"Iya, Ma. Ini lagi di jalan mau pulang. Mama dimana?" Ayah lagi menjawab telepon. Dari nada bicaranya itu sepertinya Nenek yang menelepon.
"Iya, nanti Ryan jelaskan di rumah. Waalaikumsalam."
"Mama?" tanya Bunda menyelidik.
Ayah mengangguk. "Iya."
"Pasti Bi Sumi sudah ngadu sama Mama."
"Sepertinya," jawab Ayah lesu. Ibu menengok ke arahku. Kutundukkan wajah tidak ingin bersitatap dengannya.
"Apa yang harus kita jelaskan pada Mama." Bunda membalikkan badannya menghadap Ayah.
"Katakan yang sebenarnya. Mau gimana lagi." Ayah masih fokus ke depan, menyetir.
Kudengar Bunda mengembuskan napas pelan. Pasti ini sangat berat untuknya dan juga Ayah.
Kenapa aku tidak mati saja.
Di sinilah kami berada di rumah keluarga besar Atmanegara. Rumah dengan interior modern klasik yang menambah kesan mewah pada bangunan bergaya eropa. Langit-langit rumah yang menjulang tinggi dihiasi lampu kristal di tengahnya adalah khas rumah tersebut.Kami masuk ke dalam rumah ini disambut pelayan rumah berpakain seragam. Dari pintu utama hingga dituntun menuju ruang tengah, mataku disuguhkan pemandangan yang indah dan menakjubkan. Isi dalam setiap ruangan penuh dengan barang-barang mewah dan mahal. Nenek salah kalau mengatakan keluarga kita sepadan dengan mereka. Jauh, Nek. Rumah mereka seperti istana. Besar sekali. Pantas Ayah bilang sulit untuk menghadapi keluarga Om Yudha karena dari rumah yang sangat besar ini biasanya menyimpan kekuatan yang besar pula di dalamnya.Kami diminta duduk dan menunggu sebentar. Hampir beberapa menit duduk di kursi besar ini baru nampak penghuni rumahnya. Om Yudha, Tante Anya d
Ma, apa itu tidak berlebihan dengan memberikan Alan tantangan?"Ayah membuka percakapan saat di dalam mobil menuju pulang. Ia menoleh sebentar ke kursi belakang ke arah Nenek, dan aku mendengar dengan seksama."Mas Ryan benar, Ma. Urusan Shanum yang telah terselesaikan sudah sangat melegakan, Ma. Itu lebih dari cukup. Delia takut Alan melakukannya hanya demi memenuhi tantangan, bukan dari hati. Lalu setelah berhasil, maka dia akan kembali ke sifatnya semula." Bunda ikut menimpali ucapan Ayah. Aku setuju dengan pendapat Ayah dan Bunda. Mereka benar. Harusnya Nenek tidak perlu setuju dengan permintaan ataupun syarat yang diberikan kakeknya Alan. Ini seperti menambah masalah di hidupku. Jadi semakin rumit. Bagaimana kalau Alan berhasil, apa mungkin aku akan menikah dengannya? Oh, tidak! Membayangkannya saja aku tidak ingin apalagi kejadian. Namun kalau ditolak juga sangat tidak mungkin, kartu As-ku di tangan kakek tu
"Apa!"Kaif terkejut mendengar cerita Ayah tentang situasi di rumah Alan hingga masalah syarat yang diajukan kakeknya Alan ataupun dari Nenek."Gila, Kaif nggak ngerti kenapa ada orang bisa berbuat selicik dan sehina itu demi uang? Nggak punya hati dia," tukasnya dengan ekspresi yang berlebihan. Kesal, tapi aku suka lihatnya. Itu tandanya ia peduli."Namanya juga kepepet, If. Bisa aja. Iya kan Num, Santi bilang butuh uang. Memangnya dia pernah cerita kalau kesulitan uang?" Ibu bertanya padaku. Kujawab dengan gelengan kepala.Seingatku Santi tidak pernah cerita kalau lagi dalam masa sulit. Sejauh ini dia selalu ceria dan tidak seperti orang yang ada masalah."Kok Nenek setuju sih sama syarat itu? Yang rugi kan Kak Shanum, malah tambah sulit dong dibuatnya." Kaif masih antusias berujar mengemukakan pendapat
Tidak terasa air mata mengalir seiring membaca pesan dari Santi. Aku menangis karena tidak peka pada perasaannya. Setiap hari selalu Fatih yang kuceritakan padanya. Sampai akhirnya aku memang menjalin hubungan dengan Fatih, Santi lah tempatku curhat. Kukira senyum yang ia ukir di bibir adalah senyum kebahagiaan atas bahagiaku, ternyata salah. Aku tidak marah pada perbuatannya. Mungkin itu akibat kebenciannya padaku. Aku marah atas diamnya akan perasaan yang ia pendam untuk orang yang sama. Setidaknya, kalau ia cerita, aku bisa mencegah rasaku pada Fatih.Santi benar. Ini adalah chat terpanjangnya untukku. Mencoba menghubunginya, tapi gagal. Nomornya tidak dapat dihubungi, mati.Sekarang aku beralih ke pesan dari Fatih.[Num, kamu serius ingin hubungan kita berakhir?][Num, kenapa pesanku belum kamu baca?][Num,
Aku mulai bergelut dengan kesibukan belajar di sekolah. Hubunganku dengan Fatih memburuk, kami hampir tidak pernah saling sapa. Kalaupun harus terlibat dalam satu kelompok, biasanya aku bersikap sewajarnya, begitupun dia. Kami membahas apa yang ada hubungannya dengan pelajaran saja. Selain itu, diam adalah jalan terakhir kami kalau tidak ada lagi yang dibahas. Teman-teman satu kelas banyak yang bertanya kenapa dan ada apa melihat sikap kami yang jauh berbeda dari sebelumnya. Dari yang dekat lalu menjauh."Tidak apa, kami baik-baik saja," jawabku singkat setiap kali ditanya teman.Entah kalau Fatih, aku kurang tahu tanggapannya. Ia masih sama seperti dulu, bersikap dingin. Lebih dingin lagi denganku. Tidak ada sekalipun dia bertanya padaku tentang kejelasan hubungan kami. Mungkin memang benar sudah selesai.***"Eh."&nbs
"Num, kita harus bicara." Aku tersentak kaget saat sebuah tangan meraihku dan memaksaku mengikutinya.Ia menggiringku ke sebuah tempat sepi dekat mushola sekolah. Pagi ini, anak-anak belum banyak yang datang karena masih terlalu pagi. Aku sengaja minta diantar Ayah lebih pagi karena kena giliran piket kelas. Walaupun sekolah ini tergolong elit, tapi tetap diajarkan untuk membersihkan ruang kelasnya masing-masing karena itu adalah tanggung jawab kami dan sebagai bentuk pengembangan diri agar lebih bertanggung jawab dan sadar kebersihan."Fatih, sakit," keluhku, mencoba melepaskan genggaman erat tangannya.Sadar dengan apa yang kuucapkan, ia segera melepas tangannya."Maaf." Ia berujar sembari ingin mengusap lenganku tapi kutepis. Aku sedikit mundur menjauhinya."Kamu berubah." Tarikan sebelah
Sebuah mobil datang dan berhenti di depan kami. Kaca mobilnya diturunkan dan terlihat wajah Mang Diman--sopir kami menyembul di sana."Pulanglah, Num. Biar aku yang menemui Kakek," ujar Alan membuatku bimbang. Lelaki tersebut bertindak gentleman untukku."Ayo, Kak," ajak Kaif menarik lenganku. Aku masih terdiam terpaku. Bingung harus berbuat apa."Den, jangan lakukan ini, saya takut tuan besar, marah." Lelaki berjas hitam itu bicara lembut pada Alan dan sedikit menunduk.Langkah kakiku yang akan masuk ke dalam mobil terhenti saat mendengar ucapan tangan kanan kakeknya Alan. Kasihan. Mungkin dia hanya menjalankan tugas, kalau kutolak, pasti berimbas padanya."If, pulanglah! Kalau Bunda tanya, bilang saja yang sejujurnya kalau aku bersama kakeknya Alan sebentar. Nggak akan lama, kok. Bunda pasti izinin."&
Anak kecil? Apa menurutnya aku sudah dewasa? Umurku kan tidak beda jauh dari Kaif. Katanya ingin berdua saja denganku, tapi Alan diizinkannya ikut."Hahaha …." Kakek Atma tergelak lagi."Kamu sudah Kakek anggap dewasa karena akan menjadi anggota baru di keluarga Atmanegara." Aku terkesiap mendengarnya.Ya Tuhan, apa Kakeknya Alan ini seorang cenayang? Dia selalu bisa menebak isi hatiku. Mirip seperti Nenek.Mobil berhenti di sebuah restoran mewah. Sebenarnya aku agak ragu karena pakaianku yang masih mengenakan seragam sekolah. Sedangkan di dalam nampak orang-orang berpakaian rapi dan ber-jas. Aneh saja anak SMA nongkrong di restoran mewah. Biasanya kan cuma mampir sekelas cafe, bukan restoran mewah begini. Namun ada kelegaan karena Alan pun mengenakan pakaian yang sama sepertiku. Ada temannya. Orang tidak akan berpikir macam-m
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada
POV AlanTidak terasa waktu setahun telah terlewati. Masa perkuliahan akhirnya selesai juga. Wisuda sudah kujalani, tinggal pulang saja ke Indonesia. Nilai IPK-ku sangat memuaskan dan berhasil meraih cumlaude. Bahkan sudah ada tawaran kerja di perusahaan asing, tempatku magang dulu. Namun aku ingat pesan Kakek, "kita boleh menuntut ilmu di luar, tapi jangan lupa pulang dan praktekkan ilmu tersebut di negerimu sendiri." Lagipula ilmu tersebut bakalan kugunakan untuk mengembangkan perusahaan Keluarga, sesuai kemauannya.Hubunganku dengan Shanum, baik. Kami selalu berkirim pesan dan kabar agar selalu terjalin komunikasi yang erat. Tidak ada yang ditutupi, apapun itu. Sering bercerita tentang keadaan kampus masing-masing dan apa saja yang dipelajari di sana. Walau terkadang bingung dengan istilah yang terdengar asing di telinga karena perbedaan program studi yang kami ambil."Assalam
POV Shanum"Maaf, saya tidak setuju."Kaget.Ayah?Ada apa dengan Ayah? Kenapa ia tidak setuju?Kutatap wajahnya dengan khawatir. Tidak mungkin Ayah akan membatalkan pertunangan kami. Ayah bersikap biasa saja. Bahkan tidak ada pembicaraan serius di rumah mengenai hal tersebut. Malah Bunda lah yang paling nampak kesulitan menerima Alan sebelum adanya pertemuan dengan Mami Anya."Apa Alan melakukan kesalahan? Atau Delia masih marah dengan Anya?" Tebak Kakek Atma dengan Kening mengernyit. Mencoba mencari tahu.Semua mata menatap bergantian ke arah Bunda dan Mami Anya.Bunda cuma tersenyum tipis dan menggeleng cepat. Begitupun Mami Anya. Mereka saling melempar senyum meski tampak kebingungan di wajah merek
POV AlanSeharian ini aku persis seperti bodyguard. Mengikuti kemana langkah Mami pergi. Dari mengantarkannya bertemu Bunda, hingga pergi ke supermarket bagian perlengkapan kue. Ini untuk pertama kalinya kulihat Mami mengunjungi tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Aneh"Untuk apa Mami masuk ke sini?" Aku bertanya saat Mami memilih benda asing di mataku."Inih," jawabnya seraya menunjukkan salah satu benda berbahan aluminium berbentuk persegi dengan ukuran besar."Untuk?" tanyaku heran."Buat kue." Mami berjalan pelan memperhatikan benda tersusun rapi yang berada di sampingnya."Maksudnya, Mami yang akan membuat kue?" tanyaku tidak percaya.Mami menganggukkan kepala, tapi matanya terfokus pada deretan rak-rak seperti sedang