ke arah gue kanan Danar yang masih dibungkus perban dan gips. Di permukaan perban itu sudah banyak coretan ucapan sembuh. "Saya sudah sehat kok, Arin. Saya bosan tiduran terus." "Wah, kalau begitu misal Bapak butuh sesuatu jangan sungkan memberi tahu saya, ya. Saya siap membantu," ucap Arin dengan senyum yang dibuat semanis mungkin."Terima kasih, Arin." Danar tersenyum tipis, lantas mata legamnya menyorot padaku yang berdiri di sisi Arin. "Ikut ke ruangan saya, Win," ujarnya lalu bergerak kembali ke ruangannya. Arin seketika manyun. "Kok lo sih yang diundang ke ruangan dia. Padahal jelas-jelas gue yang nawarin bantuan," gerutu Arin dengan bibir mencebik. "Jangan manyun. Mau gue kasih tau sesu
Giko mendengus ketika melihatku mengusik aksinya merayu seorang cewek. Gila, ya. Bahkan pramuniaga kafe dia embat juga. Aku sontak memukul kepalanya saat dia mendekat padaku. "Dasar playboy ayam jago. Kerja! Malah gombalin cewek," hardikku mendelik. Tangannya mengusap bekas pukulanku. "Sakit, Win. Lo ringan tangan banget, sih? Pantes jomlo!" Aku mendelik. "Mending juga jomlo daripada sekalinya punya pacar playboy Jatinegara kayak lo. Ngapain lo di sini?" Giko menunjukkan sebuah donat yang tinggal setengah. "Gue tadi belum sempet sarapan makanya ke sini. Eh, ketemu Adel yang cantik dan imut," ucapnya seraya tersenyum lebar. Ya Tuhan, mana ucapannya yang katanya mau fokus mengejar Arin? "Mata masih jelalatan saja, sok-sok-an mau ngejar Arin." Aku menerima kopi dari penjaga konter coffebean. "Siapa yang jelalatan coba? Tadi itu gue lagi motivasi Adel biar dia lanjut kuliah lagi. Kan sayang kalau nggak dilanjutin. Masa depannya masih panjang." Aku mencebikkan bibir. "Modus aja lo.
Aku menolak tawaran pulang bersama Giko dan Danar lantaran Tama sudah lebih dulu mengirimiku pesan akan menjemput sore ini. Beralasan karena ada urusan dengan Arin, akhirnya kedua lelaki itu mau meninggalkan aku di lobi bersama dengan Arin. "Lo dijemput siapa?" tanya Arin begitu Danar dan Giko menjauh. "Gue nggak dijemput siapa-siapa kok," sahutku berbohong. Aku belum mengatakan apapun tentang Tama dan hubungan kami yang mulai rumit kepada Arin. Inginnya, aku merahasiakan untuk diri sendiri. Hubungan kami lain dari yang lain. Bukan hubungan yang layak dipamerkan. Arin berdecak. "Mustahil banget. Kalau enggak ada yang jemput lo ngapain lo pake acara bohong segala?" Aku lupa kalau Arin adalah manusia yang susah buat dikibulin. "Yuk, ah! Kita jalan aja." Aku menggaet lengan Arin keluar lobi. "Lo bawa mobil enggak?" "Lo beneran mau pulang bareng gue?" tanya Arin dengan wajah nggak percaya. "Enggak. Cuma mau nganterin lo ke parkiran." "Nggak jelas banget, sumpah." Wanita berponi yan
"Kok bengong? Memang kamu nggak capek terus berdiri begitu?" Teguran Tama membuatku kikuk. Aku menggaruk belakang telingaku dengan senyum canggung dan dengan perlahan bergerak duduk di sebelah lelaki itu. "Di kantor banyak kerjaan?" tanya Tama begitu aku duduk. Aku sengaja duduk dengan posisi agak memepet pinggiran sofa. Resiko lumayan bahaya jika kami berbenturan. Jika Giko atau Danar, ceritanya lain lagi, aku sudah terbiasa duduk berdempelan dengan mereka. Tapi, Tama? Ditatap saja kadang bikin kebat-kebit. "Lumayan, sih. Banyak yang harus aku kerjain tadi. Untung saja nggak sampai lembur." Tanganku bergerak meraih remot LED. Aku butuh suara lain untuk menguraikan kecanggungan yang kadang aku rasakan saat berdua seperti ini. Rasanya begitu sunyi ketika hanya ada suaraku dan Tama yang berdengung. "Mau aku pijat." Hah? Seandainya tawaran itu keluar dari Danar atau Giko, aku nggak akan mikir dua kali untuk menerimanya. "Nggak perlu, makasih. Nanti juga capeknya ilang." Ya, kali
"Win...." Kembali aku mendengar rengekan Giko. Aku tidak peduli dan terus menyibukkan diri. Ini masih jam kerja, tapi pria itu sudah melanglang di divisi marketing. "Gue bakal lakuin apa pun yang lo mau. Please, bantu gue kali iniii aja." Kedua tangannya menangkup di depan dada, bibirnya mencebik, menampilkan wajah sememelas mungkin. "Enggak!" Dan, entah ke berapa kalinya aku memberi jawaban yang sama. Bukannya aku nggak mau bantuin dia. Tapi, gimana? Permintaan tolongnya itu nggak masuk akal. Aku melangkah keluar menuju pantri dengan Giko yang masih saja mengekoriku. Hari ini dia menjadi manusia paling menyebalkan."Nggak akan lama. Ini akan berakhir kalau kita tunangan." Mataku melotot. "Lo udah gila, ya?" Aku sekonyong-konyong memutar badan, berkacak pinggang di depannya. "Demi gue masih ada di Jakarta. Emang lo mau kalau gue dipindah ke pedalaman Sulawesi sana?" Kembali dia merengek seperti bocah. "Kota Bau-bau bukan pedalaman, ya. Kepulauan Buton itu keren, lo bisa ke Wak
Giko meremas rambutnya kencang, lantas dua tangan dari kepala turun mengusap wajah dengan kasar. Dia benar-benar seperti orang frustrasi sekarang. "Mungkin lo bisa hubungi salah satu mantan lo yang gagal move on?"Giko menatap Danar dengan mulut setengah terbuka. "Itu sama saja lo nyuruh gue nyodorin ular ke bokap." Ringisan Danar menjadi tanda itu bukan solusi yang baik. "Wina. Hanya Wina yang bisa nolongin gue. Cuma dia cewek yang nggak ngefek ke gue, dan yang penting kami akrab. Akting kami pasti akan natural dan nggak canggung lagi."Aku mengembuskan napas kasar. Apa aku harus menyerah? Tapi, sumpah ini berat. "Gue serahin semua keputusan di tangan Wina," tandas Danar akhirnya, dia terlihat bingung juga mencari solusi. "Gue masih tetap saranin lo temui cewek itu dulu. Siapa tahu kalian cocok, kan nggak perlu ada usaha buat gagalin perjodohan itu. Posisi lo aman di Jakarta," ucapku, kembali mencoba peruntungan agar Giko mau menuruti ucapanku. "Mungkin kalau cuma jadiin teman
Aku menatap lelaki yang kini sedang melakukan gerakan memutar pada kakiku. Apakah dia juga sebaik ini kepada istrinya? Ah! Pertanyaan yang bodoh. Mungkin malah dia berbuat lebih daripada hanya memijat. Memikirkannya membuatku sebal sendiri."Udah cukup, Tam." Aku menarik kakiku yang masih sedang dipijatnya. "Loh kenapa? Memangnya udah baikan?" tanya Tama dengan muka heran. "Udah enggak apa-apa kok." Aku tersenyum singkat lantas kembali menurunkan kaki. Selain mood-ku mendadak down gara-gara mengingat Tama bisa saja memperlakukan istrinya sangat baik, aku juga risih kakiku disentuh seperti itu. Aku menyukai Tama. Dan disentuh seseorang yang kita suka itu rasanya pasti ... ah, kalian pasti tau apa maksudku. "Oke, kita makan kebabnya saja kalau begitu." Tama memajukan sedikit posisi duduknya. Dia menarik kantong kertas dan membukanya. "Kamu suka pedas, kan?" "Sangat suka." Senyum pria itu kembali tersungging. "Berarti apa yang aku pesan tepat." Satu buah kebab dengan bungkus cantik
Yuk jangan lupa mampir dan beri ulasan yaaa....-------Mendengar cerita Tama tentang hubungannya dengan istrinya bikin aku tambah spaneng. Entahlah, aku sama sekali tidak bisa menerima begitu saja penjelasannya. Serasa masih belum masuk ke nalarku. Begini, Tama mengaku menikah dijodohkan. DIJODOHKAN! Sekali lagi aku tekankan. Dijodohkan saja bisa menghasilkan anak-anak yang jarak lahirnya begitu dekat, gimana kalau enggak dijodohkan? Masuk akal enggak, sih? "Mamaku dan orang tua Sintia menuntut kami untuk segera memiliki anak," dalih Tama. Yang lagi-lagi hanya membuatku bersedekap tangan dan berdecak. Kalau aku menceritakan semua yang dia akui kepada Giko dan Danar, aku yakin isi komentar mereka semua tentang hujatan untuk Tama. Beberapa menit lalu aku mengantar kepulangan Tama. Hanya sampai depan pintu saja. Lalu aku segera masuk setelah sebelumnya menghindari kecupannya yang akan mendarat di keningku. Hatiku sedang nggak baik-baik saja. Ubun-ubunku rasanya mau meledak setelah
Aku menyisir rambut tebal Danar dengan jemari. Dia masih terlelap dengan nyaman di atas dadaku. Lengan kekarnya memeluk perutku, terlihat nyaman. Sama sekali nggak merasa engap karena semalaman tidur dengan posisi begini. Setelah kumpul-kumpul bersama yang lain, lalu bertemu sebentar dengan ibu dan mama—ibu mertuaku, kami baru kembali ke kamar sekitar pukul sebelas malam. Meski begitu, Danar tidak membiarkanku tidur hingga lewat tengah malam. Danar dan gairahnya membuatku sedikit kuwalahan. Aku nggak mungkin menolak meski jujur sangat mengantuk. Nyatanya setelah itu dia berhasil membuat kantukku hilang. Rasa penasaran sebagai pengantin baru membuat kami ingin terus mencoba. Senyumku terbit saat kembali mengingat sentuhannya semalam. Masih bisa membuat tubuhku merinding hingga sekarang. Setelah melewati yang pertama, kedua dan seterusnya aku merasa lebih nyaman."Nar, bangun...." Aku menepuk pipinya pelan. "Hm." Dia melenguh namun tidak mengubah posisi tidurnya. "Nanti kita nggak
"Norak banget, sumpah. Bisa nggak itu tangan kalian lepas? Kalau mau show off ke gue tuh jangan tanggung-tanggung, live streaming malam pertama kalian minimal tuh!" Tanganku dan Danar masih saling tertaut meskipun sekarang sudah duduk berdampingan di salah satu sudut kafe. Itu yang bikin Giko jengkel setengah mampus. Aku sih bodo amat. "Lepas kagak?!" Entah dapat dari mana karet gelang yang Giko pegang sekarang. Detik berikutnya tautan kami sontak terlepas karena kunyuk itu menjepret-nya dengan karet sialan itu. Yang kena jepretan Danar, tapi yang terkejut aku. "Resek lo!" Aku langsung meraih kembali tangan Danar dan mengabaikan decakan Giko. "Aku nggak apa-apa, Win," ucap Danar tersenyum. "Lebay! Cuma jepret karet doang itu. Sakitnya nggak ada apa-apanya dibanding malam pertama lo." Aku menggeram sebal. Dari tadi Giko nyinggung soal malam pertama terus. Dia beneran kurang belaian kurasa. "Katanya Marissa mau ke sini? Kok nggak datang-datang?" tanya Giko menengok jam tangannya.
Tidak ada pengait bra di punggung. Tidak ada adegan romantis saat bra itu melonggar di dada. Cup silicon yang kukenakan aku lepas sendiri lantaran Danar sepertinya agak kejang melihat bentukan asli dadaku. Diam-diam aku mengulum senyum saat pria itu dengan hati-hati dan perlahan menyentuh area itu. Telapak tangannya yang agak kasar sedikit membuatku menggelinjang. Apalagi ketika jemarinya bermain di puncak dadaku. Ya Tuhan aku bisa merasakan sekujur tubuhku merinding seketika. Ciuman Danar berpindah ke pipi lantas rahang. Kepalaku sontak mendongak ketika dia menyasar area leher. Dan lagi-lagi aku dibuat merinding saat bisa merasakan jejak basah yang dia tinggalkan. Danar sedikit mendorongku agar bergerak mundur. Dia dengan pelan menuntun duduk di tepian tempat tidur, dan tanpa melepas ciumannya menjatuhkan tubuhku ke atas permukaan tempat tidur. Dia sendiri lantas memposisikan diri di atasku. Desahan pertamaku lolos saat step ciumannya turun ke dada. Sebelah tanganku refleks merem
Pernah punya sahabat rasa suami? Atau suami rasa sahabat? Aku merasakannya hari ini. Not bad, bahkan terlalu manis. Di saat pria lain membawa pengantinnya ke kamar dengan cara membopong, Danar malah menggendongku di punggungnya. Alasannya karena badanku berat, sialan sekali. Resepsi pernikahan sederhana kami, sudah berakhir beberapa puluh menit yang lalu. Aku dan Danar memutuskan kembali ke kamar setelah sebelumnya pamit kepada Ibu, Mama dan Papa mertuaku, serta lainnya. Lantaran pernikahan kami berlangsung pagi, dan dihadiri hanya oleh sanak famili, acaranya cuma berlangsung hingga pukul sepuluh pagi. Rencananya kami akan mengadakan tour wisata keluarga setelah ini. Jangan berharap aku dan Danar bisa bobo cantik di sini, ya. Hehe."Gimana kalau kita nggak usah ikut tour? Pasti mereka paham, kok," ujar Danar saat kami melewati lorong-lorong menuju kamar kami. Aku masih berada di gendongannya."Ih, nggak enak. Kayak ketahuan nggak sabarnya." "Ya biarin, kita kan emang nggak sabar
"White gold, mewah juga ya konsepnya." Giko memasuki ballroom yang disulap menjadi taman bunga dengan dominasi warna putih dan emas.Sembari mengisi buku tamu aku mengedarkan pandang. Beberapa kali aku menghadiri resepsi pernikahan indoor seperti ini. Undangan pernikahan teman tidak pernah aku lewatkan. Hitung-hitung mencari referensi dekorasi yang cantik.Aku menyerahkan pena pada Danar yang ada di belakangku. Setelah dia mengisi buku tamu, kami bertiga melewati lorong taman bunga buatan yang lumayan panjang."Ini kira-kira mereka menghabiskan berapa ribu tangkai, ya?" tanya Giko, tangannya dengan usil mengambil salah satu kelompok bunga."Yang jelas ratusan ribu. Bunga satu kebon kayaknya diangkut ke sini," sahutku lantas terkikik."Beb, lo mau konsep pernikahan kayak gini juga enggak?"Pertanyaan yang bikin mood-ku lumayan naik. "Gue nggak mau ribet, sih. Cukup outdoor party aja.""Di mana?" Giko berbalik. "Di hutan aja, kayaknya belum pernah ada yang ngadain acara pernikahan di hu
Danar tidak main-main. Setelah membawaku ke rumah mamanya, dia langsung menyusun acara melamarku ke ibu. Aku agak ngeri dengan langkahnya yang begitu cepat. Seolah sedang menjaring klien, dan takut kliennya akan hilang."Gue bilang juga apa! Lo itu udah cocok sama Bang Danar, Kak," ujar Dendy. Acara lamaran sudah kelar dari satu jam lalu. Rombongan pelamar pun sudah pulang lagi ke Jakarta. Namun, Danar tetap tinggal."Kenapa dari dulu lo nggak desak kakak lo, sih, Den?" tanya Danar duduk memepet ke dekatku. Salah satu kebiasaan baru pria itu sejak jadian, nempel terus kayak perangko."Capek gue ngomongin, Bang.""Ish! Gue kan nggak enak sama cewek lo. Dia itu naksir berat sama Danar dulu," timpalku mengernyit tak suka lantaran terus dipojokkan."Arin pernah bilang ke gue, sih. Katanya deketin Bang Danar kayak lagi deketin kayu hidup.""Ebuset, pinokio dong!" celetuk Dean yang sejak tadi makan aneka kue basah yang didapat dari lamaran."Tau tuh! Padahal Arin cantik, dilirik pun enggak,
Danar masih sibuk di depan laptopnya. Akhir bulan memang menjadi momok bagi karyawan di perusahaan keuangan. Jika biasanya dia akan lembur di kantor hingga larut, kali ini dia membawa pulang pekerjaan ke apartemen. Alasannya konyol. Lembur di kantor sudah nggak menyenangkan sejak aku nggak bekerja di sana lagi.Maksud ngana?Beberapa saat sebelum dia berkutat di depan layar laptop ada sebuah pengakuan yang mencengangkan. Seenggaknya mencengangkan bagi aku. Hehe."Aku dulu sengaja memintamu lembur, agar aku bisa berlama-lama sama kamu di kantor. Percaya enggak?"Itu diucapkan manusia yang baru dua minggu jadi pacarku tanpa ekspresi. Gila enggak? Sontak saja mataku melotot dan memekik. "Demi apa?""Demi kamu."Panggilan "lo-gue" berganti "aku-kamu" di hari kedua kami pacaran. Awalnya agak geli, tapi lama-lama terbiasa. Danar yang terus membiasakan sebenarnya.Aku menarik napas dan mengembuskannya. "Kamu tau nggak, sih, Nar. Lembur itu hal yang paling nggak aku suka.""Aku sih suka aja
Setelah mengucapkan tetek bengek doanya buatku, pria yang aslinya memiliki senyum manis itu memelukku. "Nggak usah sedih meskipun sekarang cuma gue doang yang nemenin ultah lo." Dia mengacak rambutku. Alih-alih sedih aku malah terkekeh. Ini yang aku nggak paham. Serius, muka lempeng Danar itu nggak ada lucu-lucunya sama sekali, tapi kadang bikin aku ingin tertawa. "Sebenarnya gue pengin rayain ultah bareng pacar. Tapi, nasib cinta gue masih ngenes aja dari tahun kemarin," ujarku masih terkekeh, merasa nasib konyolku ini seperti lelucon. "Pacar, ya?" Aku mengangguk. "Mungkin gue akan pertimbangin Bima, biar ultah gue tahun depan nggak jomblo lagi." "Kok Bima?" Kening Danar mengernyit."Ya, soalnya cuma dia satu-satunya cowok yang lagi prospek ke gue." Aku meraih pisau keik, dan mulai memotong kue. "Sebenarnya gue punya penawaran. Dan gue rasa ini cukup menguntungkan, buat lo atau pun gue." Aku yang sedang fokus memotong kue hanya membalas sambil lalu. "Apa tuh?"Danar tidak lan
"Lo udah kayak bodyguard Wina aja, sih? Ngapain juga pake acara jemput Wina segala? Gue bisa kok anterin dia." Bima mengatakan itu setengah sadar. Dia agak sedikit mabuk. Seperti apa yang Danar bilang, pukul sembilan malam dia sudah menyambangi privat room lokasi pesta kami. "Anggap aja begitu. Gue bawa Wina dulu, ya," ujar Danar tersenyum kecil lalu menarik tanganku untuk bergegas keluar dari ruangan itu. "Nggak asik lo!" seru Bima dari dalam yang diabaikan oleh Danar. Kami menuruni anak tangga, dan melewati lautan manusia yang tengah berpesta di lantai bawah. "Lain kali nggak usah datang kalau kantor ngadain acara di tempat kayak gini," ujar Danar begitu membawaku masuk ke mobilnya. "Gue kan nggak enak nolaknya, Nar." "Itu tempat nggak aman. Kalau lo diapa-apain mereka gimana?" Aku nggak akan mendebat si kulkas. Pikirannya yang sistematis selalu membuatku tidak bisa berkata-kata kalau memaksa debat dengannya. "Lihat, bajumu kenapa basah gitu?" Aku menunduk, sempat lupa ka