Aku yang malu karena masih menangis pun akhirnya menghentikan tangisanku. Dua puluh menit kemudian, kami sampai di depan sebuah rumah minimalis. Rumah yang bercat putih itu dihiasi dengan taman didepannya. Nampak begitu asri.Mobil pak Yoga pun memasuki gerbang rumah ini. Ada pos penjaga, aku mendengar pak Yoga menyapa penjaga tersebut. Namanya pak mamad."Apa kabar, pak Mamad"."Baik, pak. Hari ini pindah ya, pak?"."Iya, pak. Kenalkan ini istri saya, Clara". Lanjut pak Yoga.Aku pun sedikit menganggukkan kepala, mengiyakan sambil menyapa pak Mamad."Salam kenal ya, pak Mamad". Kataku."Eh, iya, buk". Mungkin dia agak terkejut aku langsung menyebutkan namanya."Jangan kaget pak, tadi kan saya mendengar pak Yoga menyebut nama bapak". Aku seolah mengajaknya bercanda.Hehehe, pak Mamad pun hanya terkekeh kaku.Kemudian pak Mamad pun dengan sigap membukakan pintu gerbang rumah ini. Mobil pak Yoga pun maju perlahan memasuki jalan beraspal rumah ini. Tak lama, kami sampai di depan rumah. K
""Iya, bi. Aku juga tidak perduli". Lanjutku."Apa , non". Nada suara bi Siti agak terkejut."Eh, gak bi". Aku berpura-pura cuek saja.Aku pun segera memakan masakan bi siti dengan lahap. Enak sekali, pantas saja pak Yoga suka cumi saus tiram ini. Aku pun makan dengan lahap. Aku harus punya tenaga ekstra untuk hari ini.Setelah makan, aku pun diantar sopir pak Yoga ke kampus, pak Dodi namanya. Aku bisa gila jika harus berada di rumah itu terus. Memangnya aku istri yang tetap berada di rumah menunggu kepulangan suami. "Oh, No". Aku bicara sendiri di dalam mobil.Pak Dodi hanya melirikku sekilas ketika mendengar aku bicara sendiri. Ah, masa bodoh, pikirku. Tidak terasa sudah dua puluh menit berlalu, mobil yang dikendarai pak Dodi membuatku tiba di kampus. Seperti sudah lama sekali aku tidak mendatangi tempat ini. Padahal baru saja seminggu dan aku mengamati tidak ada yang berubah sedikitpun.Aku pun keluar dari mobil pak Rakha dan mengucapkan terimakasih kepada pak Dodi.Pak Dodi pun b
"Halo, Laura, kau dimana?". Suara devid terdengar frustasi."Jemput aku sekarang, aku akan shareloc!". Kataku agak berteriak. "Oke. Kau baik-baik saja kan?". Tanya Devid penasaran."Iya, cepatlah kemari jangan buang waktu". Kataku menahan emosi yang hampir meledak."Tunggulah, aku akan segera menuju kesana". Devid langsung mengiyakan permintaan Laura.Devid pun segera mematikan sambungan telepon mereka. Tring... Bunyi dari aplikasi hijau itu terdengar. Devid membuka shareloc dari Laura dan mengernyitkan dahi."Apa yang dilakukan Laura di tempat seperti ini?". Devid semakin frustasi dengan tingkah bosnya akhir-akhir ini.Dengan langkah kaki cepat, Devid yang sekarang sedang berada di rumah segera keluar menuju garasi mobil. Devid pun melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi untuk menjemput bos wanitanya yang arogan itu, Laura.Sementara itu, Laura kini hanya bisa menunggu kedatangan Devid untuk menjemputnya. Tenaga yang dia punya tak mampu membuatnya berjalan jauh. Hanya satu harapa
"Eh, apa pak Rakha pernah bertemu denganmu, Clara?. Tatapan matanya kepadamu itu begitu berbeda". Pertanyaan Tya sontak membuatku bingung."Eh. Aku baru melihatnya hari ini, Tya". Kataku jujur."Iya benar. Sikap pak Rakha itu aneh menurutku". Sasha malah mengompori."Udah ah. Apa sih maksud kalian? Kalau pak Rakha mendengar perkataan kalian, kan aku jadi gak enak. Dikiranya kita berpikir macam-macam". Kataku sedikit kesal."Iya, ya. Udah kamu istirahat dulu disini". Kata Sasha menengahi perdebatan kami.Aku hanya diam dan menggangguk. Mereka lantas pergi ke ruangan kelas untuk kembali mengikuti mata kuliah selanjutnya. Aku sekarang terbaring sendirian di klinik kampus. Tercium dengan sangat menyengat bau-bau obat khas rumah sakit.Huffttt... Aku menghembuskan nafas pelan. "Kenapa lagi aku bisa pingsan seperti ini, memalukan. Apalagi kata mereka aku digendong oleh dosen baru itu". Kini aku bicara sendiri.-----Suara deru mesin dan debu yang berhamburan di belakang di sebuah mobil biru
"Pak Yoga". Suara Clara begitu pelan terdengar di telingaku."I-Iya, Clara". Aku berkata tergagap."Bagaimana keadaanmu, apakah sudah membaik?". Aku kini khawatir dengan keadaanya."Sedikit lebih baik". Suara Clara masih terdengar pelan.Clara lantas berusaha duduk di atas ranjang dan menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur. Nampak raut lelah di wajah cantiknya, kemudian aku melihat Clara menutup matanya sebentar seolah ingin menyatukan sisa kekuatannya sore ini."Aku akan pindah ke kamarku Yoga". Kini Clara bicara."Kau tidur disini saja dulu untuk sementara". Kataku tegas, sedikit terhenyak akan perkataannya barusan."Kalau aku tidur disini, kau akan tidur dimana?". Clara bertanya penasaran."Dimana saja, di kamarmu juga boleh". Yoga berkata sambil berpikir."Jangan bicara omong kosong, aku menjadi tidak enak padamu". Clara masih mencoba untuk membantah perkataan Yoga."Kalau kau tidak enak kau bisa membayarnya". Aku mengajukan sebuah kompensasi.Clara kemudian mengernyitkan
Klek.... Bunyi pintu yang terbuka dan terdengar jugalah langkah kaki dan suara Yoga memenuhi ruangan ini, begitu juga ruang di telingaku. Aku melototkan mataku, sepertinya Yoga akan duduk di meja ini."Tuhan, bagaimana ini, apakah Yoga akan mengetahui aku sedang bersembunyi di sini?". Kini langkah Yoga semakin mendekat, degup jantungku pun kian menaik kencang. Aku mendengar suara pak Yoga juga semakin dekat ke arahku."Atur ulang semua jadwal meeting hari ini. Aku akan bereskan masalah itu sekarang". Perintah Yoga kepada sekretarisnya.Klik. Panggilan itu terputus. Yoga meletakkan handphonenya di atas meja. Clara terkejut dan spontan menutup mulutnya agar tak mengeluarkan suara. "Kenapa lagi masalah itu kembali datang. Dan kenapa mereka harus memakai Laura sebagai model produk mereka". Suara Yoga penuh amarah."Laura?". Kataku dalam hati.Aku mendongakkan kepalaku untuk sedikit mengintip ke luar dari balik bawah meja. Ada Yoga di samping meja sebelah kanan yang nampak dipenuhi amar
Aku tiba-tiba terdiam dan tak bisa berkata-kata, kini tubuh kami saling menempel. Yoga berada di atas tubuhku, aku bisa mendengar deru nafasnya yang menggebu. Aku menyadari posisi kami yang mungkin saja bisa membangkitkan jiwa lelaki Yoga."Apa yang akan kau lakukan?". Aku berkata segera ketika merasa wajah Yoga kembali mendekati wajahku dan deru nafasnya kembali menerpa hidung."Boleh aku menciummu lagi?". Suara serak Yoga terdengar deket sekali bahkan hembusannya lembut menerpa wajahku.Aku hanya diam dan mengangguk pelan. Aku benar-benar terhipnotis oleh Yoga sekarang. Kini, kurasakan nyata bibirnya menyentuh bibir lembutku, seketika aku memejamkan mata seolah menikmati cumbuan mesra dari Yoga.-----POV Yoga"Kesepakatan kita akan deal jika pak Yoga menyetujui model yang dipakai untuk produk kami adalah Laura Chyntia". Pak Roger, salah satu mitra kerjasama dalam pemasaran produk kosmetik, memberitahu aku di detik akhir perjanjian kerjasama kami. Aku yang mendengarkan persyaratan
"Ini adalah ciuman pertamaku". Clara bicara dengan pelan.Ketika mendengar itu aku sudah memastikannya secara langsung. Aku tahu ini adalah ciuman pertamanya, itu sebabnya jiwa kelakianku kian menggelora. Ada rasa lega ketika tahu bahwa aku lah yang pertama kali melakukan semuanya kepada Clara.Kini aku bertanya lagi kepada gadis kecil yang sudah menjadi istriku ini. "Bolehkah aku melakukannya?". Seperti ragu, Clara kini sedang berpikir. Mungkin saja dia merasa ini terlalu cepat, tapi apa salahnya kami juga sudah menikah dan halal bagi kami untuk melakukannya. Aku sepertinya mendapatkan jawaban, Clara sekarang memberikan aku senyuman termanisnya. Aku mengerti arti senyuman yang diberikan oleh Clara."Aku akan melakukannya, Clara". "Tapi...". Clara masih ragu dan belum melepaskan pegangan tangannya di salah satu tanganku yang masih menempel di salah satu kancing bajunya."Aku telah jatuh cinta padamu, Clara. Aku tidak berbohong. Jadi, apakah kita bisa menyatukan cinta kita berdua?". A
"Aww... ". Gumamku pelan. Aku terbangun dan merasa seluruh badanku pegal, aku sedikit menggeliat pelan. Deg, aku seperti menyentuh tubuh seseorang, aku pun menoleh ke samping.Aku kaget, karena yang kulihat adalah seseorang. Dan itu adalah Yoga. Kejadian seperti ini mengingatkan aku pada malam pertamaku bersama Yoga juga, dan ini malam keduaku. Aku kini menyadari apa yang telah terjadi dan apa yang sudah kami lakukan tadi malam."Apa karena aktifitas kami tadi malam yang membuat badanku pegal seperti ini". Aku berkata pelan takut mengganggu tidur Yoga. Ditambah dengan perpindahan kami ke rumah hari ini membuat tubuhku terasa begitu lelah. Sama seperti sebelumnya, aku tersenyum dan rasanya tidak mau bangun dari tempat tidur ini. Aku ingin lebih lama berada di samping suamiku ini. Dulu, pagi hari itu adalah hari yang sudah lama berlalu, dan hari ini harus aku tunggu dengan begitu lamanya. Lalu, aku melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku mengamati tiap guratan wajah tampan Yoga, p
"Janji yang mana? ".''Memeluk mama. Tapi papa ingin melakukannya tidak di dapur seperti yang tadi, tapi ditempat yang mama suka". Yoga membuat aku kembali menerka dan membuat aku kembali penasaran. "Mama suka lagi? Tempat yang mana? "'Makanya cepat selesaikan makannya. Biar mama juga tahu?!".Aku melihat Yoga kini mengerling dengan nakal, ia menggodaku. Detak jantungku berbunyi dengan kuat, kenapa aku malah menjadi gugup seperti ini. Untuk memasukkan satu sendok nasi ke mulut pun rasanya urung aku lakukan. Pikiranku pun sudah traveling kemana-mana. "Aish, apalah yang aku pikirkan ini". "Aku akan setia menunggu". Sambung Yoga yang membuat aku semakin menelan ludahku sendiri. Lima menit kemudian. Aku melirik dengan ekor mataku bahwa Yoga yang masih setia menungguku dengan duduk di meja makan. Aku baru saja menyelesaikan makanku dan kini sedang mencuci piring kami berdua dan peralatan memasak tadi. Aku sengaja melambatkannya karena gugup dengan apa yang akan Yoga lakukan setelah i
"Kalau mau dimaafkan harus ada syaratnya? ". Yoga memberiku satu syarat entah apa itu. "Apa syaratnya? ". Tanyaku dengan penasaran. Awas saja jika syaratnya aneh-aneh, aku tidak mau melakukannya. "Syaratnya sangat gampang kok, pasti mama suka"."Mama suka? A-apa, pa? "."Iya mama pasti suka dengan syarat yang akan papa ajukan". Yoga kembali mengulangi perkataanya dengan intonasi pelan agar aku mengerti apa maksud dan tujuannya. Aku kembali memutar otakku menerka apa syarat yang dimaksud oleh suami tuaku itu. Aku jadi ingin tertawa, sudah lama aku tak mengatai Yoga pria tua. Awal pernikahan dulu, aku sering memanggilnya sebagai pria tua. Hal itu aku lakukan karena membenci Yoga. Siapa juga yang tidak akan membenci seseorang yang tiba-tiba hadir didalam kehidupan kita dengan mendadak. Lagipula dulu aku merasa kehadirannya tidak menyenangkan bagiku. Aku yang masih remaja harus menikah dengan seorang pria berumur empat puluh tahun. "Kenapa kamu malah tertawa? ".Sontak pertanyaan dar
"Mau kemana, mama Revan? ".Aku melototkan mata terkejut karena Yoga ternyata tidak tidur. "Eh, ka-kamu tidak tidur?". Tanyaku dengan suara terbata karena terkejut."Mana bisa aku tidur jika kamu tidak ada di sampingku, Clara". Mendengarkan gombalan Yoga pipiku terasa bersemu merah. Aku menjadi salah tingkah saat ini. "Kapan Revan tidur? ". Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan."Baru saja, tadi kami asyik bermain namun sepertinya dia mengantuk. Aku bawa saja ke kamar dan tak lama setelah minum susu, revan tertidur"."Oh, pasti kecapekan". Ucapku mengiyakan. "Kamu juga tidak capek? ". Yoga bertanya kepadaku.Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan dari Yoga. Aku bahkan seperti merenggangkan otot tangan dan pinggangku agar lebih nyaman. "Sini aku pijitin, biar agak enakan badannya". Tawar Yoga kepadaku seraya menarik tubuhku biar berdekatan dengannya. Yoga pun bangun dari tidurnya dan duduk disampingku. Jantungku berdebar kencang saat ini karena jarak kami yang begitu dekat. Aku m
"Maafkan saya pak Rakha. Sepertinya saya harus berhenti bekerja". Ucapku pada akhirnya. Hufft.... Aku bisa menghembuskan nafas lega karena sudah berhasil mengeluarkan kata-kata yang tersangkut berat di tenggorokanku. "A-apa? Aku tidak salah dengar kan Clara? ". Ucap Yoga seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan. "Namun, saya akan tetap bekerja hingga satu bulan ke depan". Sambungku lagi. "Apa?"."Iya pak Rakha saya akan berhenti bekerja. Saya akan memberikan surat pengunduran diri saya satu bulan kemudian". Ucapku menjelaskan keinginanku. "Kenapa tiba-tiba seperti ini Clara? Apakah ada yang salah? ". Jawab Rakha seolah tidak percaya. Rakha pun meletakkan sendoknya di atas piring dan memilih tidak melanjutkan suapan selanjutnya. Kabar mengenai pengunduran diri Clara masih teringat di pikirannya. Kini ia sendiri di meja makan ini, Clara sudah meninggalkan dirinya beberapa menit yang lalu. Rakha teringat kembali dengan perkataan Clara yang menjelaskan kenapa ia harus berhent
"Kamu yakin Clara sudah mempertimbangkan semuanya dan mau memberikan aku jawabannya? ". Ucapku kembali bertanya untuk menyakinkan dengan lebih lagi kepada Clara. "Iya, aku yakin. Seratus persen yakin dengan keputusan yang akan aku ambil"."Baiklah, apapun itu aku harap semua untuk kebahagiaan dan kebaikan untuk aku, kamu dab baby Revan". Ucapku dengan penuh penekanan.Clara mengangguk dan mantap akan menjawabnya. Aku malah gugup dan berharap dengan cemas. Sungguh aku takut dan tak bisa memprediksi dengan jelas apa jawaban yang akan Clara katakan. "Aku akan berhenti bekerja dan mulai menjalani hidup sepenuhnya menjadi istrimu dan ibu dari anak kita". Aku menatap Clara dengan binar penuh kebahagiaan karena mendengar jawaban yang memang sesuai dengan harapanku. "Tapi aku punya satu syarat? ". Lanjut Clara memyambung lagi. "Apapun syaratnya jika tidak bertentangan dengan kebaikan kita akan aku penuhi". Ucapku dengan serius dan penuh keyakinan."Syaratnya cuma ada satu, Yoga. Aku hara
"Aku akan menunggu".Aku pun mengetikkan pesan itu dan mengirimkannya kepada Clara. Aku sudah bertekad untuk menunggu dan menanti disini. Rindu yang aku rasakan terlalu berat untuk aku pikul dan aku bawa kembali kerumah. Aku harus menuntaskan rindu ini malam ini juga. Cukup lama aku menunggu dan akhirnya aku berhasil bertemu dengan Clara. Rasa senang dan bahagia sungguh sangat indah saat ini. Namun, ada satu hal yang mengganjal di dalam hatiku saat ini. Akankah bakal ada lagi hari-hari yang akan Clara lewatkan sampai larut malam seperti ini. Meninggalkan baby Revan seharian dirumah bersama seorang pengasuh. "Apakah kamu bisa berhenti bekerja? ". Tanyaku kepada Clara. Sontak sejak saat aku mengajukan pertanyaan tersebut suasana menjadi kaku dan hening. Aku tak bisa menahan untuk tidak mengatakan hal tersebut kepada Clara. Aku ingin dia menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Sepertinya Clara tidak menyukai sikapku. Mungkin sekarang ia berpikir aku mulai mengekang dunianya. Baru saja ka
Aku tak menyangka bahwa wanita yang sedang memegang lenganku adalah Clara. Aku terjatuh saat berusaha melatih otot kakiku untuk bisa berjalan. Sudah dua puluh menit berlalu mungkin itu yang menyebabkan kekuatanku semakin melemah. "Kau disini? ". Itulah kalimat yang aku ucapkan saat aku terkejut melihat ia memegangi tubuhku d n kini berada di depanku. Aku lihat netra mata Clara yang berembun dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Clara juga tak menjawab pertanyaanku. Alih-alih menjawab, Clara malah langsung memeluk tubuh lemahku yang sedang terjatuh. Saat memelukku itulah, aku merasakan ada buliran air hangat jatuh ke lenganku. Aku pun melihat sudah begitu banyak air mata yang mengalir di kedua pipi Clara."Kenapa semuanya kamu tanggung sendiri, Yoga? "."Kenapa selama ini kamu menghilang dan menyembunyikan ini semua dariku? "."Kenapa? Kenapa Yoga? ".Pertanyaan demi pertanyaan Clara lontarkan kepadaku dengan tanpa melepaskan pelukanku lagi. Clara bahkan menangis semakin menjadi
Penasaran mengenai tentang apa itu, aku memutuskan untuk mengikuti arahan tangannya yang menyuruh aku untuk duduk di dekatnya. "Apakah ini mengenai masalah pekerjaan, kamu masih ingin menyuruhku untuk berhenti bekerja?". Tanyaku langsung kepada Yoga saat aku telah duduk di kursi. "Bukan. Bukan hal itu yang ingin aku bicarakan kepadamu, Clara? "."Lalu? ""Kembalilah kerumah kita, mari kita tinggal bersama seperti dahulu".Aku mengarahkan tatapan mataku ke wajah Yoga. Dari ekspresi yang ia berikan, aku tahu dia mengatakannya dengan sangat serius. Aku cukup terkejut akan pembahasan pembicaraan mengenai ini dan tidak menyangka."Bagaimana, kamu setuju kan Clara? "."A-apa? ". Ucapku terbata, aku belum mengetahui jawaban apa yang harus aku katakan. "Kamu bisa mempertimbangkan nanti. Sekarang baby Revan sudah tidur, sebaiknya aku juga pulang".Aku juga tampak bingung dan tak tahu harus mengatakan apa. Diam kembali menyelimuti beberapa saat di antara kami. "Kamu tidak mau makan dulu, bi