Pov Author.
Delia menggeliat dengan mata mengerjap. Diliriknya ke samping, lelaki yang membersamainya semalam meneguk indahnya surga, masih terlelap nyenyak dengan memeluk tubuhnya. Dirabanya pelan wajah mulus Ryan dengan senyum terkembang.
'apa karena dia dokter, jadi wajahnya semulus ini,' rutuknya dalam hati. Saat ingin menjauhkan tangannya, ternyata tangannya malah ditarik, membuat Delia tersentak kaget. Ryan membawa tangan Delia ke dadanya.
"Jangan terlalu dipandang, takutnya kamu minta lagi yang malam tadi," ucap Ryan dengan mata terpejam. Refleks wajah Delia memanas mendengar godaan suaminya. Ditariknya paksa, tangan yang masih dicengkeram kuat Ryan.
"Tetap begini, aku ingin seperti ini saja saat ini." Mata Ryan terbuka, menatap penuh cinta ke Delia. "Terima kasih," imbuhnya lagi setelah mendaratkan sebuah kecupan di kenin
POV Mama IraApa impian terbesar seorang ibu untuk anaknya? Bahagia. Seorang ibu ingin anaknya hidup bahagia. Sesimpel itu. Saat anak jatuh sakit, betapa menderitanya kita sebagai ibu. Kalau bisa, biar sakitnya pindah ke kita. Sekhawatir itukah seorang ibu? Jawabnya ya. Sebesar itukah pengorbanan ibu? Iya. Apapun akan dilakukan seorang ibu untuk anaknya.Sama sepertiku. Aku hanya mempunyai satu orang anak, seorang putra. Namanya Ryan. Dengan umurku yang sudah memasuki setengah abad ini, apa lagi impian terbesarku untuknya, kalau bukan melihatnya menikah. Entah apa yang terjadi pada Ryan. Sampai umur hampir mendekati tiga puluhan, dia belum juga mempunyai calon istri untuk dinikahi. Apa yang salah pada dirinya? Ganteng iya, mapan, baik, sangat menghormati perempuan. Kok tahu? Karena aku ibunya. Aku merasakan bagaimana cara dia memperlakukanku. Sangat baik. Perhatian, lembut. Tipe yan
18 tahun kemudian."Yah, bagaimana caranya memanaskan hati cowok yang dingin?" Pertanyaan dari Shanum membuat Mas Ryan menyemburkan kopi yang baru saja diteguknya.Aku yang sedang mengoleskan selai cokelat kesukaan Bian terhenti dan mengarahkan tatapan heran ke Shanum."Kalau dipanaskan, takutnya hatinya gosong, 'kan nggak enak buat dimakan," sahut Mas Ryan bercanda, sembari mengelap meja bekas kopi yang tidak sengaja disemburkannya menggunakan tisu. Sepertinya Mas Ryan mencoba bersikap sesantai mungkin menanggapi pertanyaan Shanum tentang lawan jenis."Yah, Shanum serius." Wajahnya cemberut dengan bibir manyun. Diraihnya segelas susu dan menyesapnya perlahan karena masih panas."Ayah juga serius," tukas Mas Ryan membuatku menggelengkan kepala. Shanum itu adalah versi perempuannya Mas Ry
Aku terkesiap saat menelisik penampilannya. Ada yang berubah dari lelaki ini. Tidak kutemukan lagi kemewahan dari lelaki yang selalu berpakaian parlente dengan gaya necis. Di depanku saat ini hanyalah lelaki biasa, mengenakan kemeja biasa juga dengan tangan yang digulung sampai siku. Tidak ada jam tangan mewah menghiasi pergelangan tangannya. Cuma ada kacamata yang bertengger di pangkal hidung bangirnya. Walaupun sudah menua, lekuk wajahnya masih bisa kukenali dengan baik.Dia masih memandangku dengan sorot mata teduhnya."Maaf, sa--saya pergi dulu." Dengan terbata aku berhasil membalas ucapannya. Walaupun kuyakin bukan ini jawaban yang diharapkannya. Aku berbalik segera pergi berusaha menjauh. Masih sempat kutangkap gerakan bibirnya yang ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi tertahan. Aku tidak peduli, bagiku ia hanyalah masa lalu yang harus kulupakan, dan ditinggalkan
POV HeruApa yang kamu rasakan saat seseorang dari masa lalu datang kembali?Bahagia? Sedih? Kecewa? Atau biasa saja?Jawaban tergantung siapa orangnya. Kalau orangnya adalah orang yang kamu rindukan, pasti jawabannya bahagia.Itulah yang terjadi padaku. Bahagia, seakan dunia hanya ada dia. Bahagia, hingga lupa sesaat pada pasanganku yang berada di rumah. Lupa, kalau sudah mempunyai seseorang, yang telah menggantikan posisinya di hatiku. Bukan menggantikan, karena ternyata tetap namanya yang terpahat di sana.Setelah sekian purnama terlewat, dan saat pertama kali melihat dirinya lagi, rasa cinta yang sudah terkubur dalam untuknya naik kembali. Pelan-pelan menimbulkan desiran aneh di hati, hingga kesulitan untuk menguntai aksara walau hanya sekedar menyapanya. Kembali rasa itu hadir. Apa itu tandanya gagal move on?Delia. Sebuah aksara nama yang masih kuingat sampai belasan tahun lamanya
POV Shanum.Bruk!"Maaf, ya. Nggak sengaja," sesalku ikut berjongkok mengumpulkan buku yang terhambur di lantai koridor sekolah. Kuakui ini kesalahanku yang berjalan tidak melihat ke depan. Mataku fokus ke layar hape, asyik membalas pesan Santi. Hingga tidak kusadari ada si cowok kulkas lewat di depanku dengan membawa tumpukan buku penuh di tangannya"Ini." Sembari menyodorkan satu buah buku terakhir ke arahnya. Aku tersenyum semanis mungkin biar cowok yang dikenal dingin ini tidak marah apalagi memasang wajah juteknya. Kali saja dibalasnya dengan senyuman pula.Diambilnya buku tersebut tanpa membalas senyumku, kedua sudut bibirku refleks melengkung ke bawah. Cowok yang dijulukin pangeran es ini berlalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Menyebalkan.&
Aku tidak suka melihat pemandangan ini. Tanganku mengepal kuat menyaksikan Alan memaksa Fatih melakukan semua perintahnya."Dan, memangnya, awal ceritanya gimana?" tanyaku pada Dani yang ternyata ikut juga datang ke tempat ini."Singkat dan jelas!" selaku, sebelum ia membuka mulut."Sepele. Katanya Fatih berjalan nggak sengaja kesenggol bahu Alan. Terus ya begitulah, sepertinya, masalah sepele ini sengaja diperpanjang Alan. Nggak tahu bagaimana ceritanya, Fatih ditarik kesini gitu sama geng-nya Alan." Sambil berbisik Dani menceritakan kronologi kejadiannya."Alan 'kan iri sama Fatih, saingan merebut hati para gadis," imbuhnya lagi menambahkan."Ckkk." Aku menggelengkan kepala mengetahui alasan Alan si biang onar. Masalah cewek, emang sepenting itu. Dan Fat
"sekarang, masuk ke rumah, dan jangan kemana-mana! Kamu Bunda hukum juga nggak boleh keluar rumah selama tiga hari, sama seperti hukumanmu di sekolah."Aku terperangah mendengar ucapan Bunda."Bun, kok Shanum dihukum juga, hari ini 'kan jadwal Shanum latihan karate," rengekku tidak terima."Nah, itu. Kamu nggak boleh latihan karate atau apapun itu sebelum masa hukumanmu berakhir.""Lo, kok gitu, Bun. Nggak adil. Terus Shanum ngapain di rumah. Bosan, Bun," protesku ke Bunda dengan manja sambil menghentakkan kaki.."Bunda nggak mau tahu. Patuhi Bunda, sebelum Bunda tambahin hukumanmu karena membantah ucapan Bunda. Masuk, dan jangan kemana-mana. Bunda ke butik dulu, ya. Assalammualaikum.""Waalaikumsalam." Dengan
Mataku memicing saat tahu siapa yang datang. Jadi, ayahnya Alan itu temannya Ayah, bukan temannya Bunda? Hm … aku salah duga."Shanum, sini Sayang." Ayah memanggilku.Di sana, sudah ada Ayah dan Bunda. Kaif pun sudah duduk di salah satu sofa di ruang tamu. Dan tamu Ayah yang akan datang itu ternyata keluarganya Alan."Ini kenalkan, teman lama Ayah, Om Yudhatama."Aku mengangguk pelan dengan mengulas senyum tipis, tidak lupa salim santun meraih tangannya."Cantik, seperti ibunya," puji Om Yudha melirik ke arah Bunda. Wajah istri Om Yudha seketika merengut mendengar pujian suaminya untukku.Yaelah, gitu saja cemburu. Ingin sekali kalimat itu kuucapkan ke arahnya. Namun pesan Bunda masih membekas di benak agar t
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada
POV AlanTidak terasa waktu setahun telah terlewati. Masa perkuliahan akhirnya selesai juga. Wisuda sudah kujalani, tinggal pulang saja ke Indonesia. Nilai IPK-ku sangat memuaskan dan berhasil meraih cumlaude. Bahkan sudah ada tawaran kerja di perusahaan asing, tempatku magang dulu. Namun aku ingat pesan Kakek, "kita boleh menuntut ilmu di luar, tapi jangan lupa pulang dan praktekkan ilmu tersebut di negerimu sendiri." Lagipula ilmu tersebut bakalan kugunakan untuk mengembangkan perusahaan Keluarga, sesuai kemauannya.Hubunganku dengan Shanum, baik. Kami selalu berkirim pesan dan kabar agar selalu terjalin komunikasi yang erat. Tidak ada yang ditutupi, apapun itu. Sering bercerita tentang keadaan kampus masing-masing dan apa saja yang dipelajari di sana. Walau terkadang bingung dengan istilah yang terdengar asing di telinga karena perbedaan program studi yang kami ambil."Assalam
POV Shanum"Maaf, saya tidak setuju."Kaget.Ayah?Ada apa dengan Ayah? Kenapa ia tidak setuju?Kutatap wajahnya dengan khawatir. Tidak mungkin Ayah akan membatalkan pertunangan kami. Ayah bersikap biasa saja. Bahkan tidak ada pembicaraan serius di rumah mengenai hal tersebut. Malah Bunda lah yang paling nampak kesulitan menerima Alan sebelum adanya pertemuan dengan Mami Anya."Apa Alan melakukan kesalahan? Atau Delia masih marah dengan Anya?" Tebak Kakek Atma dengan Kening mengernyit. Mencoba mencari tahu.Semua mata menatap bergantian ke arah Bunda dan Mami Anya.Bunda cuma tersenyum tipis dan menggeleng cepat. Begitupun Mami Anya. Mereka saling melempar senyum meski tampak kebingungan di wajah merek
POV AlanSeharian ini aku persis seperti bodyguard. Mengikuti kemana langkah Mami pergi. Dari mengantarkannya bertemu Bunda, hingga pergi ke supermarket bagian perlengkapan kue. Ini untuk pertama kalinya kulihat Mami mengunjungi tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Aneh"Untuk apa Mami masuk ke sini?" Aku bertanya saat Mami memilih benda asing di mataku."Inih," jawabnya seraya menunjukkan salah satu benda berbahan aluminium berbentuk persegi dengan ukuran besar."Untuk?" tanyaku heran."Buat kue." Mami berjalan pelan memperhatikan benda tersusun rapi yang berada di sampingnya."Maksudnya, Mami yang akan membuat kue?" tanyaku tidak percaya.Mami menganggukkan kepala, tapi matanya terfokus pada deretan rak-rak seperti sedang