Perempuan berambut blonde itu membuka pesan dari pihak rumah sakit. Pesan itu adalah pemberitahuan yang bersifat umum dan siapa pun bisa melihatnya, termasuk para pengunjung rumah sakit karena pengumuman tersebut pasti muncul di papan buletin di lobi.
“Sanatorium bakal diresmikan bulan depan,” ujar Margareth sambil membaca pengumuman yang baru saja masuk. Ibu jarinya menggeser layar ke atas untuk mengetahui informasi lebih lanjut dan begitu matanya melihat direktur utama yang menangani rumah penyembuhan di Indonesia, mereka terbelalak lebar.
“Gila. Direkturnya masih sangat muda dan berkharisma,” lanjutnya. Dia kemudian menunjukkan foto pria berusia pertengahan tiga puluh itu kepada Risa. “Lihat. Direkturnya seganteng ini, aku pun rela kalau dimutasi ke cabang Indonesia!”
Risa yang semula memandang ke arah lain kini beralih menatap layar ponsel Margareth. Namun, detik itu juga kedua matanya melotot lebar dan merebut ponsel tersebut dari genggaman sang sahabat. “Pria ini! Dia ayah dari bayi yang aku kandung!”
“Jangan ngawur!” Margareth merebut paksa ponselnya, kemudian memperbesar nama si pria yang tertera di bawah foto. “Danu Atmawijaya. Bukan Jaya. Kau ini buta atau bagaimana?”
Dengan tatapannya yang serius, Risa menggeleng tanpa melepas pandangan dari nama tersebut. “Aku yakin sekali dia Jaya!”
Margareth menghela napas lelah, kemudian menyimpan ponselnya ke dalam tas. “Aku tahu betul kalau kau sedang putus asa, tapi jangan berbicara sembarangan seperti ini,” katanya dengan nada pelan, sementara Risa hanya menggeleng. “Kalaupun pria itu adalah ayah dari bayimu, berarti dia memang bukan pria baik-baik.”
Sekarang Risa beralih menatap Margareth, agak merasa tersinggung.
“Menurutmu kenapa dia mengaku bernama Jaya padahal aslinya Danu Atmawijaya?” Margareth mencoba menyadarkan sahabatnya, tetapi Risa justru tiba-tiba bersemangat.
“Dia tidak menipuku! Dia memang Jaya! Danu Atmawijaya!” Risa berseru keras dengan mata berbinar-binar. Setidaknya untuk sekarang ini pikirannya tetap waras, tidak ada yang namanya berprasangka buruk bahwa Jaya adalah penipu. “Aku bakal menemuinya di Indonesia!”
“Wah, aku tidak bisa berkata-kata. Sumpah!”
Hari demi hari berlalu, rumah sakit yang berpusat di Prancis akhirnya meresmikan pembukaan petirahan di Indonesia dengan sukses hari ini. Seperti rumah sakit pada umumnya, sanatorium itu akan digunakan untuk merawat pasien jangka panjang yang harus menjalani penyembuhan ketat.
Letaknya ada di Kota Bandar Lampung, dekat dengan perkebunan karet dan agak jauh dari perkotaan. Sesuai dengan kegunaannya, mereka membangun rumah sakit tersebut dekat dengan alam terbuka karena memilih lokasi paling sehat bagi para pasien.
Ada dua gedung yang dikelilingi pagar tembok setinggi perut orang dewasa yang disusul rangkaian besi di atasnya hingga satu meter. Satu bangunan besar di sebelah kanan yang dekat dengan tempat parkir adalah ruang rawat yang terdiri dari tiga lantai, sementara bangunan di sebelah kiri digunakan sebagai dapur dan ruang makan.
Pria bernama Danu Atmawijaya itu baru saja mengunjungi dapur, memeriksa apakah semuanya berjalan dengan baik. Rumah sakit ini harus memberikan yang terbaik kepada para pasien agar mendapat nilai yang baik juga.
Alih-alih hanya memberikan obat dan melakukan perawatan rutin, pria itu ingin memberi nilai positif, seperti memuaskan pasien-pasiennya dengan pelayanan yang tidak main-main, apalagi jika orang itu dari kalangan atas. Sebab selain dokter, Danu juga seorang pebisnis yang bertekad menjadikan rumah sakit ini menjadi yang nomor satu.
Ketika pria itu sedang memeriksa beberapa dokumen tentang orang-orang yang telah didaftarkan sebagai penghuni kamar vip, sebuah ketukan pintu membuat Danu mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Seorang pria yang memakai setelan perawat masuk.
“Pak Armand Sanjaya dari Perusahaan Karet sudah datang bersama keluarganya, Pak,” kata Rendi, selaku kepala perawat di sanatorium tersebut. Dia mendapat posisi tersebut bukan hanya mempunyai orang dalam, tetapi juga karena layak menerimanya, padahal usianya baru dua puluh sembilan tahun.
Danu terlihat mengangguk dan merapikan dokumen-dokumen tadi sebelum beranjak, tetapi masih ada satu hal lagi yang harus Rendi sampaikan yang membuatnya mengernyitkan kening.
“Siapa?”
“Namanya Risa Ayudia. Dia bilang ada urusan mendesak dengan Anda. Wanita itu ada di depan.” Rendi melanjutkan bicaranya.
Danu hanya memalingkan wajah sambil menggosok dagu dan berpikir panjang. Dia kemudian menatap Rendi dan berkata, “Aku harus menemui Pak Armand terlebih dulu. Aku minta tolong padamu dan bawa wanita itu ke sini.”
“Baik, Pak.” Rendi lantas keluar dari ruangan itu, sementara Danu masih bergeming di tempatnya.
Hanya beberapa minggu berlalu, tetapi wanita itu benar-benar datang bahkan jika harus terbang dari Prancis ke Indonesia. Danu sudah menebak hal ini akan terjadi, tetapi dia pikir tidak akan secepat ini. Dia lantas pergi keluar untuk menemui pemilik perusahaan karet terbesar di Kota Bandar Lampung yang menderita penyakit paru-paru.
Selagi pria itu menemui Armand Sanjaya, Risa mengikuti langkah Rendi yang membawanya ke lantai empat, masuk ke dalam sebuah ruangan yang di dalamnya terlihat rapi dan terkesan kuat.
“Silakan duduk. Mungkin lima belas menit lagi Pak Danu akan kembali ke sini,” kata Rendi dengan sopan.
“Ya, terima kasih.” Risa mengangguk dan melihat kepergian Rendi dari ruangan itu. Dia kemudian duduk di sofa dan mengedarkan pandangan ke segala arah.
Rasanya agak berbeda jauh dengan kepribadian Jaya –pria yang ditemuinya di Kanada. Pria itu mempunyai sifat hangat dan lembut, tetapi ruangan itu terkesan dingin dan kuat. Tidak hanya itu, sebuah foto yang terpajang di dinding pun mempunyai aura yang cukup jauh perbedaannya.
Risa beranjak mendekati bingkai foto tersebut dan berdiri di depannya cukup lama. Dia bertanya-tanya, apakah kedatangannya kali ini tidak menimbulkan suatu masalah, atau apakah pria itu akan menerima dirinya bersama dengan janin yang ada di dalam perutnya.
“Apa karena pekerjaannya, jadi dia terlihat berbeda?”
"Ya. Mungkin karena ini pekerjaannya, jadi dia terlihat berbeda dari sebelumnya."Risa menganggukkan kepala, meyakinkan jika tatapan yang dipancarkan pria itu melalui foto karena terpengaruhi oleh pekerjaan yang pastinya menuntut untuk terlihat meyakinkan dan dapat dipercaya. Meninggalkan bingkai foto besar tersebut, dia bergerak ke arah meja.Ada satu foto di dekat komputer, terlihat Danu sedang bersama seorang perempuan yang bersandar di pundaknya. Meski Risa sempat berpikiran buruk, dia kembali mengutamakan kepercayaannya kepada pria itu, yang dianggapnya sebagai Jaya."Adiknya cantik sekali. Aku jadi tidak percaya diri," gumamnya pelan.Saat tangannya berniat mengambil bingkai tersebut, tiba-tiba pintu terbuka dan itu membuat Risa berbalik. Begitu melihat seorang pria muncul, wanita itu tersenyum senang dengan jantung berdebar-debar. Dia seperti menemukan seseorang yang telah dirindukan dan dicari-cari selama ini.Melihat Risa tersenyum, Danu melangkahkan kakinya mendekat ke arah
Risa benar-benar meninggalkan ruangan itu dengan perasaan tercabik-cabik. Dia ingin menangis, tapi rasanya terlalu sia-sia menangisi perlakuan pria itu terhadapnya. Bahkan ketika dirinya masuk ke dalam lift pun, Danu tidak tampak mengejar. Baru setelah pintu lift tertutup, dia menangis tanpa bisa menahannya.Wanita itu sama sekali tidak menyangka jika sesuatu seperti ini akan menimpa dirinya. Bertemu dengan seorang pria yang baik di luar, lalu hamil tanpa bisa dicegah dan sekarang harus menanggungnya sendiri dengan penyesalan seumur hidup.Lift tiba di lantai satu, pintu terbuka dan mempertemukan Risa dengan wanita cantik berpakaian modis yang terlihat terburu-buru. Dia melangkah keluar dan berdiri di depan pintu.“Iya, Sayang. Aku baru saja masuk lift. Kau tunggu sebentar supaya kedatanganku tidak sia-sia.&rd
Sekitar pukul sembilan pagi keesokan harinya, Risa mendatangi sebuah rumah sakit setelah berpikir sepanjang malam di salah satu kamar hotel yang letaknya tidak jauh dari pusat kota. Di saat pikirannya melayang jauh membayangkan Jaya malam itu, dia juga memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini. Namun, keputusan finalnya ini mungkin juga akan membuatnya menyesal. Hari ini wanita itu datang ke rumah sakit untuk melakukan aborsi. Dia bertekad untuk melenyapkan bayi yang ada dalam kandungannya dan membuka lembaran baru tanpa dibayang-bayangi rasa menyesal dan kebencian kepada Jaya. Danu yang waktu juga berkunjung ke sebuah rumah sakit untuk bertemu dengan kenalannya, tak sengaja melihat Risa yang baru saja pergi dari ruangan dokter kandungan. Pikirannya langsung mengira jika wanita itu tengah mengandung bayi Jaya.
Dari awal, Risa memang tidak berniat menggugurkan kandungannya, tetapi dia takut seumur hidupnya diliputi kebencian kepada bayi itu dan berakhir dengan menelantarkan atau bersikap tidak acuh pada darah dagingnya sendiri.Cinta dan benci selalu hadir bersamaan, keyakinan dan keraguan pun datang dalam hitungan detik. Hati manusia memang selemah itu, seperti perasaan Risa yang mendadak tenang mendengar pria itu akan menikahinya sebagai bentuk pertanggungjawaban. Akan tetapi, giliran Danu yang pusing tujuh keliling.Pria itu tidak tahu harus bagaimana menjelaskan semua ini kepada Laras padahal selama ini dirinya menjanjikan sebuah pernikahan dua atau tiga tahun lagi. Kedatangan Risa mungkin bukanlah sesuatu yang besar, tetapi apa yang dibawa wanita itu membuatnya tidak bisa tidak acuh.Danu terduduk sambil menunduk dan menggaruk pelipisnya sesekali, memikirkan apakah dirinya harus memberitahu Laras soal ini atau menyimpannya sebagai rahasia sampai di mana bayi itu lahir dan hak asuh jatuh
Di sebuah gereja letaknya dekat dengan Sanatorium Harapan Utama, Risa dan Danu melangsungkan pernikahan sederhana yang bahkan tidak dihadiri siapa pun kecuali Laras yang mengaku sebagai teman dekat pria itu, juga Margareth yang semalam terbang dari Perancis. Wanita berdarah campuran itu sesungguhnya merasa iba dengan nasib Risa yang menurutnya sedang dibodohi oleh Danu Atmawijaya, Direktur Utama di sanatorium tersebut. Sudah dihamili, sekarang dinikahi dengan diam-diam tanpa mengundang tamu, bahkan kenalan atau rekan kerja. Jangankan tamu, dekorasi pun tidak ada. Laras sesungguhnya tidak ingin melihat semua ini, tetapi dengan memegang janji yang Danu katakan, dia memaksa diri untuk menghadiri pernikahan kekasihnya sendiri dengan wanita lain. Kedua mempelai itu bertukar cincin, mengucapkan janji sehidup semati yang tidak akan bisa Danu tepati. Pria itu sudah bertekad untuk menjadi seorang pria yang menikahi istrinya tidak lebih dari satu tahun, hanya sampai anak Jaya lahir. “Maaf ak
“Kalau aku jawab iya, apa kau kecewa?”Risa terdiam beberapa saat mendengar tanggapan Danu barusan, tetapi kemudian perempuan itu menggeleng. “Tidak. Sejujurnya aku datang mencarimu juga karena bayi ini. Jadi, aku tidak merasa kecewa sedikit pun.”Pria itu mengangguk mengerti. Setidaknya jawaban Risa barusan tidak menambah beban hidupnya selain berpura-pura menjadi Jaya. Namun, ada satu hal lagi yang masih begitu mengganjal, yaitu tentang surat yang diberikannya kepada istri di atas kertas tersebut.Meski yakin sekali jika surat tersebut belum dibaca oleh Risa, Danu merasa was-was jika suatu waktu perempuan itu mengetahui segalanya dan memilih pergi membawa bayi itu, satu-satunya hal yang ditinggalkan Jaya di dunia ini.“Kalau begitu tidurlah, aku harus pergi ke suatu tempat dan mengurus beberapa hal,” kata Danu sambil berbalik badan. “Aku mungkin tidak bisa pulang selama beberapa hari karena ada banyak pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan.”Risa menatap punggung pria yang tampak
Risa meletakkan cangkir bermotif bunga di atas meja, menyajikan teh hangat yang cocok untuk diminum pagi-pagi seperti ini. Cuaca hangat, suasana tenang dalam rumah besar, juga seorang tamu asing yang membuat wanita itu merasa tak tahu perasaan apa yang sedang dirasakannya saat ini.Tamu yang datang pagi-pagi sekali itu jelas berasal dari luar negeri, tetapi fasih berbahasa indonesia. Jika pria bermata biru itu bisa masuk ke rumah tanpa memerlukan kunci, Risa yakin pria tersebut cukup dekat dengan suaminya.“Aku Jillian,” kata pria berdarah Eropa tersebut, lalu menyesap teh yang menurutnya terlalu hambar. “Jadi, kau ini istri Danu?”Risa mengangguk pelan, merasa agak canggung hanya berdua dengan salah satu kenalan suaminya yang bahkan tidak dikenalnya dengan baik. “Kami baru menikah kemarin. Cuma pesta kecil-kecilan,” jawabnya.Dia menikah kenapa tidak mengundangku, batin pria bernama Jillian tersebut. Apa yang lebih mengejutkan adalah mengapa Danu bukan menikah dengan Laras dan malah
“Apa?!” Jillian melotot lebar. “Kekonyolan seperti apa yang baru saja aku dengar? Lalu Laras bagaimana?”“Pertama-tama, wanita itu sedang hamil anak Jaya,” kata Danu sambil menyatukan jari-jari tangannya. “Dia juga tidak percaya jika Jaya sudah tiada dan menganggap bahwa aku sedang berusaha mengusirnya dengan alasan seperti itu.”“Tetap saja … bagaimana mungkin kau membiarkan kesalahpahamannya?” Jillian mengernyit, tidak mengerti mengapa seseorang yang pandai seperti Danu bisa salah mengambil keputusan.“Aku bilang dia sedang mengandung anak Jaya!” bentak Danu, “kau tidak mengerti maksudnya? Dia membawa darah Jaya! Jaya meninggalkan sesuatu di dunia ini!”“Oke, oke.” Jillian mengangguk-angguk, masih tidak mengerti dengan situasi yang rumit ini.Jaya mungkin memang meninggalkan jejaknya di dunia ini, tetapi Jillian benar-benar tidak mengerti mengapa Danu mengambil langkah seperti ini padahal dia bisa saja membuktikan bahwa mereka adalah saudara kembar dan dia juga bisa membantu membesa
“Mama! cepat! Nanti ketinggalan pesawat!”Nathan melambai-lampai pada Risa yang sedang mengunci pintu pagar. Hari ini sampai dua minggu kedepan, rumah itu akan kosong karena mereka akan pergi ke Prancis, sementara Lastri memilih untuk cuti dan pulang sekalipun Risa sudah memintanya untuk ikut ke City of Love tersebut.Selain libur panjang kenaikan kelas, perjalanan Nathan serta ayah dan ibunya ke Prancis bukan hanya untuk berlibur, tetapi juga menghadiri pernikahan Margareth yang telah hamil dua bulan ini.Risa masuk ke mobil dan menatap sang anak melalui spion di atasnya. “Pesawat tidak akan meninggalkan kita, Sayang. Masih ada satu jam untukmu berlarian di bandara.”“Nathan boleh bermain di sana, Ma?”“Tentu saja tidak,” sahut pria yang baru saja menginjak pedal gas itu. Danu terkekeh mendengar dengkusan Nathan. “Nathan suka bisa bertemu Tante Margareth?”“Ehm! Nathan suka sekali! Nathan juga ingin bertemu adik kecil!”Risa tertawa kecil lalu menoleh ke belakang. “Belum bisa, Nath.
Beberapa minggu berlalu, hari kelahiran Nathan tiba dan pesta ulang tahun ke tujuh dimeriahkan dengan tamu-tamu undangan teman sekelas dan juga teman masa TK-nya. Meski hanya berupa pesta kecil-kecilan, anak laki-laki itu benar-benar bahagia mendapat banyak hadiah, terutama dari ayah dan ibunya yang berupa robot-robotan kesukaannya. Selain robot-robotan, Nathan juga mendapat sepatu, bola kaki, juga beberapa benda lain yang bisa dipajang di dalam kamar. Ini adalah kali pertama Risa merayakan ulang tahun sang anak. Bukan karena tidak mampu, tetapi merayakan hari kelahiran Nathan saat anak itu masih berusia di bawah lima tahun menurutnya sia-sia. Nathan bisa lupa kapan saja, berbeda dengan sekarang yang sudah bisa mengingat banyak hal, termasuk pesta ulang tahun pertama di usia tujuh tahun. Orang-orang mungkin menganggap Risa perhitungan, tetapi wanita itu memang memperhitungkan banyak hal sebelum memutuskan sesuatu. Sekitar pukul delapan malam Danu baru pulang ke rumah karena siang ta
Sudah hampir satu minggu ini Risa berada di rumah setelah mengajukan surat pengunduran diri. Selain hanya bersantai di rumah, wanita itu kini bisa mengantar jemput Nathan menggunakan mobil yang Danu beli khusus untuknya dan karena tidak bisa menyetir, mereka kini punya sopir pribadi yang tempat tinggalnya dekat dengan komplek perumahan.Untuk mengisi hari-harinya yang panjang, Risa juga banyak membuat kue atau pergi ke spa dan salon untuk memanjakan diri. Setelah mendapat perhatian penuh dari Danu, sekarang wanita itu merasa telah menjadi ratu. Seorang ratu yang melewati banyak rintangan untuk bisa duduk di takhta.“Hari ini kau akan kemana?”Risa menolehkan kepala saat mendengar pertanyaan Danu yang sedang memakai baju. “Aku pergi ke perkumpulan wali murid siang ini,” jawabnya sambil beranjak mendekat. “Mereka baru mengundangku ke grup setelah hampir tiga bulan Nathan masuk sekolah dasar.”Danu yang hendak memakai dasi, kembali urung dan membiarkan sang istri yang melakukannya. “Kau
“Nathan mau juga!”Anak laki-laki itu berlari ke arah ayah dan ibunya, lalu mencium pipi keduanya dan tersenyum lebar setelahnya. Sementara Danu dan Risa hanya tersenyum sambil membalas tatapan satu sama lain, merasakan debaran membuncah yang tidak bisa disembunyikan.Setelah menikmati pemandangan malam yang indah di Monumen Nasional, mereka bertiga memutuskan untuk pulang sekitar pukul sembilan. Apalagi Nathan sudah kelihatan tidak berdaya saat berada dalam gendongan Danu meski anak itu kini menjadi lebih tinggi dari pertama mereka bertemu.Dulu saat Danu datang, Nathan masih di bawah pinggulnya, tetapi sekarang anak itu sudah mencapai pinggang dan terus tumbuh hari demi hari. Hal itu membuat Danu sadar jika waktu yang mereka lalui bersama sudah terbilang lama, tidak lagi hanya seperti kemarin.Sekitar setengah jam perjalanan, mereka tiba di rumah. Danu menggendong Nathan dan menidukannya di kamar, sementara Risa membawa beberapa jenis makanan ringan yang tidak disentuh, lalu meletak
Nathan heran sekali melihat sang ibu beberapa hari ini terlalu banyak mengurung diri di kamar. Bahkan ketika anak itu mendekat masuk dan berbicara pun, tanggapan yang dia terima tidak begitu memuaskan sampai-sampai menimbulkan pertanyaan, apakah dirinya melakukan sesuatu yang salah.Tidak hanya sang ibu, ayahnya pun terlihat tidak semangat setiap hendak pergi bekerja, atau ketika pria itu pulang dari kantor. Bertanya kepada Lastri pun tidak cukup membuat Nathan tenang dan mengerti.“Tidak ada apa-apa. Papa dan mama Nathan cuma kelelahan karena sibuk bekerja. Jadi, jangan terlalu khawatir ya, Sayang?”Nathan mengangguk lesu mendengar jawaban Lastri yang selalu sama sejak tiga hari lalu. “Pasti Nathan jajannya kebanyakan sampai mama dan papa kecapekan begitu.”Lastri hanya tersenyum sambil mengelus kepala Nathan, lalu membawa anak itu ke kamar untuk menemaninya belajar sampai selesai. Sama seperti Nathan, Lastri juga merasa iba kepada Risa yang kehilangan anak sebelum tahu jika ada ja
Risa keluar dari kamar sambil mengikat rambut. Wanita itu sudah terlihat siap untuk pergi ke kantor meski sejak pagi dia merasa tidak nyaman pada perut hingga punggung. Rasanya nyeri dan itu sudah sering dirasakan setiap satu hingga dua bulan sekali.Setelah lebih dari dua bulan tidak datang bulan, Risa pikir dia berhasil hamil, tetapi pagi tadi ada bercak merah di celana dalamnya dan itu tanda bahwa tamu bulannya datang, serta harapan bisa hamil tentu masih belum tercapai.Duduk di sebelah Nathan, Risa mengecup kening anak laki-laki itu seperti biasa. “Kamu yakin sudah memasukkan semua buku yang harus dibawa hari ini?”“Sudah, Ma. Nathan sudah memeriksanya dua kali!” balas anak itu dengan nada tinggi, agak kesal karena sang ibu terus menerus bertanya hal yang sama setiap pagi.“Bagus. Kamu sudah besar sekarang, jadi mama tidak akan membantumu melakukan tugas harianmu. Mengerti?“Iya ….”“Omong-omong, apa kau merasa kurang sehat?”Risa mengalihkan pandangan kepada pria yang duduk di d
Derit ranjang berbunyi memenuhi kamar, bersahutan dengan desah serta erangan dari dua insan yang tengah memuaskan hasrat satu sama lain di siang bolong seperti ini saat sinar matahari bisa dengan mudah menerangi ruangan dari jendela yang terbuka.Ini terjadi begitu saja setelah tiba di rumah. Perasaan emosional yang Risa rasakan membuat Danu sedikit lebih perhatian dan berakhir pada pergulatan panas di ranjang yang membuat sprei berantakan, juga pakaian berserakan di lantai.Embun keringat muncul di punggung Danu yang terus bergerak mengeluar masukkan miliknya pada kewanitaan Risa yang telanjang bulat, sementara lidahnya tak berhenti memberi rangsangan pada payudara istrinya yang terus meracau tak jelas.“Aku bilang pada Laras kalau kau sangat perhatian padaku,” ucap Risa di tengah-tengah perasaan membuncah, “dan itu membuatnya sangat marah.”Danu tak merespon meski sempat terganggu karena tiba-tiba Risa membawa nama Laras saat mereka sedang bercinta. “Jangan bicara lagi. Aku tak mau
“Apa yang kau lakukan dengan duduk seperti orang bodoh di mobilnya?” Danu bertanya dengan perasaan yang masih kesal meski sudah hampir setengah jam Risa duduk di sebelahnya.“Dia hanya meminta maaf,” ujar Risa ketus.“Minta maaf untuk apa?” Danu mengernyitkan kening tanpa mengalihkan pandangan dari jalur mobil di depan.“Kakiku.”Danu menoleh ke kiri dan menepikan mobilnya. “Dia yang menyebabkan semua ini?”“Ya, tapi tidak perlu cemas. Aku sudah membalasnya dengan sesuatu yang lebih menyakitkan hatinya.” Risa tertawa kecil setelahnya dan meminta Danu untuk melanjutkan perjalanan meski ucapannya membuat pria itu penasaran.Danu sama sekali tidak percaya jika Laras tega melakukan hal buruk itu karena dirinya memutuskan untuk pergi dan datang kepada Risa demi Nathan. Jika dipikir-pikir kembali, dia sadar betul semua ini terjadi karena dirinya yang membuat Laras sakit hati, sementara Risa yang menerima akibatnya.“Aku minta maaf. Semua ini karena diriku,” ucap pria itu kemudian.“Semua su
Hari ketiga setelah Nathan libur panjang, Margareth tiba-tiba muncul di bandara dan meminta Risa menjemputnya. Wanita itu memakai celana panjang dan blus simpel warna biru muda, sementara rambutnya dibiarkan tergerai saat menemui sahabatnya yang datang tanpa kabar.“Aku ambil cuti tahunan dan dapat jatah dua minggu. Lumayan, bukan?” Margareth menaik turunkan kedua alisnya sambil tersenyum lebar.“Kalau begitu, selamat!” Risa membalas dengan senang. “Tapi, kenapa kau malah ke Indonesia, bukannya ke tempat lain yang belum pernah kau datangi?”“Loh, Nathan tidak bilang?” Margareth tampak heran, sementara Risa kebingungan. “Aku mau berlibur ke Lombok bersama Nathan selama satu minggu!”“Apa?” Risa melotot dan membuat orang-orang terperanjat mendengar suaranya yang lantang. “Kapan? Dia tidak bilang apa pun padaku!”“Besok pagi kami berangkat.”Risa berkacak pinggang setelah itu san menghela napas panjang. Menurutnya, Nathan mulai menjadi lebih dewasa hari demi hari. Anak itu bahkan sering