Hari ini produksi berlian meningkat, maka Evan harus mengunjungi pabrik serta pertambangan berlian milik Adhitia yang sudah jatuh ke tangannya. Selembar kertas laporan membuatnya tersenyum puas. “Seharusnya kalian melihat ini karena semenjak perusahaan jatuh ke tanganku, perkembangannya sangat pesat. Berbeda dengan cara kerja kalian yang lamaban.” Senyuman puas dipasang untuk memuji prestasinya sekalian mengejek Adhitia dan Ansel. Pun, saat ini Dewa-ayahnya Evan masuk dalam daftar pertemuan kolega. Dewa dan Adhitia sudah menjadi rekan bisnis sejak lama, bahkan alasan persahabatan inilah yang membuat keduanya menikahkan keturunan mereka. Namun, Dewa yang semula adalah teman baik Adhitia sudah berubah serakah, tidak berbeda dengan Evan, dia menjadi pisau bermata dua yang juga mematikan setelah putranya. “Nak,” sapa Dewa saat memasuki ruangan rapat yang sudah berisi Evan. “Selamat datang, Pa,” sambutan hangat Evan bersama senyuman mengembang. Pukul sepuluh tiba, Ansel meninggalkan ad
Evan membawakan oleh-oleh makanan untuk Aisha dan juga buah-buahan untuk Adhitia. “Evan tidak tahu apa papa boleh memakannya atau tidak, tapi sepertinya dokter tidak akan melarang papa memakan buah jeruk,” kekeh hangatnya di hadapan mertuanya yang terbaring. Ini bukanlah perhatian Evan pada sang mertua, melainkan pormalitas di hadapan dokter pribadi yang merawat Adhitia. Seorang Evan yang dikenal kalangan pebisnis sebagai orang kepercayaan mertuanya sendiri harus bisa menjaga namanya dengan akting sempurna.Aisha segera memerotes perhatian palsu Evan karena tidak ada yang lebih mengetahui Evan selain istrinya, “Jangan memberi sembarangan makanan pada papa. Papa hanya diperbolehkan memakan menu dari rumah sakit!”Evan menoleh kecil pada Aisha yang tidak pernah menyukainya, dia selalu bisa membacanya, tetapi hal itu bukan masalah toh Aisha adalah asisten pribadi sekalian pemuas nafsunya. “Aku minta maaf.” Pria ini tidak banyak bicara bahkan dia memberikan sahutan bijak.Aisha selalu tah
Rima menyampaikan penglihatannya pada pengurus panti asuhan yang sekarang masih sama, tetapi tanggapan wanita tua itu di luar pemikirannya, “Mungkin kamu salah lihat.”“Tapi Rima yakin, tidak mungkin ada orang yang begitu mirip.” Rima mencoba menyamakan orang yang dilihatnya dengan orang yang berada di dalam foto pernikahan karena foto pernikahan Alea dan Ansel menjadi salah satu hiasan dinding di salah satu ruangan. “Rima yakin tidak salah lihat.”Wanita tua ini menggelengkan kepalanya. “Di dunia ini ada juga yang sangat mirip,” kekehnya karena dia yakin penglihatan Rima salah, tidak mungkin orang yang dilihatnya adalah Ansel-seorang pewaris bisnis milik orang dengan nama besar yaitu Adhitia. Di sisi lain, Alea masih menerima pembeli. Custamernya memang tidak banyak, tetapi mereka selalu datang silih berganti hingga setiap jamnya pasti Alea melayani pembeli. “Terimakasih ...,” tutupnya pada seorang wanita yang barusaja membeli paket pakaian bayi.Rina menyapa saat kresek hitam diten
Supervisor berbicara banyak dengan Ansel karena ini adalah kesempatan emas untuknya berbicara dengan salah satu orang hebat. Namun, Ansel merasakan hal berkebalikan karena semakin lama bersama pria ini maka dirinya dipaksa untuk melihat semua berlian yang berasal dari pabrik milik ayahnya yang dikelola Evan. Ingin segera menyudahi obrolan, tetapi Ansel tahu itu tidak sopan. Maka, dengan berat hati pria ini tetap meladeni salah satu orang penting di gedung ini. Bukan hanya tentang stok berlian yang berlimpah, tetapi superpisor juga mengatakan laporan penjualan berlian milik perusahaan Adhitia hingga Ansel melihat dengan detail.‘Perusahaan papa mengalami kemajuan yang pesat, ini sangat bagus karena perusahaan papa akan semakin dipandang baik. Tapi sayangnya semua menjadi kekuasaan Evan!’ Layar komputer dipandangi yang isinya hanya nominal uang.“Tuan Adhitia merekrut seorang menantu hebat, pasti tuan Evan banyak ikut campur dalam bisnis beliau,” kekeh supervisor saat memberikan pujian
Jam operasional Ansel serta kawan-kawannya berakhir pada pukul tiga pagi digantikan oleh shif lain. Di dalam toilet, dipandanginya kartu nama yang hanya tertera nomor telepon saja. “Apa wanita itu sedang bermain-main denganku, mungkinkah ini jebakan?” Kini, akal sehatnya mulai menarik kesimpulan lain. “Ya, bisa saja ini jebakan. Seharusnya tempat ini tidak mudah dibobol, tapi wanita itu bisa melakukannya, tapi mungkin cara semalam tidak maximal, bisa saja dia sedang mencari sandera untuk mendapatkan banyak informasi tentang gedung ini.”Segera, Ansel kembali mengantongi kartu nama tetapi tidak pernah terpikir sedikit pun untuk menghubungi wanita itu. Justru kini langkah kakinya menghampiri senior. Namun, niatnya diurungkan saat jarak keduanya hanya tinggal beberapa langkah. ‘Mungkin tidak sekarang. Mungkin aku masih harus menyimpan bukti ini.’Ansel mulai menyusuri jalanan, tetapi perasaannya selalu mengatakan jika dirinya sedang diawasi. “Sial, apa perasaanku benar?” Pria ini tidak i
Tiga puluh menit berlalu, saat ini langkah kaki Rima terlalu berat untuk meninggalkan kediaman Alea, tetapi waktu memburunya. “Aku akan mengunjungi rumah bu Rina, lalu kami akan menuju rumah pak Rt. Jika aku masih ada waktu, aku berjanji akan datang lagi kesini.” Kini Rima melukis wajah sendu. Wanita semampai dengan kecantikan alami ini memandangi Alea tanpa berniat melepaskan saudaranya dari jarak pandangnya.“Jangan memaksakan diri, selesaikan saja urusan kamu.” Pun, Alea menunjukan tatapan yang sama hingga akhirnya mereka saling memeluk. “Berjanjilah jangan mengatakan keadaanku pada siapapun dan kamu juga tidak perlu merasa iba padaku karena Ansel adalah sosok suami bertanggung jawab, aku tidak pernah merasa kekurangan, aku dan Ocean juga selalu mendapatkan banyak cinta dari Ansel.” Sedikitnya, Alea terisak karena hanya ini satu-satunya kalimat aduan yang mampu diungkapkannya pada Rima setelah ribuan kesulitan menimpanya.“Iya, hanya aku yang tahu.” Pun, Rima meneteskan air matanya
Ketukan halus terdengar mengambang di udara, maka Ansel dan Aisha segera menengok ke arah sumber suara. “Siapa?” tanya pria ini. “Entahlah, Aisha lihat dulu.” Segera, wanita ini bangkit dari duduknya, meninggalkan sarapannya. Pintu dibuka perlahan hingga dia melihat Evan yang berdiri bersama senyuman teduh yang diberikan khusus padanya. “Selamat pagi, Sayang. Aku bawakan sarapan sekalian buah-buahan dan camilan untukmu. Syukur-syukur jika papa bisa memakannya juga.” Tutur kata Evan terdengar lembut selayaknya suami penyayang istri. “Masuklah.” Suara pelan Aisha yang tidak menginginkan kehadiran Evan karena selain tidak ingin melihat wajahnya, kehadiran pria itu juga mengganggu waktunya dengan Ansel padahal momen bersama kakaknya sangat jarang dia temui bahkan sebelum ini pertemuan itu seakan mustahil akibat tindakan keji Evan. Saat ini Evan segera berpura-pura tidak mengetahui kehadiran Ansel. “Oh, kakak ipar, kau di sini!” Senyuman hangat dipasang. Namun, ekspresi Ansel sangat
Evan memerintahkan Aisha untuk duduk tenang dan nyaman saat makanan mulai dibuka satu-persatu. “Aku menyuruh bibi membuatkan berbagai macam menu, dari mulai manis, asin lalu pedas. Pasti kamu akan menyukainya, Sayang.” Senyuman teduh Evan kembali dibentuk saat menunjukan perhatian palsunya walaupun di luar tampak tulus, tetapi itu hanya di mata orang yang tidak tahu bagaimana monster dalam dirinya. Maka, Aisha tidak pernah tersentuh bahkan sampai detik ini. “Ya, terimakasih.” Datar Aisha.“Seharusnya kamu mengatakan menu yang kamu inginkan karena setiap hari aku kebingungan saat memerintah bibi memasak menu,” kekeh teduh Evan. Saat ini adalah jalan emas untuk Aisha membahas tentang kartu ATMnya, tetapi wanita ini terlalu ragu karena mungkin tanggapan Evan akan terdengar menyebalkan walaupun cara penyampaiannya sangat lembut. “Buatkan menu apa saja,” sahut datarnya lagi. “Baiklah. Sekarang makanlah.” Senyuman teduh dipasang seiring membantu mengisi piring milik Aisha, “aku sudah sar
Hari berganti, Ansel masih belum kembali dan saat ini Alea mulai menangis tersedu, tetapi untungnya Rina tetap di sisinya dan wanita ini juga yang membantu menenangkan ibu satu anak ini. Namun, kebaikan Rina tidak membuat Ansel kembali. Lelaki itu menghilang hingga satu minggu lamanya. Setiap hari Alea dan Aisha mencoba mencari tanpa melibatkan polisi karena mereka yakin hilangnya Ansel karena perbuatan Evan. Namun, hingga saat ini Aisha tidak menemukan bukti kecurigaannya. Tidak mudah untuk Alea menjalani kehidupannya selama satu minggu ini, Ocean sering menangis dan Alea tidak bisa fokus pada apapun. Jika saya Rina tidak di sisinya mungkin saat ini Alea sudah mendekati kehancurannya. Hari ini, Rina tidak tahan melihat Alea menderita. Maka, dia menghubungi Reza untuk mencari tahu keberadaan Ansel. Wanita ini yakin Reza bisa membantu karena Alea sudah melarangnya melaporkan hilangnya Ansel pada polisi. Sementara, saat ini Ansel disekap oleh Evan. Ya, pelakunya memang Evan. Sudah s
Ansel menemui hari sialnya lagi karena akibat tindakannya dia disandera oleh Evan tanpa sepengetahuan Alea maupun Aisha. Jadi seakan-seakan Ansel menghilang tanpa jejak. Pada pagi ini Alea menunggu suaminya pulang, tapi hingga pukul sembilan dia tidak mendapatkan kabar apa pun. Alea menemui Rina untuk meminta bantuan menghubungi Ansel, tetapi nomor suaminya tidak aktif. "Ansel kemana dan kenapa nomornya tidak aktif, apa menemui Aisha?" Alea khawatir, hanya saja dia tidak ingin memikirkan hal aneh.Alea kembali ke rumahnya, di pangkuannya Ocean merengek padahal anaknya sudah diberikan susu. "Kenapa sayang ...." Lembutnya saat membelai pipi Ocean.Alea tetap melakukan kegiatan seperti biasanya, tetapi Ansel masih belum kembali bahkan ketika matahari sudah berada di puncak langit. Rengekan Ocean hanya berhenti sesaat, sejak pagi-pagi bayi itu terus merengek dan tidak pernah tidur nyenyak. "Nak, kenapa ..., jangan seperti ini ..., papa belum pulang dan tidak bisa dihubungi, mama khawatir
Ansel tertangkap sebelum pria ini menemukan hal penting, maka bawahan yang ditugaskan Evan membawanya secara halus ke hadapan Evan supaya kedok tuannya tidak terbongkar di hadapan para karyawan.Saat ini Evan bertepuk tangan di hadapan Ansel yang berdiri geram. "Kakak ipar, kau memang hebat, kau bisa menebak keberadaan surat-surat penting milikku. Tapi ... aku yakin kau belum menemukan apapun karena tidak semudah itu. Aku sudah menyimpannya sangat rapat dan sulit dijangkau." Sunggingan bibir Evan mengudara sangat menyebalkan di dalam indera penglihatan Ansel. Saat ini Ansel tidak berkata apapun, arah matanya hanya selalu mengikuti gerakan Evan tanpa pernah berkedip sama sekali, bahkan bola matanya hanya berisi api yang siap membakar Evav."Jangan marah. Santai saja. Kakak ipar tidak boleh terlalu tegang karena memiliki anak dan istri yang harus dicukupi. Hm ... apakah rumah sekecil itu tidak membuat kalian pengap heuh? Rasanya untuk bernapas saja terlalu sulit," hina Evan bersama sun
Jumlah kunci yang dimiliki satpam tidak sama dengan sebelum Ansel meninggalkan gedung ini, maka pria ini semakin yakin jika surat-surat penting milik Adithia disimpan di dalam salah satu ruangan di gedung ini. Setelah mencari tahu akhirnya Ansel menemukan satu ruangan yang tidak memiliki kunci. Dia berdiri tepat di depan pintu, ruangan ini memang terisolasi karena pernah terjadi hal tidak diinginkan. Ruangan ini tidak pernah disukai para karyawan karen lokasinya terlalu tinggi hingga mereka mengeluhkan jarak dengan lobby utama. "Ck, apa dugaanku benar. Kau menyimpan semua surat penting milik papa di tempat ini, tempat yang dibenci semua orang? Ya, memang masuk akal jika kau menyimpannya di sini karena tidak ada yang berniat memasuki ruangan ini!" Ansel selalu berhasil membaca isi kepala Evan yang dipenuhi dengan hal-hal licik. Begitupun dengan yang ini, ini mudah untuknya. Namun, apakah dugaannya benar?Ansel tidak memiliki kunci untuk ruangan ini karena salah satu kunci yang berkura
Alea berwajah sendu ketika kembali masuk ke dalam rumah hingga menimbulkan pertanyaan besar dari Ansel sekalian merangkul istrinya, "Sayang, ada apa hm ...." Usapan lembutnya segera membelai punggung Alea.Alea tersedu di dalam pelukan Ansel, tetapi segera mengadukan isi hatinya, "Aku mengingat cerita ibu panti tentang asal-usulku karena tadi bu Rina bercerita tentang anaknya yang hilang."Rangkulan Ansel semakin dalam setelah mendengar kalimat sendu istrinya. "Tidak apa, itu hanya kebetulan ...." Usapan lembut di punggung Alea tidak berhenti bahkan semakin sering membelai penuh kasih sayang, tidak lupa mengecup puncak kepala sang istri. Setelah berhasil menenangkan diri, Alea melepaskan diri dari pelukan Ansel, kemudian segera membahas Deon. "Bukan teman kamu yang akan menyewa rumah, tapi saudaranya." Tatapannya masih berkaca, tetapi Alea berusaha menyampaikannya dengan benar hingga membuat Ansel mengusap salah satu pipi istrinya bersama senyuman hangat penuh cinta."Aku sudah mende
Rina merasa harus menjelaskan tentang keluarga Ansel karena di matanya keluarga Ansel adalah contoh baik dan patut mendapatkan pujian juga patut menjadi gambaran positif untuk calon penyewanya. Ibu jarinya mengarah pada kediaman Ansel. "Ini rumah keluarga nak Ansel dan nak Alea, mereka sudah memiliki seorang bayi. Kalau ada perlu apa-apa jika memang malas ke rumah ibu, nak Deon biasa mengunjungi nak Ansel dan nak Alea, keduanya sangat ramah," tutur Rina dengan sikap ramah serta raut wajah memuji-muji kedua orang yang berada dalam ceritanya. "Iya. Eu ..., tapi sebenarnya saya sedang mencarikan kontrakan untuk saudara saya karena kebetulan dia mendapatkan pekerjaan di dekat daerah sini," kekeh kecil Deon. "Kalau begitu, Nak Deon jelaskan saja yang baru saja ibu jelaskan pada saudaranya Nak Deon. Intinya lingkungan di sini sangat nyaman karena salah satu alasannya para tetangganya yang baik hati," kekeh merdu Rina kala sedikit berdusta karena hanya beberapa saja dari banyaknya warga ya
“Sayang, makanlah.” Untuk ke sekian kalinya Evan menawarkan bubur hasil buatannya sendiri.Aisha terpaku sesaat mentap semangkuk bubur yang berhasil menggugah seleranya, tetapi dia masih menolak, “Aku belum lapar. Aku akan makan buah-buahan.” Buah apel utuh segera diraih padahal di atas meja makan sudah tersedia buah apel yang sudah dikupas.Evan tidak menunjukan emosi, tetapi hanya senyuman hangat. “Makanlah buahnya.” Kini, Evan berhenti menawarkan bubur pada Aisha, tetapi berpesan pada bibi untuk mengganti bubur yang baru saat Aisha menginginkannya karena dia membuat satu panci bubur.‘Tenanglah, jangan mengacau!’ omelan Aisha pada bayinya yang masih menginginkan bubur yang berada di hadapannya. Buah apel utuh mulai digigit dengan gigitan kecil, tetapi Evan segera meraih buah yang baru lalu mengirisnya di hadapan Aisha.“Jangan memakan buah apel dengan cara seperti itu, makan yang ini saja.” Senyuman teduh Evan tampak sangat ramah dan dipenuhi kasih sayang, tetapi tidak mungkin Aish
Pada pagi hari, Evan menyiapkan sebuah bubur yang sengaja dibawanya pada Aisha. "Selamat pagi, Sayang." Senyuman lembut diumbar saat istrinya baru saja membuka mata. Tentu saja dahi wanita ini berkerut saat menyaksikan pemandangan asing di hadapannya karena tidak biasanya Evan mengucapkan sapaan. "Ada apa. Apa kamu sudah di sana sejak tadi?" tanya Aisha alih-alih membalas sapaan hangat Evan."Lumayan. Aku menunggu kamu, kamu tidur sangat lelap." Senyuman lembut kembali diumbar."Oh ...." Datar Aisha yang segera mendudukan dirinya. Setelah ini tidak sedikit pun dia memandang Evan. Namun, Evan berkata sangat lembut, "Aku baru saja membuatkan bubur untukmu dan bayi kita." Aisha segera melirik pada bubur yang dimaksud Evan, kemudian mengajukan pertanyaan dengan raut wajah heran, "Kamu yang membuat ini?" Evan mengangguk kecil, kemudian menurunkan tatapannya sesaat lalu berkata seiring memasang tatapan sendu. "Aku belum pernah membuatkan apapun untukmu, terutama untuk anak kita. Walaupu
Evan baru saja menyadari jika Aisha membiarkan menunya. "Sayang. kenapa belum makan. Ingin aku suapi?" tawaran lembut dan penuh perhatian ini sudah sewajarnya dilakukan oleh seorang suami, tetapi tentu saja yang dilakukannya hanya berbasa-basi."Aku belum lapar." Dingin dan datar Aisha. Dahi Evan segera berkerut heran, "Tidak mungkin belum lapar. Ada bayi di perutmu, yang aku tahu seorang wanita hamil akan mudah merasa lapar." Pun, sikapnya yang ini adalah sikap wajar seorang suami, tetapi maksud kalimatnya hanya ingin memastikan jika Aisha memberikan makan bayi dalam kandungannya supaya tumbuh dan berkembang normal. Evan tidak ingin mengambil resiko bayinya keguguran apalagi terlahir cacat, itu memalukan."Aku sudah banyak memakan camilan. Aku akan makan makanan berat setelah merasa lapar." Lagi, sikap Aisha sangat dingin dan datar maka wanita ini tidak mencitrakan seorang istri sama sekali yang mungkin akan menimbulkan kesalahpahaman pada orang yang tidak mengetahui kisah keduanya.