Pratiwi menatap anak semata wayangnya, baru saja semalam ia berpikir untuk datang ke Hongkong menjenguk, tetapi tiba-tiba saja putra tercintanya itu sudah ada di hadapannya.
"Yongseng,ibu tidak salah lihat,kan? Kenapa kau tidak mengabari ibu terlebih dulu jika kau mau pulang?"
Pratiwi memeluk putranya dengan hangat dan penuh air mata.
"Aku sedang bertugas, Bu. Tetapi, aku sengaja meminta izin untuk menemui Ibu hari ini. Ibu sehat?"
"Baru semalam ibu berpikir untuk menemuimu di Hongkong, tapi kau sudah ada di sini," kata Pratiwi.
"Bu, aku bersama dengan Buana dan Takeda."
Pratiwi menoleh dan langsung tersenyum pada keponakannya.
"Buana, lama tidak mampir. Ayo, masuk semuanya, ibu akan memaasak yang enak. Kalian mau makan apa?"
"Bu, kita bisa delivery makanan atau apapun. Saat ini aku hanya ingin bersama denganmu," kata Yongseng. Pratiwi tersenyum dan menganggukan kepalanya.
Sementara itu AKBP Bayu tampak sedang menerima kedatangan tamu penting di kantornya."Bahkan kepolisian dari Hongkong pun saat ini sedang mencari,kami sedang berusaha untuk menyelidiki.""Baik, saya percayakan kepada Pak Bayu. Karena yang bersangkutan tinggal di Bandung, saya akan langsung memberikan surat untuk kita saling berkoordinasi dengan kepolisian di Bandung. Saya akan buatkan surat resmi langsung untuk WAKAPOLDA Bandung. Silakan utus anak buah Bapak yang paling bisa dipercaya untuk mengurus masalah ini.""Siap Komandan.""Jika sampai orang-orang dari kantor Konsulat sudah bicara ini bisa bertambah panjang.""Sebenarnya kasus ini adalah kasus yang sangat unik. Korban di mana-mana, bukan hanya di satu negara , bahkan sampai ke Eropa.""Satu hal yang saya perhatikan adalah korban semua wanita muda, masih perawan dan cra kematian mereka sama." AKBP Bayu menatap KBP Yusuf dengan serius."Ap
Nindia terkejut saat teman kosnya mengatakan ada seorang pria yang mencarinya. Gadis manis itupun segera merapikan pakaian dan juga membersihkan wajahnya yang sedikit berminyak. Betapa terkejutnya ia saat melihat siapa yang datang."Loh, Mas Genta, ada angin apa? Kok tau tempat kos aku?" sapa Nindia ramah."Loh, aku kan pernah mengantarkanmu pulang karena disuruh Kak Gendis,kamu pasti lupa," kata Genta sambl tersenyum dengan ramah."Aku lupa, maaf, Mas.""Tidak apa-apa, sedang ada waktu? Kalau sedang ada waktu kita pergi jalan-jalan, mau? Kebetulan hari ini GIselle sedang sibuk dan aku sedang tidak ingin makan siang sendirian. Kau mau menemani? Kita kan calon saudara, Giselle tidak akan marah jika aku pergi makan bersamamu. Aku juga sudah meminta izin pada Giselle, dia sama sekali tidak keberatan.""Kalau begitu aku bersedia, Mas. Aku hanya tidak enak dengan Giselle, jangan sampai saya dikira pelakor.
Nindia mengulaskan blush on ke pipinya, sekarang penampikannya sudah benar-benar sempurna. Gadis itu merasa senang sekali, seandainya saja Genta belum memillki kekasih, tentu ia akan sangat senang jika dapat menjadi kekasihnya."Tumben dandan cantik, Nin. Yang kemarin itu pacarmu, ya?" tanya Eliana teman kos Nindia. Gadis manis itu menggelengkan kepalanya dengan cepat."Nggak, dia bukan pacarku. Dia itu adik dari calon istri kakakku, jadi bisa dibilang nantinya kami akan menjadi saudara," jawab Nindia."Sayang deh, padahal kayaknya kalian cocok,loh," ujar Eliana membuat pipi Nindia tambah merona merah."Bisa aja deh bikin orang geer, dia itu juga udah punya pacar. Aku kenal sama pacarnya, masa iya aku mau rebut. Nggak enak dong, trus apa kata calon kakak iparku nanti kalau aku pacaran sama adiknya," tukas Nindia lagi."Duh, kau ini kelewatan polosnya, hari gini nggak perlu banyak sungkan. Kalau aku jadi kamu, udah aku si
Seminggu sudah Buana dan Yongseng berada di Cirebon. Pagi itu mereka memang akan kembali ke Jakarta ketikan AKBP Bayu menelepon mereka."Yang kita khawatirkan terjadi, telah ditemukan korban yang sama di sebuah hotel ternama di Bandung. Berbagai keanehan terjadi dalam kasus ini. Aku dalam perjalanan ke Bandung, kalian lekaslah datang," ujar AKBP Bayu pada Buana. Tanpa menunggu lebih lama lagi mereka bertiga pun bergegasa pamit dan langsung meluncur menuju kota Bandung."Kita tidak sempat ke Kuningan untuk bertemu orang itu. Sekarang yang paling penting kita ke Bandung saja terlebih dahulu.""Apa yang aku takutkan terjadi sudah, mengapa teror ini rasanya semakin mencekam," ujar Yongseng."Padahal kita sudah merencanakan semua dengan begitu matang, tapi malah jadinya seperti ini," keluh Takeda. Sampai di Bandung mereka langsung ke kamar mayat karena korban sudah di evakuasi dari hot
Genta tampak dengan santai memasuki ruang penyelidikan. Dia tidak terlihat takut dan gentar sama sekali. Bahkan wajahnya terlihat tenang padahal ekspresi cemas tampak jelas di wajah kedua orangtua dan kakaknya."Apakah betul anda mengajak korban yang bernama Nindia pergi ke pesta klien di hotel?""Benar, Pak.""Anda yakin sudah mengantarkan korban ke tempat kosnya?""Sangat yakin, karena saat itu ada beberapa saksi mata yang melihat jika saya mengantarkan dia pulang." KAPOLDA Rusdi terdiam, keterangan yang diberikan oleh Genta memang benar adanya. Beberapa teman kos Nindia melihat dengan mata kepala mereka sendiri jika Genta benar mengantarkan Nindia pulang."Satu lagi yang menjadi pertanyaan saya, Mas Genta. Apakah anda sering bepergian ke luar negeri?" tanya KAPOLDA Rusdi."Apakah ada hubungannya antara pertanyaan Bapak dengan korban yang ditemukan? Maaf, korban bukankah ditemukan di Ind
Genta menjawab semua pertanyaan dengan tenang dan mantap. Jawaban yang diberikan selalu konsisten meskipun dibolak balik berkali- kali. Saling gemasnya Yongseng dan Buana meminta supaya Genta dipasangi alat pedeteksi kebohongan. Tetapi sia- sia saja. Tidak ada kebohongan sama sekali yang mereka temukan. Hingga pada akhirnya tepat pukul sepuluh malam Genta dan keluarganya pun pulang."Sial! Bagaimana mungkin dia bisa memiliki semua alibi itu. Apakah ada yang membantunya?" maki Buana. AKBP Bayu menatap anak buah kesayangannya itu, ia sendiri sudah yakin jika Genta memang terlibat. Tapi, semua alibi Genta memang dikuatkan oleh para saksi. Lagi pula tidak ada ditemukan satu saja barang bukti yang benar-benar kuat yang dapat menyeret Genta masuk ke dalam tahanan."Hanya iblis yang bisa melakukan semua ini. Tanpa jejak, tanpa sidik jari. Manusia biasa tidak akan pernah bisa melakukan hal ini," kata AKBP Bayu yang langsu
Maharani merasa khawatir, sudah beberapa hari sejak Nino pulang ke kotanya untuk memakamkan jenazah Nindia, Gendis seolah menutup diri. Biasanya gadis itu sudah pergi pagi-pagi ke restoran miliknya. Anehnya, gadis itu tidak ikut dengan Nino dan keluarganya. Padahal sebelumnya ia sudah meminta izin untuk ikut."Kau baik-baik saja, Nak?" tanya Maharani pada Gendis pagi itu. Gendis yang sedang mengoles roti dengan selai coklat kesukaannya hanya mengangguk lesu."Ada masalah di restoranmu?" Kali ini Galih yang bertanya. Sementara Genta hanya menyimak dengan tenang sambil memakan nasi gorengnya."Aku baik-baik saja, Pa, Ma. Hanya saja ...." Galih menghentikan suapan ke mulutnya dan menyentuh bahu Gendis yang kebetulan berada di sampingnya."Apa Nino membuatmu sakit hati?Dia sudah melakukan hal yang kurang baik?""Pa. Ma, apakah keluarga kita ini bersekutu dengan iblis untuk menumbalkan manusia supaya
Tiba di restorannya yang berada di jalan Padjajaran, Gendis melihat sudah ada beberpa pengunjung yang datang. Tetapi, pandangannya tertuju ke meja yang terletak di sudut dekat kolam ikan. Tampak seorang pemuda gagah tengah makan dengan nikmat. Gendis merasa bahwa ia seperti pernah bertemu dengan pemuda itu. Tetapi ia lupa di mana. Merasa penasaran,Gendis pun berjalan menghampiri tamunya itu."Selamat pagi, maaf jika saya mengganggu. Tapi, sepertinya kita pernah bertemu."Pemuda tampan itu mengangkat wajahnya dan tersenyum menatap Gendis dengan sorot mata elangnya yang selalu membuat wanita terpikat."Saya Buana. Kita pernah bertemu, tapi tidak sempat saling bertegur sapa."Gendis memicingkan matanya mencoba mengingat-ingat. Buana tersenyum hangat, "Anda mungkin tidak ingat karena saya memakai seragam ketika anda melihat saya," katanya. Gendis menepuk dahinya. Ya, ia ingat sekarang, ketika mengantarkan Genta k
Pagi harinya, ramai orang sudah berkumpul di sebuah pemakaman.Orang-orang berbondong mengenakan pakaian serba berwarna hitam, seperti barisan semut yang mengular panjang untuk mengantarkan sang jenazah ke tempat peristirahatan yang terakhir.Isak tangis terdengar di mana-mana, bebarengan dengan kidung doa yang dilantunkan merdu sepanjang perjalanan menuju ke makam. Inilah waktunya untuk orang baik hati itu pergi meninggalkan dunia fana ini, guna menuju alam yang lebih tinggi dan abadi.Gendis tak kuasa menahan tangisnya sebab kabar ini terlalu mendadak. Semalam dia diberitahu pihak berwajib bahwa suaminya meninggal dunia di atap sebuah apartemen mewah.Benar! Kini Buana telah benar-benar wafat, tepatnya ketika pertarungan puncak berakhir dan jiwa Mpu Supa pergi meninggalkan tubuh tersebut, tampaknya luka-luka yang diderita oleh Buana tidaklah sepele.Tercatat bahwa dadanya berlubang cukup besar, kepalanya pun terus meneteskan darah sebab terbentur
Tak ingin berbicara lebih lama lagi, sebab waktu yang dipunyai terbatas, maka Mpu Supa segera menyerang balik Sang Iblis menggunakan ajian putihnya.Dia terbang melesat mendekati Sang Iblis dengan kecepatan cahaya, dan ketika berada di depannya Mpu Supa langsung memegangi kepala Sang Iblis. Dia membenturkan wajahnya sendiri ke arah wajah Sang Iblis!Duakkk!!! Suara benturan tersebut terdengar sangat keras membelah hening malam.Sang Iblis terpental jauh ke belakang menerima benturan tersebut. Kakinya masih melayang di udara. Namun belum sampai kesadarannya pulih, Mpu Supa sudah melesat lagi menuju ke arahnya dan kali ini hantaman bertubi-tubilah yang dia terima.‘Bugh’‘Bugh’‘Bagh!!!’Dengan jurus seribu cahaya Mpu Supa menghajar Sang Iblis tanpa ampun! Dia menghantam kepala, badan, tangan, kaki, serta titik-titik persendian tertentu yang memang sudah diicarnya sebagai kelemahan dari Sang Iblis.
Di atap gedung, Sang Iblis terus mencekik seraya menyedot darah dari leher Giselle. Perempuan malang itu benar-benar sudah tidak bisa bangun lagi akibat Sang Iblis mengekang jiwanya.Bahkan muka Giselle kini sudah pucat pasi sebab kehilangan darah yang banyak. Setiap darah yang mengalir dari tubuh Giselle segera berpindah kepada Sang Iblis, dan darah tersebut mengandung kekuatan tertentu untuk Iblis. Makin banyak darah yang diambil maka makin banyak kekuatan yang didapat, serta Iblis berencana untuk menyedot semua darah perempuan tersebut.Namun di luar dugaan, saat sedang melakoni ritual tersebut tiba-tiba dua orang datang dengan cara terbang dan mengangumkan. Tentu itu membuat Sang Iblis terheran-heran, pasalnnya sekarang dia menyangka hanya dirinyalah yang mampu terbang seperti itu.“Hentikan perbuatanmu!” teriak Mpu Supa begitu melihat apa yang sedang dilakukan oleh Sang Iblis!“Jauhi perempuan itu sekarang juga!” Raden Kamandr
Sementara itu di saat bersamaan, di dalam apartemen, Buana dan Segara masih terkapar tidak bergerak. Denyut nadinya sudah menghilang, dan jantungnya pun berhenti bergerak.Secara medis memang keduanya sudah dinyatakan meninggalkan, sebab lambat-laun organ tubuh dan sel-sel di dalam badan perlahan berhenti bekerja. Namun, sebenarnya mereka itu belum mati, hanya saja ruh-nya berpindah ke alam yang lebih tinggi.“Bangunlah kalian!” ucap seorang tua berpakaian serba putih kepada ruh Buana dan Segara. Rambut orang tua tersebut juga menjulur panjang dan putih, sambil tersenyum dia pun kembali berkata, “Buana, Segara, bangunlah!”Mendapat panggilan tersebut ruh Buana dan Segara pun seketika bangun. Keduanya tercengang saat mendapati alam sekeliling yang berbeda dengan alam dunia, sebab di sini semuanya serba berwarna putih. “Apakah aku sudah mati?” ucap Buana dan Segera secara bersamaan.“Belum, sebab lebih tepatnya di s
Mendapati kakaknya sedang ditikam spontan saja Segara membantunya. Dia langsung memuul wajah Sang Iblis tepat di ppinya. Namun sayangnya Iblis tak bergeming dengan pukulan lema tersebut. Malahan dengan kejam dia berkata, “Lihatlah sekarang Kakakmu ini akan kubunuh di depan matamu! Hahahaa...”“Sial, lepaskan dia!” teriak Segara yang masih berusaha terus memukul. Namun Sang Iblis terlalu tangguh untuk menerima pukulan lemah tersebut. “Hentikan! Aku bilang hentikan!”Sang Iblis tak peduli! Dia terus menancapkan kukunya semakin dalam dan bahkan kini mengenai bagian jantung Buana, lalu merobeknya membuat seisi perut porak-poranda!Buana sudah lemas tidak bisa melawan lagi, wajahnya yang penuh dengan darah hanya menatap ke langit-langit, mengerjab satu kali, kemudian mati!“Hahahaa!! Lihatlah makhluk lemah ini. Hanya dengan begini saja dia sudah mati. Cih, siapa suruh mau melawanku!” ucap Sang Iblis dengan tawany
Genta terpental mendapat tiga tembakan tersebut. Tubuhnya ambruk menghantam meja kaca hingga pecah.Meski dengan tiga buah peluru yang bersarang di dada, namun Genta tidak mati. Dia hanya limbung sebentar kemudian bangkit lagi dan tertawa renyah.“Kamu pikir bisa membunuhku dengan pistol seperti itu?” ucapnya yang kini sudah terdengar bahwa itu bukanla suara Genta lagi. Suara itu terdengar berat dan serak, serta menggunakan logat seperti orang zaman kuno. Jelas sekali bahwa itu adalah suara Sang Iblis.Mendengar suara aneh tersebut Buana bersiap-siap untuk menembak kembali. Namun sayangnya Sang Iblis sudah terlebih dahulu bergerak cepat sekali, secepat cahaya, yang tiba-tiba dirinya sudah berada di samping persis Buana. “Enyahlah kamu! Dasar manusia makhluk lemah dan penganggu!”Brakkk!!! Dipukul-lah kepala Buana dengan telak hingga sampai tengkoraknya berbunyi.Buana terlempar cukup jauh hingga sampai menabrak dinding. Lalu
Mimik wajah genta berubah menjadi ketakutan saat tahu Buana tidak main-main. Wajar, siapa yang tidak takut dengan peristiwa seperti ini, ditodong pistol tepat di hadapan keningnya? Jelas saja semua orang akan takut. Namun sebenarnya yang dilakukan Buana hanyalah sedang ingin memancing Sang Iblis agar keluar dari tubuh Genta. Sebab sampai saat ini belum ada tanda-tanda kemuculan makhluk laknat tersebut.“Akan kuhitung satu sampai tiga, jika kamu masih mengelak atas perbuatanmu, maka jangan salahkan aku jika kutarik pelatuk ini!” ucap Buana semakin menekan moncong pistol ke kening iparnya.“Satu...”Tubuh Genta mulai gemetar. Terlihat jelas dia ketakutan dan tidak ingin mati. Sepertinya jiwanya sekarang sedang ingin melawan Sang Iblis yang mengekang dalam dirinya.“Dua...” Buana terus menghitung mundur tanpa ampun. Jarinya telah bersiap untuk menarik pelatuk!“Tiga!!!”“Oke, oke, stop! Aku
Tidak heran jika ini disebut apartemen elite karena berada di tengah kawasan tempat tinggal para orang konglomerat. Bagi Genta tentu saja uang bukanlah masalah sebab dia merupakan putra seorang yang sangat berada, sehingga bahkan uang sakunya sangat cukup jika harus membeli apartemen di sini.Bangunan ini terdiri dari 15 lantai, sedangkan lantai paling atas digunakan untuk tempat pendaratan helikopter. Sebab tidak jarang para penghuni apartemen di sini kerap menyewa helikopter untuk kepentingan sehari-hari atau sekadar untuk cari sensasi. Begitulah.Setelah menganalisis dengan saksama lingkungan sekitar apartemen, Buana dan Segara langsung naik menuju lantai sembilan. Kepada security di depan Buana menunjukkan lencananya sebagai perwira polisi dan berkata dia ingin melakukan investigasi dengan salah satu penghuni di sini.Tentu saja si security langsung memberikan izin tanpa banyak bertanya. Malahan dia menawarkan jasa informasi mengenai apartemen jika memang di
Memang begitulah yang terjadi. Setelah bertemu dengan Mpu Badingga, seolah kehidupan Buana dan Segara selalu diikuti oleh sosok ruh yang tidak kasat mata.Semua ini terlau sulit untuk dijelaskan oleh keduanya, tetapi mereka benar-benar merasakan kehadirannya, sosok Mpu Supa dan Raden Kamandraka.Seperti halnya ketika Buana sedang tidur, dia akan didatangi oleh sosok laki-laki tua berambut serba putih yang menjulur panjang. Memang di dalam mimpi tersebut sosok Kakek tua tidak terlihat begitu jelas, namun yang pasti Buana bisa memastikan melalui instingnya bahwa itu adalah sosok Mpu Supa.Saat mendatangi Buana di alam mimpi Mpu Supa tidak bericara banyak hal. Beliau hanya suka duduk di samping Buana, dan saat itu adalah malam hari dengan taburan bintang-bintang.Buana pun tidak mencoba untuk bertanya hal apa pun dengan sosok Mpu Supa di dalam mimpinya, melainkan Buana hanya membiarkan beliau tersenyum memandangi wajahnya, sambil sesekali mengusap-usap kepal