Setelah beberapa saat, ponselku kembali berdering. Raka menelpon lagi. Kalau tidak diangkat, takutnya mereka semakin cemas dengan berbagai dugaan buruk. Aku membayar makanan dan bergegas mencari tempat yang agak sepi agar tidak mengundang perhatian orang banyak.
“Bu, apa maksud foto itu? Siapa dia?” cecar Raka.
“Kamu tak mengenali adikmu sendiri, Raka?” sergahku.
“Mirip Alina, tapi itu pakai aplikasi edit wajah, kan, Bu? Gak mungkin adikku kurus begitu? Ibu dan Alina hanya mengerjai kami, kan?”
Ah, andai saja Alina benar-benar hanya mengerjaiku, tentu aku tak perlu berada di rumah sakit ini. Tapi kenyataannya, dia memang sangat kurus sekarang. Mungkin jika aku berada di posisi Raka, dikirimi foto Alina seperti ini, diri ini tak akan percaya begitu saja. Kalau bukan mata tua ini melihat tubuh tak berdaya itu dengan jelas dan langsung, mungkin aku juga akan mengira foto kurus putriku hanyalah bohong-bohongan. S
“Bu, tolong hidupkan video call-nya. Raka yakin Alina sedang menahan tawa di samping Ibu karena tidak berhasil mengerjai kami.”
Raka masih saja belum percaya dengan foto yang yang kukirimkan. Aku menerima panggilan video dan langsung mengarahkan kamera ke gapura rumah sakit.
“Ya Allah, jadi Ibu gak berbohong?” Suara Raka mulai bergetar. Anak lelakiku itu suka jahil dengan adiknya, begitu juga sebaliknya. Tapi biar bagaimanapun, mereka saling menyangi dan membela satu sama lain jika ada orang usil yang mengganggu. Bagiku dan suami, salah satu keberhasilan sebagai orang tua adalah membuat mereka menjadi saudara yang saling dukung.
“Buat apa Ibu berbohong, Raka? Tak ada gunanya, kan? Begitulah keadaan adikmu sekarang. Dia tak memeluk Ibu. Dia juga tak bicara. Jiwanya seolah mati, Nak.” Tangisku yang sudah reda jadi terpancing lagi ketika melihat putraku mengusap-usap sudut matanya yang berair.
“Bagaimana ceritanya bisa seperti itu, Bu? Siapa yang berani menyakiti putriku?” Suara suamiku terdengar lantang meskipun kamera masih menghadap Raka. Aku menjelaskan singkat saja saat pertama kali melihat kondisi Alina di ruangan tak layak itu.
“Brengs*ek si Delon itu. Bapak akan bun*h anak itu. Berani sekali dia menelantarkan putri kita dengan sengaja. Bapak akan menyusul ke sana nanti malam,” tegas bapaknya Alina.
Aku bergidik ngeri. Jika terjadi pertumpahan darah, itu artinya suamiku pun akan mendapat masalah baru. Aku tak mau dia membun*uh lelaki yang masih sah menjadi menantu kami.
“Tak usah datang kalau dalam keadaan emosi, Pak! Apa Bapak bisa bahagia jika harus masuk penjara karena menghilangkan nyaw* Delon?”
“Iya, Pak. Ini bukan masalah yang sederhana. Tidak perlu membalas sakit hati dengan kekerasan karena kita sendiri yang akan terpental,” ujar Raka. Aku tak melihat wajah mereka lagi. Hanya plafon rumah yang terlihat.
“Bu, sebisa mungkin jagalah Alina di sana. Bapak akan berangkat nanti malam dan janji tidak akan melakukan kekeras*an.” Suara suamiku melunak. Kini kamera ponsel menyorot penuh wajahnya.
“Bukannya Bapak masih harus ikut acara adat?”
“Apa yang lebih penting dari keluarga, Bu? Acara adat bisa diwakilkan nanti pada Raka.”
“Raka akan ikut. Sekarang juga aku akan beli tiket dan menyiapkan semuanya,” timpal putraku. Aku senang mendengarnya, terlebih dokter Rian adalah teman dari putraku. Dia akan lebih cerdas berdiskusi dengan dokter itu untuk memikirkan cara agar putriku sehat kembali. Badan Raka juga lebih kekar dan bisa bela diri bila sewaktu-waktu ada bahaya yang mengancam. Tak bisa diprediksi apa yang akan dilakukan Delon dan keluarganya pada kami.
“Lalu bagaimana dengan Sri? Siapa temannya di sana, Nak? Pikirkan juga istri dan anakmu,” ujarku. Aku tak boleh egois dengan mengabaikan menantuku yang perempuan.
“Gak apa-apa, Bu. Bang Raka ikut saja. Sri bisa kok ngurus Ahmad sendirian. Nanti bisa diajak anak tetangga untuk tidur di sini malam hari,” ujar menantuku. Cucuku Ahmad memang sudah pulih. Meskipun badannya lebih kecil dari teman-teman seusianya, tapi tidak sakit-sakitan lagi.
Aku merasa bersyukur kalau Sri tidak keberatan ditinggal suaminya untuk sementara. Untuk sekarang, aku butuh Raka dan bapaknya agar kami lebih kuat. Keluarga besanku bukan orang sembarangan. Aku yakin mereka sedang memikirkan strategi selanjutnya untuk menggagalkan rencanaku memenjarakan Delon.
“Baiklah, kami akan datang ke sana, Bu. Tapi jangan buat laporan ke polisi dulu. Aku tak mau kalau Ibu dalam bahaya. Ibu harus hati-hati dan jangan sampai lengah dengan keadaan di luar. Jika Delon bisa setega itu pada istrinya, tak menutup kemungkina jika dia bisa berbuat keji juga pada mertuanya,” pesan Raka. Kami pun mengakhiri obrolan karena mereka mau berkemas-kemas. Hatiku sedikit lebih lega. Beban di dada terasa berkurang.
Aku harus kembali masuk ke rumah sakit untuk melihat keadaan putriku. Jalanan cukup lengang dari kenderaan yang berlalu lalang sehingga aku bisa langsung menyeberang. Seperti pesan Raka, aku harus hati-hati dan tak boleh lengah di sini. Sebelum sampai ke seberang, tiba-tiba sebuah motor melaju kencang ke arahku. Dengan sekuat tenaga aku berlari untuk menghindar. Pengendara motor tanpa plat itu diteriaki warga yang kebetulan melihat kejadian. Ada yang mengejar dan melemp*ri dengan batu hingga sedikit oleng, tapi dia berhasil kabur.
“Ibu tak apa-apa?” tanya seorang pemuda. Dia menyodorkan minuman botol ke arahku. Aku mengusap dada dan mengucapkan terima kasih pada empat orang yang membantuku. Kuteguk air mineral itu perlahan dan mataku menatap sekeliling. Pandanganku tertuju pada seseorang yang berdiri di balik sebuah pohon besar di pinggir jalan. Dia terlihat kesal dengan lawan bicaranya di ponsel. Ketika dia melirik ke arahku, lelaki yang sangat kukenali itu langsung memasukkan ponselnya ke kantong dan bergegas mau pergi.
“Itu, itu laki-laki yang menyuruh orang untuk menabrak saya. Tolong tangkap dia!” seruku sambil menunjuk ke arah Delon. Empat laki-laki yang masih muda itu kompak menoleh pada arah telunjukku dan langsung berlari mengejar menantuku yang kurang *jar itu.
Aku tersenyum menyeringai melihat Delon berlari tunggang langgang dikejar 4 laki-laki itu. Mungkin detak jantungnya sekarang berpacu sangat cepat saking takutnya. Itu belum sebanding dengan ketakutanku karena hampir kehilangan putri kesayanganku. Aku mempercepat langkah dan langsung masuk ke dalam rumah sakit.“Bu Rahimah? Darimana saja? Saya cariin dari tadi tak nampak.”Dokter Rian menghampiriku. Wajahnya yang bersih menyejukkan hati. Andai aku masih punya anak perempuan lajang, lelaki seperti ini yang kuharapkan jadi jodohnya.“Saya baru makan, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?”“Jangan bersikap formal begitu, Bu. Panggil saja saya Rian, tanpa embel-embel dokter. Saya seusia Raka. Ibu bisa menganggap saya seperti anak sendiri.”“Kamu baik sekali, Nak. Orang tuamu pasti bangga memiliki anak sepertimu.”Rian tertawa sekilas. “Saya baik berkali-kali kok, Bu, bukan cuma sekali baiknya.”Sepertinya dia berusaha menghiburku. Aku tersenyum tipis, menghargai usahanya untuk membuatku terhib
Seperti disengat aliran listik tegangan tinggi, bibirku bergetar disertai detak jantung bagai irama pacuan kuda. Aku ingin menghilang dari rumah ini dalam satu kedipan mata untuk menghindari tatapan menghujam perempuan sedikit lebih tua dari mamaku. Lidahku terasa keluh, tak sanggup membayangkan nasibku ke depannya. Di hadapanku sekarang ada Bu Rahimah yang tak lain adalah mertuaku. Dan apesnya, aku tak ada persiapan untuk menyambut kedatangannya dengan sejuta alasan yang masuk akal. Aku ingin memaki Maya yang sembarangan memasukkan orang yang tak dikenalnya ke rumah ini. Wanita cantik itu telah menyeretku ke dalam bahaya. Setelah berbagai alasan dan melibatkan Mama untuk meredakan emosi mertua, tetap saja aku tak berdaya dengan ancaman ibunya Alina. Dengan terpaksa, aku mengusir penghibur hati itu dari rumah ini karena desakan mertuaku. Kuharap Maya mengerti posisiku yang bagai buah simalakama. Setelah urusan ini selesai, aku akan membujuknya dengan mengajak belanja sepuas hati. Pas
Selesai makan, Mama menelpon seseorang. Aku belum lega sebelum memberikan pelajaran berharga pada mertuaku. Dengan begitu, dia akan berpikir berkali-kali dan mengurungkan niat berurusan dengan hukum. “Perempuan kampung itu pasti lengah karena kelelahan. Kamu cari cara, apapun itu. Tapi jangan sampai masuk pekarangan rumah sakit karena di sana full CCTV.” Mama memberi instruksi sembari memperlihatkan foto mertuaku.“Kalau sampai kamu gagal, jangan libatkan kami. Ini resikomu karena bayarannya sangat mahal,” timpalku.“Beres, Bos.”Aku tersenyum puas melihat kepercaya dirinya. Untuk memastikannya berhasil, aku terjun lanjung ke lapangan. Tapi apa yang terjadi, aku malah jadi bulan-bulanan massa. Entah kenapa mertuaku bisa tahu kalau aku yang menyuruh pemotor itu ingin mencelakainya. “Jangan pukuli saya! Saya tidak bersalah,” pintaku. Bibir sudah berdarah, tapi tiada yang menolong karena aku tadi berlari ke tempat yang lebih sepi.“Lalu kalau kamu tidak salah, kenapa lari, hah?” benta
Sejak Cici dipindahkan ke ruangan yang sama dengan ibunya, dia sibuk mengoceh dan bermain-main sendiri. Aku senang melihatnya mulai ceria, tapi Alina belum mau merespon meskipun kudekatkan cucuku padanya. Aku harus sabar dengan prosesnya. Tiada bosan, berkali-kali kukecup kening putriku dan anak pertamanya.Aku berdiri saat mendengar suara ribut-ribut di luar. Terdengar suara menantu dan besanku yang memaksa mau masuk. Sikap mamanya Delon mulai berubah drastis. Tadi saat pertama berjumpa, dia masih berpura-pura bersikap baik, tapi sekarang mulai menampakkan sifat aslinya.“Maaf, Pak, Bu. Saya hanya menjalankan perintah. Tidak boleh menjenguk kecuali seizin Bu Rahimah dan dokter Rian Irwansyah. Silakan pergi sebelum saya bertindak tegas!” Aku menautkan alis dan mengingat-ingat apakah pernah menyuruh orang menjaga pintu agar suami dan mertua putriku tidak masuk. Seingatku memang tak ada. Bahkan tak kepikiran sampai sana.Aku mengintip dari balik kaca, ibu dan anak itu telah pergi setela
Setelah puas meluapkan tangisan, suamiku yang tak terbiasa menangis itu mengurai pelukan. Mungkin sesak di dadanya mulai berkurang. Lelaki yang telah membuatku punya sepasang buah hati itu memegang pergelangan tangan ini dan kami berjalan bersisian menuju kamar putri kami.“Bapak tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya kamu saat melihat kondisi Alina pertama kali secara langsung, Bu. Kamu memang istri yang tegar, sampai tidak langsung mengabarkannya pada kami. Bapak saat melihat fotonya saja sudah merasa sakit hati dan tak berdaya. Ini kaki Bapak sudah lemas, tak tega melihatnya nanti.” Suara lelaki yang sudah punya dua warna rambut itu terdengar lirih.“Ibu bukannya tegar, Pak. Hati ini lebih sakit sampai tak kepikiran kemana-mana. Tapi Ibu akan jauh lebih tegar setelah ada Bapak di sini. Kita akan merawat Alina dan Cici, Pak. Kalau mereka sakit-sakitan, bukan masa tua kita yang ada dalam pikiranku, tapi bagaimana nasib mereka setelah kita tiada.”Suamiku menahan langkah dan tersen
Tak terasa, sudah terdengar suara ngaji-ngaji dari mesjid di kejauhan sebagi pertanda waktu sholat subuh akan tiba. Raka dan bapaknya segera bergegas ke mushola rumah sakit, menunaikan kewajiban sekaligus meminta pertolongan lewat jalur langit. Sebesar apapun usaha yang dilakukan manusia, tetap saja itu hanya ikhtiar. Sedangkan kesembuhan itu terjadi atas izin Sang Pencipta. Aku menjaga cucuku dan membuatkan susu untuknya dan gantian sholat setelah suami dan anakku selesai. Dua rakaat yang sangat berat karena mata terus mengabur. Desakan cairan bening di sudut mata tiada henti menerobos.“Ya Ilahi Robbi. Jangankan anak, suami, cucu atau harta, bahkan nyawa yang dikandung badan bukan milik kami. Semuanya adalah titipan dan berhak diambil oleh-Mu kapan saja. Cepat atau lambat, setiap yang bernyawa akan mengalami kematian. Namun, jika boleh meminta, hamba mohon agar putri kesayangan yang Engkau titipkan kepada kamibisa sembuh.” Suaraku bergetar di sela tangisan, menadahkan tangan sambi
“Kamu jangan nangis, Alin. Tenangkan hatimu, Nak. Ibu, Bapak dan kakakmu ada di sini.”Aku memeluk putriku yang menangis ketakutan. Jarum infus yang menempel di pergelangan tangan sudah terlepas dan mengeluarkan darah. Raka berlari keluar memanggil-manggil perawat yang bertugas. Suamiku membantu menenangkan dengan mengusap-usap punggung putrinya, barulah Alina diam, bersandar di dada bidang bapaknya. Bolehkah aku iri, Pak? Putrimu lebih nyaman denganmu, padahal 9 bulan dia menghuni rahimku. Biarpun di sini bukan persaingan, tapi tetap saja hati ini tercubit dan bikin sesak di dada. Adakah salah yang pernah kuperbuat sampai putriku acuh pada ibunya ini?Dua orang perawat masuk. Salah satu membawa bubur nasi dan yang lainnya memeriksa jarum infus, lalu memasangnya lagi. Aku pamit pada suami untuk keluar mencari Raka, sementara cucuku sedang mengoceh sendirian.“Hamdan, kamu lihat kemana anak saya?”“Mas Raka membawa wanita tadi keluar, Bu. Apa perlu saya panggil?”“Tidak usah, Nak. b
“Kita keluar yuk, Bu. Cari udara segar. Sekalian bawa Cici juga untuk berjemur,” ujar Raka. Aku menganggukkan kepala. “Sekalian bilang sama bapakmu kalau kita akan pergi mengambil baju Ibu yang tertinggal dan juga pakaian Cici.”Entah kenapa, aku jadi sedikit kesal dengan keadaan ini. Tak tahu bagaiman cara meluapkannya. Aku berjalan mendahului dan disusul oleh Raka sambil menggendong Cici. Rumah sakit ini memiliki taman dan di sanalah kami duduk, menikmati udara pagi dan sinar mentari yang masih malu-malu.“Raka, kamu sudah datang? Cepat sekali.”Suara doter Rian membuatku tersenyum. Tak ingin terlihat sedih di hadapan orang lain. Aku meminta Cici dari pangkuan Raka agar dia bebas mengobrol dengan temannya itu.“Iya, alhamdulillah. Sudah sampai di sini sejak pukul 4 pagi tadi.”Keduanya berjabatan tangan. Mereka berjalan sedikit menjauh dan tak kudengar lagi obrolan mereka. Sepertinya pembicaraan mereka terlihat serius. Tak berapa lama, Raka kembali dengan senyuman semringah.“Ayo
Setelah mengantar Delima pulang, aku menyusul Mama ke hotel langganan setiap datang ke sini. Benar saja dugaanku, Mama sudah di hotel dan tidak pergi kemana-mana.“Mama mau pulang sekarang? Katanya mau nginap barang sehari dua hari,” tuturku. Kulihat Mama sudah mengemasi barang-barangnya.“Buat apa Mama di sini, kamu hanya bikin kesal saja. Punya satu anak laki-laki tapi tak berguna. Mama sudah tua, tapi kamu masih belum kepikiran untuk kasih menantu.”Aku tersenyum tipis dan menyentuh lengan Mama. Kutahu, itulah kegundahan Mama selama ini. Takut jika ajalnya duluan menjemput, sementara aku masih sendiri. Mama terkesan memaksa untuk kebahagiaan pribadi, tapi sebenarnya cemas dengan nasibku kelak di masa depan.“Aku bukan tak mau menikah, Ma. Namun, memang dasarnya belum ada yang mau.” Aku beralasan.“Mulai sekarang, jangan sok jual mahal lagi, Delon. Umurmu juga makin tua. Kamu itu dapat istri saja sudah syukur. Tak usah berharap dapat gadis yang cantik dan tanpa ada cela,” cetus Mama
Dua minggu kemudian, Mama memintaku untuk datang ke sebuah restoran yang berada di kota ini. Seperti ucapan Mama sebelumnya, dia ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya sendiri. Namun, aku heran kenapa Mama malah mengajak ketemuan di sini dan hanya datang sendirian tanpa ditemani Papa seperti biasanya? Padahal, kami beda kota. Apa Mama bawa calon menantunya sendiri ke sini? Atau memang orang sini? Entahlah. Mama kadang tak bisa ditebak. Papa sendiri yang jadi teman tidurnya selama ini tak bisa memahami pola pikir Mama.Ah, banyaknya pertanyaan bersarang dalam benakku tentang wanita yang memikat hati Mama. Daripada penasaran, lebih baik nanti saja kulihat siapa wanita itu. Aku memarkirkan kenderaan roda empatku di depan restoran dan langsung masuk. Dari kejauhan, kulihat Mama sedang mengobrol dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Posisi wanita itu membelakangiku dan Mama menghadap ke arah pintu masuk. Begitu mata kami bertemu, Mama melambaikan tangan agar aku datang ke sana.
Malam harinya, kami merayakan ulang tahun Cici di restoran yang sudah kupesan sebelumnya. Hanya dihadiri kami saja tanpa ada tambahan siapa-siapa. Cici terlihat bahagia dan tak pernah lepas senyumannya ketika beberapa hadiah dia dapatkan.Seperti janjiku pada Rian, aku akan mengantar Cici pulang sebelum jam yang ditentukan. Walaupun aku adalah ayah kandungnya, tapi tetap harus menghormati peraturan yang dibuat oleh Alina dan suaminya. Biar bagaimana pun, aku tak banyak berkontribusi terhadap anak ini. Mereka lah yang merawat Cici dari kecil hingga sebesar ini.Aku membantu membawakan hadiah-hadiah untuk Cici dan meletakkannya di dekat pintu. Putriku terdengar berteriak memanggil bunda dan neneknya untuk menceritakan tentang hadiah-hadiah yang dia dapatkan.“Wah, kamu antar lebih cepat rupanya,” ujar Rian, menyambutku di teras rumahnya.“Iya, aku takutlah nanti gak diizinin ketemu sama putriku sendiri.” Aku terkekeh dan disambut tawa oleh Rian. “Aku langsung balik kalau begitu, ya, Ri
*Hari ini, Cici berulang tahun. Aku berniat merayakan hari kelahiran putriku bersama Papa dan Mama. Hari kelahiran yang pertama kali kurayakan karena selama ini kami tidak tinggal bersama. Aku ingin mengukir momen indah di memori anak gadisku tentang ayahnya ini. Jika kelak dia dewasa, dia tetap mengingatku sebagai sosok ayah yang baik. Ayah kandung yang pantas dibanggakan dan diceritakan pada teman-temannya.“Aku jemput Cici dulu, ya, Pa, Ma. Semoga saja mereka mengizinkanku membawa Cici.”“Kami ikut.” Papa dan Mama kompak menjawab.Aku menautkan alis dan melihat keseriusan di wajah keduanya. “Beneran mau ikut? Apa Papa dan Mama tak sungkan nantinya ketemu sama Bu Rahimah?” cecarku.“Jadi Bu Rahimah tinggal di sana juga?” tanya Papa.Aku mengangguk. “Semenjak Alina hamil besar dan kini sudah melahirkan anak keduanya, mantan mertuaku tinggal di sana, Pa. Mungkin mau memberikan perhatian lebih agar Alina tak merasa diabaikan oleh ibunya. Belajar dari pengalaman saat mau melahirkan Cic
Aku pulang ke kafe cukup terkejut dengan kedatangan Papa dan Mama, menunggu di bagian depan. Mungkin karena aku belum mengabari mereka sepulang dari rumah Elsa kemarin, makanya sampai menyusul ke sini. Aku menyalami keduanya dan langsung mengajak mereka masuk ke kafe yang hampir akan tutup jam segini.“Papa dan Mama kok bisa di sini? Gak ngasih kabar pula? Naik apa ke sini, Pa, Ma?” cecarku.Kami kini memang hanya punya satu kenderaan roda empat, yaitu yang sering kugunakan. Semenjak pernah merasakan lumpuh, meski sudah sembuh, Papa tidak kepengen lagi mengemudikan mobil. Jika sesekali ada urusan keluar, Papa lebih memilih naik ojek motor atau mobil. Sedangkan Mama, karena sudah lama tak pernah bawa mobil, kepercayaan diri dan keberaniannya telah hilang untuk berkendara di jalan umum. Pun aku tak mengizinkan Mama belajar lagi, takut kalau terjadi apa-apa.“Bagaimana kami mau ngasih kabar? Kamu saja tak pernah angkat telpon,” cetus Mama.Aku menggaruk-garuk kepala yang mendadak terasa
“Mas, kenapa melamun terus? Mau dibuatkan minum?” Delima mengagetkanku, membuyarkan lamunan.“Aku baik-baik saja. Gimana kerjanya? Bisa?”“Bisa, Mas. Di sini enak kok kerjanya. Teman-teman ramah dan pengunjungnya santun. Kadang kan di kafe-kafe banyak pelanggan genit yang suka godain cewek-cewek, kalau di sini tidak ada.”Aku tersenyum dan mengangguk. Keselamatan dan kenyamanan kerja para pegawai adalah tanggung jawabku. Kalau ada yang bersikap kurang ajar, mending aku kehilangan pelanggan daripada mengorbankan pelayan.“Hai cantik, cappucino-nya dua!”Dua orang laki-laki datang dan tersenyum genit ke arah Delima. Meskipun kami sedang mengobrol, sepertinya mereka langsung mengenali Delima adalah pelayan kafe ini karena memakai seragam khusus seperti pegawai yang lainnya.Baru saja Delima memuji kalau pelanggan kafeku sopan-sopan, sekarang sudah ada dua laki-laki yang kayaknya setengah mabuk dari cara duduknya dan berjalan tadi.“Sana siapkan biar aku yang antar sama mereka,” titahku p
“Yang sabar, ya, Mas. Suatu saat kamu akan dapat pengganti yang lebih baik. Mungkin Mbak Elsa bukan jodoh yang terbaik buat Mas Delon,” ujar Wina. Ucapannya kelihatan tulus. Mungkin senyumannya tadi bukan bermaksud bahagia di atas penderitaanku.“Iya, kalau gitu aku pulang dulu, ya. Kamu juga pasti butuh istirahat banyak.”“Kok cepat banget pulangnya? Padahal baru nyampe loh.”“Besok aku bisa datang lagi, yang penting sudah ketemu sama Reza. Gak enak juga dilihat tetangga kalau aku bertandang ke sini malam-malam,” tukasku.“Terima kasih kalau begitu karena sudah berkunjung. Semoga hatimu baik-baik saja, ya, Mas.”Aku mengangguk, menyentuh pipi bocah menggemaskan yang sudah tertidur, lalu pulang. tak langsung ke kafe yang merangkap tempat tinggalku. Untuk menghilangkan suntuk, aku pergi ke taman kota, duduk di bangku besi yang tersedia. Cuaca lagi bagus dan di langit sedang banyak bintang menghiasi.“Tolong! Tolong lepasin aku!”Suara teriakan wanita membuatku langsung mengedarkan pand
Adakah laki-laki paling malang di dunia ini selain aku? Tak bisakah pintu taubat mengubah nasibku? Ya Allah, aku tahu, diri ini adalah manusia bejat di masa lalu. Namun, aku sudah lama menjauhi maksiat. Apakah pendosa sepertiku tak berhak dapat jodoh di dunia ini lagi?Tak terasa, air mata menetes begitu saja. Mungkin benarlah kata orang bijak kalau kita tak pantas menggantungkan harapan pada manusia. Sepercaya apapun kita, tetap saja harus bersiap akan kecewa. Segala kemungkina buruk itu pasti ada dan kini aku mengalaminya.Elsa, wanita yang selama ini jadi idaman hatiku. Kecocokan kami hampir seratus persen. Tak ada keluhan berarti tentangnya dalam hatiku. Dia nyaris sempurna bagiku untuk dijadikan pendamping hidup. Namun, siapa yang tega menghancurkan mimpiku? Siapa yang mengirim pesan pada Elsa kalau aku punya penyakit HIV? Ini pasti ulah orang-orang terdekatku, atau para wanita yang pernah hadir dalam hidupku. Aku lumayan banyak dekat dengan wanita, lalu mereka memilih pergi kare
Setelah Wina lahiran, aku mengontrak rumah untuknya. Dia mandiri juga mengurus bayinya. Namun, meskipun begitu, aku tetap mencari orang untuk membantunya. Hari ini aku dan Elsa menjenguk Wina dan bayinya untuk memastikan semua baik-baik saja.“Aku ada kabar buruk sekaligus baik,” ujar Wina.“Apa, Win?” tanya Elsa.“Kabar buruknya, anakku sudah yatim. Namun, aku bahagia karena akhirnya terlepas dari lelaki itu tanpa harus ketakutan lagi dia kejar-kejar. Mantan suamiku sudah meninggal karena kecelakaan. Aku baru lihat berita online-nya.”Aku dan Elsa berpandangan. Jujur saja, aku juga tak tahu mau bilang selamat atau sedih. Aku prihatin karena anak yang baru lahir itu tak punya ayah lagi, tapi di lain sisi Wina akhirnya terbebas dari lelaki kejam itu.“Mungkin ini yang terbaik buat kalian, Win. Lagian, meskipun mantan suamimu masih hidup, Reza tak bisa menuntut apa-apa pada bapaknya. Kamu dan mantan suamimu hanya nikah siri dan tidak tercatat dalam dokumen negara. Kamu sebagai ibu harus