Pov Alan
Aku bergegas keluar dari apartemen menuju kampus. Ada orang yang harus kutemui sekarang juga, dia punya utang penjelasan. Elisa.
Tiba di kampus netraku mengitari seluruh sisi kampus mencari sosok cewek yang sudah membuat kegaduhan dalam hubunganku dengan Shanum.
"Hai bro, ada apa?" Bryan menyapaku.
"Kamu lihat Elis?"
"Tidak?" jawabnya dengan menggeleng.
"Why?"
"Nggak papa' kok. Kalau lihat dia, hubungi aku, ya."
"Sip," balasnya dengan mengangkat satu jempol. Raut wajahnya menyiratkan keheranan. Namun sekarang bukan saatnya untuk menjelaskan.
Permasalahan yang kuhadapi ini serius, kalau tidak diselesaikan dengan cepat dapat mengancam hubunganku dengan Shanum, dan di
POV Shanum"Num, kamu kenapa? Wajahnya masam gitu?" Aku hanya menggelengkan kepala sembari menyunggingkan senyum.Bunda masih menatapku lekat seolah tidak percaya dengan respon yang kuberikan"Nggak kenapa, Bun. Sumpek aja, bete tugas dari dosen banyak. Mintanya referensi buku yang ada di perpus. Capek, Shanum harus bolak-balik ke perpus buat nyari bukunya," jelasku agar Bunda tidak curiga. Sepertinya wajahku tidak bisa berbohong. Bunda tahu keadaan anaknya kalau sedang tidak baik.Bukan fisik yang tidak baik, tapi hati. Mungkin ini yang ditakutkan Ayah saat anaknya menjalin hubungan intens dengan lawan jenis. Hati tak karuan rasa. Belum juga setahun, sudah banyak rintangan yang menghadang hubungan kami. Bisakah hubungan melangkah sampai ke pelaminan? Fakta calon suami mantan badboy, selalu mengundang rasa curigaku padanya. Ditambah teror dari s
Ada yang aneh. Apa maksudnya dengan tidak ada di tempat? Apa semua penghuni rumah ini sudah pergi? Kemana perginya mereka sepagi ini?"Kakek Atma tidak ada? Om Yudha dan Tante Anya juga tidak ada?" tanyaku masih di balik pagar yang tertutup. Aku dibiarkannya berdiri di luar pagar tidak diizinkannya masuk."Iya, mereka tidak ada di tempat. Ada pesan dan sama Mbak siapa?" ulangnya lagi karena aku belum memperkenalkan diri."Saya Shanum, kalau begitu siapa yang berada di dalam? Apakah …." Aku terjeda mencoba mengingat nama seseorang."Wawan, apa Pak Wawan ada di rumah?" Kalau ada saya perlu bicara dengannya," pintaku.Sekuriti dengan tag nama Didin di depan dadanya menggeleng. "Pak Wawan tidak ada juga. Kalau boleh tahu ada hubungan siapa Mbak dengan orang rumah? Kalau ada pesan katakan
POV Alan.Lelah rasanya menjelaskan tapi tidak dipercaya. Para petinggi kampus mencercaku dengan banyak pertanyaan, tapi tidak ada satupun yang mempercayaiku. Di sini juga ada Elisa dan Cheng. laki-laki berwajah oriental itu memandang sinis ke arahku. Dia bahkan lebih mempercayai wanita bermulut iblis itu daripada aku yang selalu membantunya mendekati wanita tersebut. Apa dia tidak bisa berpikir logis, untuk apa aku ingin memperkosa Elisa kalau aku sendiri malah mendekatkan mereka? Benar kata orang kalau cinta itu memang buta, seharusnya dari awal aku menjauhi Elisa yang selalu bersikap agresif padaku. Kukira memang sudah begitu caranya berinteraksi, ternyata itu hanya berlaku padaku saja.Mataku fokus ke Elisa. Dia selalu tersenyum jahat kala mencuri tatap padaku tanpa disadari mereka. Seharusnya kurekam atau kufoto saja wajah iblisnya itu. Sayangnya nanti malah aku yang kena getahnya. Bahkan
Cheng berusaha menenangkan emosi Elisa. "Saya harap keputusan yang kalian ambil nanti benar, berikan keadilan untuk temanku ini. Kasihan dia, kalian bisa lihat sendiri bagaimana keadaannya sekarang." Semua serempak memindai keadaan Elisa. Satu kata, menyedihkan. Meskipun kutahu itu sandiwara tapi mereka lebih bersimpati padanya dengan mengejek dan menghujatku."Percayalah pada kami dan kamu Alan, untuk sementara ini tidak diizinkan pulang dari kampus sebelum masalah ini berhasil diselesaikan. Tunggulah keputusan dari kami.""Maksudnya?""Kamu, kami tahan sebentar di sini agar tidak kabur atau melarikan diri. Ini lebih baik daripada penjara sungguhan."Dengan pasrah kuanggukkan kepala. Mau bagaimana lagi. Mau menolak juga tidak mungkin. Lalu setelahnya mereka saling berbisik tanpa dapat kudengar, aku digiring oleh salah satu dosen untuk mengikuti langkah
POV Alan.Aku dituntun kembali ke kantor rektorat untuk menerima keputusan. Sepanjang jalan menuju ke sana, banyak mahasiswa memandang sinis padaku, terutama dari kaum hawa. Mereka tentu lebih mendukung Elisa ketimbang aku yang tertuduh dalam kasus ini.Kaget. Itu yang kurasakan saat pertama kali memasuki ruangan ini untuk kesekian kalinya. Di sana sudah banyak orang. Ada keluargaku dan mahasiswa lainnya yang ikut menyaksikan, itu artinya sidang putusan kali ini dibuka secara umum."Alan-ku sayang," seru Mami sembari memelukku erat."Uh …, anakku. Kamu sudah makan?" Kuanggukkan kepala mengiyakan. "Tidurnya gimana, nyenyak? Wajahmu kenapa? Mereka memukul kamu, Lan? Mami nggak rela anak mami diperlakukan kejam seperti ini." Beruntun Mami bertanya dengan muka sendu, dan berprasangka sendiri tentang keadaanku sekarang.
"Sayang …!" Mami merangsek memelukku lagi."Sudah kuduga kalau anakku cuma dijebak, dasar perempuan sundal!"Perempuan yang diumpat Mami itu sudah tidak ada di ruangan ini, dia sudah pergi."Mi," tegur Papi yang sudah berdiri di samping Mami."Sudah, sekarang kita pulang ke apartemen kamu." Kakek datang dan langsung memberi perintah. Wajahnya datar, pasti sangat marah padaku.Pihak kampus mengizinkanku pulang karena terbukti tidak bersalah.***"Kek, Pi, Mi. Makasih kalian susah repot datang kemari." Kuletakkan empat buah cangkir berisi kopi diatas meja di ruang tengah ke hadapan mereka.Sekarang kami sudah berada di apartemenku. Duduk bersantai sambil menikmati secangkir kopi
POV Shanum "Halo?" Suara di ujung telepon masih memanggilku. Kututup mulut untuk meredam suara rintihan tangis yang tetiba menyerang. Aku tak bisa, aku tak kuasa hingga suara sedu sedan akhirnya terdengar sampai ke seberang sana. "Shanum? Kamu nangis?" Ada kepanikan dari nada suaranya. Kumatikan segera telepon tersebut dan merangsek ke pelukan Ayah. Dadaku sesak menghimpit. Seseorang yang telah lama kurindukan akhirnya muncul walau hanya lewat telepon. "Tenang, tarik napas, hembuskan," ucap Ayah memberi saran untukku. Dielusnya punggung belakang dengan lembut. Tangisku malah semakin pecah. "Num, masih mau bicara?" tanya Nenek dengan memperlihatkan layar menyala, panggilan video dari nomor yang sama. Aku yang masih sesegukan menganggukkan kepala.  
POV ShanumAku berjalan pelan mendekati meja Tante Anya--maminya Alan."Ehem."Permisi, assalamualaikum," sapaku dengan lebih keras setelah suara dehaman yang barusan tidak membuat mereka melirik ke arahku.Ibu-ibu yang berjumlah empat orang ditambah satu sang permaisuri--maminya alan itu serempak menoleh ke arahku, sang sumber suara. Mereka juga serempak menghentikan tawa dan obrolan mereka. Menelisik penampilanku dari atas ke bawah. Mereka juga kompak mengamatiku dengan mata yang menyipit. Saat diperhatikan begitu dan menjadi pusat perhatian, maka tegakkan badan dan jangan menunduk agar orang yang ingin meremehkan diri kita tidak semena-mena. Beri senyum yang ramah untuk memberi kesan yang baik. Itu adalah petuah yang diajarkan Nenek."Oh, kamu sudah datang?""Iya, Tan
Cup! Sebuah ciuman mendarat di bibir ranum Shanum kala ia selesai berbincang puas bersama keluarga. Mata Alan mengerling menggoda dengan menaik turunkan alisnya setelah berhasil membuat istrinya tersebut melotot tajam. "Masih sore, papinya baby A." Shanum mencubit hidung menukik tajam miliknya Alan dengan terkekeh kecil. Mereka memang sudah memberi inisial huruf untuk nama anaknya kelak dengan awalan huruf A untuk mempermudah memanggilnya saat ini, meskipun sudah ada beberapa pilihan nama lengkap yang sudah dipersiapkan oleh mereka berdua. "Nggak papa. Kan di rumah cuma kita berdua. Ingat kata dokter, paling bagus begituannya sesering mungkin di bulan mendekati HPL ini, biar mempermudah jalan lahir baby A nanti." Alan beralasan untuk memuluskan kehendaknya. Bayangan Shanum yang hanya mengenakan handuk barusan tadi masih membekas di benaknya hingga memunculkan kembali hasrat kelelakiany
"Masih mencintainya?" Lagi Hanum bertanya setelah melihat Fatih hanya diam tidak menjawab pertanyaan sebelumnya."Tidak. Jangan tanyakan dia. Sekarang fokus ke hidup kita. Jangan merusak kebahagian kita dengan bertanya tentang orang lain. Wanita itu hanya masa lalu. Tidak ada hubungan apapun lagi denganku. Kita juga sudah mempunyai pasangan masing-masing. Soal aku yang mungkin pernah menyebut namanya saat tidur, akupun tidak menyadarinya tapi bukan menjadikan itu alasanku masih mencintainya." Fatih mencoba menyangkal dan memberi pengertian."Benarkah? Tapi kenapa rasanya aku sakit ya setelah melihat wanita itu secara langsung." Hanum melirik Fatih sekilas, lalu memalingkan muka kembali menghadap jendela kaca mobil."Please … Num, jangan dimulai.""Justru itu, aku mau menyelesaikan semuanya sekarang. Aku ingin kejelasan apa kamu mencintaik
Hingga sampailah Heru di sebuah tempat yang sebenarnya tidak begitu layak disebut rumah."Heru?!" Seorang wanita paruh baya berjalan tertatih mendekati Heru dengan cepat. Raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan dengan matanya yang membulat sempurna tatkala mendapati sosok yang dikenalnya dulu datang ke rumah kecilnya.Heru mengaku sebagai teman dari wanita yang diduganya adalah Lastri agar bisa mampir ke rumah remaja tersebut. Tak disangka yang ia temui adalah orang dari masa lalunya."Bu." Heru mendekat ingin mencium takzim tangan wanita sepuh itu, tapi ditepis kasar."Darimana kamu tahu rumah kami?" Matanya melotot tajam ke arah Heru saat bertanya. Sekarang Heru yakin kalau wanita yang ia kira Lastri itu benar dia orangnya dan wanita tua yang memandang sinis ini adalah mantan mertuanya. 
"Jadi dia yang namanya Shanum." Fatih tertegun seraya melirik Hanum yang membuka obrolan dalam perjalanan pulang ke hotel. Wanita yang garis wajahnya tidak beda jauh dari Shanum itu tidak berani menatap ke arah suaminya saat bertanya.Fatih hanya mengangguk pelan tanpa ingin bersuara. Bibirnya terkatup rapat malas untuk membahas nama yang sedang dipertanyakan isterinya tersebut."Cantik. Pantas masih Mas panggil di tiap tidur Mas." Fatih mendesah berat mendengar sindiran halus dari Hanum. Jujur hatinya merasa tak enak karena kedapatan sering menyebut nama wanita lain saat tidur.Shanum. Nama itu begitu membekas di hati Fatih. Bahkan setelah melewati beberapa purnama, nama itu masih bertahta kuat di hatinya. Baginya, wanita itu adalah cinta pertama yang sulit dilupakan. Kalau bukan karena permintaan ayah sambungnya, mungkin dia akan tetap memperjuangkan wanita itu agar tetap
POV authorAlan memutuskan kembali ke Inggris dengan memboyong Shanum ikut dengannya ke sana. Melanjutkan kuliah mengambil S2 dengan jangka waktu setahun. Ini dilakukan untuk mengoptimalkan kinerja kerjanya nanti saat memasuki perusahaan Keluarga Atmanegara. Shanum pun demikian, ikut mengambil S2 juga memanfaatkan momentum yang ada. Ia pikir daripada berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Alan, kenapa tidak ikut menimba ilmu untuk meningkatkan kualitas ilmu yang sudah diperoleh sebelumnya. Alan pun mendukung keinginannya. Keluarga juga merestui. Mereka akhirnya memutuskan pergi setelah melengkapi segala berkas dan keperluan di sana. Kakek sudah membeli lagi satu apartemen baru untuk mereka tinggali. Yang pasti lebih besar dari apartemen Alan sebelumnya.***"Alhamdulillah, sebentar lagi kita bakal punya cucu," ucap Anya melirik Delia membuka obrolan. Tiga wanita berkumpu
POV ShanumCantik. Satu kata untuk kamar pengantin yang telah dipersiapkan untuk kami di salah satu kamar hotel berbintang lima.Taburan kelopak bunga mawar dibentuk menyerupai hati menghiasi atas tempat tidur yang didominasi warna putih. Harum semerbak menguar dari lilin beraroma terapi. Ada juga lilin-lilin kecil yang sengaja diletakkan di berbagai sudut kamar untuk menambah suasana semakin romantis."Suka?" Bisik Alan di dekat telinga. Mata masih takjub memandang keindahan kamar ini. Hati mendesir. Suaranya membuat bulu romaku berdiri. Kucoba mengendalikan rasa yang ada.Aku mengangguk. "Kamu yang buat?"Ia menggeleng lalu meraih tanganku. Menuntunku mendekati ranjang pengantin."Bukan. Orang hotel, tapi aku yang minta dibuatkan secantik mungkin. Mana ada
POV AlanTidak terasa waktu setahun telah terlewati. Masa perkuliahan akhirnya selesai juga. Wisuda sudah kujalani, tinggal pulang saja ke Indonesia. Nilai IPK-ku sangat memuaskan dan berhasil meraih cumlaude. Bahkan sudah ada tawaran kerja di perusahaan asing, tempatku magang dulu. Namun aku ingat pesan Kakek, "kita boleh menuntut ilmu di luar, tapi jangan lupa pulang dan praktekkan ilmu tersebut di negerimu sendiri." Lagipula ilmu tersebut bakalan kugunakan untuk mengembangkan perusahaan Keluarga, sesuai kemauannya.Hubunganku dengan Shanum, baik. Kami selalu berkirim pesan dan kabar agar selalu terjalin komunikasi yang erat. Tidak ada yang ditutupi, apapun itu. Sering bercerita tentang keadaan kampus masing-masing dan apa saja yang dipelajari di sana. Walau terkadang bingung dengan istilah yang terdengar asing di telinga karena perbedaan program studi yang kami ambil."Assalam
POV Shanum"Maaf, saya tidak setuju."Kaget.Ayah?Ada apa dengan Ayah? Kenapa ia tidak setuju?Kutatap wajahnya dengan khawatir. Tidak mungkin Ayah akan membatalkan pertunangan kami. Ayah bersikap biasa saja. Bahkan tidak ada pembicaraan serius di rumah mengenai hal tersebut. Malah Bunda lah yang paling nampak kesulitan menerima Alan sebelum adanya pertemuan dengan Mami Anya."Apa Alan melakukan kesalahan? Atau Delia masih marah dengan Anya?" Tebak Kakek Atma dengan Kening mengernyit. Mencoba mencari tahu.Semua mata menatap bergantian ke arah Bunda dan Mami Anya.Bunda cuma tersenyum tipis dan menggeleng cepat. Begitupun Mami Anya. Mereka saling melempar senyum meski tampak kebingungan di wajah merek
POV AlanSeharian ini aku persis seperti bodyguard. Mengikuti kemana langkah Mami pergi. Dari mengantarkannya bertemu Bunda, hingga pergi ke supermarket bagian perlengkapan kue. Ini untuk pertama kalinya kulihat Mami mengunjungi tempat yang tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Aneh"Untuk apa Mami masuk ke sini?" Aku bertanya saat Mami memilih benda asing di mataku."Inih," jawabnya seraya menunjukkan salah satu benda berbahan aluminium berbentuk persegi dengan ukuran besar."Untuk?" tanyaku heran."Buat kue." Mami berjalan pelan memperhatikan benda tersusun rapi yang berada di sampingnya."Maksudnya, Mami yang akan membuat kue?" tanyaku tidak percaya.Mami menganggukkan kepala, tapi matanya terfokus pada deretan rak-rak seperti sedang