"CK, tetap saja kamu berbohong, Mentari!" protes Dewi. "Kamu bilang ini antara hidup dan mati. Macam mau perang saja kita!" Mentari mengulum senyum. Ada setitik rasa bersalah telah memanfaatkan mereka demi untuk menghindari Revan. Tapi mau bagaimana lagi, Mentari tak bisa atau lebih tepatnya tak berani pulang karena takut dengan kedatangan Revan ke rumahnya. Entah apapun yang akan dibicarakan pria itu dengan keluarganya, Mentari tetap harus waspada."Emangnya kita nggak jadi makan bakso?" tanya Mentari pura-pura terkejut."Jadi!" jawab mereka kompak."Nah, berarti aku nggak bohong. Makan itu 'kan soal perut. Kaitannya antara hidup dan mati, kan? Soalnya kalau orang nggak makan pasti mati," jawab Mentari sambil nyengir. Rame-rame teman-teman Mentari mencubit dirinya. Ada yang mengenai lengan, punggung, pundak dan ada pula yang sengaja mencubit pipinya."Astaghfirullah, kalian kejam sekali sih? Ini namanya penganiayaan! Kalian mainnya keroyokan!" protes Mentari mencibir. ***Pukul 05.
"Mentari, papa rasa bosmu itu mulai aneh deh!" ujar Fatan. Saat ini mereka sedang makan malam bersama di ruang makan. Mentari yang semula menunduk tiba-tiba mendongak mendengar suara papanya. Gerakan mengunyah juga terhenti karena mendadak perasaannya menjadi tak nyaman. Pasti papanya akan membahas soal kedatangan Revan tadi sore."Ma-maksudnya aneh gimana, Pa?" tanya Mentari tanpa berani menatap wajah pria yang menjadi cinta pertamanya itu. "Papa merasa dia sedang berusaha untuk mendekatimu." Uhuk! Uhuk! Wajah Mentari memerah karena tiba-tiba tersedak. Hidungnya terasa sangat perih karena ada makanan yang ikut masuk ke hidung. "Kalau makan hati-hati, Sayang!" Aina, mama Mentari menyodorkan segelas air putih pada putrinya. Mentari menerima gelas itu dan meminum isinya hingga tandas. Namun tetap saja, rasa pedih di hidungnya tak langsung hilang begitu saja. Bintang yang kebetulan duduk di sebelahnya menepuk-nepuk lembut punggung yang adik.Melihat putrinya kaget mendengar ucapann
"Minggu depan datanglah ke rumah. Ada acara santunan anak yatim yang sudah diadakan secara rutin. Nanti saya kenalkan pada cucu-cucu saya. Saya yakin kalian cocok jika berteman," ujar kyai tersebut. "Insyaallah, Kyai. Saya usahakan untuk datang." Setelah bersalaman dan saling mendoakan, Revan pamit meninggalkan madrasah yang biasa digunakan untuk belajar para siswa saat pagi hari. Jika malam memang difungsikan untuk kegiatan pengajian. "Mentari, kuharap kamu adalah jodoh yang disiapkan Allah untukku. Tunggu sampai aku benar-benar layak untuk menjadi pendampingmu. Dan jika saat itu tiba, semoga Allah menyatukan kita dalam ikatan suci bernama pernikahan," ucap Revan dengan mata berbinar-binar. Setelah mengucapkan hal itu, ia menginjak pedal gas dan mobil mulai melaju meninggalkan kawasan madrasah. ***"Assalamualaikum, Mister. Selamat pagi!" sapa Mentari sembari membungkuk hormat. Jika sebelumnya dia tak pernah mengucap salam untuk bosnya ini, sejak tahu kalau Revan masuk Islam di
Mentari melengos, tak mau bersitatap dengan Revan yang terus menatapnya dengan intens. Wajah gadis berhijab itu terasa panas, bahkan ia menduga saat ini kedua pipinya sudah merona. "Katakan, Mentari apa yang bisa membuatmu yakin untuk menerima pinangan seorang pria?" desak Revan. Terdengar helaan nafas panjang dari mulut Mentari. Sungguh gadis itu tak suka urusan pribadi di bahas saat bekerja begini. "Maaf, Mister jika tidak ada pekerjaan yang akan dibahas saya keluar dulu," pamit Mentari. Gadis berhijab itu langsung berdiri. Ia membungkukkan badannya sekilas lalu melangkah menjauhi kursi. "Tunggu, Mentari!" Revan mencegah Mentari keluar. "Saya serius mengatakan ini. Maukah kamu menjadi istriku? Membersamai langkah perjuanganku dalam menjalani kehidupan yang lebih baik di bawah cahaya hidayah Islam? Aku ... ingin kamu menjadi wanita yang selalu meluruskan ketika aku sedang salah mengambil jalan," ucap Revan dengan tatapan penuh keyakinan. Ditodong langsung seperti itu membuat Me
"Eyang?" Mentari hendak protes tapi dihalangi oleh papanya melalui tatapan mata.Gadis itu menatap Revan sekalian yang juga menatapnya dengan senyum kemenangan. Jika tadi siang dia tak mendapat jawaban dari Mentari langsung. Malam ini seolah semesta berpihak padanya. Kyai yang membimbingnya ke jalan yang benar ternyata adalah kakeknya Mentari dan justru memintanya untuk menikah dengan cucu kesayangannya yang juga merupakan gadis yang diincarnya. Hati siapa yang tak berbunga-bunga jika jalan terjal yang semua tak berujung sudah menemukan pangkalnya. Jalan menuju kemenangan dalam menaklukkan gadis yang dicintai sudah terbuka lebar dengan restu dari tetua yang paling dihormati di keluarga Mentari."Abi, apa tidak sebaiknya hal seperti ini kita bicarakan dengan tenang? Sepertinya Mentari juga belum siap untuk menikah," bantah Aina. Sebagai seorang ibu, tentu dia ingin yang terbaik untuk putri bungsunya. Jika putrinya tidak bersedia, maka tidak boleh ada paksaan dalam hal jodoh. Cukup dir
Sejak perjodohan itu Mentari menjadi lebih pendiam ketika berada di kantor. Gadis berhijab itu juga menghindari bertatap muka dengan Revan. Ya selalu meminta pada Widi untuk mewakilinya jika terpaksa harus berinteraksi dengan atasan."Kamu sengaja menghindari saya?" tanya Revan ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Mentari. "Tidak, Mister," jawab Mentari sopan. Sebisa mungkin Mentari tidak memperlihatkan kegenggahan yang sedang ia rasakan. Dia juga tak mau memperlihatkan jika saat ini Revan berusaha untuk mendekatinya. "Apa kamu yakin? Kok saya merasa Kamu sengaja menjauhiku ya?" Revan memblokir jalan sehingga Mentari Tak Bisa lewat. Gadis itu menatap Revan dengan kepala mendongak karena jarak tinggi mereka yang lumayan jauh. "Permisi, Mister saya mau lewat." Mentari masih bersikap sopan pada Revan meski tingkah pria itu membuatnya tak suka. "Katakan dulu, kenapa kamu menghindari Saya? Apa karena lamaran itu? Bukankah saya sudah bilang untuk memberikan waktu sebanyak yang kamu
"Kirimkan file laporan penjualan cabang empat sekarang. Saya tunggu paling lambat 5 menit dari sekarang."Belum sempat Mentari menjawab, panggilan sudah ditutup sepihak oleh Revan. Tiga hari belakangan Revan memang kembali seperti semula. Otoriter, tegas, dingin, dan tak punya hati. Entah, apakah lamarannya dulu benar-benar karena cinta atau hanya sekadar basa-basi semata. Gadis itu mau mengumpat tapi tak ada waktu. Lima menit untuk membuka laptop, lalu mencari data yang diminta dan mengirimkannya. Mata yang tadinya sudah mulai sempurnangantuk dan tak bisa melek, kini terbuka . Gadis itu segera melaksanakan tugas yang diberikan bosnya tengah malam begini. ***Mentari seperti kembali pada masa awal-awal dia masuk kerja di perusahaan Revan. Sifat otoriter pria itu kembali lagi. Padahal selama beberapa bulan terakhir bos dingin itu sudah lebih manusiawi bahkan melamarnya sebagai istri. Mentari tercenung setelah berhasil mengirimkan file yang diminta oleh Revan. Memikirkan kembali jawa
"Mentari, apa kamu lupa sekarang tanggal berapa?" tanya Revan mengalihkan pembicaraan. "Tanggal 15, Mister."Gadis berhijab itu bukan tak tahu dengan maksud pertanyaan dari bosnya. Hanya saja ia ingin menguji dulu seberapa sabar pria yang ada di hadapannya ini. Revan mendengkus kesal. Namun tak berani untuk menunjukkan emosinya."Artinya apa?" tanya Revan lagi membuat Mentari tiba-tiba nyengir.***Mentari menutup mulut rapat-rapat. Wanita itu tahu betul kalau Revan tengah gelisah menantikan jawaban. Tapi Mentari tidak akan memberitahu Revan dengan mudah. Gadis yang selalu memakai pakaian syar'i itu masih akan melihat keseriusan Revan. Di hari yang paling ditunggu-tunggu oleh Revan, Mentari akan menguji kesabaran Revan. Rasanya Mentari ingin sekali tertawa melihat ekspresi Revan yang terlihat lucu. "Maksud Mister?" tanya Mentari berlagak bodoh. "Arti apa?" tanya Mentari lagi. Sengaja gadis itu pura-pura nggak paham.Perkataan Mentari sukses membuat Revan merasa dongkol. "Kamu tid
"Aku nggak nyangka hubungan Kak Bintang sama Azkia bisa mulus dan lancar kaya jalan tol gini," gumam Mentari. Wanita itu cukup terkejut saat mendengar kabar dari Bintang mengenai acara pernikahan Bintang.Bintang tidak ingin menunda pernikahannya terlalu lama. Keluarga Bintang dan keluarga Azkia pun segera menyusun pesta pernikahan sederhana untuk meresmikan hubungan putra-putri mereka."Aku nggak mau buang-buang waktu. Aku takut Azkia berubah pikiran," sahut Bintang."Kak Bintang nggak maksa Azkia buat nerima Kak Bintang, kan?" tuduh Mentari."Kamu jangan sembarangan ngomong! Aku nggak maksa Azkia. Sekalipun Azkia nolak pun aku juga nggak akan marah kok," timpal Bintang.Saat ini Mentari tengah berada di rumah orang tuanya untuk membantu Bintang menyiapkan pernikahan Bintang. Wanita itu sibuk menolong Bintang membungkus barang-barang seserahan yang akan diberikan pada Azkia nanti."Apa acaranya nggak terlalu terburu-buru, Kak? Ada banyak hal yang harus kita siapin, tapi kita nggak pu
Azkia duduk termenung, memikirkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Mentari tempo hari. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Mentari menawarkan kakaknya pada Azkia.Azkia tidak menanggapi serius pertanyaan Mentari. Wanita itu hanya menjawab asal saat dirinya diberi pertanyaan mengenai Bintang.Azkia kira, Mentari hanya bercanda saat Mentari meminta Azkia menikah dengan Bintang. Namun, ternyata perkataan Mentari bukan sekedar gurauan belaka. Mentari bersungguh-sungguh, begitu pula dengan Bintang. Hari ini, Bintang mengajak Azkia bertemu untuk membahas hal ini. Karena Azkia belum memberikan jawaban pasti, Bintang ingin kembali menanyakan kesediaan Azkia untuk menjadi istrinya."Aku datang nggak, ya?" gumam Azkia ragu.Azkia tidak mengenal Bintang. Azkia juga baru beberapa kali berjumpa dengan Bintang.Wajar saja kalau wanita itu merasa ragu. Siapa orang yang ingin menikah dengan pria yang tidak dikenal. Pastinya Azkia tak mau memilih sembarang pria untuk dijadikan suami. Ada banyak ha
Aina tertawa. Penjelasan Revan membuat wanita itu langsung membuat kesimpulan."Maaf, Ma? Apa ada yang lucu? Kenapa Mama ketawa terus?" tanya Revan.Aina kembali tergelak. Kepolosan putri dan menantunya membuat wanita itu tak bisa berhenti tertawa."Maaf, Revan. Cerita kamu lucu banget. Mama nggak tahan pengen ketawa," sahut Aina."Bagian mana yang lucu?" batin Revan dengan wajah bingung. "Revan, tolong kamu bawa Mentari ke dokter kandungan," ucap Aina kemudian. "Dokter kandungan?""Percaya aja sama Mama. Bawa Mentari ke dokter kandungan, setelah itu kasih kabar ke Mama, ya?"***"Kamu kenapa bawa aku ke sini?" tanya Mentari kesal karena sudah dibohongi oleh Revan. Wajahnya sudah tak bersahabat. Bibir mengerucut dengan tatapan ingin marah. Namun ia tak mungkin mengungkapkan kemarahannya di depan suami karena ia yakin sang suami melakukan ini karena khawatir padanya.Saat ini pasangan suami istri itu tengah berada di rumah sakit dan hendak berjumpa dengan dokter kandungan, sesuai de
"Gimana? Kalian dapat kerak telurnya?" tanya Revan cemas."Maaf, Mister. Semua penjual kerak telur sudah tutup."Mentari mengomel begitu mendengar jawaban Revan. Mentari tak mau mendengar alasan apa pun. "Pokoknya aku mau kerak telur sekarang! Kalau Huby nggak bisa dapetin kerak telur, mendingan Huby tidur di luar aja!" omel Mentari."T-tapi, Huny ...."Brak! Mentari menutup pintu kamar dengan kencang setelah mengusir suaminya keluar dari kamar. Gara-gara kerak telur, Mentari marah pada Revan hingga Mentari tak mau tidur dengan Revan."Kerak telur sialan!" umpat Revan dongkol bukan main. "Cari kerak telur lagi sampai ketemu!" teriak Revan pada anak buahnya.***"Hoam!" Pagi-pagi sekali, Revan membuka mata setelah mendengar suara adzan subuh. Pria dengan kantung mata hitam itu perlahan bangkit dari sofa empuk yang menjadi alas tidurnya. Selama semalaman, Revan tidur di sofa ruang tengah usai dirinya diusir oleh Mentari.Tragedi kerak telur sudah menghancurkan istirahat Revan. Pria itu
"Tidur aja, Huny."Revan mengusap-usap kepala Mentari hingga akhirnya wanita itu terlelap. "Cepat sembuh ya, Huny. Kamu nggak boleh sakit," gumam Revan.Revan membenarkan selimut sang istri, kemudian beranjak meninggalkan kamar. Mau tak mau, Revan harus membawa seluruh pekerjaannya ke rumah. Meskipun tak bisa pergi ke kantor, tapi Revan tetap harus bertanggungjawab pada pekerjaannya."Aldo, hari ini saya kerja dari rumah. Tolong kasih saya update laporan setiap dua jam, ya?" perintah Revan pada sang sekretaris melalui sambungan telepon."Baik, Mister."***"Gimana keadaan kamu, Huny? Masih mual nggak?" tanya Revan pada Mentari.Gurat kekhawatiran tercetak jelas di wajah tampan Revan. Lelaki itu benar-benar spot jantung kala melihat sang istri bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan seluruh isi perutnya. Belum lagi wajah pucat sang istri membuat lelaki itu tak tega.Wajah Mentari masih pucat. Mual dan muntah yang dialami oleh wanita itu juga masih terasa. Mentari sudah meminum oba
Mentari merasa usahanya akan sia-sia jika pertemuan ini sampai gagal. Terpaksa, Mentari harus mengambil langkah besar demi masa depan kakak dan juga temannya."Azkia, boleh aku tanya sesuatu?" ucap Mentari."Tanya aja?""Gimana pendapat kamu tentang Kak Bintang? Apa menurut kamu Kak Bintang bisa jadi suami yang baik?" tanya Mentari pada Azkia.Wajah Azkia langsung memerah begitu ia mendapatkan pertanyaan yang cukup mengejutkan dari sang teman. "Tuan Bintang cukup mapan dan tampan. Pasti ada banyak perempuan yang mau dijadiin istri sama Tuan Bintang," sahut Azkia."Kalau kamu? Apa kamu mau jadi istrinya Kak Bintang?" tanya Mentari pada Azkia.***Pagi-pagi sekali, Mentari sudah bangun dari ranjang, kemudian berlari menuju ke kamar mandi. Wajah wanita itu terlihat pucat dan tubuh Mentari juga agak lemas. Perutnya seperti diaduk-aduk dan ada yang berdesakan untuk minta dikeluarkan. Karena sudah tak bisa lagi menahan, ia sampai melompati suaminya hingga membuat lelaki itu kaget dan terban
"Kamu mau dukung rencana aku, kan?" tanya Mentari pada Revan.Mana mungkin Revan mampu menolak permintaan dari istri kesayangannya. Tanpa banyak tanya lagi, Revan pun akhirnya memberikan izin pada Mentari untuk pergi bersama dengan Azkia, dan ia juga akan ikut membantu istrinya untuk menjalankan rencana Mentari."Aku akan melakukan apa pun untuk kamu."Mentari memeluk sang suami dengan wajah girang. "Terima kasih, Huby!"***"Azkia!" Mentari melambaikan tangan pada Azkia yang sudah menunggu dirinya di sebuah cafe yang ada di dalam mall.Sesuai dengan rencana, hari ini Mentari akan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan bersama dengan Azkia di area pusat perbelanjaan tersebut. Sebelum pergi, Mentari sudah mengingatkan suaminya untuk segera mengajak Bintang pergi ke mall yang ia datangi bersama Azkia."Kamu udah nunggu lama?" sapa Mentari berbasa-basi. Wanita itu menatap penampilan Azkia yang sangat anggun dan menawan. Sejak zaman kuliah dulu, Azkia memang cantik. Tak sedikit pria yan
Pertemuan antara Mentari dan Pak Tohar pun berlangsung cukup lama. Mentari dan Pak Tohar dapat cepat akrab dengan adanya Azkia yang menjembatani mereka. Selama pertemuan berlangsung, Bintang terus mencuri pandang ke arah Azkia, hingga membuat Mentari keheranan. Dari sorot mata pria itu, terlihat jelas kalau Bintang tengah menunjukkan ketertarikannya pada Azkia."Kenapa Kak Bintang lihatin Azkia mulu dari tadi? Apa mungkin Kak Bintang naksir sama Azkia?" batin Mentari curiga.Mentari berkali-kali memergoki sang kakak mencuri-curi pandang ke arah Azkia sampai pertemuan mereka berakhir. Hal ini pun membuat Mentari semakin yakin kalau Bintang memang tertarik pada Azkia."Kak bintang ketahuan banget sih kalau naksir Azkia," batin Mentari. "Apa aku coba jodohin mereka aja? Kak Bintang kan masih jomblo. Sudah saatnya juga untuk membina rumah tangga agar tidak pacaran dengan pekerjaannya terus. Kalau Azkia juga jomblo ... mereka pasti bisa jadi pasangan serasi."***"Huny, besok kan hari Ming
"Itu berkas buat besok? Kayaknya besok sibuk banget, ya?" tanya Revan pada Mentari yang nampak asyik menyiapkan banyak berkas. Pria itu menatap istrinya yang sibuk dengan perasaan berkecamuk. Ada rasa kasihan melihat istrinya berjibaku dengan pekerjaan padahal dirinya sangat mampu untuk mencukupi semua kebutuhan hidup sang istri. Bahkan apapun yang diminta oleh wanita yang dicintai itu bisa dia berikan sangat mudah. Namun ia juga tak bisa melarang sang istri bekerja karena itu adalah perusahaan istrinya sendiri. Pasangan suami istri baru itu sudah kembali dari acara bulan madu mereka. Setelah puas menikmati liburan di Dubai, kini waktunya mereka kembali beraktivitas seperti sebelumnya. Sebagai pimpinan perusahaan baru, sepertinya Mentari akan mulai disibukkan dengan pekerjaan yang menumpuk. "Iya, Huby. Besok aku ada pertemuan penting.""Pasti berat ya ngurus perusahaan sendiri seperti ini," komentar Revan. "Jangan terlalu capek, Huny. Kalau butuh bantuan katakan saja, suamimu ini b