Sarah akhirnya hanya mengamati Marc dan Lucy berbincang di meja lain. Meski begitu, terkadang ia dapat mendengar jelas perbincangan mereka.“Penjara ini jahat, Marc. Hampir setiap hari ada yang menghina bahkan memukuli Mama.” Lucy mengadu pada putranya.Marc terdiam. Ia juga pernah mendengar cerita bahwa penjara wanita yang ditempati ibunya termasuk penjara yang rawan kejahatan fisik. Itu semua karena penjara ini adalah tempat tahanan bagi orang yang menjadi terdakwa kekerasan.Tentu saja yang berada di dalam memang wanita-wanita yang akrab dengan hidup keras dan liar untuk bertahan hidup.Sebenarnya, pengacara Lucy sudah meminta kelonggaran agar Lucy ditempatkan di sel sendiri. Tetapi, hingga saat ini permintaan itu belum dikabulkan.“Bertahan ya, Ma. Mama wanita yang cerdas. Cobalah menghindari masalah dengan wanita-wanita di sini.”“Mama berusaha.”Mereka terdiam. Lucy mengamati Sarah yang sedang menunduk.“Pasti Sarah senang Mama dipenjara.”Cepat, Marc menggeleng. “Sarah bahkan i
“Bagaimana ini bisa terjadi?”“Ada apa?” Marc dengan wajah khawatir langsung mendekati Dokter Samuel dan istrinya.Namun pertanyaan penasaran itu tidak dijawab. Dokter Samuel malah sibuk membuka-buka berkas dan membacanya. Selain itu ia juga banyak mengajukan pertanyaan pada Sarah.“Dan kamu sedang hamil satu bulan sekarang?”Sarah mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Dokter Samuel. Kali ini ia khawatir. Apa kehamilannya akan terganggu?Dokter Samuel mengembuskan napas panjang. Lelaki berjas putih itu meminta suster membantu Sarah kembali berpakaian karena ia telah selesai memeriksa pasiennya.Mereka harus sabar menunggu karena saat ini Dokter sedang menulis beberapa catatan pada berkas kesehatan Sarah. Setelah itu, ia meminta Frank naik ke atas ranjang hidrolik.Hanya sebentar waktu yang Dokter Samuel butuhkan untuk memeriksa Frank. Ia melihat berkas data bahwa Frank sangat rajin memeriksakan kesehatannya pasca operasi. Kini, semuanya duduk di kursi dan menunggu penjelasan Dokt
“Kamu mengenaliku?”Marsha tersenyum menatap Marc. Wanita yang masih mengenakan pakaian pasien rumah sakit itu terkekeh. “Kamu suamiku yang tampan dan kaya raya.”Marc menggeleng keras dan membalas, “Bukan. Aku bukan suamimu.”Seketika wajah Marsha menegang. Secara tiba-tiba ia melihat Sarah lalu tangannya terjulur berusaha menggapai adik tirinya tersebut.“Kamu pelakor! Iya, kan? Kamu yang merebut suamiku. Tolong! Ada pelakor!” Marsha menjerit kembali tak terkendali.Kegaduhan itu mulai menjadi perhatian para pengunjung dan staff rumah sakit. Seorang dokter berlari mendekat lalu memerintahkan Marsha dibawa ke ruang perawatan.Tentu saja Marsha meronta. Ia memanggil-manggil nama Marc dengan suara keras. Frank dan Marc memandang dengan wajah Marsha tanpa belas kasihan.Sementara Sarah terlihat takut. Ia menggigit bibirnya dan menunduk hingga Marc sadar lalu segera memeluk Sarah serta menenangkannya.“Tenang.”Sarah mengangguk mendengar satu kata dari Marc. Sebenarnya ia sangat ingin pu
Frank menghampiri Sarah. Ia duduk di depan menantunya dan menatap Sarah dan mengelengkan kepala.“Terbuat dari apa hatimu, Sarah. Mereka menghinamu, membuangmu, membohongi, mengancam bahkan melakukan percobaan pembunuhan tetapi kamu masih mau membantu mereka.”“Kasihan mereka, Pa. Siapa lagi yang bantu kalau bukan aku?”“Dan menurutmu mereka akan berterima kasih padamu?”“Aku tidak butuh ucapan terima kasih, Pa.”Marc akhirnya juga gemas mendengar ucapan istrinya. Lelaki itu membuang napas berat sebelum berkata tegas pada Sarah.“Lalu, jika kamu membantu mereka dan mereka meminta maaf kamu bersedia memaafkan?”Sarah tidak langsung menjawab. Ia bingung sendiri. Otaknya mengatakan ibu dan kakak tirinya tidak akan pernah menyesal dan berbaik hati padanya namun hati kecilnya tetap merasa kasihan pada mereka.“Biarkan Adrian yang mengurus aset itu, ya. Tolong Papa, Jangan berhubungan lagi dengan Tinna dan Marsha.”Akhirnya Sarah mengangguk setuju atas permintaan Frank. Marc terkesima melih
Dengan wajah memerah, Sarah mengetik balasan lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas.“Sebaiknya kamu pegang saja ponselmu. Kalau Marc menghubungi, jadi ia tidak khawatir karena kamu lama membalasnya.” Sambil tersenyum simpul, Frank turun dari mobil.Entah mengapa, Sarah menurut. Ia mengambil ponselnya dan menggenggamnya hingga rasanya Frank ingin tertawa terbahak-bahak.Umur putra dan menantunya sudah dewasa. Mereka seperti layaknya anak remaja yang senang membaca pesan dari lawan jenis.Lalu, Frank sadar. Marc selama ini memang belum pernah berpacaran. Sejak remaja hingga dewasa, ia sibuk dengan berbagai aktifitas mengembangkan keahliannya diperbagai bidang.Marc juga belum tipe lelaki yang mudah bergaul. Ia lebih senang di rumah dan belajar atau ikut dengan Frank ke perusahaan mereka.Menurut Thomas, putrinya juga tidak pernah memiliki kekasih. Walaupun cukup ramah dan senang bergaul, Sarah sibuk mempertahankan prestasinya sebagai mahasiswa beasiswa yang memiliki nilai tinggi.Cocok
Polisi tidak menerima laporan Marc. Mereka berkata, Maxim masuk tanpa paksaan. Jadi, menurut polisi hal tersebut tidak bisa dijadikan aduan pencurian barang.“Bukankah mengambil sesuatu yang bukan miliknya namanya mencuri dan bisa dihukum?” Marc berkeras hati.“Masalahnya, Maxim mendapat akses ke kamar dan juga ruang wardrobe. Padahal untuk masuk ke kamar dan ruangan aksesoris memiliki PIN.”Marc akhirnya membiarkan polisi pergi. Dengan hati kesal, ia menata barang-barang Mamanya dan memasukkan semua ke dalam satu lemari dan mengganti PIN-nya.Setelah itu ia mengumpulkan para pelayan dan memberikan pengarahan untuk tidak sembarangan membiarkan orang yang bukan keluarga untuk masuk. Marc meminta sekuriti menutup rapat gerbang rumah.Sambil memijat keningnya, kini Marc duduk di ruang keluarga. Ia mengamati layar ponsel dan mendapat satu pesan dari Sarah.Lelaki itu segera duduk tegak dan membaca pesan. Sarah meminta dijemput di apartemen karena sudah jadwalnya minum vitamin.Marc segera
Satu bulan sudah Lucy ditahan. Pengacara akhirnya memberikan bukti suara rekaman dari ponsel Lucy. Hanya terdapat suara Marsha dan lelaki yang disewanya untuk mencelakakan Sarah.Akhirnya Lucy bebas bersyarat. Ia tidak diperbolehkan ke luar negeri. Berkewajiban melapor dua kali dalam seminggu serta melakukan pekerjaan sosial di dinas sosial.Paling tidak saat ini ia kembali berada di rumah. Marc menjemput dan mengantar Lucy. Frank tidak mengizinkan Sarah ikut dan meminta Sarah menemaninya ke rumah barunya.“Kenapa, Ma?” Marc bertanya saat melihat Lucy memandang sekeliling dengan wajah muram.“Kamu tidak merasakannya? Rumah ini jadi suram, ya?”“Mungkin karena sepi saja, Ma.”Lucy berjalan ke kamar utama diikuti Marc. Ia memandang dengan tatapan kosong lemari aksesorisnya. Marc menceritakan barang apa saja yang hilang dicuri Maxim.“Untungnya aku tidak pernah membuka safe deposit di depan Maxim.”Wanita itu lalu beranjak ke sebuah lukisan. Di balik lukisan tersebut terdapat safe deposi
Maxim menggeleng keras. Ia berteriak bahwa tidak ada bukti jika ia mencuri. Namun, tetap saja polisi berpakaian preman membawanya ke kantor polisi atas arahan Marc.“Terima kasih atas bantuanmu, Gianni.”“Sama-sama, Marc.”Mereka duduk bersama di sofa. Sarah mendengar bagaimana Gianni seringkali diminta mengenali benda-benda terkenal dunia.“Profesiku sebenarnya adalah pengamat fashion.”“Gianni sekarang viral karena seringkali membongkar kualitas barang-barang mahal,” jelas Marc.“Keren sekali. Aku sih pasti tidak bisa membedakan tas original dan tiruan yang premium.” Sarah memuji Gianni.“Kamu tidak perlu khawatir. Apa pun yang dibeli Marc, pasti original. Kalau tidak, toko tempatnya membeli barang bisa dituntut.”Sarah tersenyum. Ia jadi teringat bagaimana Marc pernah membelanjakan dirinya berbagai macam barang tanpa melihat tag harga.Setelah Gianni berpamitan karena akan melanjutkan kerja, Marc dan Sarah masih bersantai di apartemen. Marc memesan banyak makanan untuk mereka dari
Alrzan langsung bersembunyi di balik tubuh Vania. Wanita itu menyorotkan lampu senter pada lelaki yang berdiri di kegelapan. Arzan mengintip lalu bersorak.“Om Irwan.” Arzan langsung berlari menghampiri dan memeluk Irwan. “Lampu kabin kami mati, Om.”Irwan mengusap kepala Arzan. “Iya, kabin Om juga. Tadinya Om mau mencari bantuan tapi mendengar teriakan. Kebetulan sekali kita ada di sini, ya."“Aku bersama Ibu Vania. Cuma berdua.” Arzan menunjuk Vania yang terpaku di tempat melihat kedekatan putranya dengan lelaki yang dipanggil Om Irwan tersebut.Irwan mengangguk. Setelah berada pada jarak cukup dekat, Irwan menjulurkan tangan. Vania menyambutnya dan tersenyum penuh kelegaan.“Irwan. Aku putra Ibu Irma.”Sejenak setelah balas menyebut namanya, Vania mengamati Irwan. Rasanya ia pernah bertemu dengan lelaki ini. Tetapi, ia tidak ingat meskipun ia sering berada di kafe.“Kita memang belum pernah bertemu sebelum ini.” Irwan menjawab pengamatan Vania pada dirinya. “Oh, mungkin sekali. Saa
“Jadi Khanza, editor Vania yang menjadi otak gosip antara kamu dan Vania?” Sarah mengangkat alisnya. Tak menyangka bahwa ternyata orang terdekat Vania lah yang membuat kebohongan tersebut.“Iya. Itu dilakukan untuk mendongkrak penjualan buku Vania. Kamu ingat? Gosip itu beredar tak lama novel baru Vania terbit di pasaran.”Sarah mengangguk mengerti. “Vania tau?”“Itu sedang diselidiki Om Adrian.”“Perasaanku mengatakan Vania tidak ada sangkut pautnya dengan ini semua.”Pernyataan Sarah dikuatkan oleh dugaan bahwa Vania tidak mungkin mempertaruhkan nama baiknya. Jika ia memang terlibat dan keluarga Carrington tau, ia pasti tidak akan bertemu lagi dengan Arzan. Bahkan Sarah sendiri pun akan melarangnya.Marc mengangguk setuju. Ia berharap hari ini juga sudah mendapat kabar dari orang-orang Adrian yang bekerja untuk mengusut kasus pencemaran nama baik ini.“Jika Arzan sudah pulang, kemungkinan ia menemukan berita tersebut akan besar. Aku tidak ingin itu terjadi.”“Aku tau.” Sarah mencebi
Dua hari kemudian, Vania menjemput Arzan. Selama akhir minggu, ia akhirnya memperoleh izin membawa Arzan hanya berdua saja. Vania menjemput Arzan di rumah keluarga Carrington.Sarah menyambut Vania sambil menggandeng Arzan. Ia menyerahkan tangan Arzan pada Vania dan hanya berpesan untuk bersenang-senang.“Ingat pesan Mama ya, Sayang.” Sarah mengelus kepala Arzan sebelum putra angkatnya itu masuk ke dalam mobil.Arzan mengangguk lalu memeluk Sarah erat-erat. Ia juga mencium pipi Sarah dan berkata akan menurut pada pesan sang Mama. Vania memperhatikan inetraksi tersebut dengan rasa haru.Selalu saja ada rasa iri di hati Vania. Tapi, ia merasa itu hal yang wajar. Ia bertanya dalam hati kapan Arzan akan sehangat itu pada dirinya.Dalam perjalanan, Arzan lebih banyak mengamati jalanan. Sesekali ia menengok ke belakang. Sebuah mobil van mengikuti kendaraan Vania.“Ada mobil penjagamu, ya?” Vania tersenyum pada Arzan.Anak lelaki itu hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ibu kandu
"Mana? Aku mau lihat." Sarah mencondongkan tubuhnya ke arah ponsel Marc.Pasangan suami istri itu sama-sama memperhatikan layar kecil ponsel Marc. Dengan kesal, Marc menyerahkan ponselnya pada sang istri. Ia malas membaca lanjutan berita tersebut."Pasti sebentar lagi Papa atau Mama akan menelepon dan marah-marah padaku." Marc kemudian bersungut. "Tadi saat kamu bilang tidak bisa ikut, aku sudah memiliki perasaan tak enak.""Nanti kalau Mama atau Papa menelepon, biar aku saja yang bicara pada mereka." Sarah menenangkan suaminya.Namun kali ini Marc tidak dapat mentoleransi berita tersebut. Portal gosip itu mengatakan ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Vania untuk membahas putra mereka."Kamu jangan mencegahku lagi. Aku akan meminta pengacara menuntut pasal pencemaran nama baik."Tidak ada balasan dari Sarah. Ia sedang sibuk mengamati berita tersebut."Memangnya kamu sempat ngobrol berduaan dengan Vania, ya?""Tadinya aku sudah cerita ia minta maaf atas beredarnya gosip dan mengaku
Vania merasa bertambah senang karena setelah beberapa kali bertemu, akhirnya Arzan mulai banyak terbuka padanya. Meski anak itu masih kaku jika bersentuhan, Vania tetap memberikan perhatian melalui kontak fisik seperti mengelus, mengusap, memeluk dan mencium putranya.“Ok, nanti jangan lupa tanyakan pada Mama dan Papa kapan kita bisa kemping berdua, ya.” Vania berkata dengan penuh harap pada Arzan.Arzan mengangguk. Pada pertemuan itu, Arzan juga menunjukkan hasil tulisannya. Dengan bersemangat, Vania membaca dan mengangguk-angguk.“Sepertinya kamu memang berbakat.”“Apa aku bisa menjual buku dan mendapatkan uang seperti Ibu?”Kekehan kecil terdengar dari hidung Vania. “Tentu saja bisa. Tetapi, masih banyak yang mesti kamu pelajari karena menulis bukan hanya tentang menceritakan apa yang ada di kepalamu.”Vania berpesan bahwa Arzan harus banyak belajar tentang teori kepenulisan. Menurutnya, cerita Arzan menarik namun dari segi alur masih perlu diperbaiki. Arzan tampak serius melihat b
“Semua gagal.” Irwan berkata datar saat Marc bertanya tentang kencannya.Pagi ini, kantor Irwan kedatangan Marc. Lelaki itu mendapat laporan bahwa Irwan telah beberapa kali melakukan kencan buta dengan bantuan aplikasi jodoh.“Memang berapa kali sih kamu berkencan?”“Tiga kali.”“Artinya aplikasi itu tidak bagus. Mungkin kamu bisa coba cara konvesional saja.”“Maksudmu, amati sekeliling, jika ada yang menarik langsung ajak kencan?”“Iya seperti itu.”Dengan cepat, kepala Irwan menggeleng. Menurutnya kehidupannya sekarang hanya kantor dan rumah. Sementara ia tidak ingin berkencan dengan teman atau pegawai kantor.Marc menawarkan bantuan. Ia berkata Larry mungkin memiliki teman wanita yang juga sedang mencari jodoh. Mereka sama-sama tau, Larry memiliki pergaulan yang luas.Pasrah, Irwan mengangguk. Mereka melanjutkan membahas pekerjaan. Hingga akhirnya diskusi itu selesai.“Sepertinya hari ini kamu dan timmu harus lembut.” Marc berkata seraya bersiap akn pergi.“Iya. Aku juga berpikiran
“Jadi, kamu tidak berfoto sama Vania?” Sarah mengulangi pernyataan Marc yang menyangkal ia berada satu frane bersama Arzan dan Vania.“Tidak.” Marc menggeleng tegas. “Aku lebih dulu yang berfoto berdua dengan Arzan. Setelah itu Vania dan Arzan.”Tetapi, Marc berkata saat itu memang banyak kamera yang mengarah pada mereka. Marc tidak menaruh curiga karena mereka sedang berada di sekolah.“Jadi, kamu jangan berprasangka buruk padaku.”“Siapa yang berprasangka buruk?”“Aku takut kamu cemburu.”Sarah mencebik. “Tidak. Lagipula kalau kamu mau sama Vania, ya silahkan saja.”Marc terperanjat mendengar pernyataan istrinya. “Kok gitu?”“Yaa ... kamu suka nggak sama Vania?”“Enggak lah. Pertanyaanmu aneh sekali, Sayang.”“Ya, sudah. Kalau begitu, aku tidak curiga, cemburu, kesal atau marah padamu.”Marc mengembuskan napas lega. Meski ia jadi merasa aneh karena Sarah seperti cuek saja. Rasanya ia lebih suka Sarah cemburu.Bukankah cemburu tanda cinta? Tanda bahwa seorang istri tidak ingin suamin
Berita peluncuran buku Vania diiringi pemberitaan yang cukup menghebohkan. Beredar gosip bahwa Marc adalah ayah kandung dari anak Vania. Berita mengguncang itu dilengkapi foto Arzan saat kemping di mana anak itu berdiri di antara Marc dan Vania.Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia.“Kenapa kamu tidak ikut berfoto, Sarah?” Frank terlihat protes pada menantunya.“Saat akan foto, Vivi rewel, Pa. Jadi aku membawa Vivi ke suster dulu.” Sarah mengembuskan napas berat mendapat berita tersebut. Ia juga tidak tau ternyata Marc berfoto bertiga dengan Arzan dan Vania.“Mama akan marahi suster. Sudah tau Vivi sakit, kenapa ia tidak siaga di dekatmu.” Lucy dengan kesal juga ikut protes.“Aku yang suruh suster menunggu di luar, Ma. Itu kan area khusus pengantar anak-anak yang kemping.”“Lalu, kenapa Vania ikut-ikutan?” Lucy masih tidak terima.Sarah mengaku bahwa ia mengizinkan Vania ikut. Bahkan ia sendiri yang meminta izin pada sekolah agar ibu kandung Arzan itu bisa mengikuti upaca
“Wah sepertinya acara peluncuran buku Vania cukup besar, ya. Itu ada bannernya di depan mall.” Ibu Irma menunjuk promosi yang ia maksud.“Semua event di mall pasti akan diletakkan di depan, Bu. Agar banyak orang yang tertarik.” Irwan menanggapi.Siang ini, Irwan mengantar Ibu Irma ke mall. Vania mengundangnya dalam peluncuran novel terbaru di toko buku terbesar di kota mereka yang berada di lantai dasar mall tersebut.Setelah memarkir kendaraannya, Irwan berjalan di sisi sang Ibu. Tangan Irma memegang undangan dari Vania serta membaca lokasi acara. Seorang sekuriti menunjuk bagian tengah mall yang terlihat ramai.“Kamu yakin tidak mau ikut?” Irma bertanya pada putranya.“Aku kan bukan penggemar novel, Bu. Males, ah.”“Sayang, lho. Undangan ini harusnya untuk dua orang. Sarah juga diundang, tetapi kebetulan Vivi sedang sakit jadi Sarah batal datang.”“Vivi sakit? Sakit apa?”“Badannya anget karena mau tumbuh gigi. Kata Sarah, Vivi jadi rewel banget.”“Oh, kasihan.”Ibu Irma lalu masuk