"Oh, Ya Tuhan!" tanpa sadar Kama bergumam sedih. "Menir Hank lumpuh total, El?" rasa tak percaya ketika dia mengkonfirmasi akan hal yang baginya sangat memprihatinkan itu. "Oh, jadi bagaimana sekarang, El?" Tangis Seika masih menghujan deras. Membanjir bandang. Sungguh, kesedihan di hatinya begitu besar sehingga tak tahu harus berkata apa. "El, El …?" Terisak-isak, setelah terbatuk-batuk hebat akibat tersedak air mata, Seika menyahut, "Ya, Kama?" "Sabar ya, kuat. Semua akan baik-baik saja El, percayalah!" Seika membersit hidung dengan beberapa lembar tisu. Membersihkan sisa-sisa air mata dengan lengan sweater. Berusaha menenangkan diri dengan menghirup napas dalam-dalam, melepaskannya secara perlahan-lahan. "El, kami masih di sana, kan?" "Ya, Kama?" "Kamu dengar kan, apa yang aku katakan tadi?" "Dengar … Semua akan baik-baik saja El, percayalah!" Seika menirukan cara Kama berbicara. "Begitu kan, Kama?" Kama mengeringkan sudut-sudut matanya yang menghangat. Menyandarkan tubu
"Welcome home, Papa!" Seika merentangkan kedua tangan dengan wajah yang dipoles ceria. "Get well soon, happy and healthy always ya, Papa?" Berdasarkan hasil pemeriksaan tin dokter yang menangani, hari ini Menir sudah diperbolehkan pulang dan menjalani program home care. Bagi Seika moment kepulangan papanya ini merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Moment yang begitu berarti, takkan pernah terlupakan di sepanjang sisa usianya. Bagaimana tidak? Tuhan masih memberikan kesempatan kepadanya untuk menjaga, merawat Menir Hank. Baginya, ini sungguh luar biasa. Golden Time. Di kursi rodanya, Menir Hank meneteskan air mata. Jika saja tak seperti ini keadaannya, ingin sekali mengucapkan, "Terima kasih, Lieverd." Bukan hanya itu, Menir Hank juga ingin memeluk erat-erat Seika, putri semata wayangnya. "Oh, Papa … Papa menangis?" Seika berlutut di depan kursi roda Menir Hank. "Oh Papa, jangan menangis. Jangan bersedih. Ada Seika di sini. OK, Papa?" "Oh, William bisa dorong Papa sekarang? Mung
"Mamak …?" detak jantung kama meningkat pesat. Keringat dingin serta merta membanjiri sekujur tubuh. Tak percaya rasanya, mendengar sabda kemurkaan Mamak. Benar-benar pilihan yang sulit. "Sampai hati Mamak samaku?" Tanpa berkata-kata, Mamak meninggalkan Kama seorang diri di ruang tengah. Gontai, wanita yang usianya sudah mendekati delapan puluh tahun itu berjalan ke kamar dengan air mata yang mulai menggerimis besar-besar. Sakit, pedih, sedih. Di antara Abang, Kakak dan Adik, hanya Kamalah yang menolak perjodohan. Sesungguhnya Mamak juga menyadari kalau Kama memang berbeda. Maksudnya, bukan hanya dalam perkara super penting itu. Satu-satunya anak yang gigih bekerja sejak kecil, berprestasi di sekolah dan lebih memilih pergi merantau dari pada berladang di kampung. Namun Mamak tak pernah menyangka kalau Kama akan sampai hati untuk menyakitinya seperti ini. Tak pernah terbersit sedikit pun dalam benaknya. Mamak berpikir dengan dia memalsukan kematian seminggu yang lalu, hati Kama ak
Derya memandang Abang penuh hormat. Meskipun berbeda jalan cerita dalam hidup, tak pernah ada masalah di antara mereka. Abang menghargai Kama dan Kama pun menghormati Abang. Kasih sayang, kedekatan mereka tak pernah putus hingga detik ini. Itulah mengapa, akhirnya Kama memilih untuk sharing dengan Abang. "Bagaimana Kama, apa kau sudah menentukan pilihan?" pertanyaan Abang membuat Kama menunduk. Meskipun sudah mengira kalau Abang pasti melakukannya tetapi hatinya tetap terhantam juga. "Ya begitulah Kama, yang namanya hidup. Apa yang kita harap-harap, belum tentu itu pula yang kita dapatkan. Sebaliknya, apa yang kita tidak harap, bisa jadi itulah yang akan menjadi milik kita. Sekilas nampak kejam ya Kama tapi sebetulnya tidak. Tergantung bagaimana kita menerimanya." Kama semakin tergempur, tentu saja. "Tapi Kama nggak bisa meninggalkan Seika lho, Bang. Nanti dia bisa hancur lebur berkeping-keping." Abang mencondongkan tubuh ke Kama. "Kau sendiri bagaimana, bilang sama Abang?" Kama
"Tidak … Itu tidak mungkin!" Seika tak kuasa lagi untuk mengendalikan diri begitu mendengar penjelasan dari Suster. "Itu semua pasti bohong. Papa, bangun Papa …!" seperempat sadar, Seika menubruk dan memeluk tubuh Menir Hank yang susah tidak bernyawa lagi. Tangisnya semakin menghujan deras, membanjir bandang. Segala harapan hidupnya mendadak pupus, sirna dengan sempurna. "Heart attack, Pak William dan saya minta maaf karena tidak berhasil menyelamatkan Menir Hank. Ya, kalaupun kita larikan ke rumah sakit pun akan sia-sia, Pak William." Suster menuntaskan keterangannya. "Karena waktu saya sampai di kamar ini, Menir Hank sudah dalam keadaan meninggal dunia. Pak William melihat sendiri kan tadi, bagaimana saya menangani Menir Hank? Memeriksa nadi, menyorot bola mata untuk memastikan masih ada cahaya kehidupan atau tidak dan terakhir mencoba menyalurkan O2 dan pacu jantung. Hasilnya nihil, karena memang Beliau sudah meninggal dunia." "Ya, Suster …?" "Di sini saya mewakili tim dokter ya
"Jadi, kamu harus pulang ke Aceh lagi, Kama?" sendu, Seika mengkonfirmasi. Baru saja Kama memberikan penjelasan kalau sang Kekasih Hati harus pulang karena ada hal urgent yang harus diselesaikan. Masalah keluarga. Kama juga sudah menjelaskan tentang Mamak yang pura-pura meninggal dunia hanya karena merindukan kepulangannya. Sesibuk apa pun dia di sini, mustahil tidak pulang jika mendapat kabar Mamak meninggal dunia. Lucu, menggelikan dan tidak masuk akal bagi Seika tetapi memilih untuk tidak berkomentar. Terlebih saat menelisik ke dalam diri Kama, tak ada satu pun kebohongan yang tersembunyi. Toh, yang melakukan kebohongan Mamak dan keluarganya, bukan Kama. Itu intinya. "Ya, El." kikuk, Kama memberikan konfirmasi. "Sebentar saja aku di sana. Setelah itu kembali ke sini lagi. Bekerja keras lagi untuk masa depan kita." Kama memberikan senyum paling tampan dalam dirinya, Seika tersipu malu. "Sebenarnya, aku masih ingin bersama kamu, Kama." jujur Seika sambil menyibak poni yang panj
"Ha, apa?" Seika sampai berdiri saking terkejutnya. Tak mampu lagi dikendalikan seluruh dirinya, kacau balau. "Apa Kama, kamu dijodohkan sama siapa itu tadi? Terus kamu gimana? Kamu mau? Emh, kamu … Hahahaha, tentu saja kamu mau kan, Kama? Untuk membuat Mamak bangga dan bahagia." Seika menjambak-jambak rambutnya sendiri. Melepaskan, menjambak-jambak lagi lalu menjatuhkan diri ke atas kursi rotan sintetis. Membiarkan tangisnya pecah, berserakan di seluruh penjuru diri. Dia merasa semuanya sudah terberai, musnah seketika. Sungguh menyedihkan, menguras emosi. Papanya bahkan baru saja selesai dikebumikan tetapi dia sudah harus menghadapi masalah yang serumit ini. "El, apa kamu baik-baik saja, El?" Kama menyentuh lembut pundak kanannya sebentar, sekitar lima detik. "Oh, maafkan aku, El?" Seika sudah larut dalam perasaan kecewa, sedih, sakit dan marah yang bercampur aduk di hatinya. Belum-belum hatinya sudah patah berkeping-keping. Hancur, remuk. Tercabik-cabik. Mengapa begitu sulit unt
"Syukurlah kau lekas pulang Kama, ada pakcikmu di dalam." cakap Mamak ketika menyambut kepulangan si Anak Bujang kesayangan. "Ada adikmu juga, sejak pagi mereka ke mari." Bertolak belakang dengan Mamak, Kama terlihat muram. Tak senang hatinya mendengar kabar kalau ternyata Pakcik dan Siti Hapsari ada di sini. Jika tak ada kaitan dengan perjodohan sih, tidak masalah sama sekali. "Oh Kama, janganlah merengut macam ini!" Mamak mengingatkan, menggamit lengannya. Benar-benar pagi yang buram bagi Kama, meskipun sinar matahari begitu cerah. "Tak patut bermuka masam di hadapan calon mertua Kama, terutama calon istri kau." Bah! Kama benar-benar meledak di dalam. "Siapa pula yang sudi dijodohkan?" "Siti, kemarilah Nak!" panggil Mamak begitu mereka sampai di ruang tengah. "Kasih salam sama calon suami kau. Di mana ama kau, tak tengok rupanya calon menantunya sudah sampai?" Siti tersenyum kikuk. "Ama di belakang, Mak Uwo." "Abang?" masih kikuk juga ketika dia menyalami Kama. "Lelah Ab
"Jadi kan, Kak Seika, Mbak Welas ngasih kabar ke kami kalau Kakak hilang. Nah, terus Kakak minta tolong Leon untuk pergi ke rumah kalian. Siapa tahu kalian butuh bantuan. Eh, ternyata kosong rumahnya." Sekar mengawali ceritanya, sementara Leon masih merangkul dari samping kanan, menguatkan. "Akhirnya kami ke Real Publishing. Eh, Bang Kama juga nggak ada di sana. Nah, terus Leon tanya ke bagian resepsionis. Iya kan, Leon?"Leon mengangguk, tersenyum sedih. "Iya, benar. Aku tanya, Kama berangkat ke kantor apa nggak? Katanya berangkat, setengah hari. Kembali sebentar menitipkan Firdaus ke Vivi, pegawai di bagian administrasi. Terus pergi lagi. Nah, nggak berapa lama dari itu, si Vivi itu tadi pergi juga, membawa Firdaus.""Dari itulah kami mulai curiga, ada yang nggak beres pasti!"Leon membenarkan kesimpulan yang dibuat Sekar. "Aku memberanikan diri masuk ke ruang kerja Bang Kama. Mana tahu ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." lanjut Sekar sambil melepaskan diri dari rangkulan Le
"Oh, Leon, terima kasih!" Seika tak mampu menutupi perasaan haru yang menyergap. "Aku nggak tahu gimana ceritanya kalau nggak ada kamu!" Sungguh, Seika merasa baru saja diselamatkan dari bencana alam yang begitu besar. Lebih besar dari tenggelamnya kapal Titanic, baginya. Bayangkanlah!Saat Leon berhasil menyusup masuk ke dalam rumah, Derya sedang bersiap-siap untuk menikahinya. Sudah duduk berhadapan dengan penghulu, dikelilingi oleh para saksi.Seumur hidup, baru kali itu Seika terlibat dalam sandiwara paling gila. Drama paling menguras emosi, tenaga jiwa dan raga. Bukan hanya melibatkan orang dewasa, Derya juga melibatkan Firdaus, seolah-olah penculikan itu adalah sebuah permainan anak-anak. "Serius, aku bahkan sudah berpikir untuk membawa Firdaus juga. Biar kami sama-sama nggak selamat, karena kasihan sekali kalau sampai dia jatuh ke tangan Derya untuk selamanya. Oh, dia tuh terlalu kejam untuk ukuran manusia. Terlalu jahat."Leon tersenyum simpul, menarik napas lega. "Sama-sam
Bencana!Mamak video call. Kama pun tertindih buah fiktif bernama simalakama seketika. Diangkat, tidak tahu harus berkata apa? Tidak diangkat, Mamak pasti curiga. "Ha, jangan-jangan Mamak telepon El tadi?" tanya hatinya begitu kuat. "Gawat!"Kama baru saja berpikir untuk mematikan ponsel ketika tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Sempat ragu tetapi akhirnya diangkat juga, dengan harapan itu adalah seseorang yang telah menculik Seika. Bahkan, Kama tidak memikirkan segala resiko yang mungkin terjadi. Terpenting Seika dapat ditemukan dalam keadaan sehat dan selamat tak kurang satu apa pun. "Ha---Halo!" sapa Kama gugup sambil mengurangi kecepatan laju mobil, menepi. Sekarang mereka sudah sampai di Jalan Parangtritis KM 5. Menurut alamat yang tertera di denah, sebentar lagi akan sampai di tempat persembunyian Derya. "Ini dengan siapa?""Ini Mamak, Kama! Pakai nomor abangmu yang baru. Kalian lagi di mana ini, Mamak telepon dari tadi kok, nggak diangkat?"Dug! Sekeras it
"Eh, jangan asal, ya?" Kama mulai tersebut amarah. "Aku nggak kenal siapa kamu. Jangankan gula-gula, tebu atau apa pun itu yang kamu bilang tadi. Dengar baik-baik, ya? Selain istriku, aku nggak pernah menyentuh yang namanya perempuan." tandas Kama emosional. "Minggir kamu, buang-buang waktu saja!" "Ya ampun, Kama … Beneran kamu nggak inget sama aku?" Adiva, tentu saja tak sudi melepaskan Kama. Hanya dia satu-satunya jalan untuk tetap bersama Derya. "Ternyata benar ya, kata teman-temanku, selain sampah kamu juga laki-laki gila!"Braaak! Dengan sangat kasar, Kama menutup pintu mobil kembali. Bisa-bisanya wanita yang tak dikenalnya ini bersikap lancang, merendahkan? "Hei, apa-apaan kamu? Apa yang kamu bilang tadi? Woi, sadar, woi! Bukan aku yang sampah, gila atau apa pun itu yang kamu tuduhkan tapi kamu. Buktinya? Kamu datang dengan cara misterius dan membuat masalah denganku. Sampah sekali kan, itu? Gila!""Eh, santai dong, Kama? Kok, malah jadi semeledak ini, sih? Ya ampun, malu don
"Leon!" tuduh Kama begitu menyadari CCTV di rumah sudah tidak terpasang lagi. Lebih tepatnya hilang dari tempatnya. "Pasti dia, siapa lagi? Ugh, dasar, brengsek! Kurang ajar, berani-beraninya membuat masalah denganku!" Secepat kilat, Kama kembali ke kamar, menggendong Firdaus yang ternyata sudah bangun. Berjalan cepat ke ruang makan, membuatkan susu. Memasukkan satu kaleng susu ke dalam tas bekal, diaper, tisu basah dan tiga setel baju ganti. "Kita ke kantor Daddy ya, Nak?" sebisa mungkin Kama bersikap tenang. "Nanti kamu Daddy titipkan sama Tante Vivi dulu, ya? Daddy harus mencari Mommy." Seakan mengerti situasi sulit yang dihadapi sang Ayah, Firdaus tersenyum tampan. Bukannya menangis, rewel atau sejenisnya. "Yuk, kita harus cepat, Nak!" ajak Kama sambil setengah berlari ke ruang tamu. Memastikan ponsel masih di saku celana. Menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Doakan ya Nak, semoga Mommy cepat ketemu?" Kama tak mau kehilangan waktu walau hanya satu detik. Sungguh, bag
Sesampainya di rumah, Kama langsung melompat turun dari mobil. Berlari ke teras, mengetuk pintu. Menekan bel dengan tak sabar namun tetap menunggu. Oleh karena mendengar tangisan Firdaus yang melengking-lengking dari ruang tamu, tanpa pikir panjang langsung membuka pintu. Semakin bingung karena ternyata pintu tidak dikunci, pertanyaan demi pertanyaan membombardir tanpa ampun. Apa yang terjadi?Ke mana Seika?Bagaimana bisa Firdaus menangis sejadi-jadinya seperti ini?"Firdaus, sini sama Daddy!" cakapnya di antara kepanikan yang mulai melanda. "Mommy ke mana, Nak?" Firdaus sudah tenang dalam pelukan Kama walau sesekali masih terisak. Sekarang the real Seika Eline's lover itu berjalan cepat ke kamar, berharap dapat menemukannya."El!" Kama terus memanggil di antara segala perasaan yang semakin tak menentu. "El, Eline!" Tak mengunduh sahutan barang secuil kecil kata pun Kama semakin bingung, panik dan ketakutan. Namun demikian dia masih bisa berjalan cepat ke luar kamar, menyisir se
"Selamat sore, Noni!" kedatangan Derya yang tiba-tiba lebih dari mengejutkan Seika. Mengusik ketenangan hati. "Der-Derya?" Seika tak mampu mengatasi rasa gugupnya. "Mau apa kamu di sini?" Derya tidak takut sedikit pun, tentu saja. Bukannya menarik langkah mundur atau bagaimana, dia malah semakin mendekat. Pantang menyerah."Tenang, Noni!" katanya sambil mengangkupkan tangan di dada. "Saya ke sini hanya untuk melihat Noni sebentar, tidak lebih.""Melihat, maksud kamu?" Seika memasang wajah galak, meskipun sebenarnya masih terkejut. Bingung. "Jangan macam-macam ya kamu, Derya!"Derya tersenyum optimis, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak, Noni, percaya sama saya!"Seika mencebik, memunculkan sisi tegas dalam dirinya. "Dari dulu saya nggak pernah percaya sama kamu, Derya. Aneh saja kalau tiba-tiba percaya. To the point saja lah, ada perlu apa kamu ke sini? Oh ya, memangnya kamu belum kera juga setelah sekian waktu lamanya mendekam di penjara, ha?""Wah, wah, wah … Sekarang Noni
Firdaus Nismara. Bayi berumur empat bulan itu sudah tertidur lelap di box bayi. Baru saja Seika memandikan, memakaikan pakaian terbaik, memberinya susu formula. Tak hanya itu, Seika juga memutarkan lagu pengantar tidur. "Selamat mimpi indah, Firdaus. Mommy mau mandi dulu, ya?" bisiknya lembut. "Nanti, kalau Firdaus bangun tapi Mommy masih mandi, jangan nangis, ya? Mommy nggak lama, kok."Sejenak, Seika memandangi wajah polos dan suci Firdaus. Tak dapat dipungkiri, bayi ini mewarisi wajah cantik Siti Hapsari. Hidung bangir, bibir sexy, mata bulat besar, bulu mata lentik, alis tebal membentuk bulan sabit … Nyaris semuanya copy paste Siti Hapsari. Kecuali rambut pirang ikalnya, mewarisi rambut Mamak. "See you soon, Firdaus!" bisiknya tersendat-sendat, menahan tangis. "Oh, mamakmu di sana pasti bangga punya kamu, Anak Baik." Tak terasa air mata Seika menetes hangat. Teringat bagaimana hari itu, hari dimana Hirabur memberikan kabar tentang Siti Hapasari yang telah menutup mata untuk se
"Jangan lupa kasih kabar ya Welas, kalau kalian sudah sampai di sana?" lagi, Seika merengkuh Welas ke dalam pelukan, berbisik lembut. Air matanya kian deras melintang. "Ya ampun, nggak nyangka banget kamu akan sekuat ini, Welas. Berani banget ngambil keputusan. Oh, Ya Tuhan!"Kama menepuk-nepuk pundak Seika. Begitu juga Ayah dan Sekar. Tanpa berkata-kata, hanya mengulum senyum tipis, William memeluk Seika dan Welas bersamaan. Dua wanita itu adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Dulu, setelah menikahi Welas, sekarang dan selamanya. "Pokoknya kita nggak boleh loss contact!" cetus Seika begitu pelukan mereka terlepas secara alami. Mulai hari ini Welas dan William akan pindah dan tinggal di Netherlands. Pekerjaanlah yang menuntut William untuk mengambil keputusan ini. Bagaimanapun, apa pun yang terjadi, mustahil Welas tinggal di Indonesia sendiri. Long Distance Relationship bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani, baginya. Welas tertawa cekikikan. "Lah, kamu aneh banget deh, Sei!