Cahaya matahari menyinari wajah Akiyama, Yumi, dan Shin saat mereka melangkah keluar dari gua. Angin segar berhembus, membawa aroma tanah dan dedaunan yang menyegarkan. Momen itu terasa magis, seolah-olah dunia menyambut mereka kembali setelah melewati kegelapan yang mencekam. Ketiganya menghela napas dalam-dalam, merasakan kelegaan yang mengalir melalui tubuh mereka. “Aku tidak pernah berpikir kita bisa melaluinya,” Shin berkata, menggelengkan kepala dengan heran. “Kegelapan itu begitu menakutkan.” Yumi tersenyum, berusaha menghilangkan rasa tegang di antara mereka. “Tapi kita berhasil. Kita membuktikan bahwa kita lebih kuat dari ketakutan kita.” “Betul,” Akiyama menambahkan. “Kita bersatu dan saling mendukung. Itu yang membuat kita bisa mengatasi semua ini.” Mereka berdiri sejenak, menikmati pemandangan indah di depan mereka. Di bawah jurang, lembah yang luas terbentang, dikelilingi oleh pegunungan yang menjulang tinggi. Suara air mengalir dari sungai yang mengalir di antara
Matahari terbit di cakrawala, menghangatkan lembah yang terbentang luas di hadapan Akiyama, Yumi, dan Shin. Langkah-langkah mereka semakin mantap, dan hati mereka penuh dengan tekad baru setelah perjalanan panjang yang telah menguji mental dan fisik mereka. Namun, meskipun mereka berhasil keluar dari gua kegelapan, mereka sadar bahwa musuh sebenarnya masih menunggu. "Sekarang kita menuju ke mana, Akiyama?" tanya Yumi, yang berjalan di sampingnya. Dia merasa lega melihat Akiyama tampak lebih percaya diri setelah kekuatannya bangkit kembali. "Kita menuju ke Kastil Zerathos," jawab Akiyama tegas. "Tapi sebelum itu, kita harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Aku punya firasat bahwa kita akan membutuhkan lebih dari sekadar kekuatan fisik untuk mengalahkannya." "Apakah ini terkait dengan roh Phoenix dalam dirimu?" tanya Shin, matanya penuh rasa ingin tahu. "Kekuatan Phoenix itu sudah menolong kita beberapa kali, tapi sepertinya masih ada sesuatu yang belum kita ketahui sepenu
Di desa kecil yang tersembunyi di kaki pegunungan, terdapat seorang anak laki-laki bernama Akiyama. Sejak kecil, ia selalu merasa berbeda dari anak-anak lainnya. Akiyama dilahirkan di malam yang gelap, tepat saat gunung yang terletak jauh di utara meletus, menghancurkan kota-kota dan menyebabkan bencana besar yang mengubah dunia selamanya. Kelahirannya sendiri diselimuti misteri, dan desas-desus pun mulai tersebar di desa bahwa dia adalah pembawa malapetaka. Desa itu adalah satu-satunya tempat yang selamat dari bencana besar, tetapi bayangan kegelapan selalu membuntuti. Seiring waktu, Akiyama tumbuh terisolasi. Anak-anak lain tidak mau bermain dengannya, dan orang-orang dewasa menatapnya dengan curiga. Hanya Yumi, seorang gadis sebayanya, yang mau berinteraksi dengannya. Yumi selalu berada di sampingnya, meskipun semua orang menganggap Akiyama berbahaya. Di dalam dirinya, Akiyama merasakan kekuatan besar, tetapi dia tidak tahu apa itu, atau bagaimana cara mengendalikannya. Yang dia
Pagi itu, desa tampak tenang seperti biasanya. Penduduk desa yang sibuk dengan aktivitas sehari-hari, tak menyadari bahaya yang semakin dekat. Namun, bagi Akiyama, ketenangan itu palsu. Apa yang terjadi semalam terus berputar dalam pikirannya—bayangan hidup, kekuatan yang meledak dari dalam dirinya, dan ancaman Zerathos yang semakin nyata. Di dalam kuil, Shin menatap serius pada Akiyama dan Yumi yang duduk di hadapannya. Keduanya baru saja kembali dari hutan, dengan berita tentang bayangan yang menyerang mereka. Wajah Shin tampak lebih tegang dari biasanya, seakan dia sudah mengantisipasi berita buruk itu. "Kalian pasti lelah," kata Shin sambil menghela napas panjang. "Tapi aku tak punya pilihan lain. Akiyama, kau harus tahu bahwa apa yang kau hadapi bukanlah sekadar bayangan biasa. Itu adalah Manifestasi Kegelapan—bentuk fisik dari kekuatan Zerathos." Akiyama mengernyit. "Manifestasi Kegelapan? Apa itu artinya Zerathos sudah bangkit?" Akiyama berdiri di tengah lapangan, masih
Pagi itu, desa terlihat dalam keadaan kacau setelah serangan malam sebelumnya. Penduduk yang selamat berkumpul untuk memperbaiki rumah-rumah yang hancur, namun bayang-bayang ketakutan masih menyelimuti mereka. Akiyama memandangi desa dari kejauhan, hatinya dipenuhi rasa bersalah. Apa yang seharusnya menjadi penyelamatan, berakhir dengan kehancuran lebih besar. Shin mendekatinya. Wajahnya tenang, namun ada ketegasan di dalamnya. "Jangan biarkan ini mengganggumu, Akiyama," ucap Shin dengan nada bijak. "Apa yang kau lakukan semalam adalah langkah pertama untuk memahami kekuatanmu. Namun, kau masih perlu belajar lebih banyak tentang pengendalian." Akiyama mengangguk pelan, namun beban di dadanya belum sepenuhnya hilang. "Aku tahu, tapi aku takut, Shin. Setiap kali kekuatan itu muncul, aku merasa kehilangan kendali. Bagaimana jika suatu saat aku tidak bisa menghentikannya? Bagaimana jika aku justru menghancurkan semua yang ingin kulindungi?" Shin menepuk bahunya dengan lembut. "Itulah s
Saat Akiyama melangkah masuk ke dalam Kuil Api Abadi, dia merasakan perubahan langsung dalam atmosfer. Udara di dalam kuil terasa hangat dan nyaman, berbeda dari dinginnya pegunungan di luar. Cahaya kemerahan yang berasal dari api abadi di sudut-sudut ruangan memantulkan bayangan panjang di lantai batu. Meskipun kuil ini telah ditinggalkan selama ratusan tahun, api itu tetap menyala tanpa pernah padam. Yumi dan Shin mengikuti di belakangnya, memperhatikan setiap detail. Yumi tampak terpesona oleh keagungan tempat ini, sementara Shin tetap tenang, seolah-olah dia sudah sering melihat pemandangan seperti ini. Namun, Akiyama tahu bahwa tempat ini bukan sekadar bangunan tua. Ada sesuatu yang jauh lebih besar tersembunyi di balik dinding-dinding kuno ini. “Ini... luar biasa,” gumam Yumi sambil menatap api abadi yang menyala terang di depan mereka. “Bagaimana mungkin api ini bisa tetap menyala selama ratusan tahun?” Shin mendekat, lalu menjelaskan dengan suara tenang. “Api ini bukan api
Setelah beberapa hari Akiyama menghabiskan waktu di Kuil Api Abadi, dia merasa kekuatannya semakin stabil. Setiap kali dia melatih dirinya di hadapan api suci, kendalinya atas energi Phoenix semakin kuat. Namun, Shin selalu mengingatkannya bahwa latihan di tempat suci ini hanyalah permulaan. Dunia luar jauh lebih kejam, dan kekuatan Akiyama akan diuji saat dia menghadapi ancaman nyata. “Bagaimana rasanya sekarang?” tanya Yumi sambil memperhatikan Akiyama yang baru saja menyelesaikan latihannya pagi itu. Akiyama tersenyum tipis. “Lebih baik. Aku bisa merasakan kekuatan itu lebih terarah. Tidak lagi meluap-luap seperti sebelumnya. Tapi tetap saja... aku masih belum yakin apakah aku siap menghadapi Zerathos.” Shin yang sedang duduk di sudut ruangan, menatap keduanya. “Kekuatanmu berkembang pesat, Akiyama. Tapi satu hal yang perlu kau ingat—kekuatan ini bukan hanya soal kemampuan fisik. Ini soal batinmu. Setiap raja Phoenix yang pernah ada harus menguasai dirinya terlebih dahulu sebelu
Ledakan energi yang dikeluarkan oleh Akiyama menciptakan gelombang kehangatan yang menyebar ke seluruh ruangan, membuat semua makhluk bayangan menghilang seolah-olah ditelan oleh cahaya. Api suci yang bersinar di sekelilingnya memberi rasa aman dan kekuatan, membuatnya merasa seolah-olah dia sedang terhubung dengan semua Phoenix yang pernah ada. Namun, di tengah kemenangan ini, Ragnar tidak tampak terpengaruh. Dia tetap berdiri di tempatnya, wajahnya menampilkan ekspresi mengesankan. “Menarik sekali, Akiyama. Kau telah membangkitkan kekuatanmu. Tapi, apakah kau pikir itu sudah cukup untuk mengalahkanku?” Akiyama mengatur napasnya, merasa kelelahan setelah menggunakan kekuatan penuh itu. Meskipun dia berhasil mengalahkan makhluk-makhluk bayangan, Ragnar tetap menjadi ancaman yang nyata. “Aku tidak akan menyerah. Tidak peduli seberapa kuat kau, aku akan melindungi orang-orang yang aku cintai!” Ragnar mengangkat bahunya, seolah meremehkan semangat Akiyama. “Cinta? Itu sangat menggelik