Yongseng membelalakkan mata saat mendengarkan cerita Buana. Bukan hanya Yongseng, AKBP Bayu yang baru saja datang dari Jakarta pun terbelalak kaget.
"Gila! Kau serius Buana? Aku menugaskan dirimu untuk mendekati keluarga Galih, bukan menikahi putrinya," kata AKBP Bayu sambil menepuk dahinya. Sejak masa pendidikan dulu, Buana adalah salah satu bimbingan AKBP Bayu, tetapi karena prestasi Buana yang luar biasa ia dengan mudah berada di posisi sekarang. Bayu merasa sangat bangga akan hal itu, tetapi terkadang keputusan yang Buana ambil selalu mengejutkan.
Termasuk kali ini, disuruh menyelidiki malah menikah sekalian.
"Kau yakin? Buana, aku bicara sebagai seorang kakak kepada adiknya. Pernikahan bukan hal main-main. Bagaimana bisa kau menikahi Gendis? Apa kau benar-benar mencintainya? Kalau hanya karena tugas, lebih baik jangan. Ini urusan masa depan, terlebih pekerjaan kita sebagai abdi negara. Mana bisa punya dua istri atau dengan
Sudah hampir lima tahun Supa Mandrageni melakukan tapa brata. Ia hanya duduk bersila dan memusatkan diri kepada Hyang Widi sang maha pencipta. Sebenarnya kepergian Supa Mandrageni ke puncak gunung Ciremai semata ingin melarikan diri dari segala sakit hati dan kisah cintanya yang kandas. Ia tidak peduli jika memang dalam semedinya ia mati karena tidak makan dan tidak minum. Tetapi, sampai lima tahun ia tidak merasakan apa-apa. Bahkan ia merasa seperti sedang berjalan-jalan ke banyak tempat yang indah. Malam itu tepat saat cahaya bulan purnama bersinar penuh, hari jumat legi. Selarik sinar tiba-tiba menerangi gua tempat Supa Mandrageni bertapa."Anakku, Supa Mandrageni, bangunlah!" Tiba-tiba terdengar suara yang bergaung memenuhi gua itu. Suara itu terdengar sangat berwibawa, tetap lembut meski penuh ketegasan. Pertanda jika sang empunya suara adalah orang y
Buana tersentak kaget, kali ini ia merasa bingung. Mimpi yang datang kali ini berbeda dengan mimpi sebelumnya. "Mpu Badingga," gumamnya perlahan. Pemuda itu menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Tiba-tiba, ia terbelalak saat melihat ada kelopak bunga di atas bantalnya. Ia ingat dalam mimpi saat Mpu Supa mandi, ada kelopak mawar yang terjatuh. "Ini ...." Buana terdiam, ia berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Perlahan pemuda gagah itu bangkit dan berjalan ke arah jendela kamarnya. Buana membuka jendela dan seperti biasa saat ia merasa gelisah hanya asap rokok yang menjadi temannya. Tok! Tok! Tok!Buana menoleh, belum sempat ia membuka pintu, Yongseng sudah masuk dengan wajah yang kuyu."Kau kenapa?" tanya Buana. Yongseng mengembuskan napas dengan kasar lalu membanting tubuhnya di atas kasur."Sejak aku menangani kasus aneh ini, rasan
Buana menatap kalender di tangannya tidak percaya. Bagaimana mungkin ia bisa kecolongan?"Beberapa hari lagi akan ada jenazah yang ditemukan di Menado dengan kondisi sama.""Kau jangan asal bicara, Buana!" seru Yongseng antara kaget dan kesal.Buana menggelengkan kepalanya, "Aku tidak main-main, kita lihat saja nanti. Kau bisa buktikan perkataanku." Yongseng terdiam, ia tau betul Buana tidak pernah main-main. Mau tak mau Yongseng kembali menatap Buana dengan serius."Bagaimana kau bisa tau?" tanya Yongseng."Genta ... tiga hari yang lalu, Gendis mengatakan bahwa adiknya itu baru saja berangkat ke Menado. Jika memang dugaanku benar, Genta akan menjadi orang yang berada di tempat dan waktu yang kurang tepat seperti biasa. Kalaupun tidak, pasti akan terjadi sesuatu. Yang pasti, dia akan lebih berhati- hati kali ini," tutur Buana. Yongseng menggaruk
Buana hanya tersenyum kecil saat ia menonton berita di televisi.SEORANG GADIS DITEMUKAN DALAM KONDISI TIDAK BERNYAWA DI DANAU TONDANOHampir semua surat kabar memuat juduk yang hampir sama. Yongseng dan Takeda hanya menggelengkan kepala melihat seulas senyum di bibir Buana."Kau tertawa seolah kau .adalah pembunuhnya," kata Yongseng."Kau baca ini, pelaku ditemukan tetapi ia mengaku tidak sadar ketika melakukan kejahatan dan sedang diperiksa kejiwaannya. Genta baru pulang kemarin dari Menado, kalian bisa menyimpulkan sesuatu?" tanya Buana pada Yongseng dan Takeda."Ah, ini sih gampang saja, dia sudah memakai metode lain. Hanya orang bodoh yang tidak belajar dari kesalahannya. Dia tidak mungkin memakai raganya sendiri, aku yakin ini adalah pekerjaan iblis. Yang namanya iblis dia bisa berbuat apa saja. Titisan iblis, aku yakin Genta adalah titisan iblis," kata Takeda dengan yakin. &n
"Saya sangat yakin jika apa yang Takeda katakan benar, Pak. Hanya iblis yang bisa melakukan hal seperti ini. Hanya saja saat ini kita tidak bisa membuktikan apa pun.""Sama seperti sihir dan santet yang tidak bisa dibuktikan," ujar Rusdi."Kita berdoa saja supaya kasus ini bisa lekas terpecahkan.""Amiin." Sementara itu di tempat lain seorang pemuda tengah duduk sambil tertunduk. Ia sama sekali tidak sadar apa yang sudah ia lakukan sehingga ia harus dimintai keterangan. Apa lagi menjadi tersangka pembunuhan."Ngana jang beking tape emosi sampe kapala! Bilang, bagimana ngana da bunuh ngana pe cewek!"(Kamu jangan bikin emosi saya naik ke kepala! Katakan bagaimana kamu membunuh pacarmu!)Pemuda itu hanya mengangkat wajahnya lalu menggelengkan kepalanya perlahan."Kita brani sumpah, kita le nintau bagimana kita da bunu tape calon bini, Pak."( Saya bera
"Apa!Pelaku meninggal dunia?!" seru Rusdi terkejut. Baru saja ia bicara dengan IPTU Ronald sehari sebelumnya. Namun,pagi ini ia mendapat berita yang membuatnya syok. Ia pun menutup percakapan dan segera meminta Buana ke ruangannya."Komandan memanggil saya?" tanya Buana. Ia bergegas menuju ke ruangan Rusdi saat lelaki berusia 50 tahun itu memanggilnya."Silakan duduk, Buana. Kita lupakan formalitas, baru saja aku mendapatkan telepon dari Menado. Pelaku yang kemarin ditangkap, pagi tadi ditemukan meninggal dengan bekas cekikkan. IPTU Ronald baru saja mengirimkan video CCTV di dalam sel. Kau pasti akan terkejut melihat rekamannya. Mana Yongseng dan Takeda? Panggil mereka kemari juga. Kita lihat bersama-sama," kata Rusdi. Buana segera mengirimkan pesan kepada Yongseng dan Takeda. Tak lama kemudian, keduanya pun datang ke ruangan Rusdi. Tanpa menunggu lebih lama Rusdi segera memutar video yang dikirimkan oleh IPTU
"Pak Sobri yakin abah Enom ini orang yang benar-benar pintar?" tanya Buana. Pak Sobri menganggukkan kepalanya."Yakin atuh, Komandan. Abah Enom itu terkenal di Sukabumi, beliau sudah kesohor ke mana-mana. Malah ada yang dari luar kota juga minta tolong, sampai disediakan hotel mewah.""Tapi, yang kita hadapi ini bukan santet atau pelet," kata Takeda."Abah Enom itu punya mata batin, beliau bisa melihat apa yang tidak bisa kita liat," jawab pak Sobri meyakinkan. Rusdi menghela napas panjang lalu menatap Buana seolah meminta persetujuan."Tidak ada salahnya dicoba," ujar Buana dengan tegas."Besok pagi bagaimana, Pak Sobri? Besok Bapak tidak masalah, kan jika harus libur berjualan?" tanya Rusdi."Tidak masalah Komandan, selama ini Komandan juga sudah banyak bantu keluarga saya," jawab Sobri."Baiklah, kalau begitu besok kita berangkat dari sini saja," kata Buana yang langs
Buana hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan wanita di hadapannya ini. Tak lama kemudian, Sobri datang dengan membawa satu plastik belanjaan berisi rokok, kopi hitam, gula dan roti."Maaf saya lama, Komandan," katanya pada Rusdi. Rusdi hanya mengangguk dan kembali bicara dengan Buana. Tiba-tiba pintu ruangan konsultasi terbuka, seorang wanita separuh baya keluar sambilm dipapah. Lalu, seorang lelaki berusia sekitar 60-an ikut berjalan keluar. Janggutnya panjang dengan peci putih mengenakan baju koko dan kain sarung. Pandangan matanya langsung tertuju pada Buana. Selama beberapa saat ia menatap Buana dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Tidak ada suara sama sekali, hening. Tak ada yang berani bertanya juga. Sampai akhirnya ...."Punten, Ibu, Bapak, Mas-nya boleh masuk duluan," katanya dengan suara penuh wibawa kepada Buana dan kawan-kawan. Pak Sobri bergegas bang