Kan sudah menikah. Meskipun ada perjanjian juga tetap sah. Jadi tidak berdosa lagi.Patonah kemudian membuka cadarnya, menanggalkan kerudungnya dan menggulung lengan bajunya sampai siku. Begitu juga dengan pakaian bawahnya. Dia mengangkat sebatas lutut dan menyelipkan bahan atas ke pinggang. Kemudian dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.Dia mengambil air wudhu.Lalu keluar lagi dan menggelar sajadah ke arah Kiblat tepat di depan ranjang. Dia sempat melihat wajah Al yang kebetulan menghadap ke arahnya. Pria itu lumayan tampan, tapi sayang begitu menyebalkan. Songong dan sombong bagi Patonah.Kalau bukan karena balas budi, mungkin Patonah juga malas menikah dengan pria ini. Sama sekali bukan tipenya. Eh , tapi enggak juga sih? Karena dia, sebenarnya dia. Eh, eh. Gadis itu memukul kepalanya sendiri kemudian segera beristighfar. “Ampuni aku ya Allah. Bukan bermaksud menghindari takdir darimu. Ampuni ya Allah.”Sebagai jebolan santri pondokan, tentu Patonah paham dengan apa itu p
Lagian, menikah dengan Al bukanlah pilihan yang terlalu buruk baginya. Patonah mengenang saat pertama kali mengenal Al, walaupun sikap dingin dan ketus tampak jelas dari perilakunya, tapi ia mampu menangkap bahwaAl bukanlah orang yang kejam atau jahat.Semua perilakunya itu hanya dibuat-buat untuk membuat dirinya tidak betah di sisinya. Patonah yakin, itu hanyalah sebuah trik murahan, dan mudah ditebak olehnya. "Yoo, kita lihat saja. Siapa yang akan kalah!" semangat Patonah menguat, menantang nasib yang sebentar lagi akan menjemputnya.Patonah sendiri sebenarnya tidak lugu dan polos, sebenarnya bukanlah gadis istimewa. Dia juga layaknya para gadis modern zaman kini. Tepatnya, dia juga gadis biasa yang kebetulan tinggal di desa dan masuk pondok pesantren sehingga akhlak dan perilakunya lebih terjaga.Namun, dia tetap mengikuti tren pergaulan saat ini.Cadar yang ia kenakan, bukanlah sesuatu yang sudah lama ia pakai maupun kewajiban yang diharuskan. Patonah hanya mengenakannya saat aka
Lalu Al menutup laptop dan menarik nampan sarapan. Perutnya sebenarnya sangat lapar, hanya saja dia tadi masih badmood, jadi malas keluar.Akhirnya Al menyantap sarapan hingga tanpa sisa.Al merasa bosan setelah berjam-jam terkurung di kamarnya. Dengan langkah lesu, ia keluar berharap menemukan tempat yang lebih menarik untuk mengusir jenuh. Ketika melintasi kamar kakeknya, tawa Kakek terdengar menyayat kesunyian. Al mendekati pintu kamar yang terbuka lebar dan mengintip ke dalam. Di sana, Patonah sedang memijat telapak kaki Kakek yang duduk berselonjor."Haha, geli geli...ah, sakit...aduh! Jangan disitu!" Kakek tertawa, kemudian meringis, mencoba menahan rasa sakit saat Patonah menekan bagian tertentu di telapak kakinya."Ini saluran ginjal, Kek. Yang ini saluran jantung," jelas Patonah sambil terus memijat kaki Kakek."Kalau sering dipijat seperti ini, bisa mengurangi resiko jantung lemah dan batu ginjal, lho." Rasa bosan Al sedikit terobati dengan menyaksikan adegan kocak antara Ka
"Patonah! Ini kamu,""Sudah cukup! Gak usah bentak bentak! Nggak usah diperpanjang lagi. Kalau tidak boleh tidur di atas ranjang kamu ya sudah. Aku bisa pindah. Per-mi-si!" Patonah membalikan badan, menyambar selimut dan menyangking bantal guling. Kemudian gadis itu melangkah keluar, sambil menyeret selimut dan menjinjing Guling.Al membeku di kedua kakinya, pikirannya tiba-tiba kosong. Untung hanya beberapa detik kemudian dia tersadar dan cepat berlari untuk mengejar Patonah. "Eh, tunggu! Kamu mau kemana?”Gadis itu tanpa menoleh atau pun berhenti menjawab, itupun sambil berjalan. "Lanjutin tidur! Masih ngantuk!"Langkah kaki Al yang ingin mengejar Patonah terhenti kala bi Ina tiba-tiba datang menghampirinya."Ya ampun, Den! Kenapa sih ribut-ribut? Kenapa harus bertengkar dengan Non Pat? Jangan seperti ini, nanti tuan besar tau, urusan bisa panjang kali lebar!"Al menoleh, menatap bi Ina. "Aduh, bi Ina. Ini bukan masalah itu. Kami nggak bertengkar kok. Tapi ini,""Tapi ini apa, Hah?
Iseng dia membuka galeri. Sekarang Al jadi terkagum-kagum sendiri. Saat melihat begitu banyak Poto Patonah disana. Ada yang sendiri, bersama kakeknya dan beberapa bersama teman teman santrinya. Patonah mengenakan busana muslim yang menawan dan sangat Cantik bak bidadari.Dia kembali menyesali perbuatannya yang telah menghina dan memaki gadis itu. Untung saja dia hanya berkata dalam hati selama ini. Belum pernah menghina secara langsung pada orang yang bersangkutan.Sebenarnya selama ini dia tidak membenci Patonah, tapi dia juga tidak menyukai Patonah.Okelah.. Setidaknya tidak seburuk yang ia bayangkan selama ini.Perlahan dengan ragu-ragu dia melangkah ingin menyusul Patonah, tapi jantung Al hampir saja berhenti saat dia membuka pintu kamar hendak ingin keluar.Kenapa bisa panjang umur sekali sih?Bidadari cantik dengan mata indah dan berbulu mata lentik itu sudah berdiri di depannya."Eh, hehe. Patonah, tau saja kalau aku mau menyusul." Dia menggaruk kepalanya.Patonah menatap sin
Malam sudah semakin larut, tetapi Al masih belum bisa memejamkan mata. Dia terus saja meronta-ronta di atas kasurnya, mencoba mencari posisi yang paling nyaman. Sesekali Al melirik ke arah Patonah yang sudah tertidur pulas di atas sofa, dengkuran lembutnya terdengar jelas di sepanjang ruangan. Dalam hati Al, rasa bersalah mulai menyelimuti dirinya karena telah membiarkan istrinya tidur di atas sofa."Eh, tunggu dulu. Istri? Pew! Sejak kapan aku mengakui dia istri?" gumam Al, wajahnya langsung berkerut. Tetapi, gelisah kembali menyusupinya. "Aku juga tidak menyuruhnya tidur disitu? Itu keinginan dia sendiri. Inisiatif dirinya sendiri. Mungkin dia sadar diri." Sadar diri? Sadar diri kenapa? Karena aku tidak menginginkannya? Al merasa seperti menjadi orang yang sangat jahat. Di dalam pikirannya, kata penyesalan kembali berkumandang, terus menghantui hingga ia tak bisa tenang.Al, yang tadi sempat duduk di tepi ranjang, kembali membanting tubuhnya ke kasur sambil mendesah. 'Hanya tiga bul
Keesokan paginya, suasana di antara keduanya menjadi sangat canggung. Bahkan saat sarapan tiba, mereka tak mampu mengobrol sama sekali. Kali ini, bukan karena Al malas mengajak bicara Patonah seperti biasanya, melainkan karena rasa malu yang membuak akibat peristiwa tak terduga semalam."Permisi.. Aden! EnNon!" Suara Bi Ina menggema, disertai ketukan pintu yang mengejutkan Patonah dan Al yang tengah larut dalam lamunan. Patonah terperanjat, duduk di ujung tempat tidur, sedangkan Al duduk termenung di ujung sofa. Patonah bergegas meraih kerudungnya dan memakainya sebelum membuka pintu."Tuan Besar memanggil kalian untuk sarapan. Ayo turun! Tapi berdua ya, biar kelihatan akur. Itung-itung buat nyenengin Tuan besar saja. Jangan bertengkar lagi," pesan Bi Ina sambil melirik ke arah Al yang sudah mulai beranjak mendekat."Iya Bi, kami turun. Nggak usah bawel! Awas saja lapor yang aneh-aneh sama Kakek!" balas Al dengan nada setengah bercanda.Bi Ina mengangkat bahu, "Asal jangan melampaui b
'Gila, manis banget?' Al segera mengusai dirinya agar tidak terlihat terpesona oleh gadis desa ini.Mereka pun mulai menyantap sarapan mereka dengan tenang. Di hari pertama ini, Al merasa gugup satu meja makan bersama Patonah. Tangannya terlihat gemetaran saat mengambil sendok. Saat suasana sarapan hampir berakhir, tiba-tiba ponsel di saku Patonah berdering. Patonah segera merogoh saku untuk memeriksanya.Al dan Kakek tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran mereka, karena jarang ada yang menghubungi Patonah, apalagi di pagi hari seperti ini. "Siapa itu, Nak?" tanya Kakek penasaran."Kakekku, Kek," jawab Patonah singkat."Oh, angkat saja, Nak. Siapa tahu ada kepentingan penting," saran Kakek.Patonah mengangguk, segera mengambil jarak untuk menjawab panggilan tersebut.Dalam kesendirian mereka, Kakek segera bertanya kepada Al, "Al, gimana? Apakah kamu mulai merasa nyaman dengan Patonah?""Yah, sedikit sih, Kek. Tapi, masih perlu waktu untuk benar-benar dekat," jawab Al dengan jujur.K
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u
Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura
Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k
Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s