Nanti malam lanjut lagi, ya đ
"Ada yang terjadi?" Julian berlari kecil ke arah Vina. "Rachel di mana?""Ibu ... Ibu ada di dalam, Julian ....""Telepon pemadam kebakaran dan polisi, aku akan masuk ke dalam!" perintah Julian.Julian berlari ke toko, matanya terbuka lebar melihat toko Vina berantakan. Tetapi, dia tak bisa berlama-lama terkejut.Julian segera membasahi jasnya di wastafel, lalu kembali ke rumah Vina. Lalu, masuk dengan menutupi punggung dan kepalanya dengan jas basah.Untung saja, kobaran api belum terlalu besar. Dalam sekali lompatan, Julian dapat melewati pintu."Bu Martha!" teriak Julian."Nak Julian ...." Martha bersimpuh gemetaran di dalam."Saya bantu keluar dulu, sebelum apinya menjadi lebih besar!"Julian menuntun Martha dengan langkah tergesa-gesa. Dia menutupi Martha menggunakan jasnya. Mereka berhasil keluar bergantian dengan Martha di depan.Lengan kemeja Julian terjilat kobaran api ketika dia melompat keluar pintu. Vina dan teman-temannya sudah membawa ember berisi air dan mulai mengguyur
'Suami saya baru tahu kebakaran itu. Dia tidak mau tahu, pokoknya besok pagi, Anda harus sudah membayar uang ganti rugi. Saya tidak bisa membantu mengulur-ulur waktu, Maaf.'Pegangan di ponselnya terasa melemas ketika membaca pesan singkat dari pemilik rumah. Akhir-akhir ini, banyak sekali kejadian buruk menimpa Vina. Dan itu semua terjadi setelah kemunculan Rangga.Vina jadi merasa jika Rangga hanya membawa kesialan dalam hidupnya. Yang pertama, semua pelanggannya pergi, tokonya dihancurkan orang, sekarang rumahnya kebakaran, dan dia harus mengganti uang ratusan juta dalam semalam.Vina sempat berpikir untuk minta tolong kepada Julian. Tetapi, Julian sudah terlalu banyak membantunya. Belum lagi, tangan Julian sampai mengalami luka bakar akibat menolong ibunya. Vina tak sanggup jika harus merepotkan Julian lagi."Ada apa, Vin?" tanya Martha yang baru saja membereskan sisa-sisa kebakaran."Ibu kontrakan minta uang ganti rugi besok pagi, Bu," kata Vina lemas.Barang-barang di tangan Mar
"A-asal bukan hak asuh Rachel, saya ... saya akan melakukan apa pun." Vina melirik ke arah lain untuk menghindari tatapan Rangga.Rangga menangkup dagu Vina dengan satu tangan agar terus menatapnya. "Yang pertama, berhenti memanggilku 'Pak' lagi. Aku tidak mau Rachel mendengarnya." Daripada mendengar ucapan Rangga, perhatian Vina justru teralihkan oleh bau kopi dari napas Rangga yang menerpa wajahnya. 'Sepertinya, sebelum ke sini tadi, dia mampir minum kopi lebih dulu,' pikir Vina kehilangan konsentrasi."Jawab!"Vina terkesiap oleh suara keras Rangga. Vina khawatir, Rangga memergoki dirinya sedang memandangi bibirnya, membayangkan pria itu sedang duduk santai sambil menyeruput kopi dengan wajah damai.Bagaimana pria yang jarang tersenyum itu memamerkan giginya dan tertawa saat bercengkrama dengan temannya. Gambaran tersebut membuat Vina mengikik geli."Kamu menertawakanku?" geram Rangga."Iya- Tidak ... maksud saya, i-iya ... saya akan memanggil Anda ... Mas." Vina spontan menjawab.
"Tidak, saya tidak mau! Saya juga masih punya harga diri! Apa ini wajah asli Anda? Suka memaksa perempuan tidur bersama Anda!"Awalnya, Rangga tak berniat memberi Vina syarat apa pun. Namun, setelah kejadian-kejadian sebelumnya, Rangga perlu mengendalikan Vina supaya mereka semua aman di bawah kuasanya.Dan juga, Rangga sekaligus ingin membuat Rachel bahagia. Rangga bisa lebih mudah menuruti segala keinginan Rachel jika Vina patuh padanya. Karena semua permintaan Rachel selalu berhubungan dengan dirinya dan Vina."Anda cuma mau diakui Rachel, bukan? Cukup itu saja, tidak lebih! Saya tidak mau berhubungan dengan calon suami wanita lain! Saya tidak mau dianggap perusak hubungan orang!"Rangga membuang napas kasar. Dia sebenarnya sangat kesal karena Vina selalu saja menyahut tanpa mau mendengar ucapannya sampai selesai. Padahal, Vina dulu selalu lembut dan menurut padanya. Tidak sekali pun Vina pernah menentang kehendaknya. Vina yang sekarang, berubah menjadi perempuan menantang yang ing
"Nak Rangga yang membelikan ruko baru ini, Vin. Ibu sudah menghubungi Ida dan yang lain untuk datang ke sini."Vina melongo melihat betapa besar tempat yang akan menjadi toko barunya. Lokasi ruko itu juga tak jauh dari kontrakan yang terbakar. Teman-temannya tak akan kerepotan menggunakan transportasi.Sebelumnya, Vina sudah mau minta izin menggunakan rumah Rangga untuk menjalankan bisnisnya untuk sementara. Rangga ternyata membelikan tempat lain.Apakah dia pantas mendapatkan ini semua? Bagaimana kalau nanti Rangga mengajukan syarat yang lainnya?"Tidak perlu berpikiran macam-macam. Terima saja. Lagi pula, kita tidak punya tempat lagi untuk membuatkan pesanan Nak Julian. Kalau kamu merasa tidak nyaman, nanti kalau sudah kaya, kamu bisa kembalikan ke Nak Rangga."Benar. Saat ini, Vina sangat membutuhkan tempat baru untuk tokonya. Vina tak bisa menumpang di rumah Rangga selamanya. Dia perlu mengumpulkan banyak uang untuk menyewa kontrakan baru."Wah! Toko baru!" seru Ida. Ketiga temanny
"Ayah di mana, Bunda? Kepala aku cakit ... Hu hu hu ...." Rachel menepuk-nepuk kepalanya."Jangan dipukul-pukul, Sayang. Sabar, ya, Ayah sedang dalam perjalanan. Rachel jangan menangis lagi, nanti kepalanya tambah pusing." Vina memegang kedua tangan Rachel dengan lembut.Vina berusaha menenangkan Rachel, tetapi Rachel tetap bersikeras ingin bertemu Rangga sekarang juga. Vina menjadi kesal pada Rangga karena tak peduli dengan Rachel yang sedang sakit.'Katanya mau melakukan apa pun demi Rachel. Dia malah sibuk mengurusi pernikahannya,' batin Vina getir."Ayah ... kepalaku cakit ... mau Ayah ...."Mendengar Rachel menangis kesakitan seperti itu, hati Vina pedih seakan teriris. Rasa-rasanya ingin memindahkan segala kesakitan Rachel pada dirinya. Pelupuk mata Vina sudah basah akan air yang ingin menetes keluar, tetapi dia tak ingin menangis di depan Rachel. Dia harus menjadi ibu yang kuat dan tegar bagi putrinya.Rachel hanya memiliki Vina saat ini. Mereka tak bisa mengandalkan Rangga yan
"Masuk. Rachel pasti sudah tidur." Rangga mengacak-acak puncak kepala Vina, lalu beranjak masuk ke dalam.Jemari Vina menyentuh bibirnya yang hampir saja menempel di bibir Rangga. Dia diam mematung, mencerna apa maksud Rangga melakukannya.Sebuah tangan tiba-tiba menarik Vina sampai berdiri. Rangga ternyata kembali lagi."Rachel masih marah denganku." Rangga seolah meminta Vina untuk membantunya membujuk Rachel."Dia juga tidak mau dekat-dekat denganku sejak tadi.""Kenapa?" "Rachel m-marah ...."Jemari Rangga menyelip di jari-jari Vina secara natural. Menarik pelan agar Vina mengikuti langkahnya. Vina sampai lupa bernapas menerima perlakuan Rangga yang tak biasa.Wajah Rangga datar, seolah-olah apa yang dia lakukan sudah sangat biasa dan tak berarti apa-apa. Vina semakin tak mengerti, apa yang sebenarnya Rangga rasakan dan pikirkan saat ini?Padahal, wanita dalam gandengan Rangga sudah seperti selembar kertas yang jika tertiup angin jatuh begitu saja. Sekujur tubuh Vina melemas, seti
"Sudah bangun?" bisik Rangga.Vina belingsatan hendak bangun. tetapi Rangga memeluknya kian erat. Punggung Vina yang menempel di dada Rangga dapat merasakan debaran jantung pria itu."Jangan bergerak-gerak. Rachel masih tidur."Semakin Vina bergerak, Rangga makin sukar menahan diri. Sejak semalam, Rangga menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesulitan itu sampai tak bisa memejamkan mata.Rangga masih sangat mengantuk. Memeluk hangat tubuh Vina dapat membuat Rangga tenang, asal Vina tak bergerak-gerak."S-saya mau menyiapkan sarapan.""Sudah ada pembantu. Kamu diam saja sebentar. Aku tidak bisa tidur semalam kerena menjaga kalian." Rangga mengaku."Jangan seperti ini ... nanti Ibu bisa salah paham kalau melihat kita begini." Vina berjuang melepaskan rengkuhan Rangga, tetapi tenaganya tak cukup untuk melawan."Hemm." Rangga sudah hampir tertidur sampai tak sadar bergumam, "Rambutmu wangi sekali, Vina ....""Hu hu hu hu ...." Rachel merengek setelah membuka mata.Rangga terkesiap dan la
Gaun keemasan membalut tubuh gadis itu, warna yang menjadi favoritnya sejak kecil. Dia melihat dirinya sendiri di depan cermin.Sempurna!Segala persiapan telah selesai. Gadis itu melangkah dengan percaya diri keluar dari ruang rias. Para pelayan menunduk hormat ketika gadis itu melewati mereka. Salah seorang pelayan memberikan buket bunga yang senada warna dengan gaun yang dikenakannya.âSelamat atas pernikahan Anda, Nona,â ujar pelayan itu.âTerima kasih.â Tak ada tanda-tanda kegugupan di wajahnya biarpun gadis itu baru pertama kali menikah. Kenapa harus gugup? Bukankah hari ini merupakan hari bahagianya? Dia hanya akan tersenyum ketika menyambut pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Pria yang sangat dicintainya dan harus menikah dengannya.Di arah yang berlawanan, Vina dan Belinda berjalan cepat ke arahnya. Mereka berdua memeluk dan mengucapkan selamat padanya.Vina yang sudah berdandan cantik dan berusaha tak menangis itu, tak dapat membendung air mata haru. Dia menangk
âBukan begitu, Ma. Tadi, Mama dan Vina sedang seru bicara. Aku tidak enak mau memotong pembicaraan Mama dan Vina,â balas Belinda dengan suara lirih.Entah ke mana perginya Belinda yang selalu berani kepada semua orang? Ketika menghadapi mertuanya, Belinda merasa segan dan harus terlihat baik. Hingga dirinya tak sadar telah membuat kesalahan yang menyinggung ibu mertuanya.âBenar ⊠sebentar lagi jam sarapan. Kita siap-siap dulu, yuk,â ajak vina sekaligus ingin menghentikan Dewi menegur Belinda.Vina memahami apa yang Belinda rasakan saat ini. Dewa juga sempat bercerita dengannya, tentang tangisan Belinda kemarin.Tak pernah Vina sangka bahwa dirinyalah yang membawa kesedihan di hati Belinda tanpa dia sendiri sadari. Namun, Vina juga tak mungkin tiba-tiba menjauhi Dewi atau tak mau bicara lagi dengannya.Alih-alih pergi bersama Belinda, Dewi justru mengajak Vina pergi ke dapur untuk melihat menu sarapan pagi ini. Vina ingin sekali menolak Dewi di saat Belinda masih dapat mendengar mereka
Julian tak terima jika istrinya dituduh sembarangan. Dia sudah bicara baik-baik dengan ibunya. Tetapi, Dewi malah berbalik memojokkan Belinda.âTerserah Mama saja. Bayangkan sendiri kalau Mama jadi Linda. Mama merasa tidak diterima keluarga Papa, lalu mertua Mama malah bersikap baik pada wanita lain.ââItu tidak mungkin terjadi, Ian! Keluarga papamu sangat baik pada Mama,â sanggah Dewi.âBukan itu intinya, Ma!âJulian membuang napas kasar. Tak ada gunanya bicara dengan ibunya. Dia lantas meninggalkan Dewi dan akan menghibur istrinya yang pasti masih murung karena merasa tak dianggap ibunya.Namun, di dalam kamarnya, Vina telah berhasil mencairkan suasana hingga Belinda terlihat mengulas senyuman tatkala mereka membicarakan anak-anak.Julian lantas tidur di sisi istrinya. Dia benar-benar lelah hingga kurang tidur karena menjaga Belinda dan bayinya dua puluh empat jam.Vina pun mengajak suaminya keluar kamar mereka setelah puas melihat keponakan barunya. Setelah Vina menutup pintu, dan b
âAstaga ⊠kenapa kamu bicara seperti itu? Apa yang Mama katakan padamu?âBelinda menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, kemudian mengambil Lilian yang berada dalam gendongan Dewa yang menunggu mereka di luar kamar. âTerima kasih, Om.âDewa tak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Dia lantas pergi menemui Dewi untuk menegurnya.âDi sini kamu rupanya.â Dewa duduk di bangku tempat Dewi sedang berdiri memandangi Vina. âApa yang kamu katakan pada menantumu?âDewi menoleh pada Dewa singkat. âApa maksudmu? Aku jarang bicara dengannya. Hari ini pun aku tidak bicara dengannya.âDewa melihat ke arah Dewi memandang. Dia tahu jika Dewi sedang mengamati Vina, tetapi Dewa kurang peka dengan situasi. Dia tak paham dengan apa yang kakaknya pikirkan. Kenapa Dewi terus-terusan menatap Vina? Apakah Dewi tak menyukai menantu Dewa itu?Dewa menepis pikiran buruknya. Dia kembali konsentrasi dengan masalah Belinda.âBelinda dulu memang sangat menyebalkan. Tetapi, sejak melahirkan Axel, Belinda berubah total
âAku harus menemani Belinda dan Lilian di sini. Ada banyak orang di rumah Rangga. Kenapa Axel harus dijemput segala?â protes Julian emosi.Dewi membuang napas kasar. âTidak baik berhutang budi pada sepupumu. Kamu tidak malu karena minta tolong pada Rangga? Ada Tristan juga yang bisa kamu suruh menjaga Axel.ââTristan tidak boleh terlalu dekat dengan Axel. Dia bisa tergoda merebut istri dan anakku!â Julian meninggikan suara karena nada bicara Dewi terkesan mengajarinya. Julian paling tak suka jika diperlakukan seolah dia tak bisa memutuskan segalanya sendirian.âKalau istri dan anakmu juga mau bersama Tristan, berarti itu salah istrimu!â Dewi juga tak suka jika Julian bersikap kurang ajar padanya.âKalian bisa berhenti berteriak tidak?! Kita sekarang sedang berada di rumah sakit!â Dan suara Lia yang paling keras di antara mereka.Dan benar saja, sesaat kemudian, seorang perawat menegur mereka. Perawat itu juga menyampaikan bahwa Belinda sudah bisa keluar dari rumah sakit besok karena ta
Julian melihat ruangan putih di sekelilingnya. Apakah dia sedang bermimpi? Atau dirinya telah mati?Potongan-potongan ingatan meluncur cepat dalam benaknya. Mata Julian terbuka lebar.âLinda!â pekik Julian seraya bangun terduduk begitu mengingat kejadian terakhir yang dilihatnya.âJulian, kamu sudah bangun.â Vina menemani Julian di kursi samping ranjang. Di sudut ruangan, Rangga menutup mulutnya dengan punggung tangan sambil menahan tawa. Bisa-bisanya Julian pingsan saat menemani Belinda melahirkan!âBayiku kenapa, Vin?! Linda ada di mana?â Julian berusaha berdiri dengan kalap. âAda air menyembur dan âŠ.âManik mata Julian bergerak-gerak tak beraturan. Dia mencoba mencari tahu arti tatapan Vina, tetapi kepanikan membuat Julian tak dapat berpikir jernih.âKenapa hanya ada air yang keluar? Bayiku bagaimana? Apa Belinda keguguran?â Julian takut bukan main ketika bayangan air ketuban pecah tak hilang dari benaknya.âTenang, Julian!â bentak Vina. âLinda masih di ruang persalinan. Kamu tungg
Julian memandangi jendela besar di hadapannya. Rasanya, masih seperti kemarin ketika Julian dapat melihat pohon-pohon besar di hadapannya. Tetapi, kini pohon-pohon rindang itu tak lagi ada di sana.Seperempat area hutan yang cukup luas milik nenek Julian yang telah diwariskan pada orang tuanya, telah berganti dengan bangunan besar. Julian menjual pohon itu dan digunakan untuk memulai beberapa usaha baru, berhubungan dengan bidang kuliner yang digelutinya.Pabrik pertama yang dimiliki Julian ada di depan mata. Tanpa terasa, pabrik yang dibangun oleh Rangga dan dikelola olehnya telah berkembang pesat. Perusahaan yang dibangun Julian dari nol, kini dapat disandingkan dengan perusahaan Vina. Namun, mereka berdua tetap bersaing secara sehat. Bahkan, terkadang Vina dan Julian berkolaborasi dalam acara-acara besar.Julian telah mematahkan anggapan buruk orang-orang yang masih menganggap dirinya memiliki maksud tertentu. Dia pun tak lagi menggubris orang lain dan fokus pada keluarganya sendir
Julian keluar kamar sambil bersiul-siul. Tepat satu bulan berlalu, pabrik cokelatnya telah selesai. Dia akan pergi mengecek pabrik cokelat karena hari esok, pabrik miliknya sudah mulai beroperasi."Papa, mau pergi ke mana hari Mingu? Aku mau ikut Papa," rengek Axel.Julian berhenti dan tersenyum manis pada anaknya. Tanpa banyak kata, dia menggendong Axel dalam pelukannya.Semakin hari, Axel kian bersikap seperti anak-anak seusianya. Axel pun lebih banyak mengungkap perasaannya. Walau terkadang, Axel masih suka murung dan berpikir sendirian. Tetapi, Axel tetap akan mengatakan apa yang dipikirkannya kepada Julian setelah selesai merenung.Julian mengatakan jika semua akan baik-baik saja meskipun anak itu mengeluh atau marah. Sang ayah menginginkan anak-anaknya mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Tak seperti Rangga ataupun dirinya."Pa, aku mengundang Kak Rachel dan Ravi ke sini nanti kalau cokelatnya sudah ada. Aku ingin membuat pesta dengan air mancur cokelat, Papa.""Iya,
"Mantan?" Belinda membuka lebar mulutnya. Jelas-jelas dia sudah menceritakan semua tentang masa lalunya dengan Bima. "Kami tidak pernah punya hubungan spesial apa pun, Sayang ⊠aku hanya-""Siapa yang biang kamu punya hubungan spesial dengannya?" Julian semakin sinis menanggapi. "Oh ⊠kamu sedang mengakui kalau kamu punya hubungan spesial dengan ... siapa tadi namanya? Bisma atau Bima? Atau malah dua-duanya?"Belinda bukannya ingin merayu Julian yang sedang cemburu, tetapi dia jadi kesal karena tuduhan Julian. Apalagi, Julian sangat pintar membolak-balik kata-kata untuk memojokkan dirinya."Ya sudah kalau tidak percaya, jangan pegang-pegang perutku!" Belinda menyentak tangan Julian. "Aku tidak mau anakku sampai mendengar kalau papanya menuduhku macam-macam. Kamu pikir, bayi di dalam kandunganku tidak bisa mendengar kata-kata kita?"Janu yang sedang menyopir dan sedari tadi mendengar perdebatan majikannya, hampir saja menyemburkan tawa. Buah hati mereka bahkan belum terlihat dalam kanto