Adakah yang juga merasakan kalau hari Senin berjalan lebih lambat dari hari-hari lainnya?
"Apa kamu tega membiarkan anak kita hidup tanpa kasih sayang orang tua lengkap?" Rangga bertanya setengah sadar.Setelah semalam tak bisa menjawab pertanyaan Rachel, Rangga terus memikirkan apa yang putri kecilnya inginkan. Dan pagi-pagi buta, Vina telah berada di depan pintu depan. Pertanyaan impulsif itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Rangga mengira jika Vina datang untuk membawa Rachel dan kembali melarang dirinya bertemu dengan sang putri."Apa Anda mengigau?" Vina menatap Rangga dari atas sampai bawah bolak-balik dua kali.Rangga yang biasanya terlihat berwibawa dan berkarisma, kini hanya mengenakan celana kain selutut dan kaos tipis. Rambutnya pun masih acak-acakan. 'Mungkin dia habis mimpi buruk,' batin Vina."Jangan melarangku bertemu dengan Rachel lagi. Rachel sangat membutuhkan ayahnya," tegas Rangga."Saya barusan bilang, lain kali, Anda harus minta izin kepada saya atau Ibu saya jika mau mengajak Rachel pergi. Saya tidak melarang Anda. Dilarang pun percuma ... karena
"Mulai sekarang, Rachel tidak boleh menginap lagi," tegas Vina.Vina datang ke rumah Rangga setelah terlambat menjemput dan Rachel sudah tidak ada di playgroup. Dia sangat marah walau hanya dengan melihat wajah Rangga.Vina sudah tak melarang Rangga bertemu dengan Rachel. Hanya saja, Rangga tak pernah minta izin atau sekedar memberi tahu jika mau mengajak Rachel pergi."Dia sendiri yang ingin tinggal di sini." Rangga bersedekap dan mengangkat bahu."Ibu saya belum bertemu Rachel dari kemarin. Ibu pasti akan melaporkan ke polisi kalau sampai tahu Rachel tidak pulang semalam dan hari ini."Vina tak menunggu jawaban Rangga. Dia menyenggol lengan Rangga supaya menyingkir dari pintu, kemudian masuk ke kamar Rachel.Rachel masih sibuk bermain-main sendirian. Vina lantas menggendong Rachel tanpa aba-aba. Mainan yang tadinya dibawa Rachel sampai terjatuh dan hancur berkeping-keping."Bunda ... mainanku tatuh ...." Rachel meronta-ronta ingin turun."Nanti Bunda belikan. Kita pulang sekarang, Sa
"Jangan menjanjikan sesuatu pada anak kecil kalau Anda tidak bisa melakukannya. Rachel cepat mengingat sesuatu. Saya tidak mau Rachel menagih ucapan Anda terus."Rangga hanya menghela napas panjang, lalu kembali ke kamar. Dia mengira, Vina akan membicarakan masalah penting, ternyata hanya itu.Tak perlu diberi tahu pun Rangga cukup mengerti apa yang dia katakan. Jika hanya tidur bertiga seperti itu, Rangga tak akan keberatan. Asalkan Rachel tetap bahagia."Bunda di mana? Kenapa lama cekali?" rengek Rachel.Vina lantas kembali ke dalam, berbaring di posisi yang sama seperti tadi. Sampai Rachel terlelap, Vina juga ikut memasuki dunia mimpi. Sedangkan Rangga masih terjaga.Manik hitam Rangga berpindah dari wajah Rachel menuju wajah Vina. Entah apa yang tengah dia pikirkan sampai memandangi Vina cukup lama.***"Minggir ..." rintih suara serak wanita.Rangga menggeliat dan mempererat pelukan. Rachel selalu membuat Rangga merasa tenang.Sudah berapa lama Rangga tak tidur nyenyak seperti sek
"Pergi ...." Martha menurunkan volume suaranya agar Rachel tak terbangun.Rangga tercengang dan diam di tempat. Otaknya masih mencerna satu kata itu ... memperkosa? Jadi, selama ini, Vina menganggap dirinya telah memperkosanya?!Satu jawaban dari berbagai pertanyaan yang masih ada di benak Rangga akhirnya terjawab. Alasan mengapa Vina melarikan diri dan menyembunyikan kehamilannya. Jadi, Vina berpikir jika Rangga telah memperkosanya!Rangga menggeleng-geleng kepala pelan tak habis pikir. Kenapa Vina tak menuntut tanggung jawab darinya saja? Itu lebih baik daripada dianggap sebagai pemerkosa.Harga diri Rangga sangat terluka karena dituduh seperti itu. Rangga bahkan tak sadar dengan apa yang dia lakukan kepada Vina ketika semua itu terjadi. Meskipun beberapa hari setelahnya, dia samar-samar mengingat perbuatannya.Ya, Rangga pun mengaku bahwa tindakannya sangat bejat dan tak bermoral. Tetapi, Rangga tak merasa dirinya sepenuhnya bersalah. Karena ada orang yang sengaja menjebak dirinya.
"I-ibu ... i-ni tidak-""Cepat bangun!" bentak Martha.Martha menyeret Vina agar menjauh dari Rangga. Vina tak bisa berdiri dengan benar sampai dia maju setengah merangkak.Rangga tiba-tiba saja melepaskan tangan Martha dari Vina. Kedua wanita itu memandang Rangga dengan dua tatapan berbeda makna.Martha merasa Rangga sedang berusaha mengambil hati Vina dengan membelanya. Sementara Vina terheran-heran karena tak pernah melihat Rangga peduli dengan orang lain.'Apa dia baru saja membantuku?' tanya Vina dalam hati."Jangan kurang ajar! Cepat pergi dari sini!" Telunjuk Martha mengacung ke arah pintu."Anda harus mendengar apa yang akan saya katakan," ucap Rangga tenang.Vina melotot padanya. Bagaimana bisa Rangga bicara dengan ibunya seperti bicara dengan karyawan? Walaupun kata-kata Rangga lebih sopan, tapi nada bicaranya sungguh kaku dan menekan."Kamu memerintahku?!" bentak Martha.Kemarahan Martha kian menjadi-jadi. Meskipun demikian, Martha dan Vina ikut duduk. Karena Rangga terlihat
"Pulanglah ...." Martha menghela napas panjang. "Selama Rachel masih sakit, aku akan mengizinkanmu datang. Hanya selama Rachel sakit, paham?""Baik."Hanya itu saja yang Rangga ucapkan. Rangga tak menjawab pertanyaan Martha, tidak menolak maupun menerima persyaratan itu.Vina merasa tercekik dalam diam. Dia menahan kekecewaan dengan sebuah senyuman.Seharusnya, Rangga bisa melakukannya demi Rachel. Rachel saja rupanya tak cukup untuk membuat Vina menjadi bagian dari hidup Rangga. Vina bukannya ingin menikah dengan Rangga. Tidak. Vina juga tak pernah mengharap kasih sayang dari Rangga karena dirinya pun tak memiliki perasaan itu. Hanya saja, Vina ingin dianggap. Setidaknya, diakui dan dihargai sebagai wanita yang telah melahirkan anaknya.Lalu, apa yang akan terjadi jika Rangga hanya menginginkan Rachel saja? Berbagai skenario mulai bermunculan dalam benak Vina.Bagaimana jika setelah menikah dengan Belinda, Rangga tetap ingin menemui Rachel? Bagaimana jika Belinda juga ikut mengingin
"Siapa yang bilang begitu, Rachel?" tegur Vina. Dia merasa tak pernah mengajari kata-kata itu kepada Rachel."Nenek yang bilang ... kata Nenek ... aku tidak boleh cayang Ayah." Mulut Rachel mengerucut tanda tak suka.Vina tak menyangka Martha akan meracuni pikiran Rachel. Biarpun semua yang dikatakan Martha adalah fakta, tetapi Rachel belum sepatutnya tahu tentang masalah mereka.Rangga pun tampak gusar setelah mendengarnya. Dia mengendurkan dasi secara kasar dan membuangnya ke atas jas. Dia juga membuka kancing paling atas, lalu menggulung lengan kemeja sampai siku."Apa Ayah tidak menyayangi aku?" Rachel bergumam sangat lirih hingga terdengar seperti bisikan. Tangan kecilnya berusaha membuka kancing kemeja Rangga lainnya."Ayah sayang Rachel," ucap Rangga datar. Dia masih merasa marah kepada Martha yang berusaha membuat anaknya menjauh darinya."Tapi ... ayah mau menikah ... Ayah mau punya anak lagi ...."Para orang dewasa di dalam mobil itu terdiam sepanjang perjalanan. Hanya terden
"Itu karena kepanasan, Sayang." Vina meninggalkan mereka berdua ke ruangan lain dengan wajah bersemu merah.Dari tadi, jantung Vina berdetak tak karuan. Vina merasa, Rachel keliru mendengar suara degup jantungnya dengan Rangga karena mereka berbaring sangat dekat tadi. Vina tak pernah berpikir jika debaran itu datangnya dari Rangga.Untuk menghalau kegugupan yang entah apa sebabnya, Vina ke dapur dan menyiapkan makanan. Rangga dan Rachel datang beberapa saat kemudian. Mereka berdua duduk menunggu Vina sampai selesai memasak."Ke mana asisten rumah tangga yang kemarin?" tanya Vina basa-basi."Mereka pulang jam tiga sore.""Oh ...."Rachel menggeleng-geleng kepala tanda kecewa. Interaksi Rangga dan Vina masih sangat kaku, tidak seperti orang tua teman-temannya."Ayah ... Aku mau dimacakin Ayah." Rachel cemberut pada ayahnya."Ayah tidak bisa masak."Rachel bersiap-siap menurunkan sudut mulut hendak menangis. Rangga cepat-cepat berdiri dan menyusul Vina."Diamkan saja kalau menangis. Jang
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto