Tubuh Alana kembali bergetar, saat melihat Erian yang memberikan tatapan penuh kemarahan kepadanya dan juga Eric.“Apa-apaan ini Eric, apa kau sedang mempermalukan martabat keluarga Carlson?!” ucap Erian dengan penuh kemarahan.“Memangnya apa yang aku lakukan? Aku hanya melayani istriku. Apakah ada yang salah?” tanya balik Eric dengan santainya.“Kau! Kau tunduk di depan seorang wanita?! Aku sudah bilang, tidak boleh ada rasa cinta. Apa kau tahu, saat ini kau sedang memperlihatkan kelemahanmu?!”“Hah.” Eric tersenyum nanar pada papanya. Memperlihatkan bagaimana tidak sopannya dia saat ini. “Aku mencintai istriku, lalu apa salahnya jika aku membahagiakannya?” ucapnya.“Eric!” suara Erian meninggi, rasanya dia ingin sekali menampar Eric atas ketidak sopanan dan juga bangkangan yang dia lakukan padanya.Alana tersentak dengan bentakan yang dilakukan oleh Erian pada Eric, dia mengeratkan pautan tangannya lalu melihat pada Eric yang sepertinya tidak terpengaruh sama sekali dengan ben
Pattsss!Erian menaruh dengan kasar kumpulan foto-foto itu ke atas meja makan. Tatapannya itu lurus melihat pada Alana.Ditatap seperti itu, sepertinya Alana sudah memahami situasi ini. Gadis di foto itu, sepertinya memanglah dirinya.“Apa-apaan ini Erland, bukankah gadis ini ... adalah wanita itu,” ucap Erian yang menunjuk pada Alana.Deg!Eric dan Erland terkejut dengan apa yang baru saja papanya katakan, mereka lalu mengambil satu dari beberapa lembar foto yang tergeletak di atas meja itu.“Tidak mungkin, gadis ini mana bisa dia adalah ....” ucapan Erland terhenti, saat dia melihat dengan benar gadis di foto itu, dia lalu melihat pada Alana untuk memastikannya, dan ternyata istrinya Eric ini memang sangat mirip dengan gadis yang ada di foto ini. Tidak! Lebih tepatnya, memang dialah gadis di foto ini. ‘Bagaimana ini bisa terjadi,' batin Erland yang seakan tidak memercayainya.Tak jauh berbeda dengan Erland, Eric juga terkejut saat memastikan bahwa gadis di foto ini memanglah
Alana langsung tersentak, dia terkejut setengah mati saat mendengar pertanyaan Eric yang selama ini dia takutkan, Alana menatap Eric yang saat ini memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. Keningnya yang berkerut, matanya yang menyipit menandakan bahwa dia menunggu jawabannya dengan perasaan yang menggebu-gebu.Alana mengepalkan kedua tangannya dengan kuat, apa yang harus dijawabnya saat ini, jujur ataukah tidak. Jika dia jujur, apakah Eric akan merebut Alden darinya atau jika dia tahu bahwa anaknya masih hidup apakah dia akan menyiksanya karena dia adalah anak dari wanita yang dibencinya. Lalu, jika dia tidak jujur. Mungkinkah Alden akan baik-baik saja.‘Pria ini, dia tidak mengenal rasa cinta dan kasih sayang. Jadi mana mungkin dia akan menyayangi Alden, yang dia tahu hanyalah sebuah dendam dan ambisi. Aku tidak bisa membiarkan anakku tumbuh seperti dirinya,' batinnya.“Aku tanya, apa anak yang kau kandung waktu itu, adalah anakku?” tanya Eric lagi. Dadanya saat ini sudah berdeb
Saat tiba di ruang kerjanya, dia melihat Jeff yang sudah berdiri di depan pintu ruang kerjanya.Jeff sedang menunggu Eric, untuk menanyakan keadaannya. Karena dilihat dari perilaku Eric pada Alana tadi, sepertinya ada sesuatu yang terjadi. Dan sesuatu itu berhubungan dengan tuan juga nonanya.“Tuan,” sapanya sambil membungkuk.Eric hanya terdiam, saat ini rasanya dia tidak mau untuk melakukan dan berbicara apa pun. Jujur dia ingin sendiri, dia ingin memahami semua yang terjadi ini. Dan dia juga ingin mengerti dari mana rasa tidak nyaman ini berasal.Eric tidak menghiraukan Jeff, dia malah melewatinya, lalu membuka pintu ruangannya dan masuk ke dalam.Jeff mengikuti Eric masuk ke dalam ruangannya, bukannya dia tidak mengerti apa yang tuannya inginkan saat ini. Tapi sebagai seorang sahabat, dia mengkhawatirkan sahabatnya ini. Dan dia tidak bisa pergi begitu saja, sebelum mengetahui keadaannya.Eric duduk di meja kerjanya, dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menutup
Eric mengusap kasar wajahnya, dia benci dengan perasaan ini. Saat dia menceritakan semuanya tadi, rasanya dadanya semakin sesak dan hatinya juga terus berdenyut tanpa henti. Apa yang terjadi padanya sebenarnya? Pikirnya.“Hah, bukankah ini lucu. Aku menikahinya untuk membuatnya menderita. Tapi apa ini, justru aku yang terus merasa terkejut dengan semua fakta ini. Dan akulah yang merasakan penderitaan dengan perasaan tidak nyaman yang terus menggerogoti dadaku,” ucapnya.Eric kembali mengusap wajahnya kasar, dia lalu menutupnya dengan kedua tangannya itu. Dia ingin mengusir perasaan aneh ini, tapi ketika dia mengingat ucapan Alana, perasaan itu justru semakin menjadi-jadi.***Hingga pagi menjelang, Eric tetap duduk di kursi kerjanya. Dia masih menatap langit-langit ruangannya. Tubuhnya tidak bergerak sedikit pun, yang dia lakukan hanya diam sambil terus menatap lurus langit-langit ruangannya. Ya, lagi-lagi Eric tidak tidur semalaman. Semua hal yang terjadi ini semakin membuat diri
“Alden!” teriak Alana tiba-tiba, di saat matanya tengah terpejam tadi. “Hah, hah, hah.” Nafas Alana memburu karena saat ini jantungnya berdetak dengan begitu kencangnya. Dia tidak tahu dan juga tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Alden hinggap di benaknya dan membuat perasaannya menjadi khawatir. Kenapa hatinya mengatakan, bahwa Alden saat ini tidak baik-baik saja.“Apa, apa yang terjadi pada putraku,” gumamnya yang dipenuhi rasa kekhawatiran.Alana langsung berdiri, dia lalu berlari ke arah pintu kamarnya dan langsung membukanya.“Selamat pagi Nona,” sapa Annie, namun Alana tidak menggubrisnya, dia langsung keluar dari kamarnya dan berlari menuju arah tangga. Melihat itu, Annie pun menjadi kaget dan tidak mengerti kenapa nonanya seperti sedang ketakutan.“Ehh Nona, Anda mau ke mana?!” teriaknya dan langsung menyusul Alana.Alana melihat ke belakangnya, dimana Annie tengah mengejarnya. Menyadari itu, dia pun mempercepat larinya. Tampak air matanya sudah menetes, rasa khawatir di d
Eric terdiam, tubuhnya membeku. Rasanya dia tidak bisa bergerak sama sekali ketika melihat Alden yang tak berdaya. Tatapan matanya sama sekali tak teralihkan dari Alden, di saat Alden diangkat oleh salah satu petugas polisi di sana. Dia menatap wajah Alden yang benar-benar lemah, sesekali matanya itu terbuka dengan perlahan lalu tertutup lagi juga dengan perlahan.Dan ketika polisi itu hendak memasukkan Alden ke dalam ambulance, Eric pun langsung tersadar dari rasa terkejutnya dan berlari menghampiri Alden. “Tunggu!” tahannya pada polisi tersebut.Sontak, polisi itu pun langsung menghentikan langkahnya dan menoleh pada Eric. “Ada apa Pak, apa ada yang Anda perlukan? Kami harus segera membawa anak ini ke rumah sakit,” ujar polisi tersebut.“Biar, biar saya yang membawanya ke rumah sakit,” ucap Eric dengan keringat yang sudah mengelilingi keningnya.“Memangnya Anda siapanya anak ini?” tanya polisi itu.Deg!Mendengar pertanyaan itu, Eric pun kembali terdiam. Dia tidak tahu harus
“Tuan? Tidakkah Anda ingin menjawab pertanyaan saya?” tanya Jeff.Namun Eric masih saja terdiam, matanya masih menunjukkan keterkejutan atas apa yang baru saja Jeff katakan. Tidak bisa dia ungkiri, ucapan Jeff membuatnya berpikir dengan keras, tidak mungkin dia bisa mengkhawatirkan orang lain. Dia adalah Eric Filbert Carlson, orang yang tidak pernah diajarkan dan diberikan rasa kasih sayang. Lalu, bagaimana dia bisa mengkhawatirkan orang lain. Terlebih, dia dan Alden adalah dua orang asing.Memikirkan itu, Eric pun memalingkan wajahnya. Dia lalu menunduk, merenungi semua yang Jeff katakan dan juga yang dia pikirkan. “Kau salah Jeff, ini bukan perasaan khawatir. Ini hanya ....”“Apa Tuan? Anda mau bilang jika saat ini Anda sedang melakukan sebuah perbuatan kemanusiaan saja? Hah, tolong jangan bercanda Tuan. Memang Anda memiliki sesuatu yang seperti itu?” tanya Jeff.“Apa maksudmu?” tanya balik Eric.“Kita ini sahabat, saya sudah mengenal sejak kita masih kecil. Di dalam diri Anda,
"A-ada apa? Sudah kubilang kan untuk jangan banyak bicara, istirahatlah!”“Da-dadaku sakit,” ucap Alana dengan begitu lemahnya.Dada Eric kembali berdebar dengan begitu kerasnya, saat mendengar apa yang Alana katakan. “A-aku akan memanggil dokter, dokter akan memeriksamu dan menyembuhkannya.” Dia kembali berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, langkahnya itu kembali terhenti saat dia merasakan tangan Alana yang menahannya.Sontak, Eric pun kembali berbalik dan melihat pada Alana. Tampak Alana yang menggeleng, berusaha mencegah Eric agar tetap di sisinya. “Tidak usah, jangan panggil dokter. Tetaplah di sisiku, aku merasa waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa menahannya,” ucapnya.“A-apa yang kau katakan, kenapa kau mengatakan hal itu Alana. Tolong jangan membuatku takut!” ucap Eric.“Eric, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?” tanyanya.“Katakanlah, apa pun yang kau inginkan. Aku akan mengabulkannya, aku pasti mengabulkannya,” jawabnya.“Tersenyumlah, aku ingin melihatmu
Eric terpaku, melihat keadaan Alana saat ini. Ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara alat monitor yang mengukur detak jantung Alana saat ini. Tangannya yang bergetar itu lalu terangkat, menyentuh dahi Alana yang basah karena keringat. “Istriku, Alana,” ucapnya, “apa kau mendengarku? Aku memanggilmu istriku, bukankah kau selalu memintaku untuk memanggilmu seperti itu? Karena itu bangunlah, dan dengarkan hal itu sepuasmu. Aku akan mengucapkannya berkali-kali sampai kau puas. Aku akan selalu pamit padamu ketika aku akan berangkat ke mana pun dan mengecup keningmu. Jadi kumohon, bangunlah. Bangunlah.” Air mata Eric terus mengalir. Dia lalu membungkuk, menempelkan keningnya pada kening Alana, hingga air matanya itu mengenai kening Alana.Tanpa Eric sadari, jari telunjuk Alana bergerak. Matanya yang tertutup itu juga mulai bergerak-gerak, menunjukkan bahwa Alana akan segera sadar. “A-aku ingin me-mendengarnya la-lagi,” ucapnya dengan suara lemah.Deg!Eric terperanjat ketika
Eric saat ini sudah berada kembali di rumah sakit. Dia masih berada di dalam mobilnya, menunduk menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Matanya terus terbuka dan sesaat kemudian air mata pun jatuh membasahi telapak tangannya.Jeff menoleh ke belakang, melihat keadaan Eric yang benar-benar kacau. “Tuan,” panggilnya dengan lirih.Eric masih bergeming, dia masih menunduk dengan wajahnya yang masih tertutup kedua tangannya. Entah kenapa, saat ini perasaannya begitu takut, dadanya berdebar dengan begitu keras, hatinya juga terasa begitu sakit. Dia juga enggan untuk turun dari mobil dan kembali kepada Alana. Kenapa tubuhnya begitu bergetar, seakan ingin memberitahu keadaan yang saat ini sebenarnya sedang terjadi.“Jeff, aku merasa takut,” ucapnya seraya membuka kedua tangannya dan memperlihatkan wajahnya yang saat ini sudah dipenuhi dengan air mata.Jeff tersentak melihat itu. Ini sungguh pertama kalinya dia melihat tuannya yang menangis sampai seperti ini. “Tuan, apakah Anda baik-baik
Eric masuk ke dalam mobilnya, tampak dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya dan menghubungi seseorang. “Jeff, apa kau sudah menemukan pelakunya?” tanyanya.“Tuan, pelakunya sudah melarikan diri. Ini adalah pembunuhan berencana, jadi sepertinya mereka sudah menyiapkannya dengan baik. Dan sepertinya orang yang merencanakan ini bukan orang sembarangan,” jawab Jeff dari seberang telepon.“Tidak papa, tidak usah kau lanjutkan. Sekarang kau pergilah ke kediaman Carlson. Karena aku juga akan ke sana.”“Baik Tuan,” jawab Jeff. Dan setelah itu sambungan telepon pun terputus. Eric langsung menyalakan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan area rumah sakit.Di perjalanan menuju kediaman Carlson, Eric mencengkeram erat kemudi mobilnya, menunjukkan kemarahannya saat ini yang begitu besar. Terlebih, dia tidak menyangkanya sama sekali, bahwa papa dan juga kakaknya akan tega membunuhnya. Baiklah, dia memang mengakui bahwa hubungannya dengan keluarganya memang tidak baik. Tapi,
Eric membelokkan mobilnya, memasuki pintu gerbang rumah sakit. Dia lalu memarkirkan mobilnya dan langsung keluar dari sana. Dengan cepat Eric membuka pintu mobil bagian belakangnya dan menggendong Alana masuk ke dalam rumah sakit dengan diikuti oleh Silvia dan juga yang lainnya.“Dokter! Dokter!” teriak Eric seraya melihat ke sana kemari mencari keberadaan dokter untuk menangani Alana. Dia terus berjalan, dengan Alana yang berada di gendongannya dan mulutnya tak henti-hentinya memanggil dokter. Air matanya sudah semakin deras menetes, tubuhnya juga sudah bergetar dengan sangat hebatnya.Setelah berkali-kali memanggil nama dokter dengan suara kerasnya. Tampak dari kejauhan terlihat beberapa perawat dan juga seorang dokter yang datang menghampirinya. “Ada apa, Pak?” tanya dokter itu dengan raut wajah seriusnya.“I-istriku, to-tolong selamatkan istriku, di-dia tertembak,” jawab Eric dengan terbata-bata.“Kalau begitu kita harus langsung mengoperasinya untuk mengeluarkan peluru itu.
Alana meminta pada Ronald untuk menghentikan mobilnya di saat dia melihat Eric yang sedang berdiri sembari memegang ponsel di telinganya. “Mama tunggu di sini. Biar aku yang menemui Eric,” ucapnya.Liana pun mengangguk, dia memegang tangan Alana terlebih dulu sebelum Alana keluar dari mobil. “Terima kasih sayang, terima kasih karena sudah mau menolong Eric,” ucapnya.Alana membalas pegangan tangan Liana itu dengan lembut. Dia lalu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Ini sudah tugasku sebagai istri Ma, aku harus melindungi suamiku,” jawabnya. Alana pun lalu turun dari mobil, dia berjalan hendak menghampiri Eric. Di sisi jalan yang lain. Terlihat Silvia dan Christ yang sedang berada di dalam mobil mereka. Silvia membuka kaca mobilnya, dan melihat jalanan yang sedikit sepi saat ini. “Sayang, bukankah itu Alana?” ucapnya pada Christ.Deg! Christ langsung menghentikan mobilnya sesaat setelah mendengar nama Alana yang terlontar dari mulut Silvia. Dia lalu menoleh pada sesosok wa
Liana terus berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tampak dia menggigiti kuku jarinya karena perasaan takut dan panik yang saat ini dia rasakan. “Bagaimana aku harus memberitahu Alana tentang masalah ini, aku harus segera memberitahunya sebelum semuanya terlambat,” gumamnya.Tubuh Liana bergetar saat mengingat kembali obrolan antara suami dan putranya. Air matanya kembali menetes, dia masih merasa tidak percaya bahwa suaminya dan Erland akan merencanakan hal sekejam ini kepada Eric.“Aku harus pergi ke rumah Eric sekarang, tapi aku harus memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu mengenai kepergianku. Aku harus berhati-hati atau semuanya akan gagal,” gumamnya lagi.***Eric’s MansionSaat ini Alana tengah duduk di ruang keluarga seorang diri. Dia sedang melukis wajah Eric yang ada di ingatannya. Sudah lama dia tidak melukis, rasanya tangannya ini begitu tegang. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya dia sangat ingin sekali melukis, dan wajah yang ingin dia lukis adalah Eric
Alana menaruh kembali gelas itu di nakas yang ada di samping tempat tidur, dia lalu berjalan memutari tempat tidur dan naik ke atas ranjang. Alana menarik selimutnya, dan membaringkan tubuhnya dengan posisi miring menghadap pada Eric. Dia kembali tersenyum, memperhatikan Eric yang sudah menutup matanya.Eric yang sebenarnya memang belum sepenuhnya tertidur itu merasa risi dengan apa yang Alana lakukan saat ini, dia tahu bahwa Alana terus menatapnya tanpa mau memalingkan wajahnya itu darinya. Dengan terpaksa dia pun membuka kembali matanya dan melihat Alana yang tersenyum padanya.“Apa kau hanya akan melihatku?” tanyanya.“Iya, biarkan aku melihatmu sampai aku puas. Kau sangat tampan Eric, aku suka melihat wajahmu,” jawab Alana dengan beraninya.Psshhh! Seketika wajah Eric kembali memerah, sesaat setelah mendengar apa yang Alana katakan. 'Wajahku memanas lagi, kenapa aku merasa wanita ini semakin berani menggodaku,' batinnya.“Kemarikan tanganmu,” pinta Alana.“Kenapa?” tanya Eri
“Aku ada satu rencana, dan sepertinya hanya rencana ini yang harus kita lakukan. Jika Papa mengizinkannya, maka aku akan langsung melakukannya,” ucap Erland.“Apa itu?” tanya Erian lagi.“Membunuhnya,” jawab Erland dengan raut wajah dingin.Tidak ada raut keterkejutan atau pun marah dari wajah Erian setelah mendengar rencana dari Erland, justru dia lebih terlihat memikirkan rencana yang Erland lontarkan itu.“Hanya itu satu-satunya cara Pa, jika kita ingin menghentikan pergerakan Eric untuk menghancurkan Carlson Group, jalan satu-satunya adalah dengan menyingkirkannya. Maka semuanya akan kembali seperti semula,” ujar Erland yang mencoba meyakinkan papanya agar mengizinkannya untuk melakukan rencana itu.Tampak Erian yang kembali melihat pada Erland, dia lalu menepuk bahu Erland dengan senyum yang tersungging di bibirnya. “Kamu memang putraku Erland, sifatmu benar-benar sama denganku. Baiklah, lakukan rencana itu. Aku mengandalkanmu,” ucapnya kemudian, yang memberikan persetujuan