Jam di pergelangannya sudah menunjukkan pukul 11.10 begitu mobil Fahri berhenti di parkiran sebuah kafe yang terletak di dataran tinggi kota Bandung. Kafe yang sering dijadikan base camp oleh para sahabat Fahri setiap kali mereka bertemu. Angin yang bertiup, menambah rasa dingin udara malam. Dinda memeluk tubuh dengan kedua tangannya untuk mengusir dingin yang menyapa."Pakai ini." Tiba-tiba saja udara dingin berubah hangat, tatkala jaket jeans yang dikenakan Fahri telah berpindah ke pundak Dinda. "Tapi Uda ntar kedinginan.""Udah biasa."Dinda hendak mengatakan sesuatu, tetapi langsung dipotong Fahri. "Nggak usah kege-eran, kalau kamu sakit, aku yang repot." Lalu Fahri meninggalkannya begitu saja, melangkah ke dalam bangunan kafe tanpa repot-repot menggandeng tangan istrinya. Dinda memanyunkan bibir. "Siapa yang ge-er."Begitu pintu kafe terbuka dan kedua suami istri itu melangkah masuk. Mereka disambut riuh sapaan para sahabat Fahri."Woi! Datang juga si kampret!" teriak Gustaf me
"Uda, nggak usah ngebut, Teh Priska nggak ngejar kita, kok." Kalimat Dinda yang terdengar mengejek itu dibalas tatapan tajam oleh Fahri. "Nda nggak mau mati hanya karena Uda sakit hati sama mantan," lanjut Dinda, terdengar tak berperasaan. Akan tetapi dalam hati Dinda merasa sakit, dari sorot mata Fahri tadi ia dapat mengartikan seberapa dalam cinta suaminya itu terhadap sang mantan. Fahri hanya terluka, tetapi ia tak pernah membenci Priska. Istri mana yang tak akan terluka mengetahui fakta itu. "Nda bisa diam nggak, sih!" ketus Fahri yang mulai terganggu dengan kalimat-kalimat tak berempati yang diucapkan Dinda. "Gimana Nda bisa diam. Uda bawa mobil ngebut gini, Nda takut," sahut Dinda sembari mengeratkan pegangannya ke handel pintu. Khawatir jika pintu tiba-tiba terbuka dan ia terpelanting ke luar. "Kalau masih berisik aja, Nda turun, deh!" Seiring dengan kalimatnya itu, Fahri menepikan dan menghentikan kendaraannya. Menatap kesal ke arah Dinda yang menatapnya nanar.Dinda tak m
Ramadan tahun ini merupakan pengalaman pertama Dinda menjadi seorang istri. Biasanya ketika kuliah dulu, dia tak perlu sibuk mengurus hidangan untuk sahur, cukup membeli di warung yang tak jauh dari kos-kosannya atau memasak mie instan bersama teman satu kos. Tahun ini berbeda, mulai pukul dua pagi, Dinda sudah mulai terjaga. Kasak-kusuk di dapur untuk menyiapkan hidangan sahur untuk suaminya. "Fahri menyukai makanan berkuah untuk sahur," pesan mertuanya saat mereka di Bandung tempo hari. Berbekal resep andalan ibu mertua, Dinda memasak sup ayam yang menurut ibu mertuanya disukai oleh Fahri. Jam menunjukkan pukul 03.30 ketika Dinda selesai masak, membenahi dapur, dan menata meja. Satu mangkuk sup ayam beserta perkedel kentang, dan segelas air putih hangat telah tersaji di meja. Dinda mengulas senyum, segera setelah mengganti baju yang basah oleh keringat, ia beralih ke kamar untuk membangunkan Fahri. "Uda, sahur." Fahri bergeming. "Uda, sebentar lagi imsak." Dinda mulai menggunca
Begitu Fahri berangkat kerja, Dinda kembali pada rutinitas hariannya berbenah rumah. Biasanya, setelah rumah sudah dalam keadaan rapi, Dinda mengistirahatkan diri dengan bersantai sejenak bersama Goofy di ruang tengah, menonton drama seri kesukaannya. Namun, kali ini berbeda. Dinda menelpon ibu mertuanya, menanyakan menu berbuka kesukaan suaminya. Dinda memang tak pernah kapok. Meski tadi pagi tak ada kalimat pujian atau ucapan terima kasih dari Fahri, setidaknya melihat suaminya makan dengan lahap, membuat Dinda merasa senang. "Ari nggak pernah makan nasi kalau berbuka, Nda. Dia sukanya gorengan dengan sambal kacang," ujar Emi memberi tahu. "Apa nggak panas itu, Umi? Berbuka puasa sama gorengan terus?""Biasanya umi sediakan buah sama rebusan akar alang untuk diminun Ari sebelum tidur.""Akar alang nyari di mana, Umi?" Dinda mengerutkan kening. Dinda tak akan kebingungan jika saat ini ia berada di kampung, karena bisa mencari dengan mudah akar alang yang dimaksud ibu mertuanya. "B
Fahri begitu suntuk mendengarkan presentasi laporan penjualan bulanan dari staf marketing. Hari pertama puasa diisi dengan meeting bulanan, membuat Fahri merasa begitu tersiksa menahan kantuk. Sebuah pesan masuk ke ponsel, membuat kantuk Fahri sedikit mereda. Terlebih lagi pesan itu dari Dinda. Gegas ia membuka dan membaca pesan dari istrinya itu. Begitu pesan ia baca, Fahri terpaksa mengulum bibir menahan geli. Seperti biasa, istrinya itu selalu saja mengirimkan pesan absurd. "Lagunya—" Fahri tak lagi dapat menahan tawa geli setelah membaca ulang pesan dari Dinda. "Iya, Pak?" Staf marketing yang tengah memaparkan laporannya menjeda saat mendengar gumaman dan tawa pelan Fahri. Fahri yang terlalu asyik memikirkan kalimat balasan untuk pesan Dinda, masih senyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya. Tak menghiraukan tatapan mata peserta meeting yang telah beralih ke arahnya. "Maaf, Pak." Fia—Manager penjualan di kantor Fahri— menggeser pelan tabletnya, menyenggol lengan Fahri. "Ya
"Jatuh di mana?" Dinda menggumam dengan jantung berdebar. Meraba-raba bahu dan tubuh bagian belakangnya, berharap tali tas kecil itu hanya jatuh dari bahunya. Namun, nihil. Tak ada tas yang biasa menggantung di bahunya itu. Wajah Dinda makin pias, tatkala melihat salah seorang petugas datang mendekat. "Aduh, mati deh Nda!" Dinda meringis menahan tangis. "Selamat siang, Dik! Kami sedang melakukan pemeriksaan surat-surat kendaraan—"Belum selesai petugas berseragam itu menyelesaikan kalimatnya, Dinda menyerahkan kunci motor. "Ambil aja deh, Pak, motor saya."Petugas berseragam dengan nama Joko tercetak di dadanya itu menatap Dinda heran. "Tas berisi dompet dan hp saya hilang. Kalau Bapak minta surat-surat kendaraan, saya nggak bisa kasih liat. Kalau mikir saya bohong, ambil saja motor saya, nggak apa-apa. Saya capek kalau harus berdebat lagi," cerocos Dinda antara kesal, bingung, dan takut. Alih-alih mengambil kunci motor Dinda, petugas tersebut tertawa. "Ya sudah kalau memang domp
Fahri berkali-kali berdecak kesal menyalip di antara kendaraan roda empat yang terjebak macet. Kesal kembali ia rasakan tatkala mengingat harapan tak seindah kenyataan. Saat tadi pulang dari kantor, ia berharap Dinda benar-benar menyambutnya dengan senyum manis seperti yang istrinya itu janjikan. Alih-alih disambut senyuman manis Dinda, begitu sampai, bahkan belum sempat masuk ke rumah, sebuah telepon masuk dari seseorang yang mengaku dari pihak kepolisian. Tadinya Fahri tak percaya dengan kabar mengenai Dinda yang diamankan di kantor polisi. Fahri bahkan sempat memeriksa setiap sudut rumah untuk memastikan bahwa Dinda memang tak ada di rumah. Setelah mendengar suara istrinya, dan melihat tas kecil yang selalu dibawa Dinda tergantung di pintu penghubung antara garasi dan dapur, barulah Fahri percaya, bahwa istrinya yang sering mencari masalah itu kembali terlibat masalah. Meskipun tadi Fahri sempat tertawa geli mengingat nasib Dinda yang berakhir di kantor polisi, tetapi menghadapi
Di ruangannya, Fahri mulai sibuk dengan setumpuk dokumen yang harus ia periksa dan tanda tangani. Suara denting ponsel penanda pesan masuk menjeda kegiatan Fahri. Niat mengabaikan pesan itu terkalahkan tatkala melihat nama yang tertera pada layar ponsel. Istri Bawel, begitu nama Dinda yang tersimpan pada daftar kontak Fahri. Reflek bibir Fahri menyunggingkan senyum, dengan gerakan cepat ia membuka pengunci layar dan membaca pesan dari Dinda. [Suami Nda tersayang, beneran ya, hari ini pulang cepat. Di balas lho, ya, pesan Nda, biar Nda nggak galau lagi kayak kemarin.]Fahri kembali terkekeh-kekeh membaca pesan dari Dinda. Membayangkan ekspresi kebingungan di wajah Dinda kemarin sore membuat tawa gelinya makin menjadi. Jika biasa Fahri meletakkan begitu sajaponselnyasetelah membaca pesan Dinda, kali ini ia memilih untuk membalas dengan cepat. [Iya, ntar diusahain pulang cepat.][Harus! Nda udah masak buat Uda. Jangan sampai ntar Nda kasih ke Goofy kalau Uda pulang telat.] Fahri menge