James menatap gelas kaca berisi minuman beralkohol di tangannya. Dia tersenyum, lalu sedetik kemudian wajahnya kembali berubah muram. Ada banyak hal yang sudah direncanakan oleh James, tapi apa daya, kenyataan di depannya menolak untuk sejalan dengannya. James sangat menginginkan Ruby lebih dari apa pun, dan rasa cintanya pada Ruby tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.Walau sudah berjanji untuk mengikhlaskannya, namun melakukannya tidak semudah mengatakan. James kesulitan mengikis perasaannya. Semakin dia memaksa diri, dia semakin menemukan jika malah jatuh semakin dalam. Sudah terlalu banyak alkohol yang diminum James, dan kepalanya mulai terasa pusing dan berat. Belum lagi tubuhnya yang mulai terasa tidak nyaman –mungkin karena dia membiarkan pakaiannya yang basah mengering di tubuhnya karena saat tiba tadi dia sempat dihantam hujan. James menunduk di lengannya yang dia letakkan di atas meja. “Sampai bertemu besok, Ashley...”Ashley hanya tersenyum, melambaikan tangannya pada
“Kamu sudah bicara dengan Ruby tentang hal ini?” Edd menuang teh hangat ke dalam cangkir keramik putih di atas meja. Ketiganya berkumpul di ruang kerja Louis saat Louis memberanikan diri memberitahu para sahabatnya kabar mengejutkan itu.Louis melepas jasnya, mengurut pelan keningnya lalu menggeleng. Seharian dia rapat dengan beberapa klien hingga dia merasa tulang-tulangnya remuk. Louis menyandarkan tubuh dan memejamkan matanya. “Dia menginap di apartemen Liv dan aku tidak berani mengganggunya. Aku tahu dia sangat shock dan mungkin butuh waktu untuk menerimanya,” gumamnya pelan.“Tapi anak itu bisa saja bukan anakmu,” ujar James. “Kenapa kamu seolah membenarkan pernyataan Angela soal identitas anak itu?”“Dia bahkan memberiku sejumput rambut Mary untuk ku tes. Menurutmu itu sekedar ancamannya belaka?” Louis menatap Edd dan James sungguh-sungguh. “Dia begitu yakin untuk menantangku karena dia tahu hasilnya akan sesuai dengan yang dikatakannya.”“Lalu apa sekarang?” Edd mendesah. “Baga
Umpatan itu tidak serius. Kali ini Ruby tidak bersungguh-sungguh untuk mempersulit Louis. Sejak mendengar permohonan Louis padanya untuk tidak menyerah, seluruh rasa kecewanya runtuh sudah. Dia hanya berniat untuk menguji perasaan Louis padanya, walau tanpa diujipun dia sudah tahu jawabannya.“Memang.” Louis menengadah menatapnya. “Aku juga merasa sangat konyol. Tapi jika kekonyolan ini bisa membawamu kembali padaku, aku akan melakukannya setiap hari.”“Jangan klise, kita sudah dewasa dan hubungan kita bukanlah tentang perasaan membuncah seperti yang dimiliki anak remaja.” Ruby nyaris tertawa. “Kita sudah tua, oke?”“Tapi aku tidak merasa kita tua.” Louis tersenyum, dan senyuman itu sangat menawan hingga menggoda Ruby untuk menciumnya.Tak mampu menahan diri lebih lama lagi, Ruby akhirnya tersenyum. Dia menelengkan kepalanya, mengelus wajah Louis dengan lembut. Perhatiannya tertuju pada kantong hitam yang juga melingkar di bawah mata Louis.Ruby mengelusnya menggunakan ibu jari. “Kamu
Ruby tertegun mendengar ucapan Liv. Dia memutar tubuh, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang, dan tidak menyadari jika air matanya menetes. Liv benar. Louis sudah membuktikan diri padanya berkali-kali, namun entah kenapa keraguan itu masih menyusup di dada Ruby.“Aku tahu keberadaan Angela membuatmu merasa sedikit terancam.” Liv menggenggam tangan Ruby. “Tapi percayalah padamu, percaya pada Louis dan pada hubungan kalian berdua. Walau kalian baru memulainya, yakinlah jika kalian akan memenangkan setiap situasi sulit ini. Jika kamu menyerah sekarang, bagaimana Louis akan berjuang pada hubungan kalian?”Tetesan air mata Ruby semakin mengalir deras. Dia sesenggukan, namun berusaha menenangkan diri secepatnya agar Louis tak mengetahuinya. “Aku hanya tidak bisa melupakan pengkhianatan Arden dan Dad.” Ruby menghapus air matanya. “Dan jika anak itu adalah benar anak Louis, bukankah dia juga mengkhianatiku?”Liv memilih diam dan berpikir sejenak. Dia tahu jika bayang-bayang keberadaan
Pada hari yang ditentukan, Louis dan Ruby mendatangi rumah sakit tempat dimana Louis melakukan tes paternal, disusul oleh Liv yang datang hampir bersamaan dengan Edd. Dan tidak berselang lama, James juga muncul, namun kali ini dia membawa Ashley turut serta.“Kenapa gadis itu bersamamu?” Edd berbisik.Bagaimana pun juga, masalah ini merupakan privasi bagi Louis dan jika ada pihak luar yang mengetahuinya, itu hanya mereka berempat. Ashley juga masih duduk di bangku akhir sekolah menengah, dimana usianya terpaut jauh dari usia mereka.Usia belia seperti itu terkadang masih labil. Jika Ashley membocorkannya, bagaimana selanjutnya?“Aku tidak bisa meninggalkannya.” James melepas kancing jaketnya. “Lihat lehernya yang memerah?” bisik James, dan Edd menoleh untuk melihat lingkaran merah di leher Ashley, lalu dia mengangguk. “Ibunya mencekiknya dan aku tak sengaja lewat. Aku tidak bisa meninggalkannya di sana dan membiarkannya menjadi sasaran kegilaan ibunya.”“Kenapa ibunya bertindak sepert
“Kalian...”“Aku akan membawa Mary tidur di apartemenku dan kamu tidak boleh ikut,” potong Louis cepat. “Katakan sesuatu pada Mary supaya dia bisa tidur tanpamu. Jika Mary tidak mau tidur tanpamu, maaf, aku tidak bisa membawa kalian ke apartemenku.”“Louis.” Angela setengah berteriak. “Harus kamu ingat betul jika hanya ada Mary diantara kita, tidak ada hal lain. Aku sudah memiliki kekasih yang sangat ku cintai. Aku tidak akan mempertaruhkan hubunganku dengan mengizinkanmu kembali masuk dalam kehidupanku.” “Itu sudah jadi tawaran yang paling menarik.” Edd tersenyum santai. “Jika aku adalah kamu, aku akan menyetujuinya.”“Tapi Mary tidak terbiasa tidur tanpaku,” imbuh Angela ngotot.“Dia harus memulainya dari sekarang.” Louis menarik nafasnya dalam. “Dia harus tahu jika diantara kita hanya ada hubungan orang tua, tidak bisa lebih. Dia harus tahu jika aku tidak akan bisa bersamamu selama dua puluh empat jam. Namun jika dia tidak mau menerimanya, it’s okay. Aku akan menunggu hingga dia
Ruby menyesap cola dinginnya sebelum akhirnya menyandarkan tubuh di kursi rotan. Dia tak lagi menangis karena dia tahu hal itu bukan jalan menyelesaikan masalah ini. Ruby tidak mengerti harus bagaimana menyikapi hubungannya sekarang.Jika dulu dia tinggal melepaskan Arden dan menyudahi hubungan mereka saat pria itu ketahuan selingkuh, kali ini masalahnya berbeda. Dia sangat mencintai Louis dan masalahnya tidak sesederhana sebuah perselingkuhan.Diantara mereka ada seorang puteri yang tiba-tiba muncul dan Ruby kehabisan akal untuk mengarahkan pikirannya sendiri.“Aku tahu kamu kecewa. Tapi bukankah kita sudah membicarakannya?” ujar Liv lembut.“Aku tidak bisa terima jika hubungan kalian berakhir karena anak itu.” Ashley ikut menimpali. “Walau usiaku berbeda jauh dari kalian, tapi aku bisa melihat kesungguhan Louis padamu. Dia benar-benar mencintaimu, By.”“Ashley benar. Bisakah kalian terus berjalan ke depan dan saling mencintai?” “Dia bahkan tidak mencegahku pergi,” gumam Ruby pada a
“Kenapa kamu membawaku ke sini?”Ruby turun, berdiri tepat di halaman sebuah rumah mewah berlantai dua. Bangunan itu mengadopsi gaya Eropa modern, dengan sisi bangunan yang sepenuhnya berwarna putih. Louis menggenggam tangannya erat, lalu membawanya menaiki anak tangga.“Aku ingin menunjukkan ini padamu,” ujar Louis, lalu membuka pintu dan mempersilahkan Ruby masuk.Ruby tertegun dengan semua kemewahan yang ada dalam bangunan itu. Atap-atapnya dihiasi candelier dengan dominasi warna putih. Kabinet-kabinet disusun rapi dan menyatu dengan dinding, kusen tebal membingkai jendela, namun yang membuatnya terpana adalah lantai yang terbuat dari papan kayu.Penataan ruangan itu adalah yang terbaik yang pernah dilihat Ruby. Bahkan dia tidak tega menginjak hamparan karpet mewah yang membentang di beberapa titik.“Ini...”Mata Ruby mengerjap dan tak mampu mengucapkan apapun saat tiba-tiba Louis merengkuh bibirnya. Ciuman itu dipenuhi kerinduan dan Ruby bisa merasakannya. Dengan lembut dia membuk
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob