Kakek Lucu kenapa yaaaa 🥹
"Aku selalu membantu Rangga, bahkan aku sampai mengorbankan diriku. Tapi, apa yang aku dapat? Rangga malah menusukku dari belakang." Julian tersenyum sinis.Vina tak bisa menanggapi. Pikiran Vina membenarkan ucapan Julian. Tetapi, hati Vina tak mau menyalahkan suaminya sendiri.Semua orang punya sakitnya masing-masing. Vina tak bisa mengukur banyak atau sedikit rasa sakit mereka dari sudut pandangnya sendiri."Rangga menuduh Tristan agar dapat menjatuhkan aku. Karena Rangga tahu, aku tidak akan membiarkan Tristan jatuh ke dalam masalah." Julian menyeringai singkat. "Tristan satu-satunya orang yang menganggap aku sebagai keluarga.Kata-kata Julian cukup menusuk hati Vina. Setelah menikah dengan Rangga, Vina juga menganggap Julian sebagai keluarga. Julian ternyata tak merasa hal yang sebaliknya."Aku juga keluargamu," lirih Vina."Sebaiknya, kita tidak bicara atau bertemu berdua seperti ini lagi. Suamimu akan cemburu dan terus-terusan mencari kesalahanku," ucap Julian untuk yang terakhir
"Urgh ...." Julian merintih sembari memegangi kepala belakang. Matanya masih terpejam erat merasakan nyeri di sekitar tengkuknya."Li ... an ...." Suara Mahendra tertahan di tenggorokan sehingga hanya terdengar seperti erangan.Julian membuka mata lebar tatkala mengingat kejadian sebelumnya. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan berhenti pada kakeknya.Dengan langkah sedikit terhuyung, Julian menuju ranjang Mahendra sambil menggeleng kasar untuk mengenyahkan rasa tak nyaman di kepala. Langkah Julian terhenti ketika pintu kamar dibuka."Pak Julian ... maafkan kelalaian saya. Seharusnya saya tahu ada yang janggal saat asisten pribadi Anda datang kemari. Pak Tristan yang membuat Pak Mahendra menjadi seperti sekarang," ujar Doni."Tristan? Apa yang Tristan lakukan? Jangan sembarangan menuduh orang, Pak Doni! Aku sangat mengenal Tristan! Dia tidak akan berani menyakiti Kakek!" teriak Julian tak terima."Tenang dulu, Pak. Saya akan menjelaskan pelan-pelan," ucap Doni halus."Di
"Bicara apa kamu? Masih kecil tidak boleh bilang begitu, Sayang." Rangga menaikkan Rachel di atas pangkuan dan mencium gemas pipinya."Aku juga ingin pakai gaun cepelti Bunda, Ayah." Rachel bicara dengan suara lirih, tak seperti biasanya."Rachel 'kan sudah punya gaun seperti Bunda." Rangga kembali mengecup dalam dan gemas pipi Rachel. "Besok Ayah belikan gaun yang banyak.""Anda ternyata sangat berbeda dari apa yang dikatakan orang-orang. Anda terlihat penyayang dan hangat," ucap Mark.Rangga mengangguk-angguk sambil tersenyum. Bukan menanggapi Mark, tetapi karena melihat reaksi Rachel yang baru kali ini Rangga lihat.Rachel memeluk Rangga sambil melirik-lirik ke arah Mark. Wajahnya malu-malu sampai terlihat rona merah di pipi. Nada bicara Rachel pun jadi lembut dan lirih."Pak Mark, waktu kita sudah habis," kata asisten pribadi Mark.Setelah Mark pergi, tim RnR masih tinggal di rumah Vina. Pak Barra dan Nana juga disuruh menginap karena sudah jam sepuluh malam. Hanya Melia yang meno
Matahari menghilang di balik awan tebal dan gelap. Gerimis mulai membasahi bumi.Mahendra masih duduk di tepi jalan dengan kursi roda. Dia tak dapat bergerak ke mana-mana sehingga pakaiannya mulai basah, juga menggigil kedinginan karena angin yang semakin kencang.Selama hampir dua jam, tak ada satu pun kendaraan yang melintas di jalanan itu. Lokasi Mahendra saat ini memang terbilang cukup terpencil.Terdapat hutan cemara di kanan dan kiri jalan yang menghubungkan ke arah pegunungan.Setelah berkutat dengan tombol kontrol kursi roda, Mahendra akhirnya dapat menjalankan kursi roda tersebut. Mahendra mengarahkan tuas kendali dan roda pun mulai bergerak maju. Karena jalanan basah dan licin, Mahendra tetap kesulitan melintasi jalan. Mahendra tak menyerah. Dia harus tetap hidup untuk merebut kerajaannya kembali!"Ugh ... ugh ...." Hanya erangan yang terdengar ketika Mahendra membuka suara.Hujan semakin deras membasahi bumi. Begitu pula dengan badan Mahendra yang semakin basah kuyup dan ke
"Merepotkan sekali!" Martha terus-terusan merutuk sambil mendorong kursi roda Mahendra."Aak ... au ... ian ...." Mahendra juga berusaha menanggapi biarpun tak ada yang mengerti apa yang ingin dia katakan."Diam saja kalau tidak bisa bicara! Berisik sekali!" bentak Martha.Sampailah Martha ke lantai teratas gedung RnR. Martha segera menghubungi Dewa supaya cepat-cepat mengurus ayahnya.Tak seperti Rangga ataupun Barra yang menjadi pemimpin pekerja keras, Dewa tipe pemimpin yang lebih suka menunggu hasil dari tim-tim profesional yang dia bayar mahal.Dewa lebih suka bersantai menikmati kerja kerasnya saat muda. Karena itu, waktu luang Dewa begitu banyak. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit, Dewa sudah sampai di tempat Martha."Papa? Ada apa ini? Kenapa Papa pakai kursi roda?" Dewa menuntut penjelasan Martha."Tidak tahu ... dia juga tidak bisa bicara. Aku menemukannya di jalan tadi, sedang dilempari batu sama anak-anak kecil," ungkap Martha.Mahendra menunduk pura-pura tidur. Di
"Kenapa pakai dikunci segala, sih, Mas? Tanganku pegal bawa nampan berat!" gerutu Vina sambil meletakkan makanan ringan dan minuman di meja dengan agak kasar."Maaf, Sayang. Tadi Dion yang mengunci pintu. Kebiasaan Dion memang begitu." Rangga menuding Dion agar Vina tak marah padanya.Dion ternganga tak percaya dan hanya dapat memprotes dalam hati, 'kenapa jadi aku lagi yang salah? Jahat sekali Pak Rangga! Padahal, dia sendiri yang mengunci pintu.'Rangga telah menutup ruangan rahasia sebelum Vina masuk. Dia sengaja merahasiakan dari Vina karena tak mau membuat istrinya khawatir.Vina pun bergabung duduk di ruangan kerja Rangga. Masih ada semua orang di sana, kecuali Siska yang memiliki banyak janji lain."Rachel sudah tidur? Kamu istirahat dulu, Mas masih ada kerjaan," usir Rangga halus."Rachel sudah tidur. Lagi pula, aku 'kan sekretaris kamu, Mas. Aku juga perlu tahu apa yang sedang kalian diskusikan. Masa sampai ditutup segala pintunya! Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dari
"Sial, kakiku lemas sekali. Setidaknya, gendong aku kalau ingin membawaku kembali." Julian berdecih.Sesaat kemudian, empat orang bawahan Tristan datang mengepung tempat itu. Julian tertawa terbahak-bahak sampai hampir terjatuh jika tangannya tak mencengkeram kemeja Tristan."Bawa dia," perintah Tristan kepada bawahannya.Dua orang bawahan Tristan memegangi lengan kanan dan kiri Julian. Mereka memasukkan Julian ke dalam salah satu mobil.Rombongan mobil itu meninggalkan tiga bawahan yang masih mengurus Yoga. Julian masih dapat melihat dua orang bawahan Tristan menggali lubang besar yang dia duga akan dijadikan tempat untuk mengubur Yoga."Yoga mengorbankan dirinya agar aku bisa melarikan diri dan kamu dengan mudah menangkapku." Julian tertawa tak percaya dan terus mengumpat sepanjang perjalanan.Mobil Tristan yang membawa Julian tak lagi terlihat. Dua orang yang sedang menggali lubang itu menghentikan aktivitas mereka. Membuang sekop ke permukaan tanah dan memanjat ke atas."Kenapa ber
'Ke ruanganku sekarang,' perintah Rangga melalui interkom.Vina bergegas ke ruangan Rangga setelah menitipkan pekerjaan pada Rafael. Di kursi kebesarannya, Rangga tengah menyandarkan kepala di sandaran kursi sambil memejamkan mata."Kenapa, Mas ... eh, Pak?" Vina melupakan perannya sejenak ketika melihat wajah suaminya tampak pucat."Pijat kepalaku," titah Rangga.Vina mematuhi suami yang juga atasannya itu. Baru memijat sebentar, Rangga sudah berlari ke kamar mandi dan memuntahkan seluruh isi dalam lambungnya.Dengan penuh perhatian, Vina memijat leher belakang Rangga. "Sudah diminum obat mualnya?" tanya Vina halus.Rangga menggeleng dan menepis halus tangan Vina dari lehernya. Lalu kembali muntah-muntah. "Huuuk ... keluar! Ini menjijikkan!" bentak Rangga."Tidak mau." Vina tetap memijat tengkuk Rangga. "Obatnya kamu taruh di mana, Mas?""Tidak perlu minum obat. Biar aku juga merasakan apa yang biasanya kamu rasakan," ucap Rangga dengan lemah sambil menyeka mulut dengan tisu."Sebent
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.“Selamat atas pernikahan Anda, Nona,” ujar pelayan itu.“Terima kasih.” Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
“Bukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,” balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.“Benar … sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,” ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.“Terserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.”“Itu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,” sanggah Dewi.“Bukan itu intinya, Ma!”Julian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
“Astaga … kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?”Belinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. “Terima kasih, Om.”Dewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.“Di sini kamu rupanya.” Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. “Apa yang kamu katakan pada menantumu?”Dewi menoleh pada Dewa singkat. “Apa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.”Dewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.“Belinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
“Aku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?” protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. “Tidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.”“Tristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!” Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.“Kalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!” Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.“Kalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!” Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.“Linda!” pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.“Julian, kamu sudah bangun.” Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!“Bayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?” Julian berusaha berdiri dengan kalap. “Ada air menyembur dan ….”Manik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.“Kenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?” Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.“Tenang, Julian!” bentak Vina. “Linda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang … aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh … kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto