Karena cantik itu relatif, nggak bisa dipaksa! (Rangga)
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Rangga seraya naik ke ranjang.Vina merespon hanya dengan mengangkat bahu. Menanti Rangga bercerita tentang Belinda.Namun, Rangga langsung memejamkan mata setelah mengecup kening Vina. Lalu tidur memunggunginya.Keanehan-keanehan terus saja dirasakan Vina. Rangga yang katanya akan cuti dua minggu itu, tiba-tiba memutuskan masuk kerja. Apalagi, semalam Dion sudah menyelesaikan pekerjaan mereka.'Mungkin hari ini Mas Rangga mau membelikan rumah untuk Belinda,' batin Vina.Rasa penasaran Vina kian membuncah saat Rangga tak mengangkat telepon darinya. Vina ingin mengintai Rangga lebih dekat, tetapi kondisi tak memungkinkan. Di samping karena tubuh bagian bawahnya masih kaku saat bergerak, Vina juga tak bisa meninggalkan Ravi hanya karena ingin menyelidiki suaminya.Alhasil, Vina menghubungi Nana untuk dimintai tolong. Nana segera datang setelah selesai bekerja. Vina pun menceritakan garis besar masalahnya kepada Nana. "Hukuman perempuan gatal itu 'k
"Kenapa dia masih di sini?" gumam Dion seraya menatap halaman gedung kantor. Beberapa saat kemudian, Rafael muncul dari dalam sambil menyapa Nana. Nana tersenyum lebar saat bercakap-cakap dengan Rafael. Dahi Dion berkerut, tak suka melihat pemandangan itu. 'Bocah genit,' batin Dion."Siapa yang masih di sini?" Rangga telat menanggapi."Bukan siapa-siapa." Dion mengambil tumpukan berkas dari meja Rangga. "Saya boleh pulang lebih awal, Pak?"Rangga menaikkan salah satu alis. Jam kerja memang telah usai. Tapi, biasanya Dion selalu pulang bersama Rangga.Sejak rapat tadi, Dion juga terlihat kurang berkonsentrasi. Rangga sedikit penasaran, tapi enggan bertanya masalah pribadi Dion."Katakan pada Vina, aku masih perlu mengurus beberapa hal," ucap Rangga, lalu kembali melanjutkan kerjaan."Baik, Pak."Dion buru-buru turun ke lantai dasar, mencari keberadaan Nana dan Rafael. Tak tahu juga kenapa dia harus melakukan itu.Nana dan Rafael sudah tak ada di tempat tadi. Dion melihat Nana dan Rafa
"Ayah dan Bunda cekalang tidak cayang aku. Katanya, Ayah mau melayakan ulang tahunku di taman hibulan, tapi tidak jadi kalena adikku macih di peyut Bunda," keluh Rachel dengan wajah bersedih saat bermain di taman belakang rumah."Kamu 'kan sudah jadi kakak. Harus mengalah sama adikmu," balas Nevan.Rangga yang hendak mengantar buah-buahan untuk Rachel, tak sengaja menguping pembicaraan dua anak kecil itu. Dia juga menyesal karena tak bisa menepati janjinya."Sayang ... Ayah pasti akan mengajak Rachel ke taman hiburan. Waktu itu juga sudah dirayakan di rumah 'kan? Sabar, ya, tunggu Adik Ravi setidaknya berusia satu bulan. Nanti dirayakan lagi." Rangga meletakkan piring buah-buahan dan duduk di samping Rachel."Ayah tiap hali cuma melihat Adik. Aku tidak pelnah diajak main di lual." Rachel merajuk sambil mencabuti rumput."Ayo, sekarang main sama Ayah."Rangga mengangkat Rachel tinggi-tinggi. Tawa lebar Rachel pun kembali. Nevan yang melihatnya jadi merasa iri."Kenapa? Mau?" tawar Rangg
"Lihat ini, Mas!" Vina tertawa terpingkal-pingkal sambil meringkuk dan meremas perut. Membaca artikel tentang suaminya menaikkan suasana hati Vina.Jika Vina masih bekerja untuk Rangga dan tidak memiliki hubungan apa pun dengannya, dia pasti sudah percaya oleh tulisan pada artikel itu.Rangga tak pernah terlihat bersama wanita. Pertunangan dengan Belinda pun atas dasar dijodohkan kakeknya. Bisa jadi jika Rangga benar-benar ...Tawa Vina kembali meledak begitu membayangkan Rangga dan Dion."Tidak penting. Cuma tulisan orang-orang kurang kerjaan saja tidak perlu dipikirkan," balas Rangga acuh tak acuh seraya membuka kemeja. "Kamu sudah memilih gaun baru untuk acara bulan depan?"Vina mengusap air mata akibat terus-terusan tertawa. "Pakai yang lama saja, Mas. Masih bagus juga.""Sudah dicoba lagi?" Mata Rangga menelisik ke arah tubuh istrinya. "Kamu agak-"Rangga tak jadi mengatakan jika Vina sedikit lebih berisi. Tapi, Vina telah menangkap maksud suaminya."Aku tidak gendut, Mas! Lihat!"
'Halo, Tristan? Masih tersambung 'kan?" Julian mengulang-ulang pertanyaan karena Tristan diam saja sejak semenit lalu.Tristan pun tersadar dari lamunan. Untuk sesaat, wajah Axel terbayang-bayang di benaknya. Sebuah perasaan hangat mengalir dalam dadanya ketika melihat bayi itu."Maaf, Pak. Saya belum menemukan Nona Belinda," dusta Tristan.Untuk pertama kali dalam hidupnya, Tristan membohongi Julian. Dia seharusnya menurut kepada Julian apa pun yang terjadi. Hal tersebut sudah menjadi janji Tristan kepada diri sendiri ketika Julian menerima Tristan di rumahnya.Namun, entah mengapa hati Tristan tergerak untuk melindungi Axel. Bayangan masa kecil dirinya yang tak memiliki orang tua masih membelenggu hatinya.Setelah mendapat orang tua angkat, ayah angkat Tristan justru melakukan kekerasan saat ibu angkatnya meninggal. Bukankah Tristan pernah merasakan kekejaman orang tuanya juga?Tristan tak sanggup mengorbankan seorang bayi kecil demi mencapai ambisi, meskipun datangnya perintah itu b
"Julian ... apa yang kamu lakukan? Di mana ini?" Vina panik bukan main ketika menyadari dirinya duduk dan kedua tangannya diikat pada kursi di sebuah ruangan lembab dan gelap.Julian tak mengindahkan pertanyaan Vina. Dia masih santai menikmati mi instan dengan lahap.Setelah selesai dan membuang bungkus makanan, Julian menyeruput kopi, seolah-olah tak ada orang lain di sekitarnya."Julian! Lepaskan aku! Aku harus bertemu bayiku, Julian ... aku mohon." Kedua tangan Vina berusaha melepaskan ikatan sampai kemerahan, tetapi ikatan itu terlalu kencang.Atensi Julian sepenuhnya tertuju pada Vina sekarang. Julian berjalan lambat ke arah Vina sambil menyeret kursi kayu.Julian duduk berhadapan dengan Vina dengan kursi terbalik. Kedua lengannya bertengger di atas punggung kursi dan kepalanya bersandar di atasnya."Aku juga sama denganmu, Vina. Aku ingin bertemu bayiku. Kamu tahu sendiri 'kan rasanya, bagaimana kalau kamu dipisahkan dari anakmu, hem?"Cara bicara Julian masih seperti dulu, lembu
"Sabar, Pak. Saya akan segera menyuruh orang melacak lokasi Vina. Anda sebaiknya membantu Bi Indah menyusui Ravi," ujar Dion menahan gemetar di tangannya.Meskipun pernah melihat Rangga marah, siapa yang tidak terkejut saat mendengar bantingan dan umpatan Rangga yang sangat kencang?Dada Rangga masih naik turun dengan cepat. Napasnya memburu. Rangga ingin mengobrak-abrik seisi rumahnya dan berharap Vina hanya bersembunyi di sana.Tangisan Ravi kembali terdengar setelah Rangga membanting tablet. Rangga pun tersadar dan segera mengambil Ravi dari gendongan Indah."Suruh Papa dan Ibu pulang sekarang, Dion," perintah Rangga dengan suara bergetar."Baik, Pak," jawab Dion sambil bergegas mencari ponselnya untuk menghubungi Dewa."Bu Indah boleh pulang sekarang," kata Rangga kemudian.Indah meneguk ludah susah payah karena masih kaget melihat kemarahan Rangga. "S-Saya akan membuatkan susu formula untuk Mas Ravi dulu, Pak."Ravi masih menangis keras dalam pelukan Rangga. Agaknya, Ravi dapat me
"Lokasi Julian sama dengan yang dia katakan," lapor Informan.Rangga, Dion, dan Barra bersiap-siap menuju lokasi. Yang lain ingin ikut serta, tetapi Rangga meminta mereka tinggal di rumah untuk berjaga-jaga jika Julian merencanakan hal lain.Dion mengemudi dengan kecepatan penuh. Sampailah mereka di sebuah desa yang minim penduduk. Dion menepikan mobil di tempat titik lokasi.Rangga bergegas keluar dan melihat ponsel dan dot bayi yang ditinggalkan Julian. Ponsel usang itu meninggalkan pesan untuknya.'Aku akan menghubungi lagi setelah bertemu dengan anak dan calon istriku. Jangan lupa, berikan ASI istrimu untuk keponakanku. Aku baik hati, bukan?'"Julian! Brengsek!" umpat Rangga.Rangga menggeram marah dan hampir membanting ponsel. Namun, Dion segera merebut ponsel dari tangan Rangga."Siapa tahu berguna untuk menjebloskan Julian ke penjara," cegah Dion.Julian melakukan kejahatan dengan rapi sampai tak meninggalkan barang bukti. Mereka harus mengumpulkan apa pun yang dapat mereka pero
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto