Kami tinggal di salah satu rumah kontrakan milik Haji Salim. Di desa ini, kontrakan atau indekos tak sebanyak di kota. Bisa dihitung dengan jari. Ibu menjual cincin kawin yang diberikan Tuan Amar sebagai mas kawin dulu. Entah kenapa, sampai sekarang aku enggan menyebutnya ayah.Haji Salim sangat baik. Laki-laki tua itu sengaja menempatkan kami di kontrakan yang bersebelahan dengan rumahnya, agar tak ada orang-orang jahil yang akan menggangguku dan Ibu. Bahkan ia meminjamkan beberapa perabot rumah tangga untuk kami. Untuk bertahan hidup, Ibu bekerja di pabrik roti yang terletak tak jauh dari kontrakan. Rata-rata ibu rumah tangga di sini, bekerja sambilan untuk menambah penghasilan keluarga. Dulu Ibu sudah pernah bekerja di pabrik roti itu setelah beberapa bulan kepergian Ayah ke kota. Namun karena kandungan semakin membesar, Ibu berhenti beberapa minggu sebelum aku lahir.Hidup mandiri ternyata sangat nyaman, tak ada yang menghardik atau bangun sangat pagi untuk bekerja. Kami bisa ist
POV Amar PrawiraSeperti tersambar petir, aku menatap perempuan yang telah lama kutinggalkan. Rentetan kenangan manis tiba-tiba muncul di kepala. Wajah itu, tubuh itu, masih sama seperti 18 tahun lalu. Cantik, dan terlihat lebih dewasa. Hanya saja, mata itu meneteskan air bening penuh kesedihan. Kini, tatapanku beralih pada perempuan yang duduk di sebelahnya dengan perasaan hancur. Tubuh terasa tak bertulang menyadari kehadirannya. Setelah satu bulan kuabaikan sosok itu, sekarang kenyataan baru terungkap. Dia ternyata darah dagingku.Aku terpaku. Diri ini seperti seorang penipu yang tertangkap basah, dan tak mampu berbuat apa-apa. “Sri.” Perempuan itu terisak melihatku berdiri di hadapannya. Mata yang dulunya berbinar dan sejuk, sekarang tertutup air mata duka. Sri Rahayu, perempuan yang aku nikahi 19 tahun silam, sekarang ada di depan mata. Ia membuang pandangan, ketika mata kami berserobok. Tangis dan isak mewarnai pertemuan yang tak disengaja ini. Betapa pun aku menghindar, jika t
Jovita terdiam. Kenangan 18 lalu kembali dibuka. Sebelumnya, aku hanya satpam di rumah Pak Suganda, ayahnya Jovita. Tak pernah ada keinginan untukku meninggalkan istri. Namun semua berubah, ketika Pak Suganda memintaku untuk menutupi aib keluarga mereka. Aku dibayar untuk menjadi suami Jovita yang saat itu sedang hamil dan ditinggal pergi pacarnya sampai ia melahirkan. Aku jujur pada keluarga Suganda bahwa status ini tak lajang lagi. Mereka pun tak keberatan, toh, pernikahan ini hanya sampai Jovita melahirkan.Aku tertarik, karena uang yang dijanjikan cukup menggiurkan. Uang itu akan menjadi modal usaha dan hidup bersama istri dan anakku kelak. Tanpa pikir panjang, aku pun menyetujuinya. Pesta mewah di hotel bintang lima menjadi saksi pernikahan kami. Walaupun Jovita sempat keberatan dengan usulan ayahnya, tetapi demi menutupi aib—karena ulahnya sendiri, ia pun menerima.Aku melayani dan menjaga Jovita melebihi diri sendiri. Tak mudah menaklukkan hati perempuan itu. Aku kerap menjadi
Setelah tiga purnama tinggal di desa, kami dikejutkan dengan kedatangan tamu yang tak terduga.“Siapa, Bu?” tanya Ibu pada Bu Minah yang mengabarkan jika ada tamu dari kota. “Ndak tahu, Bu. Ada dua orang laki-laki. Gagah-gagah. Sepertinya mereka dari kota,” jawab Bu Minah yang menilai dari penampilan. Ibu yang sedang bekerja di pabrik roti terpaksa izin, dan mengajakku pulang. Beberapa minggu ini aku rutin membantu Ibu bekerja di pabrik rumahan ini. Pekerjaan kami tidak berat, hanya membungkus roti. Selain itu, pekerjaannya tak terikat waktu, jadi kami bisa izin pulang jika ada keperluan atau melakukan tugas rumah tangga. Karena itulah, banyak ibu rumah tangga yang bekerja di sini. Penghasilan yang didapatkan pun beragam, tergantung berapa banyak jumlah roti yang sudah di paking. “Siapa, ya, Bu?” tanyaku, ketika kami mencuci tangan dan bersiap pergi.“Entahlah.”“Apa mungkin Pak Arya, atau Mas David?” tanyaku ragu, karena hanya mereka laki-laki kota yang ingin berkunjung ke desa in
“Oh, jadi Mas David ke sini untuk membantu Pak Arya melamar Ibu?”“Sebenarnya tidak juga, tetapi karena aku punya tujuan yang sama.” Laki-laki itu menatapku lekat. “Aku ingin kamu menjadi istriku, Lan.” Aku terpana mendengar kalimat itu. Rasanya seperti mimpi dilamar laki-laki yang jauh dari ekspektasiku. Mas David tersenyum, lalu mengangguk, membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh. “Mau, ya, Lan?” Hatiku tergelitik melihat cara dia melamar yang tak ada romantisnya. “Tetapi ….”“Please, jangan menolak!” Laki-laki itu melipat kedua tangannya di depan dada. Aku tersenyum melihat wajah yang biasanya acuh dan arogan itu, kini memohon seperti anak kecil. “Mintalah pada ibu Wulan. Jika Ibu mengizinkan, Wulan bersedia.” Sebuah senyum terukir dari bibir Mas David. Ia tampak yakin sekali. “Kalau itu, aku bisa! Doakan aku, ya, Lan.” Tanpa menunggu lama, laki-laki itu bangkit dan berjalan menuju dua orang yang sedang berbincang. Aku mengalihkan pandangan, dan kembali menatap ikan-ikan yang be
Semua yang ada di ruang tamu itu kaget dengan ucapan Mas David. Laki-laki itu memutuskan sepihak, tanpa meminta persetujuan kedua pasangan yang akan menikah termasuk aku, anaknya.“Ma-maksudnya, saya menikahkan mereka besok?” tanya Paman heran.“Iya. Saya yang akan mengurus semuanya. Besok, orang saya akan datang menjemput Bapak ke tempat pernikahan diadakan.”Permintaan Mas David yang tegas membuat Paman dan Bibi tak mampu berkutik. Mau tidak mau Paman menyetujui, termasuk Bibi yang tak mampu menyanggah lagi. Senyum kemenangan terpancar dari wajah Mas David. Paman dan Bibi hanya bisa pasrah, menerima permintaan laki-laki yang tak mau ditolak itu. Begitu pun Pak Arya yang sempat dibuat kaget dengan keputusan sepihak yang tak terduga. “Lengkapi persyaratannya, Dok. Hari ini, saya akan minta bawahan saya untuk mengurus semuanya. Besok pernikahannya digelar, dan sah secara hukum agama serta negara,” ucap Mas David, ketika kami dalam perjalanan pulang dari rumah Paman.“Baik, saya akan
Aneh rasanya, apa aku tak pantas dengan dandanan dan tampilan begini? Kenapa harus di-make over segala? Aku menurut. Berbagai peralatan makeup yang tak kutahu namanya sudah siap menanti. Dengan cekatan, tangan perempuan itu mulai memoles dengan sentuhan makeup di wajah.Sebuah gaun berwarna dusty pink melekat di tubuh. Aku heran, ukurannya pas sekali, tidak kekecilan atau kebesaran. Tubuhku membeku di depan kaca, ketika melihat diri ini dalam balutan gaun mewah dan polesan kosmetik. Ini pertama kalinya aku didandani. Rasa tak percaya. Ternyata aku bisa secantik ini.“Bahagia, yo, Sri. Sebentar lagi nikah sama orang kaya.” Suara Bibi mengagetkan kami. Aku tak tahu bagaimana caranya Mas David membawa Paman dan Bibi untuk hadir ke pernikahan ini. “Terima kasih,” jawab Ibu setenang mungkin.Wajah sinis Bibi tampak tak suka melihat kebahagiaan Ibu. “Sebenarnya aku tak setuju dengan pernikahan ini. Tetapi karena laki-laki itu memaksa, akhirnya kami tak bisa mengelak. Aku tak habis pikir,
Sore ini, kami berangkat ke Tangerang menggunakan pesawat terbang. Sedangkan mobil Mas David dibawa kembali oleh bawahannya. Ini pertama kalinya aku naik pesawat. Tak menyangka bisa terbang bersama burung besi, dan menikmati pemandangan dari ketinggian. Aku kembali ke kota, tempat pertemuanku dengan orang-orang yang sekarang menjadi bagian dari hidupku. Rumah yang sempat aku tinggali bersama Ibu, sekarang kami huni kembali. Ayah Arya memberiku sebuah kamar di lantai dua, berbeda dengan kamar sebelumnya. Letaknya bersebelahan dengan kamar mereka. Kamar ini lebih luas dari kamar tamu, diisi oleh perabotan mewah dan nyaman. Tempat tidurnya empuk, dilengkapi televisi layar datar, pendingin ruangan, dan sebuah komputer tersedia di meja. Dulu aku sangat memimpikan bisa memiliki benda ini. “Wulan suka?” tanya laki-laki yang baru beberapa jam lalu menjadi ayahku. “Bagus sekali. Wulan suka, Yah.”Laki-laki itu tersenyum. “Semoga Wulan betah.”“Insyaallah, Wulan pasti betah.”“Pakaiannya bel
Salma memperhatikan Sri yang tampak tenang dan tak terusik dengan ucapannya kemarin. Salma masih ingat bagaimana wajah wanita itu berubah ketika mendengar pengakuannya. Kini, sikap tenang istri mantan suaminya itu membuatnya heran. Puas melihat dari kejauhan, Salma mendekati Sri yang sedang sibuk di dapur.“Kamu masak banyak sekali seperti ada pesta? Mas Arya akan pulang sore hari, makanan itu akan dingin sebelum dia datang?” ungkap Salma tiba-tiba. “Dari mana kamu tau?” tanya Sri. Wanita itu tersenyum, niat buruknya kembali muncul untuk memanas-manasi istri Arya itu. “Aku ini mantan istrinya, jadi aku hafal jam kerja Mas Arya. Hari ini adalah jadwalnya praktek di klinik sampai pukul enam sore, jika ada kasus yang harus ia tangani, bisa saja ia akan pulang malam.”Sri menoleh menatap perempuan yang merasa menang itu. “Itu dulu, saat bersamamu. Setelah menikah denganku, Mas Arya mengurangi aktivitasnya. Hari ini tak ada jadwal praktek. Ia akan pulang setelah zuhur.”Salma mengalihka
“Kenapa?”“Mas Arya sangat benci perselingkuhan. Jika Sri dan mantan suaminya berselingkuh maka ia akan menceraikan wanita itu. Kesempatan ini akan aku ambil untuk kembali dalam pelukannya.”Jovita tersenyum sinis, Salma enak, ia bisa kembali pada Arya, bagaimana dengannya yang tetap sendiri.“Aku enggak mau.”“Hei, ayolah, kalau Mas Arya berpisah dari Sri, kan kamu juga bisa kembali pada Amar. Lagi pula wanita itu takkan mau kembali setelah ia dicampakkan oleh lelaki itu kecuali hanya sekedar Pelepas rindu.” Dengan bujukan Salma, Jovita menyanggupi untuk ikut andil membuat pasangan suami itu meski hati kecilnya tak yakin akan bisa menjalankan misi mereka dengan sukses. ***SPW***Setelah mendapatkan informasi tentang keluarga mantan suaminya. Salma kembali ke rumah itu dengan hati panas. Bagaimana tidak, niat hati ingin kembali pada mantan suami malah mendapati bahwa lelaki itu sudah move on darinya dan kini sedang berbahagia memiliki keluarga sempurna dilengkapi seorang buah cinta
Salma berjalan mengelilingi rumah yang dulu pernah menjadi tempatnya bernaung. Hampir 100 persen dekorasinya dirubah total oleh Arya. Tak hanya itu, ia juga membuat hunian ini menjadi asri bahkan, Salma hampir tak mengenalinya. Dahi perempuan itu mengkerut ketika melihat pagar pembatas dengan rumah sebelah tak lagi terpasang. Dulu, ia sangat yakin jika rumah itu ditempati oleh seorang lelaki keturunan asing. Kenapa sekarang rumah ini menyatu dengan rumah Arya? Mungkinkah lelaki itu membelinya. “Sri, kenapa pagar pembatas di robohkan dan bangunan ini menyatu dengan rumah sebelah?” tanya Salma heran. “Itu rumah putri saya, agar kami bisa dekat dan saling menjaga ketika suaminya tak ada, jadinya sekatnya di buka.”“Rumahnya Wulan?”Sri mengangguk.Wanita itu tersenyum miring. “Mas Arya yang membelikan?” “Bukan.”“Menantumu?” Wanita itu tertawa mengejek. Pemuda kayakah menantunya? Rasanya tak mungkin. Lelaki lajang dan kaya itu langka dan sulit di dapat. Jikapun mereka kaya pasti has
“Tante ngapain di situ?” Pertanyaan Wulan mengagetkan Salma yang berdiri di depan pintu kamar. Sudah dari tadi Wulan melihatnya berdiri di depan pintu kamar mamanya. Apa yang dilakukan Salma? Kalau bukan menguping atau mencari sesuatu.“Oh … ti …tidak, tadi aku ingin mengambil minum lalu terhenti di sini karena mendengar suara aneh,” jawab Salma asal. Wulan tersenyum, “Mereka memang begitu tante, kadang aktivitas mereka terdengar sampai keluar kamar hingga suamiku pun ikut-ikutan. Dan ini akibatnya, aku hamil,” ujar Wulan memanasi. “Maklum tante, Ayah Arya lima belas tahun menduda dan mamaku Sembilan belas tahun hidup sendiri, jadi wajar jika mereka berdua bergairah melebihi pasangan perawan dan jejaka.”Salma menatap Wulan tak suka, ia tau jika perempuan hamil itu tengah memancing dirinya. “Sebaiknya tante tidur dari pada nanti tante mendengar suara-suara mereka yang akan membuat tante tak bisa tidur.”Salma menghela napas kasar, ia menatap Wulan benci lalu berlalu ke kamarnya den
Salma duduk di kursi jati yang terletak di samping rumah. Ia begitu kagum melihat pemandangan di depan mata. Tanah kosong yang dulu hanya ditanami rumput, kini telah berubah menjadi taman bunga yang indah. Aneka mawar dan warna warni anggrek tampak cantik mengelilingi kolam ikan. Suara gemircik air mancur yang terpancar dari dinding batu alam terdengar begitu merdu. Siapapun akan betah duduk berlama-lama di sini menikmati indahnya taman yang begitu terawat.Lamunan Salma terhenti ketika derit suara kursi terdengar di geser. Ia menoleh ke samping, senyum wanita itu mengembang mendapati sang lelaki pujaan duduk tak jauh darinya. Bahkan hembusan angin malam memanjakan hidung Salma yang telah lama tak merasakan aroma lelaki itu.“Ada apa kamu ke sini?” suara itu terdengar dingin melebihi udara malam yang membelai kulitnya. Salma menoleh ke dalam ruangan, dari kejauhan ia bisa melihat istri lelaki itu sedang duduk memangku sang anak. Suara gelak tawa Wulan yang menghibur Arkan terdengar d
Tak menyaia-nyiakan kesempatan, aku menerima tawaran Farah untuk ikut bergabung dengan mereka meski Mas Amar terlihat tak nyaman. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya aku kembali duduk di mobil yang dikendari lelaki itu. Mas Amar menyetir dalam diam, sementara aku dan Farah duduk di jok belakang. Sesekali aku bertanya pada perempuan itu. Ia tampak luwes dan mudah akrab. Sikapnya ini membuatku takut. Rasanya takkan butuh waktu lama bagi Farah untuk menaklukkan Mas Amar.Mobil berhenti di depan sebuah restoran sunda yang belum pernah aku kunjungi. Kami duduk di meja yang tak jauh dari tempat bermain. Suasana restoran yang asri di tambah air mancur buatan membuat tempat ini sangat cocok untuk bersantai, apalagi suara percikan air terdengar bak alunan musik menemati makan siang kami. Satu persatu pelayan datang menghidangkan makanan. Dengan cekatan, Farah mengambil piring kemudian menyendokkan nasi lalu memberikannya pada Mas Amar. Lelaki itu membalas dengan senyuman. “Ini cumi b
Rasanya aku ingin menangis ketika dihadapkan berbagai pekerjaan kantor yang tak aku kuasai, belum lagi bagaimana bersikap pada Budi yang berselingkuh dan berbuat meseum di kantor. Ternyata bukan hanya sekali ini saja lelaki itu membawa selingkuhannya tapi sudah berkali-kali, begitu info yang kudapatkan dari sekretarisnya. Meski hanya duduk dengan setumpuk berkas tapi menjadi pemimpin ini membutuhkan tanggung jawab dan otak yang cerdas untuk mengelolanya hingga menjadi sukses dan menguntungkan.“Budi, mulai besok kamu istirahat dulu di rumah!” tegasku ketika beberapa laporan para petinggi perusahaan aku terima. “Maksud ibu saya di … dipecat?” tanya lelaki itu gugup.“Saya belum sampai ke sana, saya perlu mengkaji keberadaanmu. Nanti akan saya infokan bagaimana kelanjutannya.”Lelaki itu tampak tak tenang, beberapa petinggi diam saja melihat rekan kerja yang berada diujung kehancuran. “Apa ibu mengistirahatkan saya karena kasus kemarin atau karena kasus lain?”Dahiku menyerngit mende
JovitaKehidupanku terasa hampa. Hari-hari kulalui dengan bersembunyi dalam rumah besar yang sunyi. Tidur tak nyenyak dan makanpun tak enak. Meskipun berbagai menu terhidang di meja, lidah ini seperti kehilangan kemampuan mengecap hingga semua terasa tak enak. Belum lagi wajah Clarisa yang selalu murung di depan mata.“Makanlah meski sedikit, bayimu butuh nutrisi.”Gadis itu terdiam, sendok yang ia pegang hanya berputar-putar di atas piring. “Aku tak berselera, Ma.”“Kamu tak ingin makan tapi, bayimu butuh makanan.”Clarisa menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, tak lama ia mulai memasukkan makanan ke dalam mulut. Mata gadisku berkaca-kaca. “Papa tak ingin kembali pada kita karena …. aku.” “Tidak, ia sangat menyanyangimu meski bukan anaknya sendiri,” hiburku.Clarisa menggeleng lemah, setetes air matanya jatuh. “Jika saja aku tak menghinanya, mungkin papa akan kembali.”Kutatap gadis itu lekat, tangisnya menyayat hati. Bukan hanya dirinya yang butuh lelaki itu tapi juga aku.
Mas David membawaku pergi meninggalkan ayah dan Mbak Farah yang sibuk dengan cerita bisnis mereka. Selama kami ngobrol, aku bisa menilai jika Mbak Farah sosok yang baik dan tulus. Aku berharap ayah bisa membuka hati dan menemukan pengganti ibu, tak perlu balik pada Nyonya Jovita yang telah menginjak harga dirinya.“Bagaimana menurut ayah putri Pak Harum itu?” tanya Mas David ketika mobil yang dikendarainya berlalu pergi meninggalkan hotel. “Dia pintar bahkan sangat mengerti dengan manajemen perusahaan. Pantas saja perusahaan itu semakin berkembang di tangannya,” puji ayah.Mas David menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku tau, bukan itu jawaban yang diinginkan Mas David. “Aneh ya, Yah? Wanita secantik dan sebaik itu masih betah melajang,” pancing Mas David yang seperti tak putus asa menghadapi mertuanya. “Biasanya orang kaya akan memilih calon yang selevel dengan mereka sedangkan jumlah lelaki kaya yang lajang tak banyak, jikapun ada mereka akan memilih wanita yang mereka cintai ta