Reagan tersenyum samar. Karena cukup lama tangannya melayang di udara tapi diabaikan, ia kembali menarik perhatian lalu berdeham. Ini pertama kali dia dibaikan oleh seorang perempuan. Jika biasanya para mahasiswi akan berbondong-bondong bertemu dengan mahasiswa yang paling top di universitas itu Clare justru mengabaikannya.
"Kurangajar sekali kau. Ketua ingin berkenalan kau malah mengabaikan," kata wakil ketua yang bernama panggilan Luke.
Clare sama sekali tidak merasa takut. Ia terus berdiri dan menatap wajah mereka dengan santai tanpa ekspresi.
Reagan kembali tersenyum sambil melihat Luke. "Kalian lanjutkan saja, gadis ini biar aku yang urus. Kau, ikut aku," katanya kepada Clare.
Gadis itu menurut dan mengekor di belakang Reagan.
Luke yang akhirnya mengalah melanjutkan kembali kegiatan bersama sekertaris yang kini masih melihat Reagan dan Clare dengan pandangan cemburu.
"Bisa dijelaskan kenapa kamu terlambat?" tanya Reagan begitu langkahnya berhenti di bawah pohon kecil yang merupakan tanaman indah di universitas itu. Ia mengajak Clare sedikit menjauh dari anggota lain agar bisa melanjutkan niatnya.
"Maaf Kak, aku terlambat bangun."
Reagan terkejut "Terlambat bangun? Memangnya kamu tidak punya jam di rumah?"
Clare menunduk salah. "Maaf Kak, tapi aku lupa memasang alarm."
Reagan tertawa. Entah mengapa ia merasa Clare adalah mahasiswi terlucu yang pernah dilihatnya. Ini pertama kali ia merasa nyaman saat berinteraksi dengan siswa baru.
"Karena sesuai aturan; bagi siapa yang terlambat akan mendapat hukuman, mau kan kamu mengelilingi halaman ini sebanyak seratus kali?"
Zet!
"Apa, seratus kali?" Clare terkejut Dengan cepat ia melihat Reagan sambil melotot. "Kenapa tidak sekalian saja Anda memberiku racun biar mati di sini."
"Tapi itu aturannya. Lagi pula kau kan hanya berjalan, aku tidak menyuruhmu berlari."
Clare menoleh ke arah lain di mana teman-temannya sedang mendapat arahan dari Luke.
"Agatha?" panggil Reagan.
Gadis itu menoleh. "Iya?"
"Bagaimana, kamu siap menjalani hukumannya?"
Dalam hati Clare bertanya-tanya. "Apakah dia sengaja mengajakku ke sini untuk memberikan ganjaran ini? Kengapa aku ragu dan tidak percaya tentang aturan itu, ya?"
Reagan berdeham. "Baiklah ... kalau kau tidak mau seratus kali, aku akan___"
"Iya, aku mau!" balas Clare cepat.
Reagan tersenyum. "Kalau begitu tunggu apa lagi? Pergilah sebelum mereka menambah lagi hukumanmu."
Clare tak berkata apa-apa. Dengan cepat ia berbalik dan menjalani hukumannya.
Reagan yang masih berdiri di posisi terus melihat Clare dengan pandangan lembut dan penuh kasih sayang. "Agatha ... nama yang cantik, sama seperti orangnya."
***
Dengan napas terengah-engah Clare selesai menjalani hukumannya. Tak ingin mendapat hukuman lagi yang lebih berat Clare mencari Reagan yang merupakan ketua panita untuk melaporkan bahwa hukumannya sudah selesai. Namun saat hendak mendekati halaman tiba-tiba sosok dari belakang menariknya.
Zet!
Dilihatnya wajah gadis cantik yang tadi meneriakinya di lapangan. Gadis itu adalah sekertaris panitia di kegiatan tersebut.
“Maaf, Kak. Ada apa, ya?” tanya Clare sopan.
Gadis yang bernama Chloe itu melihat dengan pandangan sadis. "Aku hanya ingin memperingatkan, jangan pernah mendekati Reagan."
Karena lebih tinggi dari Chloe, Clare sedikit menunduk dan berkata, "Mendekati? Siapa yang mendekati dia? Aku kan hanya menuruti perintah dan menjalani hukumannya."
"Aku tidak peduli. sampai aku melihatmu bersama Reagan lagi, lihat saja ...." Dengan wajah kusut dan merah Chloe meninggalkan Clare sendirian.
Clare merasa bingung. Tapi karena perutnya sudah lapar dan tenggorokannya kering ia segera bergerak untuk mencari Reagan. Setelah beberapa menit mencari-cari ia akhirnya menemukan Reagan.
Zet!
Dilihatnya Chloe sedang berdiri sambil menggandeng lengan Reagan. "Oh, pantas saja dia cemburu. Ternyata itu pacarnya," Clare tak peduli. Dengan langkah cepat ia mendekati para senior-senior itu lalu berkata, "Lapor, Ketua. Hukumanku sudah selesai."
Reagan yang terkejut karena Clare tiba-tiba muncul segera melepaskan tangan Chloe secara kasar.
Chloe kesal. Dengan posisi berdiri di belakang Reagan ia melihat Clare dengan pandangan sinis.
"Baiklah," kata Reagan lalu melirik jam tangan, "Karena tadi kau tidak mengikuti kegiatan di lapangan, sekarang kau bersihkan semua sampah-sampah itu dan buang ke tempatnya."
Clare terkejut. Ia melihat ke arah lapangan di mana ada sampah-sampah kertas yang berhamburan.
"Setelah membersihkan itu kamu boleh istirahat," kata Reagan lagi.
Luke menahan tawa.
Chloe yang tadi melihat sinis ke arah arah kini tersenyum lebar karena Clare mendapat hukuman lagi.
Dengan terpaksa Clare segera menjauh dan menjalankan operasional. "Kalau bukan anak baru kalian pikir aku mau melakukkan ini, hah? Aku bisa saja melaporkan kalian kepada papiku. Tapi sayangnya aku tidak seperti itu."
Reagan yang masih di posisi sama kini duduk sambil melihat Clare. Ia merasa apa yang dilihatnya saat ini adalah pemandangan yang paling indah dalam hidupnya.
"Hei!"
Suara perempuan dari arah belakang mengejutkan mereka bertiga.
Chloe yang lebih dulu menoleh segera tersenyum dan menyapanya. "Bendahara, kenapa tadi tidak ada?"
Gadis berambut hitam panjang itu tersenyum sambil melirik ke arah Clare. "Tadi ada urusan sedikit dengan ibuku. Anak baru, ya?"
"Iya," balas Luke, "Dia datang terlambat, makanya Reagan memberikannya hukuman. Dia baru saja keliling lapangan seratus kali dan sekarang membersihkan lapangan."
Chloe tertawa melihatnya.
Gadis yang merupakan bendahara dan bernama Ansley itu melihat serius ke arah lapangan. "Sepertinya aku mengenalnya."
Mendengar kata-kata Ansley membuat Reagan terkejut. Ia melihat ke arah yang sama lalu berkata, "Namanya Agatha, kau mengenalnya?"
"Tidak pasti, tapi sepertinya aku mengenalnya. Sebentar, aku akan mendekatinya. Aku penasaran karena aku yakin sangat mengenalnya."
Chloe yang berdiri di samping Reagan melirik ke arahnya. "Sepertinya kau sangat mengingat nama gadis itu," katanya dengan nada kesal.
Reagan tak menjawab. Ia hanya melirik Chloe kemudian melihat ke arah Clare dan Ansley.
"Ternyata benar, Ansley mengenalinya," kata Luke yang kebetulan melihat kedua wanita itu berinteraksi.
Reagan tersenyum lalu berdiri. "Luke, ayo kita pergi."
Chloe kaget. "Kalian mau ke mana? Aku ikut!"
"Suruh dia diam di situ, Luke," kata Reagan kesal.
Pemuda itu menurut kemudian mencegah Chloe. "Kau dengar, kan? Kata ketua kau tidak usah ikut."
"Kenapa? Aku kan panitia juga."
"Sebaiknya kau turuti saja perintah ketua. Kau tahu kan apa yang akan dia lakukan jika kau melanggarnya?"
Chloe mengendus. Dengan terpaksa ia diam sambil melihat Luke yang kini berlari mengejar Reagan. "Aku tidak akan menyerah, Reagan. Aku akan terus berusaha untuk mendapatkanmu."
***
"Akhirnya," kata Clare setelah selesai membersihkan lapangan. Ia segera meninggalkan tempat itu dan pergi ke toilet untuk mencuci tangan.
"Clare!"
Suara perempuan dari belakang yang mengejutkannya. "Kak, Ansley."
Gadis itu tertawa. "Jangan panggil aku dengan sebutan itu, Clare. Panggil Ansley saja."
Clare melirik ke arah pintu. "Jangan, kau kan seniorku, sementara aku anak baru. Aku tidak mau teman-teman panitiamu akan menghukumku jika tahu aku memanggilmu seperti itu."
Ansley tersenyum. "Setelah kegiatan ini kau tidak perlu terlalu menggubris mereka. Apalagi Chloe, dia memang jahat kalau ada perempuan yang mendekati Reagan."
Clare tampak berpikir. "Chloe? Maksudmu yang sekertaris itu?"
"Iya. Dia sangat menyukai Reagan, tapi Reagan terus menolaknya."
"Oh, aku pikir mereka berpacaran."
Ansley kesal. "Tidak, hanya saja dia selalu bersikap seolah-olah mereka sedang berpacaran. Dia sengaja melakukan itu, agar tidak ada yang mendekati Reagan."
Clare tak menjawab. Ia hanya membuka keran air lalu membilas tangannya.
Ansley melihatnya. "Apa kau menyebutkan nama tengahmu kepada Reagan?"
Clare meraih tisu dari tempatnya. "Iya, tadi pagi sebelum memberiku hukuman dia menanyakan namaku. Agatha adalah nama sekolahku, jadi aku mengatakan nama itu padanya."
Ansley tersenyum. "Seandainya dia tahu kau anak pemilik universitas ini, pasti dia tidak akan berani menghukummu seperti tadi."
Mata Clare membulat. "Kau tidak memberitahukan hal itu kepada mereka, kan?"
"Tidak. Lagi pula kalau mereka tahu justru lebih bagus, bukan?"
"Kumohon, Ansley, jangan sampai ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Aku ingin mereka mengenalku sebagai mahasiswi biasa di universitas ini, oke?"
"Kenapa? Lebih bagus kalau mereka tahu latar belakangmu? Itu akan membuatmu populer di sini, Clare."
"Tidak! Aku tidak mau, Ansley! Aku tidak mau mereka tahu. Aku tidak mau mereka mendekatiku hanya karena aku anak siapa."
Gadis itu tersenyum sayang. "Baiklah. Jadi yang tahu ini hanya aku?"
"Dan sampai ada lagi yang tahu selain dirimu, berarti kaulah yang mengatakannya, Ansley."
Mereka berdua tertawa hingga memenuhi ruangan.
Bersambung___
"Setelah ini kau mau ke mana?" tanya Ansley kepada Clare. "Aku mau ke kantin, perutku lapar." Ansley tersenyum lagi. "Aku bawakan makanan dan minuman untukmu," ia menunjukan sebuah kantong palstik yang berisi paper bag dan minuman cup rasa cokelat, "Tapi sebelumnya aku ingin memberitahumu, makanan ini bukan aku yang membelinya." Clare terkejut. "Kalau bukan kau lalu siapa?" "Ketua," jawab Ansley sambil tersenyum lebar, "Dia menemuiku tadi dan menyuruhku untuk memberikan ini kepadamu. Sepertinya dia menyukaimu, Clare." Clare menatap ragu. "Dari mana dia tahu kau mengenaliku?" "Aku yang mengatakannya. Sebenarnya dia ingin memberikan ini secara langsung padamu, tapi takut kau akan menolaknya," ia memberikan bungkusan itu kepada Clare, "Makanlah. Kau sudah lapar, kan?" "Tidak, aku tidak mau." Ansley terkejut. "Kenapa?" "Jika aku menerima makanan ini itu artinya aku memberikan lampu hijau kepadanya. Aku tidak mau mem
Ting! Bunyi notifikasi dari ponsel Willy mengejutkan Reagan. Dengan cepat ia menoleh dan menatap pria itu. Willy yang juga sadar akan segera melihat ponselnya lalu berkata, "Uangnya sudah masuk, Tuan." "Bagus, mana kartumu?" Dengan sigap Willy meraih dompet dari saku celana kemudian mengeluarkan sebuah kartu hitam dan memberikannya kepada Reagan. "Ini, Tuan."
Reagan mengendus. "Aku tidak peduli, Milly. Suka atau tidak suka yang pasti aku sudah mendapatkan perempuan yang cocok denganku." "Reagan, kau mabuk cinta. Bisa saja sekarang kau merasa bahwa dia yang terbaik, tapi bisa jadi nanti kau akan merasa bosan dan menyesal karena sudah mencintainya." Reagan diam sesaat, apa yang dikatakan kakaknya benar. Saat ini ia hanya sedang mabuk, mabuk cinta terhadap gadis bernama Agatha. "Lalu menurutmu aku harus bagaimana?" tanya Reagan pelan.
Ansley menelan ludah. "Oke, oke, kalau begitu aku ke kantin dulu. Jika ingin mencariku kau bisa ke sana atau telepon saja aku." Clare hanya mengangguk. "Aku ke toilet dulu, sampai nanti." Ia pun berlalu meninggalkan temannya sendirian. Ansley yang masih berdiri di posisi yang sama pun hanya bisa menatap gadis itu hingga tubuhnya menghilang di kerumunan mahasiswa baru. Reagan muncul, matanya mengikuti arah pandang Ansley. "Mau ke mana dia? Kau tidak mengajaknya makan di kantin?" "Dia mau ke toilet dan setelah itu ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas yang kau berikan tadi." Reagan tersenyum sayang. "Dia gadis yang luar biasa, Ans. Aku sangat menyukainya." Tanpa mereka sadari Chloe sedang memandang mereka dari jarak yang cukup dekat. Matanya menyipit, wajahnya merah akibat rasa cemburu melihat ekspresi Reagan saat menatap ke arah Clare. "Aku harus memberinya pelajaran. Dia tidak boleh ada di kampus ini." Dengan emosi yang mel
Reagan, Ansley dan Luke tiba di area toilet. Khawatir karena di dalam sana ada gadis yang dicintainya sedang terkunci, Reagan tak peduli dan langsung masuk ke dalam toilet wanita bersama Ansley. Melihat Reagan masuk tanpa memperdulikan jenis kelaminnya Luke juga ikut-ikutan masuk sambil mengekor di belakang mereka. "Kenapa gelap sekali? Apa lampunya mati?" tanya Luke. "Clare, kamu di mana?" pekik Ansley. Klik! Reagan menekan sakelar lampu dan ternyata lampu itu menyala. "Aku di sini!" Dengan cepat Ansley bergerak ke arah pintu toilet yang diketuk dari dalam. Ia membuka handle kunci kemudian menatap Clare yang wajahnya tampak biasa-biasa saja. "Apa yang terjadi, kenapa kau bisa terkunci dari luar?" Clare melirik ke arah Reagan dan Luke yang berdiri tak jauh dari mereka. "Aku tidak tahu. Tadi pas aku masuk ke dalam tidak lama setelah itu lampunya mati, dan saat aku ingin keluar ternyata pintunya terkunci dari luar."
Dengan ekspresi serius Clare sedang menyelesaikan tugasnya di perpustakaan bersama beberapa mahasiswi yang seangkatan dengannya. Namun bukannya duduk bersama, Clare mengambil posisi di pojok ruangan untuk menyendiri. Bukannya tidak ingin bergaul, tapi menyendiri dan fokus belajar membuat Clare merasa nyaman. Baginya Ansley sudah cukup untuk menjadi sahabat sekaligus saudaranya di universiras tersebut. Bagi Clare satu teman yang sangat bermanfaat jauh lebih baik, daripada banyak tapi berteman hanya karena memanfaatkannya. "Clare!" Suara Ansley mengejutkannya. Dengan senyum manis ia menutup laptop kemudian menyapa wanita itu. "Ada apa? Sepertinya kamu sedang bahagia?" tanya Clare. Ansley menarik kursi yang ada di samping Clare. "Kau sudah selesai?" Mengingat di ruangan itu hampir semua penghuni adalah mahasiswa baru, Ansley mengedarkan pandangan lalu berkata, "Untuk para mahasiswa baru, lima belas menit lagi kalian harus berkumpul di lapangan, ada hal penting y
Dengan penuh percaya diri Reagan maju ke depan sambil tersenyum samar. Rambutnya yang berwarna cokelat tampak mengembang akibat tiupan angin yang sebentar lagi akan menyambut musim dingin. "Halo, Semua. Apa kalian baik-baik saja?" sapa Reagan dengan senyum melebar. "Baik, Ketua!" sahut mereka semua. Ansley dan Luke yang sedang berdiri di belakangnya menahan tawa mendengar kekonyolan sahabat mereka. "Sepertinya dia sedang gugup," kata Luke. Ansley menatap ke arah Clare. "Sepertinya begitu. Aku tahu siapa yang menyebabkan dia gugup." "Jadi, begini," lanjut Reagan seraya menatap semua wajah-wajah yang tampak penasaran menanti penjelasannya, "Karena hari ini adalah aktivitas terakhir kita dalam kegiatan ini, besok kita akan melaksanakan game sekaligus acara puncak dan pengumpulan tugas yang saya berikan tadi. Setelah__ kami para panitia telah mendiskusikan hal ini kemarin__ memutuskan untuk melaksanakan acara tersebut di sebuah vila."
"Kalau diskors mungkin aku percaya, tapi kalau sampai dikeluarkan aku rasa itu tidak mungkin."Ansley menelan habis isi gelasnya sebagai alasan untuk memikirkan apa yang tepat untuk jawaban dari perkataannya sendiri. Tidak mungkin jika dia harus mengakui bahwa ayah Clare-lah pemilik kampus itu. Apalagi Clare sendiri telah melarangnya untuk tidak membongkar informasi tersebut kepada siapapun.Setelah isi gelasnya habis Ansley membersihkan mulutnya dengan tisu lalu berkata, "Kan kau tahu sendiri Reagan adalah anak dari salah satu investor terbesar di kampus ini. Sekali saja keluhan yang dikatakan Reagan rektor pasti akan segera bertindak. Apalagi kesalahan yang dilakukan Chloe bukan hal biasa, tapi dia telah mengunci gadis yang disukai Reagan.""Kau benar, berarti sebentar lagi perang akan segera dimulai.""Perang, maksudmu?"Luke menatap Ansley. "Chloe sangat mencintai Reagan dan dia tidak akan pernah mengijinkan satu pun gadis di kampus ini yang bo
Begitu sapu tangan yang sama ditemukannya ia segera mendekati kembali dan mendekati ranjang.Sejenak ia terdiam sambil menatap Clare yang tersaji di atas ranjang. Ia sangat bahagia karena wanita yang sangat ia dampakan itu sebentar lagi akan menjadi istrinya."Apa yang kau lakukan, Reagan?" tanya Clare saat tangan pria itu menyentuh kaki kanannya."Aku akan mengikatnya. Kenapa?""Kau tidak perlu melakukannya.""Selama tidak ada dalam aturan game aku rasa tidak masalah."Clare tak menjawab. Dalam hati ia mengutuk dirinya karena tak sempat membuat aturan sebelum game dimulai.Reagan kembali tersenyum. Sambil mengikat kaki Clare ia menatap bagian kewanitaan yang mulus dan berwarna pink itu.'Brengsek,' katanya dalam hati, 'Kalau bukan karena game ini aku sudah menidurimu sejak tadi, Clare. Kau membuatku bergairah.'"Selesai?" tanya Clare setelah Reagan selesai mengikat ke dua kakinya. Ia bisa membayangkan dengan posisi terkangkang dan terikat seperti itu pasti Reagan akan leluasa membala
Clare tak menjawab. Perlahan ia merayap di tubuh Reagan hingga kepalanya sejajar dengan bagian keras dan besar milik Reagan.Reagan mulai gelisah. Dilihatnya pandangan Clare begitu licik saat menatap bagian itu. "Apa yang kau lakukan?"Lagi-lagi Clare tak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menyentuh pucuk bagian itu dengan lidahnya."Oh," desah Reagan. Matanya terpejam saat rasa dingin mulai merambat ke batangnya yang keras, "Clare, kau curang. Kau melanggar aturan, Sayang."Clare menghentikan permainan lidahnya. Sambil menatap Reagan ia berkata, "Curang bagaimana, hah? Kan aku sedang memijat.""Memijat?" Reagan terkekeh, "Itu bukan memijat, Sayang. Tindakanmu seperti itu seakan-akan sengaja membuatku kalah.""Itu salahmu. Kau kan tinggal menahannya saja biar tidak kalah."Baru hendak menjawab Reagan langsung terdiam saat Clare memasukan semua bagian itu ke mulutnya.Clare tak peduli. Sambil menggerakan mulut dan kepalanya ia terus menatap Reagan dengan pandangan penuh kemenangan."H
Dengan senyum menggoda Claren mengambil botol minyak tubuh yang ada di atas nakas.Reagan yang merasa permainan akan segera dimulai segera memadamkan lampu utama kemudian menyalahkan lampu tidur berwarna kuning.Aroma pewangi ruangan dan cahaya lampu membuat suasana kamar begitu intim.Setelah Reagan mengatur posisi tubuhnya dengan tengkurap, Clare melepaskan jubah mandi hingga tubuh tanpa sehelai benangnya pun terlihat di bawah redum cahaya lampu.Clare mendekati Reagan. Ia menaiki ranjang lalu menuangkan minyak ke telapak tangan. "Aku mulai dari kaki saja, ya?"Reagan memejamkan mata. "Terserah kamu."Claren pun mulai mengoles minyak itu di bagian betis dan pergelangan Reagan dengan tangannya yang lembut."Kau mendapatkan ide ini dari mana?" tanya Reagan sambil menikmati setiap elusan tangan Clare.Clare tersenyum. "Aku terobsesi saat kita pacaran dulu. Kita berdua harus menahan gairah karena kau takut aku masih kuliah. Aku rasa saling menyentuh dan menahan gairah akan sangat menyen
Clare menoleh.Zet!Wajahnya membeku dan tubuhnya terpaku saat melihat Reagan masuk dengan senyum yang sangat lebar."Ini dia calon prianya. Ayo, duduklah," kata Dean.Kensky dan lainnya tersenyum sambil menatap Clare yang masih berdiri seperti patung.Clare masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. 'Reagan? Reagan adalah calon suamiku?' batinnya, 'Pria yang dijodohkan denganku adalah pacarku?'"Clare? Apakah kau akan terus berdiri?" Suara Dean mengejutkannya, "Calon suamimu sudah datang. Kenapa kau tidak duduk?"Air mata bahagia lolos di matanya. "Kalian ... apa kalian semua mengerjaiku?"Suara tawa memenuhi ruangan."Maafkan kami, Sayang."Reagan yang merasa bersalah langsung berdiri mendekati Clare. "Kita sama-sama dikerjai, Sayang. Wanita yang selama ini telah dijodohkan mommy dan daddy denganku adalah kamu."Clare menangis. "Benarkah?"Reagan mengangguk. "Iya. Aku ingin minta maaf, kata-kataku kemarin pasti sudah membuatmu sakit."Clare menangis lagi. "Aku pikir kau
Kensky tak menjawab. Ia melepaskan pelukan lalu menghapus air kata Clare. "Jangan sedih lagi, ya. Siapa tahu pria pilihan mami dan papi mengobati luka di hatimu saat ini. Mungkin Reagan telah mengecewakanmu, tapi sebagai orang tua mami berharap pria ini tidak akan pernah mengecewakanmu."Clare tak menjawab."Bersiaplah, sebentar lagi mereka akan datang. Mami sudah menghubungi Ansley, dia akan membantumu berdandan malam ini."Tok! Tok!Bunyi ketukan pintu yang terbuka membuat mereka berdua menoleh."Halo, apa aku mengganggu?"Suara Ansley membuat Kensky tersenyum. "Masuklah, Sayang," Kensky menatap Clare, "Mami tinggal dulu. Ans, tolong buat Clare membuang semua kesedihan di wajahnya dan gantikan dengan senyuman terbaik, ya.""Siap, Tante."Jika Ansley begitu bersemangat, Clare justru sebaliknya. Ia tak menjawab bahkan tak menyapa Ansley meski wanita itu sudah tersenyum lebar kepadaya.Seandainya pria yang akan datang melamar itu adalah Reagan Harvest pasti saat ini ia sudah kegirangan
Perkataan ibunya membuat Reagan terkejut.Tuan Harvest berkomentar. "Sebenarnya ini belum waktunya kami membicarakan masalah pernikahan kalian, tapi calon mertuamu ingin mempercepat pernikahan putrinya. Mereka takut kau atau putrinya akan terlibat cinta dengan orang lain. Jadi besok malam kita akan menemui mereka dan langsung melakukan lamaran."Lagi-lagi Reagan terpaku. Setelah syoknya kembali ia berkata, "Boleh aku mengungkapkan sesuatu?"Tuan dan nyonya Harvest menyimak. Mereka menatap Reagan dengan pandangan penasaran.Reagan menarik napas panjang. "Aku mencintai anak pemilik universitas. Namanya Clare Agatha Stewart. Daddy pasti tahu dia dan Daddy sangat menenalnya. Aku sangat mencintainya Daddy dan aku tidak akan mau menikah jika wanita itu bukan dia."Ekspresi tuan dan nyonya Harvest berubah.Reagan berkata lagi, "Aku tahu ini salah, tapi aku sangat mencintanya. Aku sangat mencintai Agatha dan kami saling mencintai."***Di dalam kamar yang besar dan sejuk sambil berbaring Clar
"Sayang, bisa kau jelaskan untuk siapa mobil yang kau minta dari papi?""Untuk bibi Soraya, Pi. Katanya hari ini dia berulang tahun. Jadi dia memintaku hadiah mobil."Zet!Soraya dan Rebecca terpaku.Dean menatap tajam ke arah mereka. "Aku tak menyangka mereka begitu berani membohongimu, Nak. Hari ini bukan ulang tahun Soraya, Clare, dia telah membohongimu.""Benarkah?""Untuk apa papi bohong? Papi tidak seperti mereka, Nak. Mereka itu tukang bohong."Aku minta maaf, Papi. Aku hanya menuruti apa yang bibi Soraya minta.""Apalagi yang dia minta padamu selain mobil?""Berapa hari lalu kata nenek Rebecca bibi Soraya diculik. Untuk membebaskannya mereka harus meminta uang jutaan dolar. Karena kasihan, aku memberikan uang itu kepada mereka. Aku sendiri yang mengantar uang itu ke rumah mereka."Zet!Keringat membasahi tubuh Rebecca dan Soraya."Maafkan aku, Pi, aku salah.""Tidak, Sayang. Papi tidak marah padamu, kau hanya korban. Mereka yang salah dan mereka harus dihukum."Tut! Tut!Dean
Ting! Tong!"Kalau begitu biar aku yang buka, itu pasti Clare."Soraya mengekor di belakang Rebecca sambil membawa gelasnya.Ting! Tong!"Sabar, Sayang. Bibi dan nenekmu akan tiba," kata Rebecca lalu memegang handle pintu untuk membukanya.Clek!"Selamat malam."Senyum di wajah Rebecca dan Soraya lenyap melihat dua sosok tinggi berpakaian polisi berdiri di depan pintu."Malam," balas Rebecca, "Ada yang bisa dibantu?""Apa benar di sini sedang merayakan pesta ulang tahun?" tanya salah satu polisi sambil menatap Rebecca dan Soraya secara bergantian.Soraya melirik ibunya dan lalu berkata dalam hati, 'Untuk apa kedua polisi ini datang ke sini? Lagi pula siapa yang memberitahu kepada mereka soal acara ulang tahun?'"Eh, mungkin Anda salah tempat, Pak. Di sini tidak ada pesta ulang tahun," jawab Rebecca cepat.Salah satu polisi mengambil catatan dari saku celana kemudian membacanya. "Tapi catatan ini menunjukan bahwa alamatnya di sini. Apa benar di sini rumah Soraya Oxley?"Drtt... Drtt...
Dean mendekati Reagan. "Benar, bahkan Rebecca dan Soraya tidak pernah tahu soal ini. Yang tahu hal ini sekarang hanya kalian berdua dan pak rektor."Menyebutkan rektor membuat Clare terkejut. Jika sebelumnya ia tidak akan berani membuka suara soal hubungan Soraya dan lelaki itu, saat ini tanpa berpikir panjang Clare mengutarakan apa yang ia rasakan saking kesalnya kepada Soraya.Dean tersenyum. "Aku dan ibumu sudah tahu soal itu, Sayang, kau tidak perlu khawatir.""Benarkah? Papi tahu dari siapa?" tanya Clare penasaran.Dean tak ingin melibatkan Reagan. Meski ia tahu kabar itu sejak awal dari Reagan, ia telah menyiapkan jawaban yang pas atas pertanyaan yang dilontarkan Clare."John sendiri yang menceritakan semuanya kepada kami. Tapi kami tidak akan menyalahkannya, dia juga hanya korban Soraya dan Rebecca.""Jahat sekali mereka," kata Clare marah, "Seandainya aku tahu siapa mereka sejak awal aku tidak akan pernah mau membantu mereka."Kensky menatap Clare. "Jauh sebelum ini sebenarnya