Anak kecil? Apa menurutnya aku sudah dewasa? Umurku kan tidak beda jauh dari Kaif. Katanya ingin berdua saja denganku, tapi Alan diizinkannya ikut.
"Hahaha …." Kakek Atma tergelak lagi.
"Kamu sudah Kakek anggap dewasa karena akan menjadi anggota baru di keluarga Atmanegara." Aku terkesiap mendengarnya.
Ya Tuhan, apa Kakeknya Alan ini seorang cenayang? Dia selalu bisa menebak isi hatiku. Mirip seperti Nenek.
Mobil berhenti di sebuah restoran mewah. Sebenarnya aku agak ragu karena pakaianku yang masih mengenakan seragam sekolah. Sedangkan di dalam nampak orang-orang berpakaian rapi dan ber-jas. Aneh saja anak SMA nongkrong di restoran mewah. Biasanya kan cuma mampir sekelas cafe, bukan restoran mewah begini. Namun ada kelegaan karena Alan pun mengenakan pakaian yang sama sepertiku. Ada temannya. Orang tidak akan berpikir macam-m
"Alan itu sebenarnya anak baik, sayang saja ibunya terlalu memanjakan dan membelanya. Bisa dibilang salah asuh."Kakek Atma menatapku saat mengatakan hal tersebut. Kali ini tatapannya teduh layaknya seorang kakek yang sedang bicara pada cucunya."Sepertinya Kakek kurang suka dengan ibunya Alan, kenapa mengizinkan mereka menikah?" Sebuah pertanyaan berani terlontar dari mulut seorang bocah SMA sepertiku.Aku penasaran karena hubungan keduanya tidak terlihat baik."Kentara sekali ya kalau Kakek tidak menyukai Anya?" Ia tersenyum saat bertanya padaku.Kuanggukkan kepala tanda setuju.Kakek membuang napas kasar. "Terpaksa, karena MBA," jawabnya ketus.Keningku berkerut. "MBA?" ulangku. Apakah MBA yang dimaksud Kakek ini adalah kebablasan? M
"Bunda kira kamu nggak sekolah hari ini."Aku yang baru masuk ke ruang makan sudah dicerca Bunda dengan sebuah pertanyaan.Ayah dan Kaif Memandangku tanpa suara. Tatapan mereka menyelidik mengisyaratkan sesuatu. Aku pun duduk dalam diam.Sejak kemarin aku memang mengurung diri di kamar. Ayah-Bunda memang ada mengetuk pintu dan menemuiku secara bergantian. Mereka mempertanyakan bagaimana kondisiku pasca kehebohan di ruang grup chat sekolah. Pasti Kaif yang cerita karena kami satu sekolah, tentu berita viral tentangku diketahuinya dengan baik, dan mungkin dia ikut terkena imbasnya. Siapa yang tidak mengenal kami, semua orang di lingkungan sekolah tahu kalau kami adalah kakak beradik."Kalau Shanum tidak masuk sekolah, artinya Shanum membenarkan gosip tersebut, Bun," jawabku sembari tangan mengambil sepotong roti yang sudah dioleskan selai cokelat oleh Bunda.&nb
"Hehehe … itu bukan untukku, itu harapan teman-teman cowok barisan pemuja Shanum. Mereka banyak yang patah hati mendengar gosip yang saat ini beredar. Kemarin saja melihat Shanum dekat dengan Fatih, pada patah hati semua. Parahnya ada yang sampai samperin kamu kan Tih?" Dani melempar pertanyaan ke arah Fatih. Lelaki yang masih tampak sibuk dengan laptopnya hanya melirik sekilas ke arah kami lalu fokus kembali ke depan layar persegi empat yang sedang menyala."Kenapa sih Tih, Lo dingin amat jadi cowok. Pantes Shanum menyerah jadi pacar Lo."Fatih mendongak menatap Dilla yang telah menyindirnya."Siapa bilang kami pacaran? Kami tidak pernah pacaran. Cuma dekat karena waktu itu terlibat kerja kelompok bersama. Shanum itu walaupun cantik di mata cowok lain, sayangnya bukan tipeku. Jadi, Dil, berhenti menyangkut-pautkan antara Shanum denganku. Jengah, lama-lama biki
Kudengar ponselku berdering satu kali. Itu tanda ada pesan masuk dari aplikasi berlogo hijau.Kuperhatikan anak-anak yang lain juga membuka ponsel tepat pada jam belajar usai."Num, udah baca?" Sita yang duduk di sampingku bertanya sembari matanya menyorot ke ponsel yang berada di tangan.Aku yang sibuk merapikan buku dan menutup laptop menggelengkan kepala dengan menjawab belum."Baca gih, kepsek ngasih pemberitahuan."Mendengarnya keningku berkerut, tapi segera jemariku menggulir layar depan berbentuk pipih yang sedang menyala.Aku tercengang saat membacanya. Bu kepsek meminta kami semua berhenti membahas berita yang sedang heboh saat ini, dan kuyakini itu berita tentangku. Kudongakkan kepala mengedarkan pandangan ke penjuru kelas, ternyata teman-teman menatapku. Berla
"Kenapa Num? Kok bengong gitu. Tatapannya ke arah depan lagi. Hm … pasti lagi mikirin Alan ya? Aku kok penasaran. Kamu beneran tidak punya hubungan apa-apa sama Alan? Sekarang dia berubah Lo, bikin pangling dan bikin kesemsem." Sita mengedipkan sebelah matanya padaku.Tersadar dari lamunan, mataku mengitari sisi ruangan musholla ini. Tertinggal kami bertiga yang masih bertahan di shaf perempuan sambil merapikan mukena masing-masing. Di depan ada Alan, dan lima orang lainnya. Penampakan di shaf laki-laki dapat terlihat dari arah kami berada, karena hanya ditutupi kain gorden putih yang transparan. "Nggak ada, tapi … ada sih pembicaraan mengarah ke situ. Cuma ya gitu deh. Masih dipertimbangkan sama keluarga." Aku berujar jujur karena tidak ingin dianggap munafik oleh dua sahabatku. Sampai detik ini aku masih menganggap mereka teman yang baik. Kupikir tidak ada salahnya sedikit jujur, membuka tabir yang masih dicari banyak orang tentang
Awalnya suasana hening hingga Kakek Atma Berdeham sekali membuat kami serempak menatap ke arahnya. "Semua sudah berkumpul, jadi langsung saja kita ke pembahasan utama." Kakek membuka pembicaraan. Ia duduk dengan tongkat yang berdiri tegak menyangga tangannya.Aku memperhatikan pemuda di sebelah Kakek. Ia yang awalnya fokus dengan benda pipih berlogo apel digigit itu segera memasukkan benda tersebut ke dalam saku celana dan duduk tegak dengan senyum terkembang. Sepertinya, orang ini baik dan murah senyum, karena sedari tadi dia tidak berhenti melempar senyum ke arah kami yang duduk di seberangnya. Kenapa Kakek tidak memperkenalkan pemuda itu? Aku penasaran siapa dia? Garis wajahnya tidak jauh beda dari Alan."Oh, ya. Hampir lupa. Kenalkan, yang duduk di sampingku ini namanya Yudhistira. Cucuku dari Bintang--kakaknya Yudha. Yudhis baru kembali dari luar negeri dan rencananya mau menetap di sini," jelas Kakek m
"Bismillah." Samar kudengar Alan mengucapkan kalimat basmallah. Lalu mengambil napas dan kemudian membuangnya pelan."Jujur, awalnya berambisi karena ingin memenangkan tantangan ini, tapi dari awal pertama mencoba, saya kesulitan. Ternyata sangat berat karena diawali niat yang kurang tepat. Kalau di sekolah saya tampak baik dan rajin shalat, bahkan sampai pergi ke mushola itu karena pencitraan saja, maaf." Aku terkejut, begitupun yang lainnya setelah mendengar pengakuan jujur Alan. Namun kami masih diam, membiarkannya melanjutkan."Waktu itu saya hanya ingin menunjukkan di hadapan Shanum dan teman-teman kalau saya bisa berubah, dan mampu." Sejenak netranya menatapku. "Namun kemudian saya sadar, apa yang saya lakukan itu salah. Banyak yang menyukai saya berubah menjadi orang baik padahal cuma pura-pura. Itu malah menjadi beban." Ia tersenyum samar saat menceritakannya. Aku hanya menatapnya sekilas, dan
"Itu karena Alan tidak ingin membuat Shanum terbebani dengan menjadi istriku, Kek." Alan melirikku sekilas."Alan ingin menikah dengan cewek yang benar-benar tulus mencintai Alan bukan karena keterpaksaan. Sedangkan Shanum …, dia terpaksa mau dinikahi karena tantangan ini. Jadi Alan mohon, batalkan perjodohan ini," lanjutnya membuatku terkesiap tidak bisa berkata apapun lagi. Aku tidak menyangka Alan bakal berkata seperti ini dan menentang keinginan kakeknya."Soal ini Mami setuju dengan Alan. Kita Batalkan saja perjodohan dan perjanjian yang aneh ini. Lagi pula Alan kan sudah menang, jadi nggak malu-maluin, justru merekalah yang harus malu. Sok ngasih tantangan eh dilibas habis sama Alan, malu kan jadinya.""Cukup, Anya! Bisakah diam bila tidak diajak bicara! Dari tadi kamu ikut nyerocos saja." Nada bicara Kakek meninggi. Tampak gurat kemarahan di wajah tuanya
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada
POV AlanTidak terasa waktu setahun telah terlewati. Masa perkuliahan akhirnya selesai juga. Wisuda sudah kujalani, tinggal pulang saja ke Indonesia. Nilai IPK-ku sangat memuaskan dan berhasil meraih cumlaude. Bahkan sudah ada tawaran kerja di perusahaan asing, tempatku magang dulu. Namun aku ingat pesan Kakek, "kita boleh menuntut ilmu di luar, tapi jangan lupa pulang dan praktekkan ilmu tersebut di negerimu sendiri." Lagipula ilmu tersebut bakalan kugunakan untuk mengembangkan perusahaan Keluarga, sesuai kemauannya.Hubunganku dengan Shanum, baik. Kami selalu berkirim pesan dan kabar agar selalu terjalin komunikasi yang erat. Tidak ada yang ditutupi, apapun itu. Sering bercerita tentang keadaan kampus masing-masing dan apa saja yang dipelajari di sana. Walau terkadang bingung dengan istilah yang terdengar asing di telinga karena perbedaan program studi yang kami ambil."Assalam
POV Shanum"Maaf, saya tidak setuju."Kaget.Ayah?Ada apa dengan Ayah? Kenapa ia tidak setuju?Kutatap wajahnya dengan khawatir. Tidak mungkin Ayah akan membatalkan pertunangan kami. Ayah bersikap biasa saja. Bahkan tidak ada pembicaraan serius di rumah mengenai hal tersebut. Malah Bunda lah yang paling nampak kesulitan menerima Alan sebelum adanya pertemuan dengan Mami Anya."Apa Alan melakukan kesalahan? Atau Delia masih marah dengan Anya?" Tebak Kakek Atma dengan Kening mengernyit. Mencoba mencari tahu.Semua mata menatap bergantian ke arah Bunda dan Mami Anya.Bunda cuma tersenyum tipis dan menggeleng cepat. Begitupun Mami Anya. Mereka saling melempar senyum meski tampak kebingungan di wajah merek
POV AlanSeharian ini aku persis seperti bodyguard. Mengikuti kemana langkah Mami pergi. Dari mengantarkannya bertemu Bunda, hingga pergi ke supermarket bagian perlengkapan kue. Ini untuk pertama kalinya kulihat Mami mengunjungi tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Aneh"Untuk apa Mami masuk ke sini?" Aku bertanya saat Mami memilih benda asing di mataku."Inih," jawabnya seraya menunjukkan salah satu benda berbahan aluminium berbentuk persegi dengan ukuran besar."Untuk?" tanyaku heran."Buat kue." Mami berjalan pelan memperhatikan benda tersusun rapi yang berada di sampingnya."Maksudnya, Mami yang akan membuat kue?" tanyaku tidak percaya.Mami menganggukkan kepala, tapi matanya terfokus pada deretan rak-rak seperti sedang