Jangan lupa siapin amplop sumbangan atau kado 💰🎁
"Mau ke mana, Mas?" tanya Vina lirih.Ketika Vina membuka mata, Rangga sudah berpakaian rapi, wajahnya pun secerah mentari pagi. Sementara Vina masih acak-acakan baru bangun tidur dengan wajah mengerut lemas.Alas tidur di ranjang itu pun sebagian melorot ke lantai. Bantal-bantal juga berserakan sampai di area kaki. Menunjukkan betapa ganasnya Rangga saat bermain tembak-menembak semalam."Bicara dengan papimu. Kamu lanjutkan tidur saja. Nanti kalau Ravi minta ASI, Mas akan bawa ke sini."Dikecupnya kening sang istri. Rangga tersenyum kecil melihat Vina yang tampak seksi hanya tertutup sebagian dari selimut."Aku mau ikut, Mas. Tunggu aku mandi sebentar ...."Badan Vina terasa remuk redam. Namun, dia tetap memaksa bangun. Vina juga ingin menjadi saksi di saat Dion hendak melamar Nana secara resmi di depan ayahnya.Melihat sang istri masih kelelahan seperti itu, Rangga menjadi tak tega. Diangkatnya tubuh polos istrinya hingga masuk kamar mandi."Keluar, Mas. Nanti kamu ikut mandi lagi!"
"Tidak mau! Masa aku menikah bersama Papi," protes Nana, "lagi pula, aku harus memilih gaun pengantin, perawatan, memilih dekorasi, dan lain-lain. Tidak bisa dalam satu minggu ini.""Itu benar. Semua harus disiapkan masak-masak. Tidak baik jika terburu-buru. Paling tidak, enam bulan waktu yang tepat untuk bersiap-siap," balas Surya bijak.Dion tampak sedih mendengar pendapat Nana. Dia sendiri tak mempermasalahkan jika pesta pernikahan mereka dirayakan dengan sederhana, yang penting dirinya sah menjadi suami Nana.Dion sudah muak melajang! Setiap kali mengantar Rangga dan Vina, dirinya selalu dihadapkan oleh kemesraan pasangan suami istri itu dan selalu berhasil membuat Dion pusing tujuh keliling. Selain itu, Dion juga tak ingin jauh-jauh dari Nana. Semakin hari, gadis itu membuat dirinya semakin gemas.Biarpun demikian, Dion juga mengerti bahwa keinginan Nana sangatlah wajar. Dion pun ingin memberikan Nana kenangan pernikahan terindah yang hanya akan dilakukan sekali seumur hidup. Ha
"Dugaanku benar, 'kan?!" seru Vina. "Ibu ini ada-ada saja."Dalam kotak merah berukuran besar pemberian Martha tersebut, berisi alat-alat perang ranjang lengkap dan bermacam-macam jenis yang membuat kakak-adik itu geleng-geleng kepala."Aku sembunyikan di lemari dulu, Kak." Nana menyeret kotak tersebut dan memasukkan ke lemari yang jarang digunakan agar tidak ketahuan Dion."Bajunya diambil saja, Nana. Dion pasti suka kalau kamu pakai ini." Vina terkekeh pelan sambil memungut gaun tipis dari kotak tersebut sebelum Nana menutup lemari."Kak Vina!" pekik Nana. Biarpun terlihat malu, adik tiri Vina itu tetap mengambil gaun tersebut dan berencana memakainya."Sudah, ya ... aku ke tempat Mas Rangga dulu. Dia nanti mengamuk kalau ditinggal sendirian. Selamat bersenang-senang, Nana!" Vina melambaikan tangan dengan senyum menggoda.Nana mencegah Vina yang hendak keluar kamar dengan memegangi tangan kakak tirinya itu. "Kak ... itu ..." Manik mata Nana berkeliaran tak tentu arah, wajahnya merah
"Mamaku akan menghentikan bantuan keuangan jika aku tidak ikut dengannya," isak Belinda."Belinda ..." Vina ikut sedih mendengar penuturan Belinda. "Tinggal saja di sini. Axel membutuhkan kamu. Semua orang yang ada di sini juga keluargamu sekarang. Kami akan membantumu jika kamu membutuhkan sesuatu. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan tentang uang.""Aku tidak bisa terus merepotkan semua orang yang ada di sini, Vina. Aku harus bekerja untuk membesarkan Axel, tapi tidak akan ada yang mau menerimaku sebagai model atau bekerja lain dengan statusku yang pernah dipenjara," balas Belinda."Jangan mengkhawatirkan masalah itu. Yang terpenting, kamu fokus saja membesarkan Axel. Kamu tidak berpikir untuk meninggalkan Axel sendirian hanya karena masalah uang, bukan?" selidik Vina."Tidak ...."Tentu saja Belinda memilih hidup bersama Axel. Akan tetapi, sebagai seorang anak, Belinda juga merasakan kesedihan yang luar biasa ketika ibunya menolak untuk mengakui Axel hanya karena malu dengan Julian.Bel
"Itu belum selesai, Mas ... Harusnya, Mas Rangga baca saat sudah selesai," gerutu Vina dengan nada manja. "Ayo, kita menyusul yang lainnya."Rangga mengusap air mata yang penuh haru itu. "Iya, Sayang. Mari kita ke sana. Kamu harus mengisi lembaran kosong di buku ini dengan tulisan yang lebih indah isinya.""Mas Rangga mau ikut memenuhi lembaran kosong itu?"Rangga mengurai pelukan, lalu meletakkan buku tersebut kembali ke atas meja. Dia meraih tangan Vina dan mengecup lembut kedua punggung tangannya."Tentu saja, Mas akan membeli ribuan buku untuk menuliskan semua kisah kita sampai kita memiliki cucu dan cicit!" Rangga tersenyum lebar."Ribuan itu terlalu banyak, Mas! Tanganku bisa putus! Mari kita buat akhir yang bahagia agar anak cucu kita senang membacanya."Rangga menatap dalam manik mata kecoklatan sang istri. "Akhir yang bahagia? Tidak ada akhir yang membahagiakan, Sayang. Semua akhir itu pasti menyakitkan dan menyedihkan biarpun kita dapat menerimanya.""Maksudnya ...?" Vina mem
"Rangga ... ah ...." Wanita itu mendesah dan mencakar punggung Rangga tatkala dirinya merasa kesakitan yang begitu hebat sewaktu pria yang dipanggil Rangga itu berhasil mengambil kesuciannya.Apakah wanita itu menyesal karena telah memberikan kesuciannya kepada Rangga Cakrawala? Tentu saja tidak! Justru itulah yang diharapkan wanita itu!Rangga Cakrawala adalah suami masa depannya. Entah Rangga suka atau tidak padanya, pria itu harus menjadi miliknya.Saat-saat wanita itu dapat memiliki Rangga pun tiba. Rencana wanita itu untuk menjerat Rangga Cakrawala akhirnya berhasil!Rangga telah bertekuk lutut di hadapannya. Pria itu menggilai tubuhnya dan terus bermain hebat hingga tak tahu berapa kali mereka melakukannya.Walaupun wanita itu merasakan sakit dan nyeri yang luar biasa. Namun, dirinya terus menggoda, meminta, dan memohon agar Rangga tetap bersamanya."Jangan pergi, Rangga ...," desis wanita itu."Kamu ingin lagi?" tanya Rangga.Wanita itu mengangguk. Biarpun dirinya sudah kelelah
'Ini foto Om Ganteng, namanya Om Julian Cakrawala, sepupu ayahku. Om Ganteng baik sekali padaku dulu, Axel. Dia selalu memberikan hadiah yang banyak, lalu membantu Ibu dan Nenek saat kesusahan ... ah, aku jadi merindukan Om Ganteng,' ucap Rachel kala Axel menemukan foto pernikahan Julian dan Belinda.'Om Ganteng ini kenapa berfoto dengan mamaku?' tanya Axel kemudian.'Karena mereka menikah! Oh ... benar, berarti Om Ganteng itu papamu! Kamu 'kan juga ingin adik, minta saja sama Om Ganteng. Kalau tidak ada papamu, kamu tidak akan bisa punya adik,' balas Rachel.'Aku tidak tahu di mana orang ini sekarang ... Mama tidak pernah bercerita."'Om Ganteng masih menginap di penjara, Axel. Dia pasti akan pulang dan menemui kamu dan Tante Cantik. Jangan bersedih, ya.'Masih segar dalam ingatan Axel, percakapan dengan Rachel beberapa minggu yang lalu. Awalnya, Axel mengira jika penjara itu adalah tempat ayahnya bekerja. Namun, setelah menonton berita, Axel baru tahu jika penjara merupakan tempat u
'Om, papaku ada di rumah dan sedang bertengkar dengan Mama. Aku takut, Om.' Axel menelepon Rangga lima belas menit sebelumnya.Rangga yang kebetulan sudah sampai di rumah sakit bersama Vina, langsung minta izin menjemput Axel sebentar. Tentunya, Vina ingin ikut ke sana, Rachel dan Ravi pun juga ingin segera bertemu Axel, tetapi Rangga tegas melarang.Selama lima tahun, Rangga selalu mendapat laporan mengenai Julian di penjara. Orang-orang suruhan Rangga mengatakan jika Julian selalu bersikap baik, tak banyak tingkah, dan lebih sering sendiri dalam dua tahun terakhir.Biarpun apa yang dikatakan mereka mungkin benar, Rangga tak bisa membiarkan dirinya lengah. Rangga selalu beranggapan jika Julian tak akan pernah bisa berubah sepenuhnya, berkebalikan dengan pendapat Vina.Vina terus-terusan mengingatkan Rangga agar tidak gegabah saat menghadapi Julian. Istrinya itu percaya jika Julian sudah merenungkan semua kesalahannya selama di penjara. Menghabiskan waktu selama lima tahun di penjara
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto