Eric mengusap kasar wajahnya, dia benci dengan perasaan ini. Saat dia menceritakan semuanya tadi, rasanya dadanya semakin sesak dan hatinya juga terus berdenyut tanpa henti. Apa yang terjadi padanya sebenarnya? Pikirnya.“Hah, bukankah ini lucu. Aku menikahinya untuk membuatnya menderita. Tapi apa ini, justru aku yang terus merasa terkejut dengan semua fakta ini. Dan akulah yang merasakan penderitaan dengan perasaan tidak nyaman yang terus menggerogoti dadaku,” ucapnya.Eric kembali mengusap wajahnya kasar, dia lalu menutupnya dengan kedua tangannya itu. Dia ingin mengusir perasaan aneh ini, tapi ketika dia mengingat ucapan Alana, perasaan itu justru semakin menjadi-jadi.***Hingga pagi menjelang, Eric tetap duduk di kursi kerjanya. Dia masih menatap langit-langit ruangannya. Tubuhnya tidak bergerak sedikit pun, yang dia lakukan hanya diam sambil terus menatap lurus langit-langit ruangannya. Ya, lagi-lagi Eric tidak tidur semalaman. Semua hal yang terjadi ini semakin membuat diri
“Alden!” teriak Alana tiba-tiba, di saat matanya tengah terpejam tadi. “Hah, hah, hah.” Nafas Alana memburu karena saat ini jantungnya berdetak dengan begitu kencangnya. Dia tidak tahu dan juga tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Alden hinggap di benaknya dan membuat perasaannya menjadi khawatir. Kenapa hatinya mengatakan, bahwa Alden saat ini tidak baik-baik saja.“Apa, apa yang terjadi pada putraku,” gumamnya yang dipenuhi rasa kekhawatiran.Alana langsung berdiri, dia lalu berlari ke arah pintu kamarnya dan langsung membukanya.“Selamat pagi Nona,” sapa Annie, namun Alana tidak menggubrisnya, dia langsung keluar dari kamarnya dan berlari menuju arah tangga. Melihat itu, Annie pun menjadi kaget dan tidak mengerti kenapa nonanya seperti sedang ketakutan.“Ehh Nona, Anda mau ke mana?!” teriaknya dan langsung menyusul Alana.Alana melihat ke belakangnya, dimana Annie tengah mengejarnya. Menyadari itu, dia pun mempercepat larinya. Tampak air matanya sudah menetes, rasa khawatir di d
Eric terdiam, tubuhnya membeku. Rasanya dia tidak bisa bergerak sama sekali ketika melihat Alden yang tak berdaya. Tatapan matanya sama sekali tak teralihkan dari Alden, di saat Alden diangkat oleh salah satu petugas polisi di sana. Dia menatap wajah Alden yang benar-benar lemah, sesekali matanya itu terbuka dengan perlahan lalu tertutup lagi juga dengan perlahan.Dan ketika polisi itu hendak memasukkan Alden ke dalam ambulance, Eric pun langsung tersadar dari rasa terkejutnya dan berlari menghampiri Alden. “Tunggu!” tahannya pada polisi tersebut.Sontak, polisi itu pun langsung menghentikan langkahnya dan menoleh pada Eric. “Ada apa Pak, apa ada yang Anda perlukan? Kami harus segera membawa anak ini ke rumah sakit,” ujar polisi tersebut.“Biar, biar saya yang membawanya ke rumah sakit,” ucap Eric dengan keringat yang sudah mengelilingi keningnya.“Memangnya Anda siapanya anak ini?” tanya polisi itu.Deg!Mendengar pertanyaan itu, Eric pun kembali terdiam. Dia tidak tahu harus
“Tuan? Tidakkah Anda ingin menjawab pertanyaan saya?” tanya Jeff.Namun Eric masih saja terdiam, matanya masih menunjukkan keterkejutan atas apa yang baru saja Jeff katakan. Tidak bisa dia ungkiri, ucapan Jeff membuatnya berpikir dengan keras, tidak mungkin dia bisa mengkhawatirkan orang lain. Dia adalah Eric Filbert Carlson, orang yang tidak pernah diajarkan dan diberikan rasa kasih sayang. Lalu, bagaimana dia bisa mengkhawatirkan orang lain. Terlebih, dia dan Alden adalah dua orang asing.Memikirkan itu, Eric pun memalingkan wajahnya. Dia lalu menunduk, merenungi semua yang Jeff katakan dan juga yang dia pikirkan. “Kau salah Jeff, ini bukan perasaan khawatir. Ini hanya ....”“Apa Tuan? Anda mau bilang jika saat ini Anda sedang melakukan sebuah perbuatan kemanusiaan saja? Hah, tolong jangan bercanda Tuan. Memang Anda memiliki sesuatu yang seperti itu?” tanya Jeff.“Apa maksudmu?” tanya balik Eric.“Kita ini sahabat, saya sudah mengenal sejak kita masih kecil. Di dalam diri Anda,
Eric telah sampai di rumahnya. Dia langsung keluar dari dalam mobilnya dan memasuki mansion dengan langkah lebarnya.Ketika sampai di depan pintu utama, seperti biasa semua pelayan yang berbaris di sana akan memberikan sambutan mereka atas kepulangan Eric. Namun seperti biasanya juga, Eric hanya terdiam tanpa menggubris sapaan mereka. Saat ini pandangannya langsung tertuju pada bibi Han yang berdiri di tengah dua barisan pelayan yang menyambutnya.Dengan tatapan dinginnya, Eric pun melanjutkan langkahnya dan menghampiri bibi Han. Tampak mata bibi Han melebar, saat melihat pakaian Eric yang dipenuhi oleh darah.“Tuan, apa yang terjadi. Kenapa pakaian Anda –““Itu tidak penting sekarang,” ucapnya yang memotong perkataan bibi Han. “Bagaimana kejadiannya? Jeff bilang dia sampai memberontak?” Lanjutnya.“Benar Tuan,” jawab bibi Han, “awalnya saya hanya melihat nona yang berlari dengan gilanya menuju pintu utama. Melihat Annie, pelayan pribadinya yang mengejarnya. Saya rasa ada yang ti
Alana terus memandang Eric, keputusannya sudah bulat. Jika Eric ingin membunuhnya sekarang, dia akan mengikhlaskannya. Dia hanya berharap, bahwa Alden akan baik-baik saja. Dan Mely bisa merawatnya seperti anaknya sendiri. ‘Jika kau sangat membenciku seperti ini, lalu bagaimana aku bisa berkata jujur?’ batinnya.Eric menjauhkan tangannya dari leher Alana dengan kasar. Dia lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya dan mengelap tangannya dengan sapu tangannya itu. “Berani sekali kau menyentuhku,” ucapnya dengan dingin. Aura gelap dari wajahnya semakin terlihat dengan jelas, membuktikan bahwa kemarahan yang berada di hatinya semakin memuncak saat ini. “Bukankah aku sudah bilang, kau tidak akan mati dengan mudah. Kau harus merasakan penderitaan yang kuberikan terlebih dulu, setelah aku puas. Barulah kau akan mati di tanganku. Dan hal itu, sudah pasti akan terjadi!” Lanjutnya dengan penuh penekanan.Setelah mengatakan itu, Eric pun melangkah melewati Alana. Dia masuk ke dalam kamar
Eric duduk di kursi yang ada di samping hospital bed Alden, dia menatap lurus pada mata Alden yang masih terpejam dengan selang oksigen yang masih tertempel di mulut dan hidungnya. Eric terdiam, mengingat kembali bagaimana pertemuan pertamanya dengan Alden. Saat itu dia sangat terkejut, sampai tidak bisa berkata apa pun, ketika melihat fisik Alden yang sangat mirip dengannya. Saat itu, bahkan dia tidak bisa memalingkan sedikit pun pandangannya dari Alden, hingga dia menyangka bahwa Alden mungkin saja adalah anaknya bersama wanita yang dulu tidak sengaja tidur dengannya. Namun, siapa sangka jika ternyata Alden adalah anak orang lain. Dia memiliki ayah dan ibu yang lengkap. Tapi sekarang, mereka semua sudah tidak ada. Lalu, bagaimana dia akan melanjutkan hidupnya tanpa kedua orang tuanya di usia yang masih belia seperti ini. Eric mengalihkan pandangannya pada tangan mungil Alden yang lemas tak berdaya. Dia lalu menggerakkan tangannya dan memegang tangan mungil itu dengan tangan besar d
Eric kembali mengelus puncak kepala Alden, dia mengelusnya dengan sangat lembut sehingga memberikan kenyamanan bagi Alden. “Bagus, kau memang anak yang kuat Alden. Aku bangga padamu,” ucapnya kemudian.Alden melihat pada Eric, sesekali matanya berkedip untuk memperjelas penglihatannya yang tadi masih sedikit terasa samar. “Paman, kenapa Paman bisa ada di sini?” tanyanya dengan suara lemah.“Aku melihat kecelakaan yang terjadi padamu dan keluargamu.”Mendengar jawaban Eric, membuat Alden teringat dengan ayah dan juga bundanya. Terakhir kali, dia mengingat bahwa ayah dan bundanya tidak menjawab panggilannya dan mereka terus menutup mata, tanpa sedikit pun bergerak. “Paman ... di-mana bunda dan ayah Alden?” tanyanya lagi.Eric langsung tersentak ketika mendengar pertanyaan Alden, sekarang apa yang harus dia katakan? Haruskah dia jujur? Tapi, keadaan Alden masih lemah. Dia baru saja siuman. Mungkin keadaannya akan memburuk jika dia mengetahui kebenarannya sekarang. Pikirnya.“Alden
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan