Gail lalu memperhatikan lembaran foto-foto yang ada di tangannya. Seorang wanita yang cukup berumur, seorang wanita dan laki-laki, rumah yang cukup besar, dan rumah lain yang dipenuhi oleh para wanita.
Gail lalu mulai menjelaskan foto-foto tersebut, satu demi satu. "Wanita ini adalah Lisa Periska, ibu dari Diana," ucap Gail menjelaskan foto pertama.
"Suaminya sudah lama meninggal. Dia mempunyai dua anak lain, Vina adalah anak pertama dan Edison adalah anak kedua," lanjutnya menjelaskan foto yang kedua.
"Mereka tinggal di sebelah utara kota, dan inilah rumah mereka, cukup besar untuk keluarga dengan peringkat ke enam," jelasnya untuk foto yang ketiga.
"Peringkat...?" tanya Al.
"Kau mungkin sudah lupa, jadi akan aku ingatkan kembali. Peringkat yang aku maksud adalah sebuah peringkat berdasarkan kekayaan dan juga kekuasaan. Dengan kata lain, keluarga Diana merupakan keluarga yang cukup terhormat di kota ini. Dia dan keluarganya b
Gail menganalisis perkataan Al, "Wanita ini menjadi makanan kalian. Seharusnya dia mati setelah kalian menghisap darahnya. Tapi sebaliknya, dia tetap hidup? Begitu maksudmu?" ujarnya memperjelas keadaan. Josh, “Sepertinya memang benar.” Annie, “Jadi kalian melanggar aturan?” Al diam tidak merespons. Penjelasan Gail adalah benar adanya, namun ia memilih untuk tidak mengungkapkan faktanya. Tanpa sepatah kata pun, Al langsung beranjak dari kursinya dan mengambil barang-barangnya, berniat untuk pergi. Gail melemparkan sesuatu padanya, "Kau memakannya juga?" tanyanya. Josh, “Tentu saja tida, dia hanya pemburu yang memberikan buruannya pada Tuannya. Dia tidak akan memakan apapun karena Tuannya menghabiskan segalanya.” Al pun menunduk, mengambil selembar foto yang jatuh tepat di hadapan kedua kakinya, "Tidak,” jawabnya singkat. "Selain Diana, wanita itu juga menghilang," ucapnya menjelaskan foto kelima yang dia lempar
"Bu, apa ini?" Gail memperhatikan satu botol kecil berwarna merah di tangannya. "Di mana kau menemukannya?" "Di sini," jawabnya menunjuk meja yang tadi digunakan Al untuk menaruh barang-barangnya. Ann berdecak, “Vampir itu, dia seakan tidak sudi menambah satu beban lagi, tapi dia tetap saja memberikannya," lalu Josh merebut botol. "Apa isi botol itu?" tanya Gail kembali. "Racun," balas Ann. "Kembali bekerja, biar Ayah yang simpan," Josh pun pergi ke lantai dua. Gail menunjukkan mimik wajah curiga, dia tidak percaya apa yang dikatakan ibunya. Dengan wajah yang serius dia bertanya, "Apa aku harus mencari tahu sendiri?" Ann terkekeh geli, "Gail... aku yakin kau tidak akan menemukan jawaban apapun, kecuali kau mencarinya di Kastel Haltz di pedalaman Hutan Silver sana. Lagi pula Ibu tidak berbohong.” *** Waktu baru menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi Kastel Hal
Sudah hampir sejam Rai mencari keberadaan wanita itu. Dia dengan jelas bisa mencium baunya, tapi Rai sama sekali tidak menemukannya. Ini seperti baunya hanya melayang di udara tanpa ada pemiliknya. "Kenapa juga aku harus mencarinya!!?” Sementara Ika dan Iki kembali mencari di taman belakang. Ketika mendengar suara sesuatu yang jatuh mereka kompak menoleh dan mendapati Diana sedang membersihkan bajunya. "Kak Diana!!!" pekik mereka berlari menghambur ke Diana, dan wanita ini memeluk mereka dengan wajah bingung. "Kami mencari kakak dari tadi, kami kira kakak dibunuh oleh Kak Rai," jawab Ika terlalu jujur. "Kakak baik-baik saja? Kenapa pergi dengan kaki terluka seperti ini?" timpal Iki. Diana
"Yang Mulia Robert! Anda mau pergi ke mana?" Yang dipanggil terus saja melangkahkan kakinya tanpa berniat berhenti. "Kau saja yang jadi Yang Mulia! Aku tidak mau!" sahutnya. "T-tidak bisa! Anda tidak boleh mengatakan sesuatu seperti itu!" "Ini tidak boleh, itu tidak boleh. Jadi apa yang diperbolehkan!?" emosinya. "Apapun. Selama tidak melanggar peraturan." "Persetan dengan peraturan! Akan aku langgar peraturan yang ada!" ikrarnya dan melangkah jauh lebih cepat. "Yang Mulia! Yang Mulia Robert! Tunggu! Bagaimana dengan acara perjodohannya?" "Kau saja yang menikah dengannya!" jawabnya dan menghilang bagai ditelan bumi. *** Pria ini terus saja berlari dengan kecepatan penuh. Dengan lihai, ia melewati semua rintangan yang ada tanpa kendala. Melihat dari cepatnya ia berlari, sudah pasti dirinya bukanlah seorang manusia. Jika mendengar dari seseorang yang
"Al... Apa Kak Diana akan baik-baik saja?" tanya Ika. "Kak Rai sedang dalam suasana hati yang buruk, aku saja bahkan tidak bisa menjamin jika Kak Diana akan baik-baik saja," timpal Iki dan Al hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja sejak tadi. "Dan kenapa kau ada di sini?" tanya Iki sebal. "Aku? Tentu saja mencari kedamaian," jawabnya. "Lebih baik kau bantu Kak Diana, Al.” Al menggeleng, "Terima kasih banyak, tapi aku masih ingin hidup lebih lama. Al sangat mengetahui jika sekarang dia menemui Rai apalagi membantu Diana sudah pasti dia yang akan dijadikan kambing hitamnya. Tapi dia memang tidak ada niatan membantu manusia ini, tidak ada keuntungan baginya jika melakukannya. Terlebih di matanya, Diana tidak lebih dari orang yang akan merepotkannya dimasa mendatang. *** Diana menaruh barang-barang belanjaan di atas meja dapur, dan langsung saja membongkar semua isinya.
"Apa yang terjadi?" tanya Al, menyadari tangan Rai yang diperban. “Selama aku di sini, aku tidak pernah sekali pun melihatmu memakai perban. Untuk apa kau memakainya?" sambungnya merasa heran. "Entah," balas Rai tidak jelas. “Huh? Entah...? Kau pikir perban ini akan melilitkan dirinya sendiri ke tanganmu seperti ular?” “Mungkin.” Al langsung memutar bola matanya, merasa jengah dengan jawaban abnormal yang sejak tadi dilontarkan oleh vampir di hadapannya. *** Kevin, nama panggilan akrab dari seorang Yang Mulia Robert, sedang berada di atas pohon, bersantai dengan makian yang terus menerus keluar dari mulutnya ini. "Ahh... Aku lapar!" erangnya sambil memegangi perut. "Sial! Aku ini bukan vampir, seharusnya aku merasa haus bukan lapar," ocehnya lagi lalu mengelus lehernya seperti merasa kehausan yang teramat sangat. "Seharusnya aku pergi setelah makan.
Di atas batang-batang pohon yang basah ini, Kevin masih menikmati waktu santainya dengan bersenandung. Hampir sama dengan tempat asalnya yang dipenuhi oleh salju, bedanya di sini tidak membekukan dan hanya terasa dingin karena udara yang lembap. Dia terus saja bersenandung tidak jelas seraya menghirup udara yang akhirnya tidak membuat hidungnya terasa kering. "Menjadi vampir pengembara ternyata tidak seburuk yang aku kira," ucapnya. "Bahkan ini lebih baik dari tempat beku sialan ini dan—" Kevin bernapas dalam-dalam, "—aku suka bau Bunga Lily ini. Manis," ungkapnya. Embusan angin membelai rambut merah panjang miliknya, helai-helai rambutnya terbang menggantung di udara. Suasana ini begitu sayang untuk ditinggalkan, terutama dengan bau semanis ini. Membuatnya semakin lapar. Perlahan, iris matanya yang berwarna cokelat gelap berubah warna menjadi merah darah. "Tunggu dulu!" Kevin bangkit dari tidurnya dan memasang wajah serius.
"Lily of the Valley. Bukan bunga yang bisa kau temui di dalam hutan seperti ini. Mereka tumbuh di sekitar lembah-lembah khususnya lembah pegunungan." gumam Kevin."Jika ini bukan bunga tersebut, maka tidak salah lagi. Ini adalah makanan. Terlebih—" dia kembali menghirup udara dalam-dalam, "—ini adalah bau seorang wanita yang masih perawan.""Tapi ini dekat dengan perbatasan Haltz. Salah langkah maka habislah riwayatku."“Ah! Persetan dengan ini semua! Bau ini sangat menggoda, dan aku sudah sangat lapar!!" oceh Kevin panjang lebar.Dia kemudian memantapkan langkahnya mendekati pohon besar di hadapannya. Namun, Kevin langsung terkejut dengan apa yang dilihatnya. "Makananku... Tumpah..." ujarnya.***Seorang wanita terbujur lemah di sisi belakang Pohon Pinus besar ini. Ia mengenakan gaun simpel cantik berwarna putih, tapi noda darah di bagian perutnya mengoto
Halo semuanya! Saya Selist Emerald Valley, penulis dari novel Pure Blood. -Terima kasih untuk kalian para pembaca yang sudah mencintai dan membaca Pure Blood sampai akhir! Ini adalah akhir dari Pure Blood! Saya harap kalian menyukai Pure Blood dan para tokoh di dalamnya! - Tanpa adanya dukungan dari para sahabat dekat saya, tentu saja Pure Blood tidak akan pernah ada! Terima kasih untuk HAKUJI dan Affifah, kalian memang yang terbaik!!! -Senang rasanya mempublikasikan Pure Blood di Goodnovel, selain bisa menjangkau lebih banyak pembaca, Pure Blood juga bisa diakses dengan mudah, baik menggunakan aplikasi maupun website Goodnovel.-Pure Blood merupakan novel pertama saya, sekaligus debut karya pertama saya di dunia penulis dan novelis. Dari dulu hingga sekarang, Pure Blood selalu menjadi bagian utama dan penting dari kehidupan saya dan karir saya sebagai penulis dan juga novelis.-Rencananya, Pure Blood akan menjadi novel s
Lub. Dub. Lub. Dub. Lub. Dub.Suara detak jantung terdengar saling berirama. “Apa kamu mendengarnya?” dan sosok yang sedang ditanya ini menganggukkan kepalanya.Terlihat Diana yang masih berada di tempat tidur. Ia tidak bergerak dan juga tidak bernapas. Tubuhnya sedingin es, dan wajahnya sepucat salju.Ika menatap Iki, “Jadi, apa seorang vampir yang merupakan anggota keluarga utama dapat mendengarkan bunyi detak jantung seorang vampir?”“Aku rasa begitu, Ika,” jawab Iki menjawab pertanyaan kembarannya.“Apa sejak pertama, Kak Diana juga dapat mendengarnya?”“Shhh... Ika!” seru Iki.“Ada apa?” tanya Ika tidak mengerti.“Kita tidak bisa memanggilnya dengan Kak Diana. Itu sangat tidak sopan, Ika.”“Ah... ya... Aku lupa, maaf.”Ika lalu duduk di atas tempat tidur dan menyentuh tangan Diana, “
Kevin mencari keberadaan Pine dan menemukannya. “Pine, apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Kevin.Pine berbalik dan tersenyum, “Hanya berpikir.”Kevin menghela napasnya, “Jangan terus menyalahkan dirimu, ini bukan salahmu,” dan Pine hanya menganggukkan kepalanya.Hap!Dua tangan kecil memeluk erat kaki Kevin dari belakang, “Ayah!”Kevin langsung menggendong anak ini, “Ada apa pangeran? Bukankah pangeran seharusnya bersama Julio?”Dan yang disebut namanya datang dengan tergesa-gesa, “Maafkan saya Yang Mulia, tapi pangeran berlari terlalu cepat!” ujar Julio.Pine mendekat dan menjentikkan jarinya pelan ke kening anak ini, “Regis...”Regis pun mengerutkan bibirnya, “Aku hanya bermain, Ibu. Tapi Julio sudah terlalu tua untuk mengejarku.”Julio memandang Regis dengan wajah tidak percaya, “Apa..
Dalam tidurnya, tangan dan kaki pria ini dirantai ke tempat tidur. Ia bagaikan seorang tawanan. Wajahnya terlihat pucat dan ia memiliki luka yang berada di sekujur tubuhnya.Walaupun begitu, sang kupu-kupu tetap mendekatinya, karena ia dapat mencium harum bunga Lily dari tubuhnya. Bau ini sangat kuat, membuat kupu-kupu mengira bahwa ia baru saja mendarat ke atas bunga.---“Kita harus menghentikan perjanjian ini, Christ. Kembalikan pria itu, aku tidak mau berhubungan dengan Harawaltz, apalagi dengan si pemimpin gila,” jelas Bianca.“Kau takut dengannya?”“Dengan Rai?”Christ menggeleng, “Dengan pria itu?”“Tidak.”“Lalu?”“Aku hanya tidak suka melihat pria itu ada di paviliun, apalagi Ben dan Dominic memperlakukannya bagaikan seorang tawanan.”Christ tersenyum, “Kau terlalu bermurah hati, Bianca. Mereka bisa saja men
Sebuah kastel megah yang berdiri di wilayah timur. Kastel yang terlihat sangat sepi dan hanya ada dijaga oleh beberapa vampir ini merupakan tempat tinggal bagi keluarga utama Klan Waltz serta para pengikutnya.Pada bagian belakang kastel terdapat sebuah paviliun sederhana, namun sangat tertutup. Bangunannya tampak masih kokoh, namun terlihat tidak terawat dengan tumbuhan yang menjalar di tembok, dedaunan di sekeliling bangunannya, dan tidak adanya penghuni kastel yang berkeliaran di sana.Klan Waltz sendiri terkenal sebagai klan yang kejam, memiliki persentase darah murni sebanyak sepuluh persen, dan juga mereka jarang berkomunikasi dengan vampir lainnya tanpa jalur formal dan tanpa adanya kepentingan.Christ Wilson de Waltz adalah nama vampir yang memimpin Klan Waltz. Tidak ada banyak informasi mengenai dirinya, ataupun bagaimana rupanya. Sama seperti klannya, Christ adalah vampir yang tertutup.Sama seperti pemimpinnya, mereka—par
Tiga bulan sudah berlalu. Saat ini, hujan turun dengan lebatnya. Petir menyambar hebat dan menghanguskan pohon mangga kesukaan Diana. Namun, di tengah derasnya hujan, semua orang masih berkumpul di ruang singgasana. Mereka berada di sana karena merasakan sesuatu akan terjadi, termasuk Allan dan Gail.“Kau ada di sini juga?” tanya Gail.“Kastel mendadak kosong, dan aku liat semuanya berkumpul di sini, jadi aku datang. Bagaimana denganmu?” jawab Allan.“Sama sepertimu.”Perlahan, dua vampir yang menempati tempat tidur yang ada di sana membuka matanya. Dengan manik mata yang berwarna merah darah, mereka melihat ke arah langit-langit, mencoba mengumpulkan kesadaran mereka."Pine!!!" seru Kevin langsung memeluk tubuhnya.Pine hanya terdiam, ia lalu terduduk, begitu pun dengan Rai. Mereka masih berusaha beradaptasi dengan hal yang terjadi. Sementara itu, Al berdiri di sebelah Rai dan melihatnya
Sebulan sudah berlalu sejak kejadian yang mengguncang Kastel Haltz terjadi. Rai dan Pine masih berada di tempat tidur yang ada di tengah-tengah ruang singgasana. Semua vampir baik Haltz dan Raltz berkumpul tanpa tahu harus melakukan apa.Walaupun Diana telah memberikan seluruh darahnya untuk mereka, mereka tidak langsung pulih. Butuh waktu untuk mengadaptasi semuanya, terlebih darah yang mereka terima adalah darah vampir yang memiliki kemurnian seratus persen.Tidak ada satu pun vampir yang pernah mengalami kejadian ini. Mereke menunggu tanpa batas waktu dan hanya bisa berharap keadaan bisa lebih baik.Sementara itu, Kevin dan Al setia berada di samping orang yang paling berharga untuk mereka. Kevin berdiri di sebelah tempat tidur Pine, dan Al berdiri di sebelah tempat tidur Rai.Sedangkan Julio berada tidak jauh di sana untuk melindungi tuannya. Allan dan Gail pun masih ada di kastel, meski mereka manusia, tidak ada satu pun vampir
Kevin dan Al langsung terdorong mundur karena atmosfer kuat tiba-tiba menerjang mereka. Sementara itu, para vampir di sana tidak dapat berbuat apapun. Mereka tertahan dan hanya bisa terdiam merunduk.Bersama dengan air mata yang terus mengalir, Diana melukai kedua telapak tangannya secara bergantian. Kemudian ia mengarahkan tetesan darah dari tangannya ke luka di dada Pine dan Rai yang baru saja ia buat.Diana terus saja mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Membuat darah miliknya dengan deras keluar dan jatuh ke luka tersebut. "Jika harus ada yang mati. Maka itu adalah aku," batin Diana berbicara.Vero melihatnya dengan cemas, "Dia akan mati! Yang Mulia akan mati jika terus mengeluarkan darahnya!!!" paniknya.Vero mencoba menghentikannya. Namun sia-sia karena kekuatan Diana tidak membiarkan siapa pun untuk mengganggunya. Diana terus mengepalkan tangannya, membuat setiap darah dalam tubuhnya keluar."Kau melakukann
Dengan rambut yang berantakan, wajah kusam, dan tanpa alas kaki. Diana berjalan mendekati Pine dan Rai berada. Ekspresinya terlihat kosong. Pikirannya terus memutar kejadian-kejadian yang ia lewati bersama mereka. Perlahan air mata membasahi pipinya. Semakin lama semakin deras."Namaku Diana Charlotte, sekarang namamu adalah Dion Charlotte."Kenangan ketika Pine memberikannya nama untuk pertama kali kembali terputar di pikiran Diana, membuatnya langsung jatuh ke lantai. Kenangan ketika Rai mengajaknya untuk menjadi bagian dari hidupnya juga terputar."Hiduplah sekarang dalam duniaku. Jadikan hidupmu menjadi bagian dari hidupku.”Diana sama sekali tidak bisa membendung tangisannya. Ia tertunduk dan menangis dalam diam. Kesedihannya sangat terasa, membuat semua orang yang ada di sana ikut merasakannya.Diana memegangi dadanya. Rasa sesak langsung menyerangnya. "Kenapa ini selalu terjadi? Ini seharusnya tidak terjadi!" serunya d