Kinan memilih diam saja. Mengabaikan deringan telepon yang kembali terdengar setelah terjadi. Meletakkan kembali gawai itu ke atas meja, namun kali ini dalam posisi terbalik. "Siapa, Nan?"Kinan mendongakkan kepalanya. Melihat tatapan yang menyiratkan banyak tanya dari Dinda. "Bukan siapa-siapa. Nomor tak dikenal. Aku malas menjawab panggilannya. Paling-paling nanti menawarkan sesuatu ujung-ujungnya."Memilih menutupi kenyataan yang sebenarnya, Kinan tak maksud membohongi Dinda. Namun dirinya sendiri tak paham dan tak mengerti. Apa tujuan lelaki itu menghubunginya? Nama Hanif terlihat jelas di layar pipih itu. Lelaki yang baru saja mereka bahas itu melakukan panggilan ke nomor kontak Kinan. Entah untuk apa. Hanya saja Kinan tak mungkin menjawab panggilan itu saat ini. Ada Arman yang pasti akan banyak bertanya nantinya. Kinan benar-benar sedang malas berbagi cerita kepada siapa pun saat ini. Hanya kepada Dinda dirinya ingin be
"Kakak tak akan percaya. Aku sendiri tak menyangka."Dinda melotot. Menunjukkan kekesalannya ketika tanya itu tak langsung dijawab oleh Kinan. "Bang Hanif. Tapi aku tak mungkin berbicara dengan posisi ada Bang Arman tadi.""Hanif???"Dinda tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Mulutnya menganga dengan mata yang membelalak seketika. "Kamu serius, Nan?"Dinda masih tak dapat percaya. Untuk apa? Bak gayung bersambut, pembicaraan mereka tadi seolah didengar pemilik langit sana. Tak perlu menghubungi lebih dulu. Laki-laki yang sempat mereka bahas tadi ternyata menghubungi lebih dulu. Kinan menganggukkan kepala. Meraih kembali gawainya yang tergeletak di atas meja. "Mungkin sebaiknya aku menghubungi Bang Hanif sekarang. Agar tak penasaran apa maksudnya menghubungiku tadi. Tak mungkin menghubungi jika tak ada hal yang penting rasanya."Dinda manggut-manggut. Menyetujui ucapan Kinan secara tak langsung.
"Sedikit. Di bagian ujungnya saja tadi. Kamu percaya dengan yang disampaikan Hanif tadi?""Untuk apa Bang Hanif membohongiku? Tak ada gunanya kurasa."Kinan cepat menyanggah. Apalagi yang disampaikan lelaki itu tadi bukan berniat menjelekkan sosok yang telah tiada. "Jadi Hanif mengajakmu bertemu besok?" tanya Dinda sembari menyandarkan punggungnya. "Iya, Kak. Aku tadi lupa bahwa besok jadwal piketku. Tak mungkin aku meninggalkan sekolah tentunya."Menepuk dahinya, Kinan lupa tugasnya di sekolah esok hari. Menjadi guru piket tentu dirinya tak mungkin akan pergi kemana-mana. "Kakak juga tak mungkin menggantikanmu. Jadwal kita sama."Dinda mendesah kecewa. Jadwal piket mereka memang setiap bulan akan berganti. Tak hanya berganti hari, namun juga berganti rekan. Agar tak monoton dan bosan. Itu alasan kepala yayasan. Kinan memijat pelipisnya. Melemparkan pandangan ke arah jalanan. Tampak Yuk Diana sebuah bersiap
Matahari menguning, memancarkan panas pagi yang cerah. Raja hari itu menampakkan wajah utuhnya. Memastikan penduduk bumi merasakan energinya. Kinan duduk di bawah pohon mangga. Salah satu tanaman peneduh yang ada di halaman sekolah. Tak ada jadwalnya di kelas saat ini. Hanya dirinya harus menjalankan tanggung jawab sebagai guru piket hari ini. "Nan, Hanif belum datang juga?"Kinan menolehkan kepala. Sosok Dinda tiba-tiba datang dan langsung mendudukkan tubuh di sampingnya. Gelengan kepala sembari bahu yang mengendik cukup sebagai jawaban atas pertanyaan yang ada. Kinan memang sudah mengirimkan pesan agar Hanif datang sebelum pukul 11 siang. Hanya di waktu itu dirinya punya kekosongan jadwal mengajar. Dinda menolehkan kepalanya ketika mendengar deru sepeda motor di luar pagar sekolah. Tak tampak jelas sosok yang duduk di atas kendaraan beroda dia itu. Helm penutup wajah dan jaket yang tebal seakan menyamarkan identitasnya. "A
Kinan mengungkapkan tanya pada Hanif. Mengangkat wajah sehingga tatapan keduanya bertemu. Tak lama setelah akhirnya Kinan cepat-cepat menundukkan pandangannya kembali. "Aku hanya menduga. Karena itu jelas merupakan tulisan Salsa. Dan melihat kertas dan tintanya, tulisan ini sepertinya sudah cukup lama."Giliran Dinda yang bereaksi. Mengulurkan tangan sembari menatap wajah Kinan. Secarik kertas itu berpindah tangan. Mengamati kertas itu dengan seksama. Dinda mengernyitkan dahi menunjukkan rasa penasarannya. Memindai deretan aksara yang tintanya sudah mulai memudar itu dengan seksama. Tak ada coretan sama sekali. Kata demi kata dituliskan dengan jelas, tanpa kesalahan. "Jika memang almarhumah Salsa tahu sesuatu, mengapa diam selama ini? Jika memang bukan Bang Ardi pelaku perbuatan keji itu, mengapa Salsa tak pernah mengatakannya?"Kinan mengungkapkan isi hatinya. Mempertanyakan sesuatu yang baginya sungguh sangat patut dipertan
"Jika aku tak yakin, aku tentunya akan mengabaikan surat ini. Almarhum meninggalkan surat ini tentunya bukan tanpa maksud dan tujuan. Walaupun aku sendiri tak tahu, entah kapan deretan kata ini dituliskan."Kinan tak mengada-ada. Dirinya tak tahu sejak kapan sehelai kertas itu ada. Entah kapan Ardi menuliskan semuanya. Bahkan menyiapkan tempat terbaik untuk menyembunyikan kertas itu agar tak ditemukan olehnya. "Mengapa Ardi tak membela diri selama ini, Nan?" Dinda yang sejak tadi diam akhirnya ikut menyela. Cukup terkejut dengan kenyataan yang tersaji di depan matanya. Kertas yang dikeluarkan Kinan ini tak pernah diketahuinya. "Aku yakin almarhum Bang Ardi telah cukup membela diri dan menyangkal semua tuduhan itu. Apakah aku salah, Bang?"Kali ini Kinan benar-benar menghujamkan sepasang maniknya kepada lelaki itu. Lelaki yang memilih tertunduk dengan wajah yang tampak serba salah. "Tolong jawab, Bang! Apakah almarhum mengelak
"Ada saksi? Siapa? Mengapa selama ini tak pernah terungkap? Bukankah menurut cerita Bang Ardi tak ada saksi saat kejadian tersebut? Tuduhan muncul karena posisi mereka berdua saat ditemukan. Dan itu menjadi bukti yang tak terelakkan."Kinan sontak melontarkan deretan tanya. Merasa terkejut dan tak menyangka atas ucapan yang disampaikan Hanif itu. Lagi-lagi Hanif meraup wajahnya. Tampak ada gurat keresahan terpancar dari bingkai rahang kokoh itu. Kinan semakin tajam menghujam lelaki itu. Mungkinkah lelaki ini menutupi sesuatu? Dan apa yang diucapkannya tadi merupakan bentuk ketidaksengajaan. "Abang tahu sesuatu. Tapi Abang memilih menutupinya. Entah apa itu. Atau memang Abang sengaja ingin menjebak almarhum Bang Ardi selama ini? Membuatnya sengaja merasa bersalah untuk memeras uang darinya setiap bulan?"Tak tanggung-tanggung ucapan pedas itu Kinan lontarkan dengan tatapan mata yang menyalang. Dinda yang berdiri
"Abang tak bisa, Nan."Tampak Hanif memijat pelipisnya. Raut wajah lelaki itu seperti merasa bersalah. "Kami sekeluarga sudah berjanji tak akan membuka identitasnya. Amanah itu kami pegang, tak berniat untuk mengingkarinya. Abang yakin, kalian jauh lebih paham tentang agama dibandingkan diri ini. Ini menyangkut janji dan kepercayaan."Kinan menegang. Telapak tangannya mengepal hingga menampakkan buku-buku putihnya. "Lantas dengan amanah yang harus terjaga itu Abang akan membiarkan saja seseorang terzalimi? Membiarkan fitnah terus terjadi? Abang tahu apa dosanya berbuat tidak adil dan curang bukan?"Kinan menjeda kalimatnya. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi ruang paru-parunya."Abang tahu apa yang aku pikirkan saat ini?"Sengaja menggantung kalimatnya, Kinan seolah memberi waktu netranya untuk menatap wajah lelaki yang tampak resah itu. "Aku semakin yakin jika sebenarnya almarhum Bang Ardi ta
"Bang,dimana kau!" pekik Kinan dengan langkah yang tergesa. Mengabaikan tatapan heran dia lelaki yang memandangnya sejak mematikan mesin motor tadi. Tak peduli tanah yang sedikit becek akibat hujan sesaat barusan, Kinan tak dapat lagi menahan lama-lama emosi yang menggelegak di dadanya. Pernyataan yang disampaikan Fauzan tadi benar-benar membuatnya naik pitam. Mengapa sosok itu harus dia? Bukankah selama ini lelaki itu yang seolah menjadi sahabat dekat mendiang suaminya? Hanya berpura-pura ternyata. Lelaki itu tak lebih dari manusia munafik. Berpura-pura baik, menikam dari belakang. Kinan sempat tercengang saat mendengar nama yang disebutkan Fauzan itu. Menggelengkan kepala menunjukkan ketidakpercayaannya. Bahkan Kinan sempat meminta Fauzan mengulanginya kembali. Memastikan agar lelaki itu tak salah mengeja nama yang akhirnya akan menjadi fitnah. Namun Fauzan mempertegas semuanya. Gendang telinganya tak salah menangkap gelombang suara. Sosok i
Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Fauzan. Lelaki itu tampak merasa serba salah. "Mengapa Abang tak menjawab pertanyaanku? Jangan bilang Abang menyesal telah mengatakan semua ini kepadaku!" tukas Kinan dengan tegas. Tatapan mata Kinan semakin menghujam. Membuat Fauzan semakin gelisah. Helaan napas panjang Fauzan terdengar jelas di tengah pemakaman yang sepi tanpa peziarah lainnya. Tampak beban berat seolah menggurat di wajah lelaki itu. "Abang tak bilang begitu. Hanya saja, Abang pikir semua kisah itu telah terungkap tanpa sisa. Ternyata Abang salah. Harusnya Ardi pergi tanpa belenggu rasa bersalah yang selalu membebaninya."Kinan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian tangan kanannya bergerak ke arah pelipis. Memijatnya perlahan untuk menghalau rasa sakit yang mulai mendera. "Aku tak paham apa yang Abang katakan. Mungkin lebih baik Abang katakan saja langsung. Tak perlu berbelit-belit. Lagi pula aku tak ingin berlama-
Fauzan tampak tersentak. Sepertinya tak menduga jika Kinan akan menanyakan hal ini kepadanya. "Mengapa Abang terlihat terkejut? Abang pikir … aku tak tahu semua itu? Aku tahu, bukan tak tahu apa-apa seperti yang Abang pikirkan."Kinan mencoba menepis keraguan di hati Fauzan. Dirinya tahu tentang masa lalu suaminya. Pun dirinya mencoba berdamai dengan semua itu. Walaupun perceraian yang semoga menjadi penyelesaiannya saat itu. "Setelah Ardi pergi? Atau justru saat awal kalian menikah dulu?"Kinan menggelengkan kepalanya. Perlahan namun pasti. "Bukan keduanya. Aku tahu beberapa waktu sebelum kepergian almarhum. Dan itu pun secara tak sengaja. Berawal dari banyak hal yang memang almarhum coba sembunyikan. Namun Allah punya kehendak, yang mungkin tak sama seperti yang kita harapkan."Kembali Fauzan tertegun. Tak mampu lagi berkata apa-apa. "Aku tak akan dan tak sedang ingin membicarakan hal itu lagi. Aku hanya ingin mem
Beranjak dari posisi berjongkok, Kinan masih tertegun. Tak mengenal sosok yang ada di belakangnya. Bahkan setelah Kinan membalikkan tubuhnya, tetap saja tak ada ingatan yang tersisa tentang lelaki ini. "Maaf … Abang siapa? Mengenal almarhum suami saya?" tanya Kinan sembari menunjukkan raut wajah bingungnya. Dahinya mengernyit mencoba menguatkan kerja memori otaknya. "Ini makam Ardi kan? Soalnya petunjuk yang aku dapatkan tadi menunjukkan arah ini."Seolah tak peduli dengan pertanyaan Kinan, lelaki itu memajukan tubuh dan menajamkan netranya. Kacamata hitam yang tadi dikenakannya berpindah tempat. Tak lagi menempel di hidung, melainkan menggantung di kancing kemeja kotak-kotak yang dikenakannya."Tak salah lagi. Benar, ini makam Ardi."Lirih lelaki itu berkata sembari menurunkan tubuhnya. Mengambil posisi berjongkok di tempat yang tadinya ditempati oleh Kinan. Bibir lelaki itu berkomat-kamit. Kedua telapak tangannya menengadah.
Kinan menatap pilu nisan yang masih terbuat dari sebilah papan. Nama suaminya tertulis di sana. Tanah kuning di hadapannya belum sempurna mengering. Masih membasah, sama seperti hatinya yang belum juga mampu menerima kepergian lelaki ini sepenuhnya. Kepergian lelaki ini masih meninggalkan duka di hatinya. Tak pernah disangka jika mereka sedang dalam situasi tak baik ketika lelaki ini harus pergi selamanya. Itu yang paling menimbulkan penyesalan terbesar di hati Kinan hingga saat ini. Perceraian mereka memang urung terjadi. Namun kenyataan pahit ini jauh lebih menyesakkan dadanya. "Bang … bantu aku! Berikan petunjuk padaku! Aku sedang berjuang membuktikan jika dirimu tak salah kala itu. Sesuai apa yang kamu tuliskan dalam surat itu. Tapi apalagi yang dapat aku lakukan saat ini, Bang? Aku tak tahu bagaimana lagi harus mencari petunjuknya. Aku gagal, Bang."Tak hanya isakan tangis, Kinan juga menumpahkan air matanya. Area pemakaman yang sepi membuat Kinan m
Arman tercengang. Sepasang mata lelaki itu tampak terbelalak. Rahangnya mengeras. Bahkan ekor netra Kinan masih mampu menangkap gerakan terkepalnya telapak kedua tangan lelaki itu. "Abang terkejut aku tahu semuanya? Abang salah jika berpikir akan dapat menutupi bangkai selamanya."Kinan tersenyum sinis. Bentuk penguatan pada diri sendiri agar tak terlihat lemah di hadapan Arman. Kedok lelaki ini harus terbuka sekarang juga. "Pasti Hanif yang mengatakan kepadamu. Benar kan, Nan?" tanya Arman dengan lirih sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Kinan diam. Satu hal yang dapat ditangkap dirinya atas ucapan Arman itu. Lelaki ini hanya mengatakan semua itu pada Hanif dan keluarganya. Tidak pada orang lain. "Setidaknya lelaki itu lebih jujur dibandingkan Abang."Kalimat yang singkat itu mengalir dari bibir Kinan. Namun mampu meluluhlantakkan hati Arman seketika. Sebegitu rendahkah dirinya di mata Kinan sekarang? "Kamu ta
Arman terperanjat. Kelihatan sekali jika laki-laki itu tak menyangka atas kalimat yang diucapkan Kinan. "Abang terkejut? Atau pura-pura terkejut? Masih ingin bersandiwara?" lanjut Kinan seolah tak memberi Arman kesempatan untuk bicara. Arman tampak gugup. Sesaat. Kembali berusaha menguasai diri. Namun Kinan mampu menangkap segala perubahan raut wajahnya lelaki itu dengan seksama. "Tak perlu gugup. Tak perlu berdalih untuk menutupi kebohongan Abang. Aku sudah tahu semuanya, Bang."Kali ini Kinan menurunkan nada suaranya. Sedikit melemah walaupun dengan telapak tangan yang terkepal. "Jika Abang tanya perasaanku setelah mengetahui semua ini, jujur aku kecewa. Kecewa pada sikap Abang. Kecewa pada pilihan yang Abang buat bertahun silam."Kinan menyunggingkan senyum sinisnya. Kembali menegakkan wajah ke arah Arman yang tampak kikuk seketika. "Abang masih belum paham arah pembicaraanmu ini, Nan. Semoga apa pun yang ada di
"Maksudmu? Abang tak paham. Bukankah apa yang Abang ketahui sudah Abang jelaskan semua kepadamu?"Arman yang muncul selang lima menit kemudian tampak terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kinan itu. Kinan yang memilih tetap berdiri sama sekali tak ada niat untuk menyampaikan basa-basi. "Abang tak usah lagi berpura-pura. Tak usah berlagak tak tahu apa-apa."Mengernyitkan dahi, Arman sepertinya masih mencoba berlagak tak paham arah pembicaraan Kinan ini. "Abang memang tak tahu apa-apa, Nan. Lagipula kisah itu sudah lama. Sudah jelas apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa kamu mengungkit-ungkitnya lagi?"Arman mengambil posisi duduk. Berharap hal yang sama dilakukan Kinan. Tak elok rasanya bicara sambil berdiri. "Abang bertanya mengapa aku mengungkitnya? Atau Abang memang sengaja ingin mengubur kisah itu agar dilupakan orang begitu saja?" Kali ini Kinan menegakkan wajahnya. Menghujam Arman dengan netranya yang se
Kinan menatap tegak bangunan yang ada di hadapannya. Kali kedua menginjakkan kaki ke halaman ini, namun perasaannya sungguh berbeda. Jika dulu langkahnya diiringi kekhawatiran, sekarang sungguh berbeda. Tak ada rasa khawatir yang dirasakannya sama sekali. Justru semangat yang menggebu ingin bertemu dengan sang pemilik rumah. Kecurigaannya jelaslah bukan tanpa alasan. Bukan tanpa dasar. Ada banyak hal mengganjal yang layak disebut sebagai bahan pertimbangan. "Ingin bertemu siapa, Yuk?"Kinan menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Posisi asal sumber suara yang menegurnya tadi. Seorang wanita yang hampir sebaya dengan Yuk Diana tampak berdiri tegak. Menatap Kinan dengan sedikit curiga. Kjnan tak marah. Wajar saja itu dilakukan wanita yang sepertinya merupakan pekerja rumah tangga di bangunan di hadapannya ini. Wanita ini tentu mendapat amanah untuk memastikan para tamu yang datang tak salah orang. Tak salah sasaran. "Pak Ar