"Genta, kamu mau antar Giselle pulang, kan? Bisa kakak minta tolong antar Mas Nino dan Nindia? Kakak harus antar Oma," kata Gendis pada Genta. Malam sudah larut, tidak mungkin Gendis membiarkan Nino dan Nindia pulang sendiri. Jarak dari Lembang ke Suci itu lumayan jauh.
Genta tersenyum dan langsung mengedipkan sebelah matanya, "Iya, kak. Biar aku yang antar Mas Nino sama Nindia pulang," jawab Genta.
"Nggak apa-apa, kan, Mas?" tanya Gendis pada Nino. Pemuda itu menepuk bahu Gendis perlahan, "Nggak apa- apa, sayang."
Gendis pun melambaikan tangan saat Nino dan Nindia masuk ke dalam mobil Genta. Tanpa ia sadari jika ia sudah membuat Nindia dalam bahaya.
Sementara itu Gendis sendiri dengan sigap mengantarkan Omanya pulang. Oma Gendis tinggal di Cimahi, Bandung. Jadi, memang tidak searah dengan tempat kos Nino dan Nindia.&
Tak lama kemudian, setelah operasi terhadap Genta selesai, dokter pun keluar dan menemui Galih."Operasinya berhasil, kita tunggu sampai pasien siuman.""Apakah ada efek dari operasi ini, dok?" tanya Galih cemas."Anak Bapak dan Ibu mengalami benturan yang keras di bagian kepala bahkan sampai terjadi pendarahan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, hasilnya tetap harus menunggu sampai pasien sadar, sabar ya, Pak, Bu." Galih dan Maharani hanya bisa bersabar dan berpasrah. Mereka berharap putra mereka akan baik-baik saja."Mama tidak mau pulang, Pa. Mama mau menjaga Genta di sini," ujar Maharani."Biar papa saja yang di sini. Mama pulang saja bersama Mbak, Ibu dan Gendis pasti khawatir di rumah," ujar Galih. Namun, Maharani menggelengkan kepalanya."Ibu bisa menjaga Gendis,Pa. Mama mau di sini saja menjaga Genta," jawab Maharani bersikeras. Galih hanya bisa menuruti kei
Malam semakin larut namun pasukan kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Senopati Sangkar belum juga menemukan jejak dari pembunuh yang sudah membunuh Dewi Anggini."Manusia atau setan yang sudah membunuh para gadis itu?! Kalau manusia tidak mungkin mengisap darah manusia sampai kering begitu," kata Senopati Sangkar dengan geram."Bisa jadi dia adalah pemuja setan, paduka Senopati," ujar salah seorang prajurit."Maksudmu?""Ampun, paduka, ada beberapa tempat untuk pemujaan terhadap ilmu hitam. Bisa jadi pelakunya manusia tapi, dia sedang memuja ilmu hitam agar bertambah kuat dan juga menjadi kebal misalnya," jawab prajurit itu. Senopati Sangkar terdiam, perkataan prajuritnya memang masuk akal."Kita istirahat saja dulu, kasian prajurit yang lain," ujar Senopati Sangkar. Ia pun menjauh dari prajurit -prajuritnya, lelaki tampan bertubuh tinggi tegap itu melangkah menuju sebuah
Maharani menatap suaminya, ia menghela napas panjang lalu mengelus bahu sang suami perlahan."Pa,itu hanya dongeng orang tua. Mama nggak percaya dengan hal-hal seperti itu. Papa bisa sukses seperti sekarang itu karena kerja keras Papa. Mama yang menjadi saksi bahwa selama bertahun- tahun Papa berusaha, banting tulang untuk menjadi seperti sekarang. Tidak ada yang namanya kutukan itu,Pa.""Jadi,mama nggak percaya?" tanya Galih."Jelas nggak,Pa.Bisa jadi itu hanya dongeng orang tua Papa, ya supaya tidak melupakan asal usul. Tapi,Mama percaya kalau Papa keturunan seorang petinggi kerajaan, habis,Papa ganteng sih," tukas Maharani. Galih hanya tertawa saat mendengar kalimat terakhir sang istri."Sejak kapan Mama jadi pinter gombal begini?" tanyanya sambil merangkul bahu sang istri dengan mesra."Sejak jadi istri Papa. Eh, tapi mama serius ya, Papa nggak pernah gitu terpikir buat selingkuh? Eh, mama nggak mendoaka
Takeda yang penasaran ikut memperhatikan foto para korban satu persatu. "Sama saja, Buana. Mereka sama-sama ditemukan dalam kondisi tanpa busana dengan darah yang mengering. Apa lagi?" tanya Yongseng."Kau teliti sekali lagi, kau cari dulu. Aku tidak akan mau memberi tahu dirimu sebelum kau berusaha untuk mencarinya," kata Buana. Yongseng hanya mendengus dengan kesal. Namun, ia akhirnya kembali melihat foto-foto itu satu persatu hingga konsentrasinya pecah oleh seruan Takeda."Aku tau apa persamaan yang Buana katakan!" Tiba-tiba Takeda berseru dengan gembira membuat Yongseng dan Buana menatap pemuda itu."You see that?"Takeda menunjuk ke dalam foto, Buana tersenyum melihat apa yang Takeda tunjukkan."Semua korban memiliki tanda berbentuk bulan sabit meskipun tempatnya berbeda. Lihat, dia memiliki tanda di leher kanannya, yang ini di dada.""Betul, Buana?" tanya Yongseng."Ya,
Pratiwi menatap anak semata wayangnya, baru saja semalam ia berpikir untuk datang ke Hongkong menjenguk, tetapi tiba-tiba saja putra tercintanya itu sudah ada di hadapannya."Yongseng,ibu tidak salah lihat,kan? Kenapa kau tidak mengabari ibu terlebih dulu jika kau mau pulang?"Pratiwi memeluk putranya dengan hangat dan penuh air mata."Aku sedang bertugas, Bu. Tetapi, aku sengaja meminta izin untuk menemui Ibu hari ini. Ibu sehat?""Baru semalam ibu berpikir untuk menemuimu di Hongkong, tapi kau sudah ada di sini," kata Pratiwi."Bu, aku bersama dengan Buana dan Takeda." Pratiwi menoleh dan langsung tersenyum pada keponakannya."Buana, lama tidak mampir. Ayo, masuk semuanya, ibu akan memaasak yang enak. Kalian mau makan apa?""Bu, kita bisa delivery makanan atau apapun. Saat ini aku hanya ingin bersama denganmu," kata Yongseng. Pratiwi tersenyum dan menganggukan kepalanya.
Sementara itu AKBP Bayu tampak sedang menerima kedatangan tamu penting di kantornya."Bahkan kepolisian dari Hongkong pun saat ini sedang mencari,kami sedang berusaha untuk menyelidiki.""Baik, saya percayakan kepada Pak Bayu. Karena yang bersangkutan tinggal di Bandung, saya akan langsung memberikan surat untuk kita saling berkoordinasi dengan kepolisian di Bandung. Saya akan buatkan surat resmi langsung untuk WAKAPOLDA Bandung. Silakan utus anak buah Bapak yang paling bisa dipercaya untuk mengurus masalah ini.""Siap Komandan.""Jika sampai orang-orang dari kantor Konsulat sudah bicara ini bisa bertambah panjang.""Sebenarnya kasus ini adalah kasus yang sangat unik. Korban di mana-mana, bukan hanya di satu negara , bahkan sampai ke Eropa.""Satu hal yang saya perhatikan adalah korban semua wanita muda, masih perawan dan cra kematian mereka sama." AKBP Bayu menatap KBP Yusuf dengan serius."Ap
Nindia terkejut saat teman kosnya mengatakan ada seorang pria yang mencarinya. Gadis manis itupun segera merapikan pakaian dan juga membersihkan wajahnya yang sedikit berminyak. Betapa terkejutnya ia saat melihat siapa yang datang."Loh, Mas Genta, ada angin apa? Kok tau tempat kos aku?" sapa Nindia ramah."Loh, aku kan pernah mengantarkanmu pulang karena disuruh Kak Gendis,kamu pasti lupa," kata Genta sambl tersenyum dengan ramah."Aku lupa, maaf, Mas.""Tidak apa-apa, sedang ada waktu? Kalau sedang ada waktu kita pergi jalan-jalan, mau? Kebetulan hari ini GIselle sedang sibuk dan aku sedang tidak ingin makan siang sendirian. Kau mau menemani? Kita kan calon saudara, Giselle tidak akan marah jika aku pergi makan bersamamu. Aku juga sudah meminta izin pada Giselle, dia sama sekali tidak keberatan.""Kalau begitu aku bersedia, Mas. Aku hanya tidak enak dengan Giselle, jangan sampai saya dikira pelakor.
Nindia mengulaskan blush on ke pipinya, sekarang penampikannya sudah benar-benar sempurna. Gadis itu merasa senang sekali, seandainya saja Genta belum memillki kekasih, tentu ia akan sangat senang jika dapat menjadi kekasihnya."Tumben dandan cantik, Nin. Yang kemarin itu pacarmu, ya?" tanya Eliana teman kos Nindia. Gadis manis itu menggelengkan kepalanya dengan cepat."Nggak, dia bukan pacarku. Dia itu adik dari calon istri kakakku, jadi bisa dibilang nantinya kami akan menjadi saudara," jawab Nindia."Sayang deh, padahal kayaknya kalian cocok,loh," ujar Eliana membuat pipi Nindia tambah merona merah."Bisa aja deh bikin orang geer, dia itu juga udah punya pacar. Aku kenal sama pacarnya, masa iya aku mau rebut. Nggak enak dong, trus apa kata calon kakak iparku nanti kalau aku pacaran sama adiknya," tukas Nindia lagi."Duh, kau ini kelewatan polosnya, hari gini nggak perlu banyak sungkan. Kalau aku jadi kamu, udah aku si