Mentari melirik bosnya melalui kaca spion. Ternyata tatapan mereka bertemu dan bisa mencari lihat kalau lelaki itu Tengah tersenyum padanya. Dalam hati Mentari terus berpikir kenapa semakin lama bosnya semakin aneh. Bahkan sikap meyakini semakin menunjukkan ketertarikan kepadanya dan itu membuat Mentari merasa risih."Maaf Mister seumur hidup saya belum pernah merayakan acara ulang tahun." Mentari berkata dengan nada datar tapi apa yang dikatakannya itu membuat Revan langsung menegakkan punggungnya.Mana mungkin seorang berasal dari keluarga yang kaya raya tidak pernah merayakan hari ulang tahunnya. Terlebih Mentari tergolong masih sangat muda rasanya sangat tidak mungkin jika dia tidak menginginkan pesta ulang tahun seperti yang lainnya."Sekalipun belum pernah dirayakan?" tanya Revan. Sebenarnya tak hanya Revan yang kaget mendengar pernyataan Mentari. Karena Karin pun juga bertanya-tanya kenapa Mentari tidak pernah merayakan ulang tahunnya."Tidak, Mister. Karena dalam keluarga kam
"Memangnya Mister perempuan minta libur?" ujar Mentari setelah mampu mengendalikan dirinya."Kenapa cuma perempuan yang boleh libur? Emang apa bedanya?" Revan semakin tak paham dengan apa yang sedang mereka bicarakan. "Karena yang bisa hamil dan melahirkan hanya perempuan, Mister!" Kali ini Karin yang menjawab. Mendadak wajah Revan pucat mendengar kata keramat tersebut. Kedua matanya melotot tajam dan menyeret langsung pada Mentari."Jadi kamu sekarang sedang hamil?" ucapnya syok.***"Astaghfirullahaladzim, Mister kenapa Anda Susan sama saya? Jelek-jelek gini Saya masih punya harga diri Mister. Saya juga tidak akan menjual iman saya. Jadi jangan menyimpulkan sebelum tahu faktanya," ujar Mentari sewot.Revan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sungguh dia tak bermaksud menuduh Mentari sebagai wanita murahan. Dia hanya syok ketika Mentari mengatakan soal libur dan disangkutkan dengan kehamilan. Otak cerdas Revan langsung terhubung ke sana. "Bu-bukan seperti itu maksud saya. Maka
Selama ini dia terlalu menikmati peran sebagai "teman" Mentari sampai lupa dengan tugas dan statusnya. Ketika mereka bertiga sudah memasuki ruang privat, Revan memilih duduk menyendiri di pojok dan membiarkan Mentari duduk berdua dengan Karin. Pria itu cukup tahu diri dengan tidak memaksa Mentari untuk duduk satu meja dengannya. Tak masalah, dia justru semakin leluasa memandangi Mentari dari tempatnya duduk tanpa takut ketahuan. Entah sejak kapan pria itu semakin tergila-gila pada Mentari. Setiap saat ingin melihatnya meski hanya dari jauh. Intinya ia ingin Mentari selalu berada pada zona yang dapat ia jangkau. "Non, sadar nggak sih kalo Mister selalu menoleh ke sini? Kayaknya melihat Non Mentari terus, deh!" "Hus, jangan ngarang kamu!" protes Mentari. Namun diam-diam Mentari mencuri pandang ke arah Revan untuk memastikan ucapan Karin barusan salah. Deg!*** Ternyata apa yang diucapkan oleh Karin benar adanya. Revan tengah menatap Mentari dengan tatapan yang sulit diartikan. S
"Tari, nanti pulangnya biar saya antar. Sekalian saya mau bertemu dengan keluargamu!" ucap Revan membuat Mentari langsung menoleh.Sementara Karin melirik Mentari yang terlihat shock sembari mengulum senyum. "Bu-buat apa bertemu dengan keluarga saya, Mister?" tanya Mentari gugup."Ada hal penting yang mau saya bicarakan!" Revan kembali fokus pada ponselnya agar tidak dicecar pertanyaan oleh Mentari. Butuh pemikiran dan pertimbangan yang matang bagi Revan untuk memikirkan hal ini. Bagi pria yang sangat menjaga harga diri sepertinya, bukan hal yang mudah memutuskan untuk bertemu dengan orang tua gadis karena pasti nantinakam dicecar pertanyaan olehnya. "U-untuk apa, Mister?" "Ada hal penting. Nanti kamu juga tahu."Degup jantung Mentari langsung terasa sangat menyakitkan. Debaran-debaran itu terasa sangat keras hingga hampir mengoyak dadanya. "Mister mau melamar Non Mentari. Iya kan, Mister?" celetuk Karin. ***Mentari seperti orang linglung sejak turun dari mobil. Semua pembicara
"Kamu ngapain, Dek keluar aja! Mister sudah nggak ada di sini," ucap Widi setengah berteriak. Sepertinya perempuan itu sengaja mengeraskan suaranya agar sang atasan mendengar lalu kembali keluar untuk melihat tingkah mentari yang malu-malu kucing. "Ish, apaan sih, Mbak!" ujar Mentari dengan bibir mengerucut. Widi tak sanggup lagi menahan tawa yang sejak tadi ingin meledak. Akhirnya pecah sudah derai tawa dari mulut Widi. Tak peduli dengan tatapan tajam yang dilayangkan Mentari padanya karena bagi Widi hal itu justru terlihat semakin lucu di matanya.***Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Jam pulang memang menjadi sesuatu yang sangat dinanti oleh semua karyawan terlebih bagi mereka yang tidak ada jadwal lembur. Seperti hari ini Mentari bisa pulang lebih awal karena pekerjaannya selesai lebih cepat. Kehadiran Widi memang benar-benar membantu meringankan semua pekerjaan Mentari sehingga dia tak harus lembur setiap malam untuk mengikuti kemauan bosnya. Justru akhir-akhir ini bo
"CK, tetap saja kamu berbohong, Mentari!" protes Dewi. "Kamu bilang ini antara hidup dan mati. Macam mau perang saja kita!" Mentari mengulum senyum. Ada setitik rasa bersalah telah memanfaatkan mereka demi untuk menghindari Revan. Tapi mau bagaimana lagi, Mentari tak bisa atau lebih tepatnya tak berani pulang karena takut dengan kedatangan Revan ke rumahnya. Entah apapun yang akan dibicarakan pria itu dengan keluarganya, Mentari tetap harus waspada."Emangnya kita nggak jadi makan bakso?" tanya Mentari pura-pura terkejut."Jadi!" jawab mereka kompak."Nah, berarti aku nggak bohong. Makan itu 'kan soal perut. Kaitannya antara hidup dan mati, kan? Soalnya kalau orang nggak makan pasti mati," jawab Mentari sambil nyengir. Rame-rame teman-teman Mentari mencubit dirinya. Ada yang mengenai lengan, punggung, pundak dan ada pula yang sengaja mencubit pipinya."Astaghfirullah, kalian kejam sekali sih? Ini namanya penganiayaan! Kalian mainnya keroyokan!" protes Mentari mencibir. ***Pukul 05.
"Mentari, papa rasa bosmu itu mulai aneh deh!" ujar Fatan. Saat ini mereka sedang makan malam bersama di ruang makan. Mentari yang semula menunduk tiba-tiba mendongak mendengar suara papanya. Gerakan mengunyah juga terhenti karena mendadak perasaannya menjadi tak nyaman. Pasti papanya akan membahas soal kedatangan Revan tadi sore."Ma-maksudnya aneh gimana, Pa?" tanya Mentari tanpa berani menatap wajah pria yang menjadi cinta pertamanya itu. "Papa merasa dia sedang berusaha untuk mendekatimu." Uhuk! Uhuk! Wajah Mentari memerah karena tiba-tiba tersedak. Hidungnya terasa sangat perih karena ada makanan yang ikut masuk ke hidung. "Kalau makan hati-hati, Sayang!" Aina, mama Mentari menyodorkan segelas air putih pada putrinya. Mentari menerima gelas itu dan meminum isinya hingga tandas. Namun tetap saja, rasa pedih di hidungnya tak langsung hilang begitu saja. Bintang yang kebetulan duduk di sebelahnya menepuk-nepuk lembut punggung yang adik.Melihat putrinya kaget mendengar ucapann
"Minggu depan datanglah ke rumah. Ada acara santunan anak yatim yang sudah diadakan secara rutin. Nanti saya kenalkan pada cucu-cucu saya. Saya yakin kalian cocok jika berteman," ujar kyai tersebut. "Insyaallah, Kyai. Saya usahakan untuk datang." Setelah bersalaman dan saling mendoakan, Revan pamit meninggalkan madrasah yang biasa digunakan untuk belajar para siswa saat pagi hari. Jika malam memang difungsikan untuk kegiatan pengajian. "Mentari, kuharap kamu adalah jodoh yang disiapkan Allah untukku. Tunggu sampai aku benar-benar layak untuk menjadi pendampingmu. Dan jika saat itu tiba, semoga Allah menyatukan kita dalam ikatan suci bernama pernikahan," ucap Revan dengan mata berbinar-binar. Setelah mengucapkan hal itu, ia menginjak pedal gas dan mobil mulai melaju meninggalkan kawasan madrasah. ***"Assalamualaikum, Mister. Selamat pagi!" sapa Mentari sembari membungkuk hormat. Jika sebelumnya dia tak pernah mengucap salam untuk bosnya ini, sejak tahu kalau Revan masuk Islam di
"Aku nggak nyangka hubungan Kak Bintang sama Azkia bisa mulus dan lancar kaya jalan tol gini," gumam Mentari. Wanita itu cukup terkejut saat mendengar kabar dari Bintang mengenai acara pernikahan Bintang.Bintang tidak ingin menunda pernikahannya terlalu lama. Keluarga Bintang dan keluarga Azkia pun segera menyusun pesta pernikahan sederhana untuk meresmikan hubungan putra-putri mereka."Aku nggak mau buang-buang waktu. Aku takut Azkia berubah pikiran," sahut Bintang."Kak Bintang nggak maksa Azkia buat nerima Kak Bintang, kan?" tuduh Mentari."Kamu jangan sembarangan ngomong! Aku nggak maksa Azkia. Sekalipun Azkia nolak pun aku juga nggak akan marah kok," timpal Bintang.Saat ini Mentari tengah berada di rumah orang tuanya untuk membantu Bintang menyiapkan pernikahan Bintang. Wanita itu sibuk menolong Bintang membungkus barang-barang seserahan yang akan diberikan pada Azkia nanti."Apa acaranya nggak terlalu terburu-buru, Kak? Ada banyak hal yang harus kita siapin, tapi kita nggak pu
Azkia duduk termenung, memikirkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Mentari tempo hari. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Mentari menawarkan kakaknya pada Azkia.Azkia tidak menanggapi serius pertanyaan Mentari. Wanita itu hanya menjawab asal saat dirinya diberi pertanyaan mengenai Bintang.Azkia kira, Mentari hanya bercanda saat Mentari meminta Azkia menikah dengan Bintang. Namun, ternyata perkataan Mentari bukan sekedar gurauan belaka. Mentari bersungguh-sungguh, begitu pula dengan Bintang. Hari ini, Bintang mengajak Azkia bertemu untuk membahas hal ini. Karena Azkia belum memberikan jawaban pasti, Bintang ingin kembali menanyakan kesediaan Azkia untuk menjadi istrinya."Aku datang nggak, ya?" gumam Azkia ragu.Azkia tidak mengenal Bintang. Azkia juga baru beberapa kali berjumpa dengan Bintang.Wajar saja kalau wanita itu merasa ragu. Siapa orang yang ingin menikah dengan pria yang tidak dikenal. Pastinya Azkia tak mau memilih sembarang pria untuk dijadikan suami. Ada banyak ha
Aina tertawa. Penjelasan Revan membuat wanita itu langsung membuat kesimpulan."Maaf, Ma? Apa ada yang lucu? Kenapa Mama ketawa terus?" tanya Revan.Aina kembali tergelak. Kepolosan putri dan menantunya membuat wanita itu tak bisa berhenti tertawa."Maaf, Revan. Cerita kamu lucu banget. Mama nggak tahan pengen ketawa," sahut Aina."Bagian mana yang lucu?" batin Revan dengan wajah bingung. "Revan, tolong kamu bawa Mentari ke dokter kandungan," ucap Aina kemudian. "Dokter kandungan?""Percaya aja sama Mama. Bawa Mentari ke dokter kandungan, setelah itu kasih kabar ke Mama, ya?"***"Kamu kenapa bawa aku ke sini?" tanya Mentari kesal karena sudah dibohongi oleh Revan. Wajahnya sudah tak bersahabat. Bibir mengerucut dengan tatapan ingin marah. Namun ia tak mungkin mengungkapkan kemarahannya di depan suami karena ia yakin sang suami melakukan ini karena khawatir padanya.Saat ini pasangan suami istri itu tengah berada di rumah sakit dan hendak berjumpa dengan dokter kandungan, sesuai de
"Gimana? Kalian dapat kerak telurnya?" tanya Revan cemas."Maaf, Mister. Semua penjual kerak telur sudah tutup."Mentari mengomel begitu mendengar jawaban Revan. Mentari tak mau mendengar alasan apa pun. "Pokoknya aku mau kerak telur sekarang! Kalau Huby nggak bisa dapetin kerak telur, mendingan Huby tidur di luar aja!" omel Mentari."T-tapi, Huny ...."Brak! Mentari menutup pintu kamar dengan kencang setelah mengusir suaminya keluar dari kamar. Gara-gara kerak telur, Mentari marah pada Revan hingga Mentari tak mau tidur dengan Revan."Kerak telur sialan!" umpat Revan dongkol bukan main. "Cari kerak telur lagi sampai ketemu!" teriak Revan pada anak buahnya.***"Hoam!" Pagi-pagi sekali, Revan membuka mata setelah mendengar suara adzan subuh. Pria dengan kantung mata hitam itu perlahan bangkit dari sofa empuk yang menjadi alas tidurnya. Selama semalaman, Revan tidur di sofa ruang tengah usai dirinya diusir oleh Mentari.Tragedi kerak telur sudah menghancurkan istirahat Revan. Pria itu
"Tidur aja, Huny."Revan mengusap-usap kepala Mentari hingga akhirnya wanita itu terlelap. "Cepat sembuh ya, Huny. Kamu nggak boleh sakit," gumam Revan.Revan membenarkan selimut sang istri, kemudian beranjak meninggalkan kamar. Mau tak mau, Revan harus membawa seluruh pekerjaannya ke rumah. Meskipun tak bisa pergi ke kantor, tapi Revan tetap harus bertanggungjawab pada pekerjaannya."Aldo, hari ini saya kerja dari rumah. Tolong kasih saya update laporan setiap dua jam, ya?" perintah Revan pada sang sekretaris melalui sambungan telepon."Baik, Mister."***"Gimana keadaan kamu, Huny? Masih mual nggak?" tanya Revan pada Mentari.Gurat kekhawatiran tercetak jelas di wajah tampan Revan. Lelaki itu benar-benar spot jantung kala melihat sang istri bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan seluruh isi perutnya. Belum lagi wajah pucat sang istri membuat lelaki itu tak tega.Wajah Mentari masih pucat. Mual dan muntah yang dialami oleh wanita itu juga masih terasa. Mentari sudah meminum oba
Mentari merasa usahanya akan sia-sia jika pertemuan ini sampai gagal. Terpaksa, Mentari harus mengambil langkah besar demi masa depan kakak dan juga temannya."Azkia, boleh aku tanya sesuatu?" ucap Mentari."Tanya aja?""Gimana pendapat kamu tentang Kak Bintang? Apa menurut kamu Kak Bintang bisa jadi suami yang baik?" tanya Mentari pada Azkia.Wajah Azkia langsung memerah begitu ia mendapatkan pertanyaan yang cukup mengejutkan dari sang teman. "Tuan Bintang cukup mapan dan tampan. Pasti ada banyak perempuan yang mau dijadiin istri sama Tuan Bintang," sahut Azkia."Kalau kamu? Apa kamu mau jadi istrinya Kak Bintang?" tanya Mentari pada Azkia.***Pagi-pagi sekali, Mentari sudah bangun dari ranjang, kemudian berlari menuju ke kamar mandi. Wajah wanita itu terlihat pucat dan tubuh Mentari juga agak lemas. Perutnya seperti diaduk-aduk dan ada yang berdesakan untuk minta dikeluarkan. Karena sudah tak bisa lagi menahan, ia sampai melompati suaminya hingga membuat lelaki itu kaget dan terban
"Kamu mau dukung rencana aku, kan?" tanya Mentari pada Revan.Mana mungkin Revan mampu menolak permintaan dari istri kesayangannya. Tanpa banyak tanya lagi, Revan pun akhirnya memberikan izin pada Mentari untuk pergi bersama dengan Azkia, dan ia juga akan ikut membantu istrinya untuk menjalankan rencana Mentari."Aku akan melakukan apa pun untuk kamu."Mentari memeluk sang suami dengan wajah girang. "Terima kasih, Huby!"***"Azkia!" Mentari melambaikan tangan pada Azkia yang sudah menunggu dirinya di sebuah cafe yang ada di dalam mall.Sesuai dengan rencana, hari ini Mentari akan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan bersama dengan Azkia di area pusat perbelanjaan tersebut. Sebelum pergi, Mentari sudah mengingatkan suaminya untuk segera mengajak Bintang pergi ke mall yang ia datangi bersama Azkia."Kamu udah nunggu lama?" sapa Mentari berbasa-basi. Wanita itu menatap penampilan Azkia yang sangat anggun dan menawan. Sejak zaman kuliah dulu, Azkia memang cantik. Tak sedikit pria yan
Pertemuan antara Mentari dan Pak Tohar pun berlangsung cukup lama. Mentari dan Pak Tohar dapat cepat akrab dengan adanya Azkia yang menjembatani mereka. Selama pertemuan berlangsung, Bintang terus mencuri pandang ke arah Azkia, hingga membuat Mentari keheranan. Dari sorot mata pria itu, terlihat jelas kalau Bintang tengah menunjukkan ketertarikannya pada Azkia."Kenapa Kak Bintang lihatin Azkia mulu dari tadi? Apa mungkin Kak Bintang naksir sama Azkia?" batin Mentari curiga.Mentari berkali-kali memergoki sang kakak mencuri-curi pandang ke arah Azkia sampai pertemuan mereka berakhir. Hal ini pun membuat Mentari semakin yakin kalau Bintang memang tertarik pada Azkia."Kak bintang ketahuan banget sih kalau naksir Azkia," batin Mentari. "Apa aku coba jodohin mereka aja? Kak Bintang kan masih jomblo. Sudah saatnya juga untuk membina rumah tangga agar tidak pacaran dengan pekerjaannya terus. Kalau Azkia juga jomblo ... mereka pasti bisa jadi pasangan serasi."***"Huny, besok kan hari Ming
"Itu berkas buat besok? Kayaknya besok sibuk banget, ya?" tanya Revan pada Mentari yang nampak asyik menyiapkan banyak berkas. Pria itu menatap istrinya yang sibuk dengan perasaan berkecamuk. Ada rasa kasihan melihat istrinya berjibaku dengan pekerjaan padahal dirinya sangat mampu untuk mencukupi semua kebutuhan hidup sang istri. Bahkan apapun yang diminta oleh wanita yang dicintai itu bisa dia berikan sangat mudah. Namun ia juga tak bisa melarang sang istri bekerja karena itu adalah perusahaan istrinya sendiri. Pasangan suami istri baru itu sudah kembali dari acara bulan madu mereka. Setelah puas menikmati liburan di Dubai, kini waktunya mereka kembali beraktivitas seperti sebelumnya. Sebagai pimpinan perusahaan baru, sepertinya Mentari akan mulai disibukkan dengan pekerjaan yang menumpuk. "Iya, Huby. Besok aku ada pertemuan penting.""Pasti berat ya ngurus perusahaan sendiri seperti ini," komentar Revan. "Jangan terlalu capek, Huny. Kalau butuh bantuan katakan saja, suamimu ini b