Malika masih terus mengguncang tubuh saudara nya. Dan untung saat kejadian, Malika urung berteriak sehingga tidak memicu kecurigaan bahwa kenyataannya pria yang terkapar di hadapannya sekarang adalah seorang copet.
Malika tidak bisa membayangkan, bagaimana tanggapan orang nantinya kalau tau pria tersebut adalah saudara kembar nya sendiri. Untuk itu ia menyuruh Bagas buru-buru membawa kembarannya itu keluar dari pasar. Malik yang belum sadar di baringkan di kursi terminal. "kamu kan yang nyuruh adik saya nyopet. Ayo ngaku!!" Berang Malika menunjuk wajah pria di depannya. Lengkingan suara Malika menyentak beberapa pasang mata menoleh padanya. Sadar akan hal itu, Malika melirik ke arah mereka. Dalam sekejap, mereka yang tadinya ingin menguping pembicaraan keduanya pun bergegas pergi. Tatapan nyalang itu membuat semua orang lari ketakutan. "Kamu salah paham, Lika. Untuk apa saya menyesatkan saudara ipar saya sendiri. Yang ada Malik yang berinisiatif melakukan nya. Kamu harus percaya, sebelumnya saya sudah melarang Malik melakukan hal itu. Tapi dia nya saja tidak mau dengar. " Malika tersenyum miring, tangannya bersedekap menatap lawan bicaranya penuh kebencian. Entah kenapa sulit bagi Malika untuk mempercayai Bagas. Banyaknya catatan kenakalan Bagas itulah yang membuat Malika jadi seperti ini. Meski ia menelisik lebih jauh kedua netra itu, yang didapat hanya gurat ketulusan yang terpancar dari dalam sana. Bagas salah, Malika tidak akan terperdaya "Tentu saja aku tidak bisa percaya. Selama ini aku tau betul bagaimana sikap dan perilaku Malik, dia tidak akan terpengaruh jika tidak ada orang lain yang mengajaknya. " "Lika.." "Stop Bagas. Aku nggak mau dengar apapun pembelaan dari kamu. Mulai detik ini jangan pernah kamu deketin Malik lagi. Aku minta tolong, jangan hancurkan masa depan adikku. Cukup kamu saja yang sesaat, Malik jangan " Malika memohon dengan sudut mata yang menggenang. Malika bahkan tidak sadar, ucapan itu bisa saja melukai hati Bagas. Sebelum Malik sadar, ia sudah menghapus jejak basah yang menetes di bawah matanya. . Layaknya orang linglung, Malik mengedar ke sekeliling. Mendapati Malika berdiri bersedekap menatap nya tajam, ia pun terhenyak bangkit dari posisinya. "Lika, aku minta jangan katakan kebenaran ini kepada ibu. " Malik mengibah bersimpuh di kaki Malika yang dengan tenangnya menghentakkan satu kakinya di tanah. Malika hanya ingin membuat saudaranya itu jerah dan tidak melakukan tindakan kriminal itu lagi. Bagaimanapun jika sampai ketahuan, Malik bisa saja di borgol dan di bawa ke pihak berwenang untuk di adili. "Boleh, asalkan kamu mau nurutin semua perkataan saya. Apapun tanpa terkecuali." Ucap Malika menyeringai tipis "Sebutin dulu, siapa tau kan di dalam permintaan kamu terselubung maksud yang merugikan saya. Jangan ngambil kesempatan dalam kesempitan kamu, Lika " Protes Malik penuh selidik. Menghadapi Malika memang kudu waspada, dimana pernah beberapa kali Malika melakukan kesalahan. Malik yang menjadi sasaran Omelan Saidah. Itu semua karena kebodohan Malik yang mau-maunya aja menanggung resiko atas kesepakatan yang ia perbuat sebelumnya pada Malika. "Ya udah kalau nggak mau, gampang kok tinggal aku aduin aja sama ibu. Beres kan??" Ancam Malika sanggup membuat pria itu ketar-ketir. "Iya-iya terserah kamu deh. Yang penting kamu senang. " "Nah gitu dong, itu baru adik ku yang baik. Ya udah yuk kita pulang. " Malika merangkul pundak kembarannya itu dengan tersenyum lebar. Bagas yang tadi sempat di sisinya hilang entah kemana. Malika tidak ambil pusing. Toh pria itu juga sudah dewasa dan bisa pulang sendiri. *** "Dari mana aja sih kalian berdua, lama banget. Terus belanjaan yang ibu minta mana??" Saidah ngedumel di depan teras rumah ketika mendapati dua anaknya turun dari motor, lenggang kangkung. Bahkan keranjang belanjaan yang tadi Malika bawa tidak ada di cantolan motor. Malika nyengir lebar, ia sengaja menyikut lengan pria di sebelahnya untuk mencari alasan yang masuk akal meyakinkan sang ibu. "Itu.. a-anu Bu.. anuuu.." Malik tergagap celingukan, ia pun tak tau apa yang akan di katakan pada Saidah. Karena kesepakatan yang Malika perbuat, ia jadi terpojok. Padahal jelas Malika sendiri yang lupa menaruh keranjang belanjaan itu dimana. Sangkin tidak fokus karena Malik yang pingsan, ia tidak teringat barang belanjaannya. "Ibu cari ini." Sebuah suara mengintruksi ketiganya menoleh. Dengan menenteng keranjang dan kresek hitam yang cukup besar Bagas mendekati Saidah yang masih mematung di tempatnya. "Kok bisa kamu yang bawa belanjaan Malika. Apa Malika sengaja membebankan tugas itu ke kamu." Saidah seketika melirik Malika yang gusar. "Tidak kok Bu, saya sendiri yang minta Malika untuk pulang duluan. Lagian urusan berbelanja saya memang sudah sering melakukannya. " Ucap Bagas seadanya, ia bicara begitu hanya menutupi kesalahan Malika. Bagas cuman tidak mau Malika kena omel ibunya. "Masa?? Emang kamu tau masak?? Sembarangan aja kalau bicara. Ya udah masuk gih, ibu Uda siapin makanan buat kalian. Apalagi kamu Bagas, ibu tau kamu pasti capek menenteng belanjaan dengan berjalan kaki " Bagas hanya mengangguk, entah kenapa Saidah bisa tau kalau tadi ia berjalan kaki dari pasar ke rumah. Wanita paruh baya itu seolah memiliki kemampuan membaca pikiran orang saja. Sebelum langkah Bagas mengikuti ibu mertuanya, Malika menahan lengan pria itu untuk tetap di posisinya. "Apa ini??" Kening Bagas mengerut dalam ketika Malika menyodorkan beberapa lembar uang seratusan di depannya. "Buat gantiin uang belanjaan tadi. Saya tau sikap kamu kayak gini pasti ingin mengambil hati ibu saya kan, selamat kamu kayaknya berhasil tuh. Kamu mungkin berpikir dengan membela saya di depan ibu, kamu bisa menarik simpati saya. Kamu salah, Bagas. Sampai kapanpun saya nggak akan pernah luluh dengan sikap kamu itu. " Cecar Malika sebelum berlalu meninggalkan Bagas yang malah tersenyum menanggapinya. Di meja makan, Bagas kembali membuat kehebohan. Uang yang Malika yakini ia berikan pada pria itu kini sudah berpindah tangan pada Saidah. Malika itung-itung jumlahnya juga bertambah dua lembar. Malika sempat bertanya -tanya. Dari mana Bagas mendapatkan uang sebanyak itu?? Tentu sebagai seorang wanita yang tergila-gila dengan uang, Saidah tidak mungkin menolaknya. Ia malah terang-terangan memuji perlakuan Bagas yang meratukan dirinya sebagai ibu mertuanya. Apalagi Bagas sempat berkata kalau uang yang diberikan nya barusan adalah hasil kerja kerasnya sendiri. Apapun itu, Malika masih tidak percaya. Malahan ia menebak kalau uang yang di berikan pada ibunya tak lain hasil merampok milik orang lain. Seperti yang tadi Malik lakukan. Kalau saja ia tidak berjanji pada Saudaranya itu ia sudah membeberkan masalah ini ke Saidah "Tuh Malik, contoh si Bagas. Walaupun kerjanya serabutan, ia masih bisa menyisihkan sebagian kerja kerasnya buat ibu. Duh senengnya." Malik yang di ajak berbicara hanya mengangguk saja. Sementara Malika dibuat geram. Padahal sebelumnya ia sudah menyuruh Malik membantunya untuk menjatuhkan harga diri Bagas di depan Saidah. Tapi yang dilakukan Malik justru sebaliknya, ia malah memilih bungkam dan nurut aja setiap ucapan yang di lontarkan ibunya. "Kamu maunya apa sih Lik, ngajak gelut??" Malika menahan kembarannya itu ketika hendak memasuki kamar. Dia yang kaget seketika menyentak tangan Malika menyingk. "Apaan sih, gaje banget. Udah akh sana jangan ganggu, aku mau istirahat." Ucap pria itu bersungut-sungut. "Kamu itu yah, katanya mau bantuin saya buat jatuhin Bagas. Yang kamu lakukan tadi itu jelas menunjukkan kamu masih berpihak ke Bagas. " Cecar Malika frustasi "Ngomong apa sih, aku nggak ngerti. Seharusnya kamu itu bersyukur sejak menikah dengan kamu sikap Bagas mulai berubah. Bahkan dia rela melepas predikat preman -nya demi melakukan pekerjaan halal hari ini " Malik mengibaskan tangannya ke udara mengisyaratkan Malika menjauhi pintu yang seketika ia tutup rapat. Malika bergeming, menelaah setiap ucapan yang keluar dari mulut kembarannya dengan penuh tanda tanya. Apakah benar Bagas sudah mulai berubah??Malika tentu tidak akan percaya pernyataan kembarannya itu begitu saja. Seorang Bagas berubah?? Yang benar saja. Emang dia power rangers. Malika cukup mengenal Bagas meski hanya beberapa bulan.Pria pembuat Onar yang hobinya suka tawuran dan malak itu suka melibatkan Saidah ke kelurahan untuk dijadikan jaminan meloloskannya dari amukan warga yang anak-anaknya terpengaruh dengan kenakalan Bagas yang bandelnya tidak tertolong.. Malika kadang tak habis pikir kenapa ibunya itu maunya aja nyelamatin orang seperti Bagas. Untung juga tidak, malu iya. "Bu.." Di sela pijatan terhenti, Malika menyeru ibunya. Ia yang patuh memang kerap memijat kaki Saidah ketika menjelang istirahat. Saidah yang dalam kondisi setengah tertidur menjawab deheman parau. Matanya memejam seolah menikmati sentuhan kecil yang di berikan Malika saat ini."Hemm" Malika yang mendapat sinyal bagus dari Saidah pun sedikit mendekat. " Nih misalnya ya, Bu. Kalo Lika cerai dari Bagas. Ibu restui Lika nggak jadi janda.
Pagi-pagi sekali Bagas sudah tidak ada di kamar. Malika yang baru terjaga pada pukul tujuh pun dibuat kelimpungan hingga memutuskan mencari pria itu di setiap sudut ruangan. Baru saja menapak keluar dari pintu kamar, Malika di kejutkan dengan kehadiran Saidah yang berdiri menatapnya penuh selidik. Layaknya hewan pelacak ia mengendus tubuh Malika yang memang belum mandi. Sekedar cuci muka pun Malika tidak sempat sangkin paniknya "Kenapa sih, Bu. Aneh banget. Saya sadar diri kok saya masih bau. " Malika mencium aroma tubuhnya yang bau asem. Malika yang menghirup bau badan nya sendiri aja ingin muntah sangkin baunya apa lagi Saidah. "Ya, tumben aja kamu kesiangan. Biasanya sebelum subuh udah bangun. " Cibir Saidah melipat kedua tangannya di depan dada. Sadar kesalahan nya, wanita dua puluh tahun itu pun cengengesan. "Maaf Bu. "Saidah geleng-geleng ngelihat kelakuan anak perempuannya itu. "Yo wess, Ndak apa. Ibu maklum kok. Lain kali kalo begadang inget waktu. Udah mandi sana s
Malika mengejar langkah Bagas yang berjalan di depannya. Saat mendekat, ia langsung menarik lengan pria itu yang sontak berhenti. Bagas yang kaget hampir menghempaskan pegangan itu. Dan untungnya ia bisa mengendalikan diri ketika berbalik."Malika??" Ucapnya terbata tak percaya menemukan wanita itu berada di tempat ituCelingukan Bagas melihat sekeliling sebelum menuntun Malika menjauhi kerumunan."Kamu kenapa bisa ada di sini? " wanita berkerudung merah muda itu bergeming. Mengambil paksa benda yang di pegang Bagas kemudian melangkah menuju ke arah seorang ibu yang menangis histeris di dekat penjual cabai. Bahkan wanita itu tidak menyadari kehadiran Malika saat itu. "Bu, ini dompetnya." Malika menyodorkan sebuah dompet berwarna coklat tua dihadapan sang ibu yang membuatnya seketika menengadah. Dari posisinya sekarang, Bagas mengerti kenapa Malika sempat menghentikannya. Malika tampak miris melihat air mata yang tumpah akibat ulah sang adik. Malika sudah mendengar semua pembic
Malika memutuskan untuk mengecek keberadaan pria itu sendiri. Ia terlanjur penasaran akan rupa dari foto pria yang katanya mirip dengan Bagas itu. Samar ia tak sengaja menangkap pembicaraan yang ibu dan pria itu katakan. Dimana sebuah pernyataan mengejutkan yang katanya pria yang tengah ia cari adalah putra kandungnya yang kabur dari rumah. "Kamu datang sendiri Lika. Bagas nya mana???" Sapaan Saidah membuat Malika langsung kembali pada bawah sadarnya. Malika yang canggung kemudian tersenyum tipis menoleh ke sisi kiri ibunya yang tampak ada seorang pria paruh baya yang juga menatapnya tak berkedip. Malika meyakini usianya tak berbeda jauh dari Saidah "Di kamar Bu, lagi istirahat. "Jawab Malika jujur. Karena memang itulah alasan Bagas sebelum ia keluar. Kening Saidah mengerutkan dalam, hingga tatapan itu berubah menelisik"Katanya tadi kamu yang sakit, kok Bagas yang istirahat. Apa dia sengaja ingin menghindari pertemuan ini. " Cecar Saidah mencebik seolah bisa menebak alasan k
"Tama berhenti. Papa ingin bicara sama kamu. " Rudi masih berseru meski pemuda di sampingnya tidak menggubris. Anehnya berlari berkilo-kilo tak sedikitpun membuat Bagas kelelahan. Malahan kemampuan berlari nya kini hampir menyeimbangi kecepatan laju mobil yang mengikutinya."Kalau Papa datang cuman ingin maksa saya buat balik ke rumah. Sorry, Tama nggak mau. Tama lebih nyaman di kampung ini bareng keluarga kecil Tama yang sederhana. " Cecar nya tanpa menoleh."Oke, baiklah. Papa nggak akan maksa kamu balik. Tapi tolong nak, berhenti. Papa ingin bicara sama kamu, sebentar saja. Boleh yah. "Bagas menghentikan pergerakan nya, bukan karena menuruti perintah dari sang ayah. Hanya saja ia perlu rehat sejenak untuk mengatur pernapasan nya yang memang sudah tak sanggup lagi berlari. Dengan dua tangan yang bertumpu di lututnya. Bagas mencoba menetralkan degup jantungnya yang berdetak tak beraturan. Pintu mobil terbuka memperlihatkan sosok pria paruh baya yang tampak tersenyum menang ket
"Udah nggak usah nangis. Biarin Bagas pergi. Lagian kamu sendiri kan yang minta di turutin kemauan nya, terus ngapain melow drama begitu. Atau jangan-jangan kamu mulai suka yah sama dia. " Saidah malah menggoda Malika yang malah terlihat sebal.Wanita berjilbab biru tua itu melirik sekilas sebelum mengusap air matanya. '' Siapa yang nangis. Orang Lika cuman kelilipan. Justru sebaliknya Lika seneng Bagas udah nggak tinggal bareng sama kita. " Tukas nya bersungut-sungut. "Iya, tapi income ibu berkurang gara -gara ngikutin saran konyol dari kamu. Mana uang yang di kasih Bagas pake di bawa semua. Pokoknya ibu nggak mau tau, ibu mau kamu kejar Bagas dan minta kembaliin uang ibu. Kamu tau kan uang itu aku ibu gunain buat jahit baju di acara kondangan bude Aminah. ""Iih ibu apaan sih. Gengsi lah Lika kalo harus jemput balik Bagas ke sini. Ibu aja sono yang samperin... Lika mah ogah. "Malika meringis tertahan, ketika telapak tangan itu mencengkram lengan nya kuat."Pergi atau ibu akan u
"Malik ke mana, Bu. Udah jam segini juga kok belum pulang dari mesjid. " Seorang gadis muda dengan hijab Merah muda menoleh ketika pintu kamar terbuka lebar, wanita paruh baya yang di ajaknya berbicara adalah Saidah- ibunya. Dan pemuda yang ia tanyakan namanya Malik saudara kembar Malika yang lahir lima belas menit setelah nya. "Biasa lah kayak nggak tau adikmu aja. Kalau nggak keluyuran yah nongkrong nggak jelas di warung kopi. " Omel Saidah yang mengambil langkah mendekati meja makan, Malika sudah menyiapkan sarapan sejak pagi tadi. Malika tidak ikut shalat berjamaah karena berhalangan. Makanya tidak bisa mengontrol adiknya itu pulang bersama. Padahal biasanya saat makanan siap, mereka sudah berkumpul tanpa harus menunggu anggota keluarga yang lain. "Ini pasti ulah si Bagas. Ia sudah meracuni pikiran adik kamu makanya jadi sering ngebantah perintah Ibu dan kakaknya. Semenjak kehadiran Bagas di kampung kita suasana kampung menjadi kacau dan nggak tenang. " Malika tersenyum m
Malika memacu langkahnya semakin lebar. Ia menjadi tidak sabar untuk pulang ke rumah untuk bertemu sang adik. Keselnya Sampek ke ubun-ubun, bayangkan saja di dalam masjid yang tadinya dalam kondisi berduka malah dibuat riuh karena Malika yang tersedu meratapi kematian Pak Seno yang ia pikir adalah Malik. Malika jadi terngiang ucapan ustadz Yusuf beberapa saat lalu. "Kalau kedatangan mbak Malika kesini cuman mau jemput Malik, bilang dong dari awal ketika masuk, jadi kami tidak terkendala untuk menguburkan Pak Seno sore ini. Mbak Malika harus tau sebelum mbak-nya datang, Bu Saidah sudah terlebih dulu menjemput Malik dengan keponakan nya yang bernama Bagus itu. " "BAGAS ustadz. Bukan Bagus. " Ralat Malika cepat membenahi nama pria itu. Mungkin saja orang tuanya dulu sudah memotong kerbau lima untuk menamai putranya. Eh, Ustadz Yusuf malah seenaknya mengganti nama orang sesukanya. Kan nggak bener. "Iya itu maksud saya. Kayaknya sama aja cuman beda 'U' di dua huruf belakang. '' O
"Udah nggak usah nangis. Biarin Bagas pergi. Lagian kamu sendiri kan yang minta di turutin kemauan nya, terus ngapain melow drama begitu. Atau jangan-jangan kamu mulai suka yah sama dia. " Saidah malah menggoda Malika yang malah terlihat sebal.Wanita berjilbab biru tua itu melirik sekilas sebelum mengusap air matanya. '' Siapa yang nangis. Orang Lika cuman kelilipan. Justru sebaliknya Lika seneng Bagas udah nggak tinggal bareng sama kita. " Tukas nya bersungut-sungut. "Iya, tapi income ibu berkurang gara -gara ngikutin saran konyol dari kamu. Mana uang yang di kasih Bagas pake di bawa semua. Pokoknya ibu nggak mau tau, ibu mau kamu kejar Bagas dan minta kembaliin uang ibu. Kamu tau kan uang itu aku ibu gunain buat jahit baju di acara kondangan bude Aminah. ""Iih ibu apaan sih. Gengsi lah Lika kalo harus jemput balik Bagas ke sini. Ibu aja sono yang samperin... Lika mah ogah. "Malika meringis tertahan, ketika telapak tangan itu mencengkram lengan nya kuat."Pergi atau ibu akan u
"Tama berhenti. Papa ingin bicara sama kamu. " Rudi masih berseru meski pemuda di sampingnya tidak menggubris. Anehnya berlari berkilo-kilo tak sedikitpun membuat Bagas kelelahan. Malahan kemampuan berlari nya kini hampir menyeimbangi kecepatan laju mobil yang mengikutinya."Kalau Papa datang cuman ingin maksa saya buat balik ke rumah. Sorry, Tama nggak mau. Tama lebih nyaman di kampung ini bareng keluarga kecil Tama yang sederhana. " Cecar nya tanpa menoleh."Oke, baiklah. Papa nggak akan maksa kamu balik. Tapi tolong nak, berhenti. Papa ingin bicara sama kamu, sebentar saja. Boleh yah. "Bagas menghentikan pergerakan nya, bukan karena menuruti perintah dari sang ayah. Hanya saja ia perlu rehat sejenak untuk mengatur pernapasan nya yang memang sudah tak sanggup lagi berlari. Dengan dua tangan yang bertumpu di lututnya. Bagas mencoba menetralkan degup jantungnya yang berdetak tak beraturan. Pintu mobil terbuka memperlihatkan sosok pria paruh baya yang tampak tersenyum menang ket
Malika memutuskan untuk mengecek keberadaan pria itu sendiri. Ia terlanjur penasaran akan rupa dari foto pria yang katanya mirip dengan Bagas itu. Samar ia tak sengaja menangkap pembicaraan yang ibu dan pria itu katakan. Dimana sebuah pernyataan mengejutkan yang katanya pria yang tengah ia cari adalah putra kandungnya yang kabur dari rumah. "Kamu datang sendiri Lika. Bagas nya mana???" Sapaan Saidah membuat Malika langsung kembali pada bawah sadarnya. Malika yang canggung kemudian tersenyum tipis menoleh ke sisi kiri ibunya yang tampak ada seorang pria paruh baya yang juga menatapnya tak berkedip. Malika meyakini usianya tak berbeda jauh dari Saidah "Di kamar Bu, lagi istirahat. "Jawab Malika jujur. Karena memang itulah alasan Bagas sebelum ia keluar. Kening Saidah mengerutkan dalam, hingga tatapan itu berubah menelisik"Katanya tadi kamu yang sakit, kok Bagas yang istirahat. Apa dia sengaja ingin menghindari pertemuan ini. " Cecar Saidah mencebik seolah bisa menebak alasan k
Malika mengejar langkah Bagas yang berjalan di depannya. Saat mendekat, ia langsung menarik lengan pria itu yang sontak berhenti. Bagas yang kaget hampir menghempaskan pegangan itu. Dan untungnya ia bisa mengendalikan diri ketika berbalik."Malika??" Ucapnya terbata tak percaya menemukan wanita itu berada di tempat ituCelingukan Bagas melihat sekeliling sebelum menuntun Malika menjauhi kerumunan."Kamu kenapa bisa ada di sini? " wanita berkerudung merah muda itu bergeming. Mengambil paksa benda yang di pegang Bagas kemudian melangkah menuju ke arah seorang ibu yang menangis histeris di dekat penjual cabai. Bahkan wanita itu tidak menyadari kehadiran Malika saat itu. "Bu, ini dompetnya." Malika menyodorkan sebuah dompet berwarna coklat tua dihadapan sang ibu yang membuatnya seketika menengadah. Dari posisinya sekarang, Bagas mengerti kenapa Malika sempat menghentikannya. Malika tampak miris melihat air mata yang tumpah akibat ulah sang adik. Malika sudah mendengar semua pembic
Pagi-pagi sekali Bagas sudah tidak ada di kamar. Malika yang baru terjaga pada pukul tujuh pun dibuat kelimpungan hingga memutuskan mencari pria itu di setiap sudut ruangan. Baru saja menapak keluar dari pintu kamar, Malika di kejutkan dengan kehadiran Saidah yang berdiri menatapnya penuh selidik. Layaknya hewan pelacak ia mengendus tubuh Malika yang memang belum mandi. Sekedar cuci muka pun Malika tidak sempat sangkin paniknya "Kenapa sih, Bu. Aneh banget. Saya sadar diri kok saya masih bau. " Malika mencium aroma tubuhnya yang bau asem. Malika yang menghirup bau badan nya sendiri aja ingin muntah sangkin baunya apa lagi Saidah. "Ya, tumben aja kamu kesiangan. Biasanya sebelum subuh udah bangun. " Cibir Saidah melipat kedua tangannya di depan dada. Sadar kesalahan nya, wanita dua puluh tahun itu pun cengengesan. "Maaf Bu. "Saidah geleng-geleng ngelihat kelakuan anak perempuannya itu. "Yo wess, Ndak apa. Ibu maklum kok. Lain kali kalo begadang inget waktu. Udah mandi sana s
Malika tentu tidak akan percaya pernyataan kembarannya itu begitu saja. Seorang Bagas berubah?? Yang benar saja. Emang dia power rangers. Malika cukup mengenal Bagas meski hanya beberapa bulan.Pria pembuat Onar yang hobinya suka tawuran dan malak itu suka melibatkan Saidah ke kelurahan untuk dijadikan jaminan meloloskannya dari amukan warga yang anak-anaknya terpengaruh dengan kenakalan Bagas yang bandelnya tidak tertolong.. Malika kadang tak habis pikir kenapa ibunya itu maunya aja nyelamatin orang seperti Bagas. Untung juga tidak, malu iya. "Bu.." Di sela pijatan terhenti, Malika menyeru ibunya. Ia yang patuh memang kerap memijat kaki Saidah ketika menjelang istirahat. Saidah yang dalam kondisi setengah tertidur menjawab deheman parau. Matanya memejam seolah menikmati sentuhan kecil yang di berikan Malika saat ini."Hemm" Malika yang mendapat sinyal bagus dari Saidah pun sedikit mendekat. " Nih misalnya ya, Bu. Kalo Lika cerai dari Bagas. Ibu restui Lika nggak jadi janda.
Malika masih terus mengguncang tubuh saudara nya. Dan untung saat kejadian, Malika urung berteriak sehingga tidak memicu kecurigaan bahwa kenyataannya pria yang terkapar di hadapannya sekarang adalah seorang copet.Malika tidak bisa membayangkan, bagaimana tanggapan orang nantinya kalau tau pria tersebut adalah saudara kembar nya sendiri. Untuk itu ia menyuruh Bagas buru-buru membawa kembarannya itu keluar dari pasar. Malik yang belum sadar di baringkan di kursi terminal."kamu kan yang nyuruh adik saya nyopet. Ayo ngaku!!" Berang Malika menunjuk wajah pria di depannya. Lengkingan suara Malika menyentak beberapa pasang mata menoleh padanya.Sadar akan hal itu, Malika melirik ke arah mereka. Dalam sekejap, mereka yang tadinya ingin menguping pembicaraan keduanya pun bergegas pergi. Tatapan nyalang itu membuat semua orang lari ketakutan."Kamu salah paham, Lika. Untuk apa saya menyesatkan saudara ipar saya sendiri. Yang ada Malik yang berinisiatif melakukan nya. Kamu harus percaya, s
"Gimana sob, berhasil nggak kemarin bobol gawang. " Tanya Malik ketika melihat Bagas yang mengambil tempat duduk di sebelahnya. Wajah pria itu terlihat lebih segar setelah istirahat dengan cukup. Berbeda dengan Malika yang terus memaksa kelopak matanya terbuka , Bagaimana pun ia harus bisa fokus menyediakan sarapan di atas meja. Meski harus menghalau rasa kantuknya yang begitu tak tertahankan. Malika melirik Bagas yang tidak begitu memperdulikan ucapan saudara kembar nya yang nyerocos membahas hal yang menurut Malika tentang sebuah permainan sepak bola. "Ya elah, di tanya malah diem aja. Ini orang bro bukan patung. Loh itu harusnya bersyukur karena gue Lo jadi nikah sama Malika."Wanita dengan gamis purple itu berbalik, pashmina yang digunakan sampai tersibak ke samping. Sangkin penasaran nya ia sampai memperlambat langkahnya yang hendak kembali ke dapur. Mendengar ucapan Malik, ia lantas mengambil posisi tepat di samping pria itu. Dengan tangan kanan yang sudah mengambil sebuah
Malika masih saja mematung di tempatnya, tanpa sadar ia menyentuh dadanya yang tidak berhenti bertabu. Bagas sudah pergi beberapa menit yang lalu, tapi kenapa ia masih deg deg degan begini.Malika menggeleng cepat, menepis semua anggapan di dalam benaknya. Masa iya seorang Malika mulai menyukai pria seperti Bagas. Nggak kyuut banget!! Lagian kalau dipikir seribu kali tidak ada yang membanggakan dari sosok Bagas. Yang hobinya cuman nyusahin keluarganya dari pertama menginjakkan kaki di Desa Wonosari. Malika lebih cocok di sandingkan dengan artis Farel Bramasta yang kegantengannya hampir sebelas dua belas kayak Dewa. Lain hal Bagas, pria itu lebih cocok di ibaratkan sebagai malaikat pencabut nyawa yang mukanya nyeremin dan membuat Malika takut ketika keduanya beradu pandang. Makanya Malika selalu berusaha menghindari kontak mata dengan pria itu.Malika berusaha memejam namun usahanya sia-sia. Ingatannya selalu berputar ketika Bagas menyentuh sudut bibirnya lembut. Kejadian itu terus