Maafkan kekhilafan Author yang masih sering typo. Selamat membaca ^^
"Kami masuk dulu, ya. Sampai jumpa." Belinda melambaikan tangan dan menarik Rangga pergi.Vina dan Julian mengikuti setelahnya. Julian masih menggandeng tangan Vina sampai memasuki area studio premium.Di dalam ruangan itu terdapat tiga baris bangku penonton. Setiap sisi memiliki empat pasang kursi yang setiap pasangnya terpisah oleh meja kecil."Julian ... aku baru sekali ini nonton di kelas premium. Terima kasih, ya.""Ini juga pertama untukku.""Bohong!""Serius ... aku nonton film di rumah biasanya. Tiket tadi cuma pemberian rekan bisnisku yang mengelola tempat ini. Sayang kalau dibuang.""Iya, iya, percaya ...." Suara Vina naik turun menggoda. "Di mana tempat duduk kita?"Julian menuntun Vina ke deretan paling depan. Dua orang itu mematung sejenak tatkala mendapati pasangan sempurna yang baru saja berpisah dengan mereka."Kenapa kita tidak masuk bersama tadi?" pertanyaan Julian spontan membuat pasangan itu menoleh padanya."Kalian juga di sini?" Belinda menaikkan alisnya."Kebetul
"Terima kasih, Pak."Rangga tak menjawab, bahkan tak menatap Vina. Setelah Vina menutup pintu, mobil Rangga dengan cepat meninggalkan tempat itu. Vina menghela napas lega ketika mobil Rangga tak lagi terlihat. Untuk sesaat, Vina merasa aneh karena ditinggal sendirian di pinggir jalan yang agak sepi.Rangga juga tak terlihat ragu ketika menyuruhnya keluar. Tak tahu mengapa, Vina menjadi sedikit kecewa.Setiap kali berurusan dengan Rangga, perasaan Vina menjadi tak tentu arah. Karenanya, Vina berharap tak akan berurusan lagi dengan Rangga. Walaupun kebetulan-kebetulan kecil yang menghubungkan keduanya terus saja terjadi. Seperti keesokan harinya, Vina diberi tahu Ida jika keteringnya dihubungi oleh karyawan Cakrawala Group. "Mereka pesan seribu box, Bu Bos!" seru Ida dengan mata berbinar-binar. "Kita ambil 'kan?""Seribu kotak makan terlalu banyak. Kita juga masih harus membuatkan makanan untuk perusahaan Pak Julian," tutur Vina.Vina sebenarnya senang mendapat pesanan sebanyak itu. D
"Aku tidak tahu kalau itu kateringmu."Vina tak begitu mendengar ucapan Rangga karena suara pintu yang dibuka agak kencang lebih menarik perhatian. Bibir Vina sedikit terbuka ketika melihat Julian memasuki ruangan itu.Julian pun sama terkejutnya dengan Vina. Dia hanya berdiri mematung di depan pintu, tak jadi masuk ke dalam."Maaf kalau mengganggu. Saya akan kembali lagi nanti," ucap Julian, lalu berbalik."Tidak. Saya sudah selesai." Vina berpaling pada Rangga sekilas. "Terima kasih, Pak. Dan ... sekali lagi saya minta maaf oleh kesalahan yang sudah saya lakukan. Permisi."Rangga hendak membuka mulutnya, namun Vina sudah menghilang menyusul Julian. Meninggalkan amplop berisi uang pembayaran kateringnya."Ceroboh sekali," gumam Rangga.Rangga menelepon Dion dan memintanya untuk mengantarkan amplop itu sebelum Vina pergi jauh. Tetapi, Dion tidak mengangkat panggilannya. Sementara sekretaris Rangga masih mengurusi berkas yang ada di ruang rapat.Dengan enggan, Rangga beranjak dari kursi
"Kenapa kamu kelihatan tidak senang begitu?""Biasa saja. Aku sedang sibuk. Kalau tidak ada hal penting yang ingin kamu diskusikan la-""Baik, baik, Tuan Presiden Direktur yang terhormat! Saya permisi dulu." Julian tersenyum tipis dan meninggalkan Rangga.Dion yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka juga merasa sedikit heran. Dia sangat hafal bagaimana ekspresi Rangga ketika sedang memikirkan masalah yang cukup rumit, biarpun tidak ada orang yang tahu selain dirinya."Pak ...""Dion, siapkan uang kekurangan pembayaran katering Vina.""Tapi, Pak, baru saja Pak Julian menam-""Julian menggunakan uang pribadinya. Semua pembiayaan harusnya berasal dari perusahaan kita. Suruh Vina mengembalikan uang itu pada Julian nanti.""Bagaimana kalau Pak Mahendra sampai tahu? Saya dengar, tadi beliau sendiri yang menego setengah harga.""Kakek pasti juga tidak akan senang jika mendengar orang-orang menggunjingkan Cakrawala Group tidak sanggup membayar dengan harga yang sudah ditentukan.""Baik, P
"Bunda, kata Tante Cantik tadi, Om Ganteng mau jadi ayah aku."Bocah kecil itu menepuk-nepuk lembut pipi Vina. Vina menggenggam tangan kecil putrinya dan mengecup berulang kali. Dibelainya rambut lembut hitam sebahu Rachel dengan penuh kasih sayang."Rachel belum mengantuk?" Vina mencoba mengalihkan perhatian Rachel.Rachel menggeleng. Mata Rachel belum sepenuhnya terpejam karena hatinya menggebu ingin mengetahui bahwa apa yang dikatakan Belinda memang benar. Rachel sedikit berharap Om Ganteng sungguh mau menjadi ayahnya.Rachel ingin memiliki seorang ayah. Namun, Rachel takut Vina akan bersedih. Dia pun menyimpan keinginannya dalam hati karena tak mau melihat Vina menangis, seperti sebelumnya ketika dia menanyakan di mana ayahnya.*Flashback on.*'Kenapa aku tidak punya ayah seperti teman-teman, Bunda?'Vina tercengang oleh pertanyaan Rachel. Dia juga tahu jika suatu hari nanti Rachel pasti akan bertanya tentang ayahnya. Namun, Vina tak menyangka pertanyaan itu akan datang lebih cepat
"Tidak perlu. Aku akan memberimu satu tugas lagi. Cari tahu, dengan siapa saja dia berhubungan setelah hari itu sampai sekarang.""Baik, Pak. Biaya-""Aku akan membayar sisanya jika kamu bisa memberi hasilnya dalam waktu satu hari." Rangga melempar satu amplop lain yang berisi uang ke atas meja."Siap, Pak! Saya akan menghubungi Anda besok, di jam yang sama seperti sekarang."Selepas informan itu pergi, Rangga segera menyesal karena memberinya waktu terlalu lama. Dia bisa saja minta lebih cepat, sebab Rangga ingin segera tahu dan membuktikan nalurinya.Apakah rasa aneh yang Rangga rasakan sungguh berasal dari hubungan darah antara ayah dan anak? Atau hanya karena halusinasi yang tercipta akibat rasa bersalah karena telah merenggut mahkota ibunya Rachel?Rangga langsung mengirim pesan pada informan itu untuk memberikan hasil penyelidikan lebih cepat. Setidaknya, Rangga ingin tahu sebelum hari berganti malam.Dan sekarang, matahari tengah berdiri di atas kepala. Rangga bergegas meninggal
"Acaranya sudah siap, Pak." Dion membuka pintu belakang untuk Rangga.Tak seperti hari-hari lalu, wajah Rangga tampak berseri-seri. Beban di dadanya telah terangkat. Tak ada lagi keraguan atau perasaan mengganjal. Rangga hanya perlu melakukan satu hal lain untuk mendapatkan bukti nyata atas segala keresahan yang dia rasakan selama beberapa hari terakhir. Meskipun dia sudah tak begitu membutuhkan itu lagi."Sebenarnya, acara ini untuk apa, Pak?" tanya Dion sambil melirik pada spion yang memperlihatkan sosok Rangga. Dion sungguh penasaran dengan tingkah atasannya akhir-akhir ini. Belum lama ini juga, Rangga meminta Dion untuk mengadakan acara untuk semua playgroup di kota mereka.Sekarang, Rangga kembali membuatkan acara kesehatan di seluruh playgroup yang ada, tanpa alasan yang jelas. Yang menjadikan Dion semakin heran, Rangga selalu mendatangi tempat di mana putri Vina berada."Bukan apa-apa.""Atau karena Vina tidak mau menerima uang pembayaran kemarin itu?""Apa hubungannya dengan
"A-apa maksud Anda? Anda tidak bisa berbicara sembarangan seperti itu, Pak!"Vina berusaha terus menatap Rangga, meskipun dadanya bergemuruh hebat. Dia tak ingin Rangga merasa dirinya benar.Selain itu, dari mana Rangga tahu? Bagaimana kalau Rangga tak mengantar Rachel kembali dan malah membawanya pergi? Bagaimana jika Rangga ingin melenyapkan Rachel untuk menutup aibnya?!Memikirkan semua itu saja membuat Vina gamang. Semilir angin membuat matanya pedih. Namun, Vina berusaha untuk tak memejamkan mata agar air di matanya tak tumpah."Kenapa kamu menyembunyikannya? Apa tujuanmu, Vina?" tanya Rangga dengan intonasi menekan."Saya tidak menyembunyikan apa pun dari Anda! Karena Rachel bukan anak Anda!" Vina tersenyum sinis. "Kenapa Anda bisa berkhayal sampai sejauh itu?"Rangga meraih tangan Vina dan mencengkeramnya begitu kuat. Vina jadi membayangkan peristiwa nahas itu. Tubuh Vina bergetar oleh ketakutan yang merayap dari mata kaki hingga memenuhi sekujur tubuhnya.Vina tak bisa bergerak
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto