"Ini ada beberapa design dan denah untuk rumah kamu. Pilih aja, nanti aku carikan tukang bangunannya," kata Aris.
Lelaki itu menyodorkan beberapa gambar kepada Dara. Gadis itu menerima dan memperhatikan satu persatu dari empat buah gambar.Matanya berbinar dan tampak bingung dengan semua design yang kini berada di tangannya.Gadis itu kini menyusun berjejer gambar yang di terimanya di atas meja ruang keluarga, dan memandangi bergantian."Bagus semua, Kak. Dara bingung pilih yang mana," keluh gadis itu."Pilih yang kira-kira sesuai dengan karakter kamu," usul Aris. Dari keempatnya ada satu yang menarik perhatiannya. Sederhana tetapi tampak elegan, sesuai dengan karakternya.Dara memutuskan untuk memilih design yang di sukai ya itu, lalu menyerahkannya kembali kepada Aris. Lelaki itu mulai menghitung anggaran bahan bangunan dan juga upah pekerja."Total anggaran sekitar empat ratus juta, uang jaga-jaga lima pul"Keluarga Hutomo? Kepulangan anaknya? Memangnya Domo dari mana?" tanya Dara bermonolog dengan dirinya.Dara teringat ucapan Diandra bahwa Domo tidak menghubungi selama beberapa hari._Di rumah sakit_Dokter sedang memeriksa keadaan Handoko."Kondisi sudah membaik, obatnya di minum terus, ya. Supaya tidak terjadi pendarahan," ujar dokter."Kapan saya bisa pulang, Dok?" tanya Handoko.Dokter itu melihat catatan medis terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan tersebut."Berdasarkan catatan ini, siang ini sudah boleh pulang. Tiga hari lagi datang untuk kontrol, ya," jawab dokter itu.Willa tampak bahagia mendengar itu. Handoko mengucapkan terima kasih, dokter itu pun mengangguk dan keluar ruangan.Wanita itu menghubungi suaminya agar mengirimkan orang untuk mengurus biaya rumah sakit dan mengantarkan mereka pulang.Tiga puluh menit setelahnya, Mandala datang dengan membawa sebuah plastik yang bertuliskan nama
"Memangnya ada apa? Saya kebetulan mau beli obat nanti malam," sahut Diandra."Di kota ini kalau malam, rawan dengan penculikan gadis muda. Katanya begitu, sudah ada beberapa kejadian," sambung seorang petugas itu lagi.Hari Diandra mulai dihinggapi rasa takut. Gadis itu pun mengucapkan terima kasih dan menuju kamarnya.Hari sudah mulai senja, gadis itu tidak mau mengambil resiko dengan nekad pulang. Diandra mencari informasi tentang kota yang kini di singgahi itu. Benar saja, sedang marak terjadi kasus penculikan gadis muda. Kini sedang diusut oleh petugas._Di rumah Darwin_"Apa! Kok bisa? Jadi kemana kira-kira arahnya? Mana ini sudah sore," resah Darwin.Sisy menangis dan sedang di tenangkan oleh Willa.Handoko hanya diam tertunduk. Meliana mencoba menghubungi nomor ponsel Diandra, namun, hanya suara operator yang mengatakan jika ponsel dalam keadaan tidak aktif.Hal ini yang membuat dua keluarga itu serta Dara semakin panik.[Kamu di mana, Dek? Biar Kakak jemput.] Tulis Meliana, l
"Ah ... Ini bukan apa-apa, hanya luka kecil," sahut Handoko.Diandra memandangi Handoko dari belakang menelisik kebenaran dari jawaban lelaki itu. Aris mendehem, Handoko memalingkan wajahnya lalu memandang ke depan, menimbang sesuatu."Sebaiknya katakan saja, daripada nanti semakin berabe," saran Aris.Handoko pun mengatakan akan menceritakan semuanya saat sudah tiba di rumah nanti. Diandra yang sedang malas untuk berpikir, memilih untuk tidur saja.Perjalanan pun berjalan mulus dan santai, Diandra sudah terjaga dari tidurnya. Gadis itu memegangi perutnya yang sudah berbunyi. Handoko dan Aris menahan tawa."Makan di rumah ya, Dek. Dua puluh menit lagi sudah sampai," bujuk Aris."Gak mau. Laparnya sekarang kok makannya nanti, berhenti cari makan, ya Kak, boleh ya, " rengek Diandra.Mereka pun mencari mini market dan mencari makanan di sana. Rangga pun ikut berhenti, Aris mengajak mereka untuk makan.Diandra memilih banyak roti dan makanan ringan serta minuman. Handoko memesan mi instan
"Betul, aku nungguin jawaban kamu," imbuh Handoko. Kini semua mata tertuju kepada Diandra. Dipandangi seperti itu, gadis itu mengulas senyum yang dipaksakan. "Baiklah, aku setuju untuk menikah dengan Domo. Ada syaratnya, bukan nikah sekarang dan tidak berpacaran. Diandra ga mau kelak Papa sama Mama dikasih kerikil sama malaikat, lalu mereka genggam dan kepalanya meleleh. Kalian juga berhutang penjelasan atas kejadian yang ditutupi," jawab Diandra. Semua yang mendengar jawaban Diandra menghela napas lega. Willa dan Hari senang mendengar jawaban calon menantu mereka itu. Raut wajah Handoko tampak masam. Di dalam benaknya sudah merancang akan mengunjungi banyak tempat bersama gadis yang berhasil menyentuh hatinya itu. Terselip rasa tidak setuju di hatinya. "Trus kalau ga pacaran, kita ngapain?" tanya Handoko. Diandra mengerutkan keningnya sambil memandang Handoko dengan tatapan tajam. Lelaki itu gelagapan saat ditatap seperti itu. "Sepertinya aku harus memikirkan kembali jawabank
"Siapa yang beliin makanan sebanyak ini, Dek?" tanya Aris.Diandra pun tersadar. Benaknya berpikir keras tentang siapa yang mengirim makanan untuknya. "Mungkin teman Di, Kak. Mereka ga sempat datang waktu mendengar aku sakit," jawab Diandra."Cih, teman? Aku tidak tahu kalau kamu punya teman," celetuk Dara."Woooh, enak aja. Temenku banyak loh, tapi kalau sahabat, cuma satu, hehehe," sahut Diandra.Aris diam, benaknya mulai berpikir tentang siapa yang mengirimkan makanan untuk adiknya itu.Setelah termenung beberapa saat, Aris pun menjentikkan jarinya dan memukul pelan bahu Diandra."Kakak tau siapa pengirimnya," ucapnya."Tau sih tau, gak pake bikin kaget juga dong. Kalau jantung ini copot gimana? Kakak mau tanggung jawab," sungut Diandra.Aris meminta maaf sambil menahan senyum melihat adiknya sudah mengerutkan bibirnya."Siapa menurut Kakak yang mengirim makanan ini?" tanya Dara."Menurutku, ini pasti Handoko. Coba kalian ingat, kan tadi dia bikin Diandra marah. Ini pasti bentuk
"Jadi, kalian berkelahi hingga menjadi seperti ini memperebutkan aku?" tanya Diandra.Handoko mengangguk, tampak raut wajah marah juga terselip rasa sesal di hati Gadis itu."Kenapa kalian sembunyikan ini semua dariku? apa aku bukan manusia? apa aku tidak dianggap ada, hah!" marah Diandra.Handoko menundukkan kepalanya, mencari kalimat yang tepat agar gadis itu tidak semakin marah.Diandra menunggu jawaban dari lelaki yang kini berdiri di depannya dengan menyilangkan tangan di dadanya."Aku tidak mau kau kembali jatuh sakit karena mendengar berita ini, demi kesehatan dan kebaikanmu juga. Maafkan aku jika membuatmu tersinggung," sesal Handoko.Diandra menghela napas dan membuangnya kasar. Gadis itu merasa sangat marah karena dianggap sebagai beban bagi mereka. Sedih mulai menjalar di hatinya, matanya mulai menghangat, pertanda buliran bening akan turun membasahi pipinya.Benar saja, air mata pun jatuh menetes tanpa aba-aba. Kepalanya mendadak sakit dan dadanya terasa sangat sesak. Ber
"wa'alaikumussalam," jawab mereka bertiga.Tampak Fahri masuk ke dalam rumah, raut wajah tidak suka pun tergambar jelas di wajah kakaknya itu melihat Diandra."Kapan nyampe? Lagi ga bikin masalah kan?" tanya Fahri..Diandra pun mengatakan dirinya baru saja sampai. Fahri pun masuk ke dalam kamarnya tanpa berbicara apapun.Fikri dan keluarganya sangat mengenal Diandra, kedua orang tua Diandra juga mengenal mereka, hanya saja, tidak terlalu dekat. Biasanya Diandra datang dua Minggu sekali atau sebulan sekali mengunjungi mereka, namun sudah beberapa bulan ini gadis itu tidak mengunjungi mereka.Fikri adalah teman Diandra semasa SMA, bisa dibilang mereka saling suka di dalam diam. Keadaan sedikit kacau ketika Fahri juga menyukai Diandra dan memintanya untuk menjadi istrinya. kejadian itu enam bulan yang lalu, karena ditolak, Fahri marah kepada Diandra lalu enggan bersikap baik kepada gadis itu."Neng sudah makan? Umi masak banyak loh. Entah kenapa pengen masak banyak, ternyata gadis yang Um
Sisy mengumpulkan semua pekerja di rumahnya, setelah mendapat laporan dari Bi Munih bahwa Diandra tidak berada di dalam kamarnya. Raut panik tergambar jelas di wajahnya yang cantik. “Maaf, Nyonya. Saya tidak tahu kalau Non Diandra kabur, karena penampilannya seperti biasa, tidak mencurigakan,” ungkap petugas keamanan.Lelaki paruh baya itu tertunduk dan takut jika dipecat karena membiarkan Diandra keluar rumah.Sisy berjalan hilir mudik sambil menghubungi nomor ponsel Diandra, tak jua kunjung ada jawaban. Wanita itu kini menghubungi Handoko, siapa tahu lelaki itu bisa memberikan informasi yang di butuhkannya.“Apa! Diandra kabur lagi? Saya tidak tahu, Tante. Waktu saya pulang dia masih berada di rumah,” terang Handoko.Handoko juga menceritakan bahwa saat itu Diandra sangat marah dan merasa tidak dianggap sama sekali. Melihat emosi sedang meluap, maka dirinya membiarkan gadis itu menenangkan diri dengan pulang ke rumahnya.Kediaman Darwin kembali panik. Handoko berusaha melacak, nam
[Syarat? Apakah sulit? Apa itu?] tanya Diandra.[Tidak sulit, aku akan memberitahumu nanti jika sudah ku pikirkan,] jawab Jhon.Diandra tidak mengungkapkan isi pembicaraannya dengan Jhon beberapa waktu lalu. Dia khawatir jika nanti Dara dan kakaknya menolak untuk berbulan madu.Bosan berbincang, mereka kemudian membubarkan diri menuju kamar masing-masing. Diandra termenung seorang sendiri, dia memikirkan apa syarat yang akan diajukan oleh Jhon kepadanya.‘Kira-kira apa ya syaratnya? Kok aku jadi was-was, ya? Duh mana boleh aku berburuk sangka begini,’ pikir Diandra.Waktu berlalu, kini Diandra serta keluarga yang lainnya sudah berada di bandar udara. Mereka mengantar tiga pasang pengantin baru untuk berbulan madu.“Hati-hati selama di kampung orang. Jaga tata krama, patuh sama peraturan setempat,” pesan Darwin.Berbagai macam pesan pun mereka lontarkan untuk para pasangan yang akan berbulan madu. Pengumuman akan keberangkatan negara tujuan pun terdengar. Mereka berpelukan dan melepas
“Apaan sih teriak-teriak!’ sembur Sisy.Tampak Diandra berjalan kian kemari mencari sesuatu. Sesekali dia menggaruk kepalanyan lalu menarik rambutnya karena kesal sambil menggerutu.Keluarganya dan yang lain memperhatikan perangai Diandra yang terbilang ... ajaib. Bagaimana tidak, usai berteriak, dia hilir mudik sambil menggerutu. Berbagai pertanyaan juga diabaikan begitu saja tanpa menjawab.“Hei ... wajan ikan paus. Kamu ini kenapa sih? Duduk dulu coba, kepala kami pusing liat kamu mondar mandir gak karuan. Liat tuh Mama sama Papa lengkap sama keluarga inti melototin kamu dari tadi.” Dara mendudukkan Diandra di atas tempat tidur.“Anu ... cincin tunangan aku ilang. Kan mahal itu,” ungkap Diandra.Semua yang mendengar terkejut, bagaimana bisa Diandra seceroboh itu. Sisy menghampiri Diandra dan segera menjewer telinganya karena gemas.“Itu yang gantung di kalung kamu apa? Setan? Pagi-pagi bikin emosi jiwa aja deh. Bisa rusak perawatan mukaku gara-gara kelakuan edan kamu itu,” geram Si
“Entahlah, aku aja bingung sama perasaanku,” keluh Diandra.“Apa ... aku boleh memberi saran? Menurutku dia yang terbaik untukmu. Ini dari sudut pandangku sebagai lelaki, seandainya kau gagal dengannya aku bersedia menikahimu, hahaha,” ujar Jhon berseloroh.Diandra tergelak, di dalam hati dia menggerutu bagaimana bisa pernikahan dibuat gurauan. Baginya pernikahan sekali seumur hidup dan jangan sampai melakukan kesalahan.Usai makan siang, mereka kembali ke kantor Diandra. Tiba di kantor, dia mendapat kabar dari bagian produksi kalau pesanan pria asing itu sudah selesai. Mereka menuju ruang produksi, tampak empat buah busana sudah terpajang di sana. Jhon mengamati dengan rinci setiap jahitan dan juga polanya. Dia tersenyum puas dan mengagumi busana yang sudah dipesan tersebut. Lelaki itu merogoh saku dan mengambil benda pipih dari dalam, lalu menghubungi timnya agar mempersiapkan penerbang an kembali ke negara asalnya.“Aku sangat puas, rasanya tidak sabar untuk memamerkan karya ini d
Lelaki itu adalah Handoko. Dia menatap rumah Dara dengan tangan terkepal, wajah memerah menahan amarah. Dia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukan ke rumah Diandra.Sesampainya di sana, Mahendra dan keluarganya di sambut dengan hangat. Berbagai makan dan minuman sudah di sediakan dengan cepat, bahkan beberapa makanan ringan akan menyusul kemudian.Acara lamaran pun di mulai dengan sangat sederhana. Namun, terasa khidmat. Dara terharu dengan keluarga Diandra dan juga ketulusan dari Orangtua Leofrand. Tukar cincin pun usai, pernikahan akan di laksanakan tiga minggu kemudian.“Cieee, selamat ya. Udah laku aja nih,” seloroh Diandra.“Selamat untuk kalian berdua. Sebagai sahabat dari Diandra, aku akan memberikan hadiah berbulan madu di pulau pribadi milikku selama satu bulan,” ujar Jhon.Suasana terasa hangat. Beberapa kali Dara menyeka air mata yang selalu menetes, dan Leofrand perhatikan itu.Suguhan makanan ringan dan teh dengan kualitas terbaik pun di suguhkan, mereka sangat meni
Diandra menoleh ke arah sumber suara. Tampak olehnya lelaki asing tersebut berjalan ke arahnya.“Tuan Jhon? Saya kira Anda kembali ke hotel untuk beristirahat,” cakap Diandra dengan menggunakan bahasa asing.“Tidak, saya ingin tahu bagaimana pakaian yang luar biasa itu tercipta,” sahut Jhon.Diandra kemudian mengajak pria asing itu duduk di sebuah bangku panjang yang berada di sudut. Keduanya duduk di sana sambil mengamati pekerja yang sedang melaksakana tugasnya dengan serius.“Maaf jika aku lancang karena ini adalah ranah pribadi, apakah lelaki yang di rumah sakit tadi adalah tunanganmu?” tanya Jhon.Diandra menoleh sebentar, kemudian menatap lurus dan menceritakan kisah cintanya. Satu jam sudah Jhon menjadi pendengar setia tanpa menyela sepatah katapun.“Anda luar biasa. Di tengah drama hidup percintaan masih bersikap profesional, salut.” Jhon bertepuk tangan pelan.Senyum patah nan pahit terukir dari bibir Diandra.‘Orang bule ini aneh banget sih. Orang lagi galau begini malah di
“Apa aku boleh masuk? Enak bener makan sendirian ga ngajak-ngajak,” sapa Fikri.Diandra mengangguk sambil meneguk air karena batuk tersedak.“Aku duduk ya.” Fikri menutup pintu kemudian duduk di depan Diandra.Diandra segera membersihkan tangan dengan tisu, jantungnya berdebar dan suasana sedikit kaku karena kehadiran lelaki yang kini duduk di hadapannya.Fikri menatap lembut gadis yang diam-diam sangat di rindui selama beberapa bulan ini. Ingin rasanya dia memeluk tubuh Diandra, jika saja tidak melanggar peraturan agama yang di anut.Fikri segera menyadari kesalahannya. Duduk berdua dalam ruangan tertutup saja akan menimbulkan fitnah dan dosa. Dia kemudian mengajak Diandra duduk di sofa yang di peruntukkan bagi pelanggan.“Maaf aku tadi lancang. Kangen banget sama kamu, Di,” ungkap Fikri.Diandra diam saja. Hatinya memang berdebar saat lelaki yang pernah menjadi penghuni hati datang tiba-tiba. Dia juga tidak menampik jika bahagia datang begitu saja saat mendengar suara serta senyum t
“Diandra kenapa bisa pingsan begini?” tanya Meliana.“Doi pingsan begitu denger transferan 1M, Cin,” terang karyawan Diandra yang ... bertubuh pria berperangai wanita.Meliana tidak kuasa menahan tawa dan terbahak-bahak. Suara tawa itu membuat Diandra siuman.“Satu miliar, mana satu miliar,” ucap Diandra panik.“Hei ... tenang, Sayang. Ini kakak,” kata Meliana.Mata Diandra terbelalak dan memindai sekitar kemudian melompat dari tempat tidur dan berlari, dengan sigap Meliana menagkap tubuh adiknya tersebut.“Tamunya, kak. Aduh bisa gagal ini satu miliar,” cemas Diandra.“Di, di sana ada Mama. Sebentar lagi mereka sampai,” jelas Meliana.Mendengar itu, Diandra kembali ketempat tidur dan berbaring seolah-olang pingsan. Meliana melipat dahi karena bingung dengan apa yang di lakukan adiknya itu.Tak lama terdengar suara menggunakan bahasa asing, tampak pria asing tampan bermata biru bersama sang ibu.Sisy memperkenalkan Meliana kepada tamunya yang bernama Jhon tersebut.“Anda Ibu yang lua
Diandra kehilangan keseimbangan dan hampir saja menabrak pejalan kaki. Dia menepi sejenak guna menenangkan diri.“Sial emang si Domo. Pake acara hampir jatoh segala,” gerutu Diandra.Usai merasa tenang, Diandra kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, dia terkejut melihat mobil milik Handoko terparkir di sana.Diandra menarik napas kemudian masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam terlebih dahulu.“Di, kok kamu pulang telat, sibuk banget ya sekarang?” sapa Handoko.“Iya.” Diandra duduk di sisi Darwin dan menyandarkan kepala di bahu sang Ayah.Handoko tersenyum, melihat dan mendengar suara Diandra saja sudah cukup untuk melepas rasa rindunya selama ini. Dia memandang lekat gadis pujaan hati dan berusaha merekam semuanya untuk di kenang saat rindu menyapa jiwa.Puas memandang selama sepuluh menit, lelaki itu kemudian pamit untuk kembali.“Udah malem, Om, Tante. Saya pulang dulu, assalamualaikum,” pamit Handoko.“Kok buru-buru banget, sih? Waalaikumussalam,” kata Sisy.
Diandra sangat sibuk sekarang. Tidak ada yang berubah dari penampilannya, sikap yang semakin matang serta waspada dalam mengelola usaha yang menjadi pembeda. Selebihnya sama saja seperti yang sudah-sudah.Perlahan Fikiri dan Handoko sudah terkikis dari dalam pikiran dan hatinya, dia tak lagi mau di pusingkan dengan masalah asmara. Baginya masa lalu biarlah tetap berada di tempatnya dan tidak menganggu di kehidupan masa kini. Di kenang jika dia ingin.Sisy kini merasa kehilangan sikap konyol putri bungsunya, karena kini Diandra pulang dari butik langsung menuju kamar setelah berbasa basi sejenak.“Kangen sama anakku yang dulu, sering bikin sakit kepala sih tapi, aku suka,” keluh Sisy.“Berarti dia sekarang lagi belajar dewasa, Ma. Biarkan aja,” kata Darwin.“Papa ga khawatir? Siapa tau aja dia tiba-tiba minta nikah,” cetus Sisy.Darwin melipat kening, perkataan sang istri baru saja masuk akal. Bagaimana jika putri bungsunya tiba-tiba meminta untuk menikah? Hatinya belum siap melepas pu