Yang dulu membenci Belinda, kalian puas atau malah jadi kasihan?
Belinda menatap nanar langit-langit di atasnya. Tulang-tulang di badannya terasa ngilu dan nyeri. Julian begitu kasar memperlakukan dirinya. Semakin kuat Belinda memberontak, maka semakin hebat pula Julian mendesak.Setelah puas menikmati tubuh sang istri, Julian sekarang sedang duduk santai bersandar di kepala ranjang sambil mengotak-atik ponsel dengan senyuman. Seakan tak pernah melakukan kesalahan apa pun.Julian meletakkan ponsel di nakas setelah beberapa lama, lalu menggeser badan hingga tidur sejajar dengan Belinda. Dia memeluk Belinda dari samping dan memberikan kecupan ringan di kening Belinda.“Masih sakit?” tanya Julian sambil membelai lembut rambut Belinda.Belinda memejamkan mata dan berguling memunggungi Julian. Julian mengikuti pergerakan Belinda, lalu memeluknya dari belakang. Dengan penuh kelembutan, Julian mengusap-usap bekas kemerahan akibat tangan kasarnya.“Kamu marah padaku?” tanya Julian.Karena tak mendapatkan jawaban satu pun, Julian kembali bertanya, “Kamu sung
Belinda terkejut bukan main saat melihat Tristan tiba-tiba berdiri di hadapannya. “Tristan … kamu ….” Kenapa dirinya merasa sangat senang hingga berdebar-debar kencang karena melihat Tristan setelah sekian lama tak berjumpa?Tak hanya Belinda, jantung Tristan seakan melompat-lompat hendak keluar dari tempatnya karena dapat melihat wajah cerah Belinda lagi.Sebelumnya, Tristan sangat percaya diri akan mendekati Belinda. Ada dorongan besar untuk menarik wanita itu ke dalam pelukan karena kerinduan yang mendalam.Akan tetapi, ketika berhadapan langsung dengan Belinda, Tristan membeku di tempat. Tangan Tristan begitu dingin dan bibirnya terasa kelu saat ingin mengucap sesuatu.“S-sejak kapan …” Belinda menelan ludah susah payah sebelum melanjutkan ucapannya, “sejak kapan kamu dibebaskan? Kenapa kamu selalu menolak kunjunganku? Bagaimana dengan kejadian penusukan waktu di dalam sana? Dan kenapa kamu ada di sini sekarang?” Belinda tak bisa menahan semua pertanyaan yang terlintas dalam benakn
Hangat. Akhirnya Tristan dapat merasakan kehangatan wanita yang sangat dia rindukan. Wangi rambut Belinda seolah membius Tristan sehingga dirinya tanpa sadar memeluk semakin erat.Dalam sekejap, Tristan membalik tubuh Belinda sampai menghadap dirinya. Sorot mata Belinda yang menatap lurus padanya, membuat Tristan mencondongkan wajah mendekat."Tristan ..." Belinda segera mundur sambil mendorong dada bidang pria itu. "Maksud saya … Pak Tristan. Apa yang akan Anda lakukan?"Belinda tentu senang bertemu lagi dengan Tristan. Namun, dia merasa sedang melakukan kesalahan jika tak segera menghentikan Tristan.Biarpun Belinda tak mencintai Julian, dia masih ingat bahwa dirinya masih berstatus istri orang. Jangankan Tristan, kepada Bima yang bertahun-tahun mengejar cintanya pun, Belinda enggan membuka hatinya.Sudah cukup Belinda melakukan banyak kesalahan beberapa tahun silam. Dia tak ingin mendapat hukuman karena mengkhianati pernikahan dengan Julian. Terlebih lagi, Belinda tak ingin jika A
Tristan menghadap pada dinding kaca dan melihat pemandangan di bawahnya. Julian saat ini tengah membukakan pintu mobil untuk Belinda, lalu mendudukkan Axel di kursi penumpang depan.Kehangatan yang ditunjukkan keluarga Belinda itu membuat Tristan merasakan nyeri di dada. Bukankah dirinya akan ikut bahagia apabila tiga orang yang berarti bagi hidupnya juga menemukan kebahagiaan mereka?Namun, kenapa Tristan merasa tak senang melihat kebahagiaan itu?Mungkin, karena Tristan sangat mengenal Julian Cakrawala, dan dia sangat yakin jika Julian tak akan semudah itu berubah. Ditambah lagi, Julian masih belum dapat memaafkan dirinya yang telah berkhianat.Tristan juga mengingat ancaman Julian yang tak akan membiarkan dirinya bahagia sampai kapan pun. Julian pun tahu sekali apa yang menjadi kebahagiaan Tristan setelah menghabiskan waktu bersama Belinda dan Axel dulu, sampai berani membohongi pria yang telah dianggap sebagai saudaranya sendiri.Sebuah pertanyaan mengusik pikiran Tristan. Lalu … b
"Cuma ini, Mas, yang kamu tulis?" Vina baru saja selesai membaca tulisan tangan Rangga di buku harian mereka. Tak ada satu kata pun yang menceritakan tentang Tristan.Vina jadi merasa sebal. Mereka menggunakan media yang dapat digunakan bersama agar bisa mencurahkan sesuatu yang tak bisa dikatakan secara lisan. Juga sebagai catatan mereka berdua agar dapat dikenang sepanjang masa.Lalu apa gunanya mencurahkan isi hati ke dalam kertas kalau tak ada kejujuran di dalamnya?"Hanya itu yang aku lakukan hari ini dengan Julian, Sayang. Julian selalu menyindirku dan memelototi aku, Sayang," adu Rangga seraya mengusap-usap kepalanya di dada sang istri."Julian sudah tidak bisa berbuat macam-macam lagi. Semua pengeluaran Julian dicatat oleh Kak Lia. Bukannya tadi Mas Rangga kelihatan akrab dengannya?"Rangga menarik wajahnya untuk menatap wajah sang istri yang selalu dirindukannya. "Julian itu licik, Sayang. Dia bisa memanipulasi pengeluarannya dengan menggunakan alasan untuk memenuhi kebutuhan
Rangga menarik tangan Vina masuk ke ruang pertemuan, lalu menguncinya dari dalam. Mereka membiarkan para sekretaris berdiri di luar ruangan.Melihat wajah cantik istrinya, Rangga tak tahan ingin menciumnya. Akan tetapi, Vina segera mengelak dan mendorong Rangga mundur. Kemudian, menyuruh para sekretaris masuk.“Sayang ....” Mata Rangga melengkung ke bawah tanda kecewa.“Saya datang ke sini bukan sebagai istri Anda, melainkan sebagai pemilik VnR. Mari kita duduk dan membahas kerja sama perusahaan kita.” Vina bicara dengan sopan dan profesional, seakan-akan pria di hadapannya adalah orang asing baginya.Rangga tersenyum samar. Istrinya suka sekali bermain peran seperti sekarang. Vina selalu melakukan itu ketika sedang marah atau kesal dengannya.Bukan hanya sekali dua kali saja Vina bertingkah serupa. Bahkan, Vina pernah memakai baju pelayan seharian, hanya karena Rangga tak sengaja membentak Vina saat menumpahkan kopi di atas dokumennya.Walaupun Rangga tak tahu alasan Vina marah padany
"Rangga!" Belinda berlari kecil menyusul Rangga. "Bisakah kamu meminta orang lain untuk menemani Tristan?" pintanya."Bukankah kamu pernah bilang ingin bekerja keras demi Axel? Gajimu lebih banyak dengan posisimu sekarang. Axel boleh diajak ikut. Kalau tidak, biar Axel tidur di rumahku selama kamu tidak ada."Bukan itu yang menjadi masalah Belinda. Bagaimana dia harus minta izin pada Julian?Julian bisa tahu tentang Tristan saat mengantar dirinya nanti. Belinda jadi seperti sedang menyembunyikan kekasih gelapnya dari sang suami."Julian tidak akan mengizinkanku menginap beberapa hari di luar," ujar Belinda memelas."Katakan itu kepada Tristan. Dia bosmu sekarang. Dan aku tidak bisa ikut campur di RnR Fashion karena Tristan memiliki hampir seluruh saham di perusahaan ini."Rangga meninggalkan Belinda yang masih berdiri di tempatnya."Vina ...," ucapan Belinda berhasil menghentikan langkah Rangga. "Vina memintaku untuk menjaga jarak dari Tristan. Kalau Vina sampai tahu kalau kamu merenca
“Argh!” Julian menggeram tertahan seraya menggenggam erat ponsel dan seakan ingin dibantingnya.Dia berjalan kembali menuju tempat Belinda dan Axel menunggu. Wajahnya merah padam menahan amarah dan rasa malu.Baru saja, Julian merasa bangga karena dapat menyenangkan istri dan anaknya. Namun, kesenangan itu tiba-tiba lenyap karena kakaknya tak mau memberinya uang tambahan.“Uang saku tiga bulan cuma satu miliar? Hah!” Julian tertawa singkat tak percaya. ”Kenapa tidak bilang dari awal, sialan?!” Julian terus-menerus mengumpati Lia sepanjang jalan.Belum ada satu minggu, Julian sudah menghabiskan uang sebanyak itu, tapi jumlah tersebut terlalu kecil untuknya. Dan … bagaimana dirinya bisa bertahan selama tiga bulan ke depan tanpa uang?Menghidupi diri sendiri saja tak akan bisa, apalagi menafkahi keluarga kecilnya? Julian terlalu malu jika harus meminta uang kepada sang istri.Uang … benar … kertas tipis konyol itu dapat mengubah segalanya.‘Belinda tidak boleh sampai tahu kalau aku tidak
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto