Jadi pengen mandiin ... kucing đ¸
"Jangan macam-macam, Mas! Aku sedang sakit!" pekik Vina.Vina menjadi takut pada pria di hadapannya. Sebab, Rangga sedang menutupi mulutnya yang sedang tertawa. Sejak kapan Rangga bisa tertawa seperti itu?"K-kenapa tertawa?" tanya Vina keheranan bercampur curiga.Rangga berdehem dan senyumnya menghilang. Dia menggeser bangku ke belakang punggung Vina. Dengan tangan kokohnya, Rangga memegangi kedua pundak Vina."Jangan bergerak kalau tidak mau handukmu lepas. Diikat lebih kencang," perintah Rangga halus.Vina memperhatikan handuk yang hampir terlepas dan gegas merapikannya. Vina melihat mata Rangga yang menjurus pada tangannya yang tengah mengikat handuk, kemudian Vina menggeser badan supaya Rangga tak melihat.Wajah Vina seketika memanas saat kembali teringat tentang handuk dan Rangga. Dia menggeleng pelan untuk mengusir bayangan mengejutkan yang sering mengganggu pikiran."Aaah!" Vina terperanjat tatkala tangan Rangga yang penuh busa menyentuh kulit lehernya."Jangan menggodaku, Vina
"Seperti kata Anda, sudah waktunya saya pensiun. Terima kasih telah menjaga saya selama ini." Dokter Tom tersenyum pada Mahendra dan Vina."Jangan ikut campur, Tom," geram Mahendra.Dokter itu berbisik pada Mahendra, "saya harap, Anda tidak melakukan hal sama seperti dulu. Itu hanya akan menyakitkan hati banyak pihak, termasuk Anda sendiri, Pak. Semoga Anda selalu diberi kesehatan."Setitik penyesalan tersirat pada wajah Mahendra ketika mendengar penuturan Tom. Namun, hanya sekejap saja.Saat dokter Tom telah pergi, Mahendra berkata, "lihat ... karena keegoisanmu, orang lain yang menjadi korban."Vina menunduk sambil membendung air mata. Tak perlu diberi tahu Mahendra pun, Vina juga sangat merasa bersalah."Datanglah ke kantorku jika kamu sudah bersiap pergi. Aku akan memberi kompensasi yang layak karena sudah melahirkan keturunan Cakrawala. Kamu bisa menikah dengan pria lain dan memiliki anak darinya. Bocah itu akan tetap tinggal di sini."Mahendra berbalik pergi setelah mengatakan it
'Gawat, Pak! Pak Mahendra mengajak Vina berkelahi!'Setelah membaca pesan provokatif dari Dion, Rangga berjalan cepat dari rumah sayap kanan ke sayap kiri. Tak ingin jika Mahendra menyakiti hati Vina dengan kata-kata kasarnya."Mas Rangga!" seru dokter Tom.Langkah panjang Rangga terhenti ketika mendengar seruan suara yang familiar di telinga. Dia mendekati dokter Tom yang hendak membuka pintu utama."Kenapa Anda bawa koper? Mau ke mana? Sudah memeriksa calon istriku?" tanya Rangga tak tenang. Matanya juga tak fokus melihat lawan bicara."Saya baru saja berpamitan dengan orang-orang. Pak Mahendra memarahi saya. Beliau menyuruh Nona Vina untuk membuat pilihan sulit," jawab dokter Tom, kemudian membuang napas kasar."Pilihan?"Dokter Tom pun menceritakan semua secara mendetail pada Rangga. Juga memberi beberapa nasihat supaya Rangga menjaga baik-baik calon istri dan putrinya."Saya turut menyesal karena tidak bisa membela Anda," ucap Rangga.Rangga tak enak hati karena dokter Tom telah m
"Bawa mereka keluar dari tempat ini. Pak Mahendra pasti marah kalau sampai tahu aku menghajar orang suruhannya," perintah Julian pada asisten pribadinya."Baik, Pak. Apa perlu saya bawa mereka ke kantor polisi?""Tidak. Masalahnya jadi semakin besar nanti. Pak Mahendra bisa menyuruh orang lain untuk melakukan hal yang lebih parah. Bungkam saja mereka sampai kapok," terang Julian."Baik. Saya akan memanggil orang agar bisa mengeluarkan mereka tanpa sepengetahuan para pengawal."Julian berpaling kepada Vina yang memeluk erat dirinya sendiri dengan gemetaran. Meskipun telah berakhir, rasa ngeri itu masih terasa menghantui."Vina, aku akan mengantarmu kembali ke kamar. Kamu bisa jalan sendiri?" tanya Julian halus.Vina menggeleng pelan. Dia masih belum sanggup beranjak dari tempatnya. Badannya terasa sangat lemas karena sakit dan ketakutan yang dia rasakan.Julian dengan hati-hati menyentuh lengan Vina. Kemudian, menuntun Vina untuk berdiri. Namun, Vina tetap terduduk dan menyelimuti bada
"Tunggu, Mas!" seru Vina.Vina memaksa diri berjalan. Ngilu teramat parah Vina rasakan ketika kakinya mulai menapak lantai.Vina pun berjalan dengan melompat-lompat kecil dengan kaki yang tak terluka sambil bertumpu tembok untuk menyusul Rangga. Jarak mereka melebar, Vina semakin mempercepat langkah. Memaksa kakinya yang sakit untuk berjalan."Mas, tunggu aku ...."Vina merasa sedang berimajinasi jika Rangga terlihat memperlambat langkah kaki. Dia pun segera menyangkal pemikiran mustahil itu. Mana mungkin Rangga menunggu dirinya?Biarpun pemikiran Vina sesungguhnya benar. Rangga sengaja menanti Vina agar dapat menyusul karena Rangga cukup gengsi untuk kembali berbalik setelah diam dan marah pada Vina.Akhirnya, tangan Vina berhasil meraih kain yang melekat di punggung Rangga."Mas, aku mau bicara ...."Rangga refleks menyentak badan ketika tangan Vina menyentuh punggungnya. Pegangan Vina dari kaos Rangga pun terlepas.Vina kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Dia memaksa kaki
"Untuk apa ciuman barusan?" tanya Rangga yang masih terkejut oleh perbuatan Vina.Vina menyembunyikan wajahnya di bahu Rangga, tak berani menatap Rangga, apalagi sampai menjawab pertanyaannya.'Kenapa aku melakukan itu?!' jerit Vina dalam hati.Rangga membaringkan Vina, namun Vina masih mengalungkan tangan di leher Rangga. Karena sangat gugup, Vina tak menyadarinya."Masih mau lagi?" bisik Rangga tepat di daun telinga Vina."T-tidak!" tolak Vina dengan cepat."Kamu tidak mau melepaskan aku? Haruskah aku berbaring di atasmu?" goda Rangga dengan intonasi serius.'Apa yang dia katakan?! Jangan kurang ajar!'Vina menggeleng-geleng, masih menunduk sambil memejamkan mata kian erat. Sedetik kemudian, Vina tersadar, punggungnya sudah menempel di kasur empuk. Vina pun gegas melepaskan tangannya."Aku tidak keberatan kalau kamu masih mau berlama-lama seperti ini."'Kenapa dia jadi banyak bicara?!'Kasur itu bergoyang, Rangga ikut duduk bersandar di kepala ranjang. Vina membuka mata dan kepalanya
"Rangga!"Rangga tak menyahut seruan Mahendra. Dia bergegas menemui calon keluarga kecilnya dan memberi tahu kabar gembira.Kabar gembira? Rangga menelan pemikirannya.Apakah Vina masih mau menerima jika Rangga tak memiliki apa-apa? Apakah Rangga mampu menuruti keinginan putrinya?Ketika Rangga telah sampai di depan pintu, Rangga berhenti sejenak. Sejujurnya, Rangga pun gugup menyampaikan keputusan yang baru saja dia ambil.Setelah merenung cukup lama, Rangga memutuskan akan mengatakan nanti saja ketika mereka benar-benar sudah keluar dari kediaman Cakrawala. Vina yang hatinya lembut itu, mungkin tak akan membiarkan Rangga nelangsa kehilangan segalanya. Penawaran yang diberikan Mahendra tak akan datang lagi. Rangga tak bisa mengambil resiko mendapat penolakan dari Vina.Setelah mengambil dan membuang napas panjang berkali-kali, Rangga memutar kenop pintu. Di dalam, Rachel tengah bermain dengan Dion di atas ranjang bersama Vina.Mata Rangga melebar melihat Dion berdekatan dengan Vina.
"Tidak, singgasana itu hanya untuk Rangga. Julian tidak akan bisa melampaui Rangga. Dia hanya akan menjadi pengganti, sebelum Rangga kembali."Mata Mahendra memanas ketika melihat satu-satunya cucu yang tinggal bersama dirinya tengah berjalan menjauhi gerbang besar kediaman Cakrawala.Kecewa tengah dia rasakan karena Rangga memilih jalan yang salah. Namun, Mahendra tak menyesal dengan keputusannya.Rangga perlu membuka mata. Mahendra yakin, Rangga akan kembali setelah tahu jika tak ada gunanya mempertahankan perempuan itu.Rangga akan kehilangan banyak hal tatkala dia berani menentang perintah Mahendra. Seperti ayah Rangga yang dengan bodohnya memilih istri penyakitan. Dan akhirnya kehilangan wanita itu karena tak sanggup membayar biaya pengobatan.Ingatan dua puluh lima tahun lalu tampak mirip dengan pemandangan di depannya. Dewa Cakrawala, ayah Rangga juga pergi dengan istrinya, meninggalkan Rangga dengan Mahendra."Pilihan bodoh. Kamu akan menyesal, Rangga," gumam Mahendra.***"Di
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.âSelamat atas pernikahan Anda, Nona,â ujar pelayan itu.âTerima kasih.â Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
âBukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,â balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.âBenar ⌠sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,â ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.âTerserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.ââItu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,â sanggah Dewi.âBukan itu intinya, Ma!âJulian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
âAstaga ⌠kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?âBelinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. âTerima kasih, Om.âDewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.âDi sini kamu rupanya.â Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. âApa yang kamu katakan pada menantumu?âDewi menoleh pada Dewa singkat. âApa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.âDewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.âBelinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
âAku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?â protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. âTidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.ââTristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!â Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.âKalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!â Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.âKalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!â Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.âLinda!â pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.âJulian, kamu sudah bangun.â Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!âBayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?â Julian berusaha berdiri dengan kalap. âAda air menyembur dan âŚ.âManik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.âKenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?â Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.âTenang, Julian!â bentak Vina. âLinda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang ⌠aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh ⌠kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto