Louis menceritakan kembali bagaimana perjalanan mereka sehingga Jude mengalami kecelakaan fatal itu. Paloma terlihat mengelus dada, tertegun karena dia sungguh sangat tidak menyangka jika Jude memiliki tujuan mulia itu.Paloma melirik Ruby, kelopak matanya basah. “Jadi, selama ini kamu menderita? Kenapa tidak memberitahuku?”Ruby memaksa diri untuk tersenyum. “Aku baik-baik saja Mom. Hanya....”“Kamu ditembak, kamu kehilangan bayi, semua penculikan dan...” Paloma tak bisa melanjutkan kata-katanya. “Kenapa menganggapku tak ada sama sekali dalam hidupmu?”“Bukan begitu, Mom.” Ruby mengelus pundak Paloma dengan lembut. “Aku tidak ingin membuatmu khawatir setelah apa yang kamu alami. Aku tahu perceraianmu dengan Dad membuatmu sakit hati, tapi kamu selalu mencoba tegar dan menyembunyikannya dariku. Aku pikir, sifatku ini menurun darimu,” katanya sambil tersenyum.Paloma menghela nafas, lalu melirik Louis. “Jadi sekarang kalian benar-benar tidak bersama lagi?”Ruby dan Louis saling bertukar
“Apa yang terjadi?”Levin menyeret Liv menjauh dari pemakaman. Walau tidak pernah bertemu secara langsung dengan Edd sebelumnya, namun dia pernah melihat foto Edd saat dia pergi ke sekolah Liv dulu. Dan walau ratusan purnama berlalu, wajah Edd masih akan membekas dalam benaknya.“Ada apa?” Liv pura-pura tidak tahu ke mana arah pembicaraan Levin, padahal sejak awal, sejak tatapan kakaknya itu selalu melirik Edd tajam, Liv tahu Levin mengenali Edd.“Kamu sungguh tidak tahu atau sedang mengujiku?”Liv menarik nafasnya, menoleh ketika orang-orang masih berkumpul di pemakanan. “Bisakah kita tidak membicarakan ini di sini?”“Ikut aku kalau begitu!”Levin setengah menyeret Liv dan pada saat yang bersamaan Edd melihat keduanya. Dia dan Louis yang sedang berada di balik mobil terus menatap kepergian keduanya hingga cukup jauh. Edd tahu Levin akan membicarakan hubungan mereka, dan dia memikirkan sesuatu.“Katakan.” Levin melepes tangannya. “Kenapa kamu bisa dekat dengannya?”Liv berdehem rendah
[Kita harus bertemu.]Hari sudah akan berganti ketika Ruby membaca sebuah pesan yang diterimanya. Dia melirik ke atas nakas, jam bekernya menunjukkan angka setengah dua belas malam. Paloma sudah tidur di sampingnya, keduanya menempati unit apartemen baru yang dibelinya beberapa hari yang lalu.Pesan itu dari Mark. Ketika di villa, Ruby sengaja memberikan nomor ponselnya. Jelas sekali Mark menyembunyikan banyak hal darinya. Kematian Angela adalah hal yang paling membuat Ruby penasaran. Jika Angela asli sudah meninggal, jadi siapa wanita yang berada bersama mereka selama ini?Wanita itu persis seperti Angela –karena Ruby pernah melihat fotonya. Apakah Angela memiliki kembaran?Ruby duduk, mengetik di layar ponselnya.[Baiklah. Kamu ingin aku ke villa?]Tak lama,[Tidak perlu. Aku sudah berada di kota yang sama denganmu. Maksudku, aku akan tiba besok pagi. Kita bertemu di suatu tempat.][Baiklah. Akan ku kirimkan alamatnya padamu besok.]Ruby meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. D
Ruby mengangguk. Sejak awal dia tidak mengerti motif yang dimiliki wanita itu. Ruby pikir ini hanya sekedar urusan perasaan karena Angela masih mencintai Louis. Tapi sekarang mengetahui wanita itu justru bukan Angela, semua kebingungan itu mencuat.Wanita itu sama sekali tidak mengenal Louis jadi tidak ada alasan baginya untuk kembali pada Louis, seperti yang dia katakan sebelumnya. Tidak ada hubungan apa pun diantara mereka, tidak ada kenangan apa pun. Mereka adalah dua orang yang tidak saling kenal.Tapi kenapa dia bersikukuh sekali?“Karena uang,” kata Mark.“Uang?” Ruby mengernyit.“Ya. Patricia mengetahui semua hal tentang Angela, tentang siapa ayah kandung Mary hingga masa lalu Angela. Dia sudah mencaritahu semuanya sebelumnya. Aku sudah bilang kalau kehidupannya kurang beruntung, jadi dia memanfaatkan nama Angela dan juga kemiripan wajahnya untuk mengelabui Louis, namun ku rasa dia cukup shock mengetahui Louis memilikimu.”“Dan itu alasan di balik semua hal yang ku alami sebelu
“Aku membawakanmu makanan kesukaanmu.”James menyapa Ashley yang duduk bersandar di ranjang sambil memejamkan matanya. Dokter belum mengizinkannya pulang karena lukanya masih basah. Hal itu dipicu karena Ashley tidak terlalu koperatif. Dia menolak makan dan hanya berdiam diri seperti yang dia lakukan sekarang.Satu-satunya sumber nutrisinya mungkin hanya dari cairan infus yang masih menggantung di kirinya serta beberapa suplemen yang diresepkan dokter. Hal itu membuat wajah Ashley benar-benar sangat sayu dan seakan tidak bertenaga.“Kamu mau makan sekarang atau nanti?” tanya James lagi dengan sangat lembut.Ashley tidak bergeming, kelopak matanya masih terpejam. James menghela nafasnya dalam lalu menggenggam tangan Ashley, namun secepat kilat gadis itu menepis. James tahu Ashley sangat marah padanya karena sudah menyembunyikan fakta besar terkait kematian ayahnya.Tapi James hanya ingin Ashley tenang dan tidak terpengaruh pada masalah apa pun. Dia ingin Ashley menjalani hidupnya tanpa
Hembusan angin yang lembut menerbangkan rambut Liv. Suara burung-burung laut yang terbang rendah di atas mereka terdengar riuh rendah, sepertinya mereka sedang berebut makanan.Seketika Liv mendadak merasakan sekelilingnya hening dan tubuhnya membeku. Tatapannya terpaku pada pria yang baru saja mengucapkan kata-kata tentang menyudahi hubungan mereka. Apa maksudnya?“Kamu mengatakan apa barusan?”“Kita sudahi saja hubungan kita. Kita putus!” tegas Edd.“Sebutkan alasanmu!”“Apa lagi?” Edd mengalihkan pandangannya, tak mampu bertahan jika dia masih menatap Liv. “Aku pikir aku salah mengartikan perasaanku padamu.”“Salah mengartikan?” Liv mengernyit.“Ya. Ini seperti perasaan untuk memenuhi tanggung jawabku terhadapmu. Aku pikir selama ini aku mencintaimu, tapi ternyata ini sebatas usahaku untuk menebus kesalahan padamu. Tidak lebih!”“Bohong.” Suara Liv mulai terdengar bergetar. “Katakan alasan yang sesungguhnya.”Edd gusar, dia menelan ludah dengan susah payah. Alasan apa lagi yang har
Gadis itu berkacak pinggang setelah membersihkan darah di tangannya. Dia memeriksa bagian tubuh Sam, mengeluarkan dompetnya namun ternyata pria itu tidak mengantungi uang cash yang banyak.Angela mengumpat kesal, namun dia tetap saja mengambil semua uang di dalamnya dan mengambil kartu bank Sam. Dia melirik, kelopak mata pria itu masih sedikit terbuka dan denyut jantungnya masih ada.Angela jongkok, memukul wajah Sam dengan kartu bank miliknya. “Berapa PIN-nya?” tanya Angela.“Enyahlah!” Suara Sam terdengar menggeram namun sangat lemah.Angela tersenyum. Dia berdiri, mengambil gunting yang sebelumnya sudah dibersihkannya lalu kembali pada Sam. Dia jongkok lagi, kali ini dia menusuk luka di dada Sam hingga darah semakin mengalir deras.Sam merintih kesakitan dan tubuhnya melengkung menahan sakit. “Hentikan, ku mohon hentikan,” pinta Sam dengan nada memohon.Angela berhenti, mencabut gunting di tangannya dengan santai. “Berapa PINmu, Sayang?” tanya Angela sekali lagi. “Atau aku akan men
Ashley berhenti ketika melihat Liv berdiri di koridor rumah sakit saat dia akan meninggalkan ruangannya. Liv tersenyum, rentangan kedua tangannya membuat kedua bola mata Ashley berkaca-kaca.Dia bahkan sudah sengaja untuk keluar sore hari tanpa memberitahu siapa pun, tapi tetap saja Liv tahu.“Kamu siap untuk pulang?”Ashley diam, melempar dirinya dalam pelukan Liv. Sapuan jemari Liv di punggungnya amat menenangkan dan akhirnya buliran bening itu jatuh menyusuri wajahnya.“Its okay,” bisik Liv. “Kami ada di sini untukmu.”Kami? Siapa lagi yang datang selain Liv?”Bahkan kamu meninggalkanku di bawah untuk mencari lokasi parkir. Sahabat macam apa kamu itu?”Ruby muncul dari dalam lift, membuat Ashley cukup terkejut karena dia pikir Ruby tidak akan mau menemuinya lagi. Bagaimana pun juga kematian Jude adalah karena dia menyelamatkan Ashley. Jika bukan karena Jude memasang badan, maka yang sekarang berada di bawah tanah adalah dirinya.“Kamu ingin keluar dari rumah sakit diam-diam begini,
Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah
Satu tahun kemudian...Mengenakan gaun mewah strapless berwarna putih tulang, Ruby berjalan bergandengan tangan bersama Louis. Senyuman gadis itu terlihat merekah, sempurna dalam sapuan make-up tipis yang tidak menutupi wajah naturalnya.Dengan erat Louis menggenggam tangannya, berjalan bersisian sambil menyapa para tamu ketika mereka masuk ke ruangan ballroom yang dihiasi oleh jutaan potong bunga-bunga hidup dengan nuansa putih.Mary terlihat lucu dalam balutan gaun dengan warna yang sama dengan Ruby. Tangan kecilnya menaburkan kelopak-kelopak bunga mawar yang dibawanya dalam keranjang kecil. Sesekali dia berhenti untuk ikut menyapa tamu, lalu kembali berjalan melakukan tugasnya.James dan Ashley berdiri bersebelahan. Keduanya ikut bertepuk tangan menyambut kedatangan pasangan yang baru sah menikah itu. Ashley terlihat tak bisa menutupi rasa harunya, terlihat saat dia beberapa kali menyeka air matanya.Liv juga hadir di sana, melempar senyum paling tulus yang dia punya. Walau air mat
Dunia di hadapan Louis mendadak gelap gulita. Dia seolah diasingkan dalam sebuah ruangan tanpa penerangan, tanpa cahaya, dan tak bisa melihat apa pun. Dadanya mulai terasa sesak dan perlahan dia kesulitan untuk bernafas.Kepalanya mulai pusing hingga mendadak dia merasa tubuhnya sangat ringan. Namun sebelum dia jatuh, James meraihnya segera. Sungguh, Louis tidak menyangka akan seperti ini. Baru saja masalah Ruby selesai, namun muncul masalah baru yang lebih menyakitkan.Ketakutan karena akan berpisah selama-lamanya membuat air mata Louis menetes. Dia jongkok di lantai, sesenggukan sambil menunduk.“Sudah ku bilang dia tak perlu pergi,” isak Louis. “Sudah ku bilang akan ada yang menghandle semuanya di sana. Kenapa dia ngotot harus pergi?”“Tenangkan dirimu,” seru James, padahal dia sendiri pun sangat panik. “Ayo berharap keajaiban, Lou.”Dia memang mengharapkan sebuah keajaiban yang indah terjadi. Tapi apakah itu mungkin? Sebuah pesawat yang jatuh menghantam air, pernahkan ada seseoran
Otak Ruby mendadak kacau. Rasa sakit akibat luka di kakinya menyatu dengan degupan jantung yang membabi-buta di dadanya. Ruby tak berkedip, matanya terus tertuju pada layar televisi.Menyadari perubahan mendadak dari Ruby, Louis mendekatinya. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat shock?”Tetesan air mata yang jatuh di wajah Ruby, serta kelopak mata yang tak mengerjap membuat Louis mengarahkan pandangannya pada apa yang dilihat gadis itu. Louis mematung, merasakan aliran darahnya mengalir lebih cepat.Rasa panas itu menggerayang karena kepanikan. “Tidak mungkin,” desis Louis.“Apa yang kalian lihat?” Liv mengernyit, namun dia masih duduk santai di sofa.Ruby menghapus air matanya, terlihat gemetar untuk mengambil ponsel. Mungkin Liv bisa santai karena dia belum melihat beritanya. Dengan penuh rasa was-was dan harap-harap cemas, Ruby mencari kontak Edd dan berusaha menghubunginya.Namun sambungannya langsung tertuju ke kotak suara, yang menandakan ponsel Edd tidak aktif sama sekali. Dia mencob