Diandra kini tertidur, begitu juga dengan Handoko yang terus menggenggam tangan gadis itu. Tampak seorang perawat diam-diam mengambil gambar mereka berdua.
Sisy bangun terlebih dahulu, kemudian membersihkan tubuhnya lalu membangunkan suaminya dan mengajaknya untuk salat subuh.
Usai salat, mereka ber munajat kepada sang pemilik hidup. Kini mereka berdua sudah selesai salat dan duduk di sofa memandang Diandra dan Handoko.
"Mereka serasi ya, Pa," ujar Sisy.
"Mama benar. Sepertinya Handoko sangat mencintai putri kita yang tomboy itu," jawab Darwin.
Mereka menghela nafas mengingat sifat putri bungsunya.
Diandra bangun, lalu melihat lelaki itu tertidur dengan menggenggam tangannya sepanjang malam.
Gadis itu
"Bagaimana? Sudah kamu ambil foto mereka?" tanya Leofrand."Sudah, Tuan. Silahkan periksa pesan anda," jawab seorang wanita."Kalau begitu, sekalian kamu edit pakai foto wanita yang aku kirimkan padamu," ujar Leofrand.Panggilan telepon itu pun di akhiri.Sepuluh menit kemudian, pemberitahuan pesan masuk tampak di ponsel lelaki ituLeofrand tersenyum puas, lalu meminta Boy, asistennya untuk menyebarkan foto itu."Handoko ... Pembalasanku lebih kejam, nikmatilah. Diandra akan segera jatuh ke pelukanku, hahaha," ujar Leo bermonolog dengan dirinya.Jagad dunia Maya kembali heboh dengan unggahan dari akun tidak di kenal. Julia melihat unggahan itu, lalu tertawa terbahak-bahak, hingga a
"Waaah, cantiknya.""Orang kaya mah bebas.""Gak heran gonta-ganti, horaaang kayah."Begitulah komentar netizen, tidak ada yang menghujat Handoko. Justru komentar lucu banyak terdapat di sana.Leofrand marah dan memanggil Boy ke ruangannya.Lelaki itu kesal karena tidak seperti apa yang di harapkannya."Boy, lihatlah. Apa yang kamu lakukan? Kenapa jadi seperti ini?" tanya Leofrand.Kemarahan tergambar jelas di wajah Leofrand. Boy pun terdiam sejenak dan mulai menjawab pertanyaan tersebut."Leo, dengarkan aku sebagai sahabat, bukan sebagai asisten. Tahukah kau? Apa yang kau lakukan ini seperti tingkah anak kecil yang berebut mainan. Jika kau menyukai gadis itu,
'Kira-kira duel pakai apa ya? Pistol atau adu kuat saja?' batin Handoko. Leofrand membayar pesanannya dan juga Handoko, lalu berlalu dari cafe itu. Lelaki itu tersenyum simpul. Merasa bahwa dirinya pasti memang kali ini. 'Pisau lipat ini tajam juga. Nanti akan ku gunakan saat duel,' ujar Leofrand dalam hati. * * * Diandra terbangun. Juli dan Meliana tampak sedang tidur, gadis itu melirik jam dinding yang ada di ruangan itu, pukul dua siang. 'Loh, kok Domo ga ada? Ck, siapa yang beliin makanan kalau dia ga ada,' batinnya. Diandra melihat cairan infusnya habis, gadis itu menekan tombol untuk memanggil perawat.
"Aaaah,"Teriak dua orang lelaki.Tentu saja suara Handoko dan Leofrand. Saat Handoko memukul bahu Leofrand, lelaki itu menusukkan pisaunya dan mengenai perut Handoko.Beruntung pisau itu tidak melukainya terlalu dalam dan juga tidak menancap di perutnya.Darah mulai membasahi baju Handoko, sementara Leofrand tersungkur."Hah, sebentar lagi kau pasti mati. Hahaha," ujar Leofrand.Lelaki itu perlahan bangkit dan terhuyung-huyung mendekat ke arah Handoko dengan menghunus pisaunya."Jangan mimpi! Kau pikir aku semudah itu kalah darimu?" ejek Handoko.Setengah berlari dengan mengandalkan sisa tenaganya, Leofrand dengan yakin kembali menyerang Handoko.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi, yang kami tahu, dia pulang dengan keadaan tidak sadarkan diri. Perutnya bersimbah darah dan pisau tertancap di bahu kanannya," jawab Julia.Meliana membelalakkan matanya. Sungguh sakit sekali yang di rasakan Handoko saat itu.Hari yang sedari tadi diam, menyadari sesuatu."Mobil ... Mobil Handoko, ada petunjuk di sana. Pinjam mobilmu Mel," ujar Hari.Meliana menyerahkan kunci mobilnya. Hari dengan cepat meraih kunci itu, wajahnya kini tampak tegang."Aku pulang dulu dan akan kembali secepatnya, kalian berdoalah," ujarnya.Lelaki itu berjalan tergesa-gesa, sesampainya di area parkir, dia menekan sebuah tombol pada kunci yang di pegangnya hingga terdengar suara dan berlari menuju mobil itu.
"Dimana anak saya?" tanya Mahendra. Lelaki itu bertanya dengan panik kepada salah seorang petugas. "Bapak Mahendra? Putra bapak kini sedang di rawat di ruang intensif dan sebentar lagi akan di lakukan operasi. Ada gumpalan darah di kepalanya," jawab petugas itu. Seseorang mengajak Mahendra menuju ruang tunggu tepat di depan ruangan operasi. Matahari mulai keluar dari peraduannya. Lampu ruangan operasi pun padam, pintu terbuka dan tampak sebuah brankar di dorong keluar. "Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanya Mahendra setengah berlari mengikuti dokter yang tergesa-gesa itu. "Operasi berjalan lancar, jika terlambat tiga puluh menit, kemungkinan anak bapak tidak tertolong. Sekarang di rawat dulu di ruangan intensif, jika belum sadar dua hari kedepan, bapak boleh memindahkannya ke rumah sakit lebih canggih, namun, tidak bisa sekarang, karena, ada beberapa cedera tulang di pinggang," terangnya. Tubuh Mahendra luruh ke lantai. Menatap nanar tubuh anaknya yang tidak sadark
"Tuan Aris?" Mandala dan adiknya terkejut saat melihat Aris berdiri di belakang mereka. "Ini berbahaya, Tuan. Mohon untuk tidak menyulitkan kami," pinta Juan. "Apakah kalian meremehkan aku? Hanya karena aku pemilik bengkel?" tanya Aris. Juan teringat sesuatu. Pekerja di bengkel Aris lebih dari setengahnya adalah mantan petarung jalanan. Tentu saja hal itu akan sangat membantu pekerjaan mereka kelak. Mandala menundukkan kepalanya. Meskipun lelaki yang berada di hadapannya ini lebih muda darinya, status sosial mereka tidak setara sama sekali. Mandala merasa khawatir akan menyinggung perasaan Aris jika menolaknya. "Maaf, Tuan. Kami lupa jika pekerja anda bisa diandalkan," jawab Juan. Mereka bertiga mengatur rencana dengan teliti dan sangat rapi, sehingga, tidak ada yang terluka serius. Aris meminta mereka untuk merahasiakan keterlibatannya dalam misi ini. Alasannya tentu saja tidak mau membuat orang tuanya resah dan khawatir. "Tuan, jika boleh tahu, dari mana anda tahu tentan
Handoko tersenyum dan tidak menampakkan raut cemas. Lelaki sepertinya sudah paham dan mulai meraba apa yang akan terjadi."Mungkin, Papa ga suka kalau ada orang tahu dimana Han dirawat, Kak," jawab Handoko.Lelaki itu menjawab asal. Tidak mungkin mengatakan hal yang berada di pikirannya kepada kakaknya.Julia diam, benaknya menolak untuk percaya jawaban dari adiknya.'Apa yang Papa rencanakan?' batin Handoko.Lelaki itu menatap langit-langit ruangan itu, mencoba menerka apa yang ayahnya lakukan.Julia pun memandang adiknya, dia berpikir apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa terasa mencekam?Mereka larut dengan pikirannya masing-masing, diam tanpa ada sepatah kata pun diantara keduanya.
[Syarat? Apakah sulit? Apa itu?] tanya Diandra.[Tidak sulit, aku akan memberitahumu nanti jika sudah ku pikirkan,] jawab Jhon.Diandra tidak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Jhon beberapa waktu lalu. Dia khawatir jika nanti Dara dan kakaknya menolak untuk berbulan madu.Bosan berbincang, mereka kemudian membubarkan diri menuju kamar masing-masing. Diandra termenung seorang sendiri, dia memikirkan apa syarat yang akan diajukan oleh Jhon kepadanya.‘Kira-kira apa ya syaratnya? Kok aku jadi was-was, ya? Duh mana boleh aku berburuk sangka begini,’ pikir Diandra.Waktu berlalu, kini Diandra serta keluarga yang lainnya sudah berada di bandar udara. Mereka mengantar tiga pasang pengantin baru untuk berbulan madu.“Hati-hati selama di kampung orang. Jaga tata krama, patuh sama peraturan setempat,” pesan Darwin.Berbagai macam pesan pun mereka lontarkan untuk para pasangan yang akan berbulan madu. Pengumuman akan keberangkatan negara tujuan pun terdengar. Mereka berpelukan dan melepas
“Apaan sih teriak-teriak!’ sembur Sisy.Tampak Diandra berjalan kian kemari mencari sesuatu. Sesekali dia menggaruk kepalanyan lalu menarik rambutnya karena kesal sambil menggerutu.Keluarganya dan yang lain memperhatikan perangai Diandra yang terbilang ... ajaib. Bagaimana tidak, usai berteriak, dia hilir mudik sambil menggerutu. Berbagai pertanyaan juga diabaikan begitu saja tanpa menjawab.“Hei ... wajan ikan paus. Kamu ini kenapa sih? Duduk dulu coba, kepala kami pusing liat kamu mondar mandir gak karuan. Liat tuh Mama sama Papa lengkap sama keluarga inti melototin kamu dari tadi.” Dara mendudukkan Diandra di atas tempat tidur.“Anu ... cincin tunangan aku ilang. Kan mahal itu,” ungkap Diandra.Semua yang mendengar terkejut, bagaimana bisa Diandra seceroboh itu. Sisy menghampiri Diandra dan segera menjewer telinganya karena gemas.“Itu yang gantung di kalung kamu apa? Setan? Pagi-pagi bikin emosi jiwa aja deh. Bisa rusak perawatan mukaku gara-gara kelakuan edan kamu itu,” geram Si
“Entahlah, aku aja bingung sama perasaanku,” keluh Diandra.“Apa ... aku boleh memberi saran? Menurutku dia yang terbaik untukmu. Ini dari sudut pandangku sebagai lelaki, seandainya kau gagal dengannya aku bersedia menikahimu, hahaha,” ujar Jhon berseloroh.Diandra tergelak, di dalam hati dia menggerutu bagaimana bisa pernikahan dibuat gurauan. Baginya pernikahan sekali seumur hidup dan jangan sampai melakukan kesalahan.Usai makan siang, mereka kembali ke kantor Diandra. Tiba di kantor, dia mendapat kabar dari bagian produksi kalau pesanan pria asing itu sudah selesai. Mereka menuju ruang produksi, tampak empat buah busana sudah terpajang di sana. Jhon mengamati dengan rinci setiap jahitan dan juga polanya. Dia tersenyum puas dan mengagumi busana yang sudah dipesan tersebut. Lelaki itu merogoh saku dan mengambil benda pipih dari dalam, lalu menghubungi timnya agar mempersiapkan penerbang an kembali ke negara asalnya.“Aku sangat puas, rasanya tidak sabar untuk memamerkan karya ini d
Lelaki itu adalah Handoko. Dia menatap rumah Dara dengan tangan terkepal, wajah memerah menahan amarah. Dia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukan ke rumah Diandra.Sesampainya di sana, Mahendra dan keluarganya di sambut dengan hangat. Berbagai makan dan minuman sudah di sediakan dengan cepat, bahkan beberapa makanan ringan akan menyusul kemudian.Acara lamaran pun di mulai dengan sangat sederhana. Namun, terasa khidmat. Dara terharu dengan keluarga Diandra dan juga ketulusan dari Orangtua Leofrand. Tukar cincin pun usai, pernikahan akan di laksanakan tiga minggu kemudian.“Cieee, selamat ya. Udah laku aja nih,” seloroh Diandra.“Selamat untuk kalian berdua. Sebagai sahabat dari Diandra, aku akan memberikan hadiah berbulan madu di pulau pribadi milikku selama satu bulan,” ujar Jhon.Suasana terasa hangat. Beberapa kali Dara menyeka air mata yang selalu menetes, dan Leofrand perhatikan itu.Suguhan makanan ringan dan teh dengan kualitas terbaik pun di suguhkan, mereka sangat meni
Diandra menoleh ke arah sumber suara. Tampak olehnya lelaki asing tersebut berjalan ke arahnya.“Tuan Jhon? Saya kira Anda kembali ke hotel untuk beristirahat,” cakap Diandra dengan menggunakan bahasa asing.“Tidak, saya ingin tahu bagaimana pakaian yang luar biasa itu tercipta,” sahut Jhon.Diandra kemudian mengajak pria asing itu duduk di sebuah bangku panjang yang berada di sudut. Keduanya duduk di sana sambil mengamati pekerja yang sedang melaksakana tugasnya dengan serius.“Maaf jika aku lancang karena ini adalah ranah pribadi, apakah lelaki yang di rumah sakit tadi adalah tunanganmu?” tanya Jhon.Diandra menoleh sebentar, kemudian menatap lurus dan menceritakan kisah cintanya. Satu jam sudah Jhon menjadi pendengar setia tanpa menyela sepatah katapun.“Anda luar biasa. Di tengah drama hidup percintaan masih bersikap profesional, salut.” Jhon bertepuk tangan pelan.Senyum patah nan pahit terukir dari bibir Diandra.‘Orang bule ini aneh banget sih. Orang lagi galau begini malah di
“Apa aku boleh masuk? Enak bener makan sendirian ga ngajak-ngajak,” sapa Fikri.Diandra mengangguk sambil meneguk air karena batuk tersedak.“Aku duduk ya.” Fikri menutup pintu kemudian duduk di depan Diandra.Diandra segera membersihkan tangan dengan tisu, jantungnya berdebar dan suasana sedikit kaku karena kehadiran lelaki yang kini duduk di hadapannya.Fikri menatap lembut gadis yang diam-diam sangat di rindui selama beberapa bulan ini. Ingin rasanya dia memeluk tubuh Diandra, jika saja tidak melanggar peraturan agama yang di anut.Fikri segera menyadari kesalahannya. Duduk berdua dalam ruangan tertutup saja akan menimbulkan fitnah dan dosa. Dia kemudian mengajak Diandra duduk di sofa yang di peruntukkan bagi pelanggan.“Maaf aku tadi lancang. Kangen banget sama kamu, Di,” ungkap Fikri.Diandra diam saja. Hatinya memang berdebar saat lelaki yang pernah menjadi penghuni hati datang tiba-tiba. Dia juga tidak menampik jika bahagia datang begitu saja saat mendengar suara serta senyum t
“Diandra kenapa bisa pingsan begini?” tanya Meliana.“Doi pingsan begitu denger transferan 1M, Cin,” terang karyawan Diandra yang ... bertubuh pria berperangai wanita.Meliana tidak kuasa menahan tawa dan terbahak-bahak. Suara tawa itu membuat Diandra siuman.“Satu miliar, mana satu miliar,” ucap Diandra panik.“Hei ... tenang, Sayang. Ini kakak,” kata Meliana.Mata Diandra terbelalak dan memindai sekitar kemudian melompat dari tempat tidur dan berlari, dengan sigap Meliana menagkap tubuh adiknya tersebut.“Tamunya, kak. Aduh bisa gagal ini satu miliar,” cemas Diandra.“Di, di sana ada Mama. Sebentar lagi mereka sampai,” jelas Meliana.Mendengar itu, Diandra kembali ketempat tidur dan berbaring seolah-olang pingsan. Meliana melipat dahi karena bingung dengan apa yang di lakukan adiknya itu.Tak lama terdengar suara menggunakan bahasa asing, tampak pria asing tampan bermata biru bersama sang ibu.Sisy memperkenalkan Meliana kepada tamunya yang bernama Jhon tersebut.“Anda Ibu yang lua
Diandra kehilangan keseimbangan dan hampir saja menabrak pejalan kaki. Dia menepi sejenak guna menenangkan diri.“Sial emang si Domo. Pake acara hampir jatoh segala,” gerutu Diandra.Usai merasa tenang, Diandra kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, dia terkejut melihat mobil milik Handoko terparkir di sana.Diandra menarik napas kemudian masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam terlebih dahulu.“Di, kok kamu pulang telat, sibuk banget ya sekarang?” sapa Handoko.“Iya.” Diandra duduk di sisi Darwin dan menyandarkan kepala di bahu sang Ayah.Handoko tersenyum, melihat dan mendengar suara Diandra saja sudah cukup untuk melepas rasa rindunya selama ini. Dia memandang lekat gadis pujaan hati dan berusaha merekam semuanya untuk di kenang saat rindu menyapa jiwa.Puas memandang selama sepuluh menit, lelaki itu kemudian pamit untuk kembali.“Udah malem, Om, Tante. Saya pulang dulu, assalamualaikum,” pamit Handoko.“Kok buru-buru banget, sih? Waalaikumussalam,” kata Sisy.
Diandra sangat sibuk sekarang. Tidak ada yang berubah dari penampilannya, sikap yang semakin matang serta waspada dalam mengelola usaha yang menjadi pembeda. Selebihnya sama saja seperti yang sudah-sudah.Perlahan Fikiri dan Handoko sudah terkikis dari dalam pikiran dan hatinya, dia tak lagi mau di pusingkan dengan masalah asmara. Baginya masa lalu biarlah tetap berada di tempatnya dan tidak menganggu di kehidupan masa kini. Di kenang jika dia ingin.Sisy kini merasa kehilangan sikap konyol putri bungsunya, karena kini Diandra pulang dari butik langsung menuju kamar setelah berbasa basi sejenak.“Kangen sama anakku yang dulu, sering bikin sakit kepala sih tapi, aku suka,” keluh Sisy.“Berarti dia sekarang lagi belajar dewasa, Ma. Biarkan aja,” kata Darwin.“Papa ga khawatir? Siapa tau aja dia tiba-tiba minta nikah,” cetus Sisy.Darwin melipat kening, perkataan sang istri baru saja masuk akal. Bagaimana jika putri bungsunya tiba-tiba meminta untuk menikah? Hatinya belum siap melepas pu